Vampire Bride - Part 11 (End)




Malam itu, ketika Yuta akhirnya kembali ke rumah, ia menyembunyikan buku peraturan asosiasi di belakang vas besar di ruang tamu, lalu masuk lebih ke dalam ke ruang tengah dan menemukan TV menyala. Ye Eun sedang menonton talk show tengah malam. Dia tidak menyadari kehadiran Yuta dan mengerjap ngantuk sambil menarik selimut wol mengelilingi bahunya. Gadis itu baru terkesiap begitu merasakan bagian sofa di ujung kakinya turun dan melihat Yuta naik dengan lututnya, merangkak di atas tubuhnya sebelum menjatuhkan diri begitu saja.


“Ke mana sa—ya ampun, Yuta kau berat,” Ye Eun mengeluh dengan suara terjepit, tangannya bergerak mencoba mendorong sang pria dari tubuhnya.

Yuta terpaksa minggir sedikit, sehingga cuma sebagian tubuhnya saja yang berada di atas Ye Eun. Ia menoleh pada TV, memandang kosong ke bintang tamunya—seorang aktris senior dengan dandanan berlebihan; bajunya terlalu ketat, perhiasannya terlalu banyak, bibirnya terlalu merah. Dia tertawa keras setiap kali mau menjawab pertanyaan.


“Jadi apa kau akan menjawab pertanyaanku?” tanya Ye Eun lagi, lebih lembut. Tangannya ada di kepala Yuta, membelai rambutnya. “Kau ke mana? Kenapa tiba-tiba menghilang?”


“Aku ke salon tato,” jawab Yuta, tanpa mengalihkan matanya dari TV. Dia tidak bohong. Dia memang langsung ke sana setelah urusannya di dunia vampir selesai.


“Apa?” Ye Eun terkesiap. Yuta menoleh menatap wajah terkejut istrinya, sebelum dengan berat hati benar-benar mengangkat tubuhnya dan beringsut ke posisi duduk.


“Aku ke salon tato,” ulang Yuta, kali ini dengan suara yang lebih tegas, sembari mengulurkan pergelangan tangannya. Tanda titik di sana sudah tak terlihat, tertutup dengan inisial nama.


“S.Y.E,” gumam Ye Eun, memandang tato tersebut dan kulit di sekitarnya yang bersemu kemerahan. “Kau mencuri ideku,” cibirnya. Ia memandang Yuta dengan pandangan mencela dibuat-buat, sebelum akhirnya meloloskan desah tawa dan tersenyum lembut. Hatinya terasa hangat. Fakta bahwa inisial namanya cukup berharga untuk diukir di kulit orang lain—terlebih di kulit Yuta—membuat sesuatu di dadanya meleleh. Ia memandang tato itu sedikit terlalu lama sebelum mengarahkan pandangannya pada Yuta dan menariknya ke pelukannya.



**********



Sejak malam itu, semuanya terasa berbeda. Rasanya jelas sekali kalau Yuta sedang menyembunyikan sesuatu. Dan setiap kali Ye Eun bertanya, Yuta akan bilang ‘bukan apa-apa’, kemudian mengeraskan rahang dan mendiamkannya berjam-jam. Intinya, Yuta tidak suka ditanya. Jadi, sebesar apa pun rasa penasarannya, Ye Eun mencoba untuk tidak bertanya.

  
Selama berhari-hari, Ye Eun semakin pandai untuk tidak bertanya. Terkadang, Yuta akan memeluk rusuknya terlalu erat, seolah itu adalah hari terakhir mereka bisa berpelukan. Terkadang, Yuta akan melamun saat ia sedang bercerita, matanya memandanginya dengan muram, nyaris mengiba. Terkadang, Yuta bahkan menangis di tengah malam, melesakkan kepalanya ke bantal dan berusaha tidak bersuara.


Pada sebagian besar malam, Ye Eun akan berpura-pura tidak tahu. Ia akan meringkuk ke sisi yang lain dan mendengarkan pria itu berjuang sendiri menahan tangisnya, berpikir Yuta tak akan senang jika ia memergokinya dalam keadaan setidakberdaya itu. Tapi di malam yang lain, saat Ye Eun merasa tangisannya terlalu pilu untuk diabaikan, ia akan merengkuh kepala Yuta dari bantal dan memeluknya. Ye Eun akan menggigit bibirnya, berusaha tidak menanyakan ‘sebenarnya kau kenapa?’ atau ‘ada masalah apa?’ dan menggantinya dengan ucapan penenang sederhana, ‘semua akan baik-baik saja’, ‘ada aku di sini’ sementara Yuta akan menangis di bahunya, sampai pagi, sampai ia tertidur. Wajahnya akan basah dan pundak Ye Eun juga akan basah. Hati mereka akan retak. Namun keesokan paginya, mereka akan sama-sama berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Saking takutnya.



**********



Hari-hari berikutnya berlalu tanpa insiden berarti. Ye Eun akan pergi bekerja atau kuliah di pagi hari dan Yuta akan menemaninya. Dia akan menunggu sampai gadis itu selesai lalu menikmati sisa malam mereka dengan jalan-jalan di taman atau cuci mata di mall. Kemudian mereka akan pulang saat hari sudah larut, berendam dalam air hangat dan pergi tidur. Begitu seterusnya.


Hingga akhirnya, Yanan dan Edawn tiba-tiba muncul di ruang tamu mereka pada Selasa malam, menginterupsi permainan Go Stop mereka yang sedang seru-serunya. Ye Eun yang tak tahu harus apa akhirnya mencari film di internet dan menyambungkan laptopnya ke TV. Keempatnya duduk di ruang tengah, menonton dalam diam.


Edawn berbaring nyaman di sofa tunggal dengan selimut di sekeliling tubuhnya. Sementara di seberangnya, Yanan duduk bersedekap dengan wajah tegang, matanya memicing curiga ke sofa yang lain—sofa yang diduduki Ye Eun dan Yuta—alih-alih ke TV. Tak mungkin orang yang tidak sedang jatuh cinta akan melakukan hal seperti itu; terlalu banyak kontak mata, terlalu banyak kontak fisik, terlalu banyak senyuman lembut. Yanan beberapa kali memergoki mereka sedang bergenggaman tangan—dan Yuta akan langsung melepasnya dengan kikuk begitu sadar sedang diperhatikan. Ye Eun juga menciuminya terlalu sering (lengan, bahu, pipi, dagu, punggung tangan, dan semua yang mampu dijangkaunya). Gadis itu nyaris tak bisa duduk diam dan menonton tanpa mengulurkan kepalanya pada Yuta lima menit sekali, menciumnya, lagi dan lagi.


“Hahaha, ya ampun kenapa dia berkilauan begitu?” Tiba-tiba saja Edawn berteriak dan tertawa terbahak-bahak. Ye Eun ikut tertawa. Dan saat itu Yanan baru kembali mengarahkan tatapannya pada TV.


“Dan mereka berpikir ada vampir perempuan,” sambut Yuta, mendengus tak percaya.
“Benar. Itu konyol sekali.” Edawn menyahuti dengan nada yang sama.


Mendengar pembicaraan mereka, Ye Eun mengerutkan keningnya dan berbisik pada Yuta, “Apa yang salah dengan vampir perempuan?”


“Tidak ada yang namanya vampir perempuan,” jawab Yuta tenang.


Kening Ye Eun makin berkerut. “Kenapa?” tanyanya mendesak.


Yuta sesaat tersadar akan jawabannya yang mencurigakan, lalu berdeham dan berusaha untuk tidak terlihat terlalu sok tahu akan kehidupan vampir. “Yah, menurutku tidak ada.”


“Kenapa tidak ada? Jangan seksis, ya! Memangnya cuma laki-laki saja yang boleh keren?”
“Begitu?” Yuta menyeringai. “Menurutmu vampir keren?”
“Tentu saja. Bukankah wajah yang keren adalah salah satu kelebihan vampir?”
“Yeah.” Yuta tersenyum makin lebar. “Benar.”


Mereka sudah masuk ke pertengahan film saat Ye Eun membaringkan kepalanya di pangkuan Yuta. Yuta seperti biasa memainkan rambut sang gadis, sampai Yanan menoleh pada mereka lagi, dan Yuta refleks menarik tangannya, meletakkannya di sekitar mulutnya sendiri dengan canggung. Yanan memicing curiga, tapi Yuta pura-pura tak melihat, pura-pura fokus pada TV walau nyatanya ia tak bisa fokus sama sekali.


Sepuluh menit terlewat dan Yanan akhirnya tak bisa menahan diri lagi. Dengan gerakan tiba-tiba, ia menyambar remot dan menekan tombol power-nya, sontak mengundang teriakan tak terima dari mulut Edawn. “Yah! Apa yang kau lakukan! Itu lagi seru-serunya!”


Yuta yang mulai kembali larut dalam film turut mendecakkan lidahnya. Ia berpaling geram pada Yanan dan seketika saja ekspresi kesalnya melunak. Yanan menatapnya dengan tajam.


“Jadi kapan kau akan melakukan ritual?”


Yuta sontak terbelalak. “Yanan!” tegurnya, mengedikan dagunya ke arah Ye Eun yang berada di pangkuannya.


“Dia tidur,” sahut Yanan bosan.


Yuta menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Ye Eun lalu mendesah. “Oke, tapi tetap saja. Jika kau mau bicara soal ini, biarkan aku memindahkannya ke kamar dulu.” Yuta menyelipkan tangannya di belakang leher dan lutut Ye Eun lalu mengangkat tubuhnya seraya berdiri.


“Itu jelas sekali.”
“Apa?” tanya Yuta, menahan kakinya sebelum melangkah lebih jauh melewati sofa.
“Jantungnya sudah berdetak untukmu,” balas Yanan. “Aku tak mengerti apa lagi yang kau tunggu?”


Yuta tak mampu menjawab. Jadi ia cuma memandang Yanan sekilas lalu kembali melanjutkan langkahnya.


“Apa kau jatuh cinta padanya?” cetus Edawn takut-takut. Yuta bisa merasakan rongga dadanya tersentak. Ia memejamkan mata kuat-kuat, lantas membuka pintu kamar dengan lututnya.


Ye Eun mengerjap dan bicara melantur saat Yuta membaringkannya di ranjang.


“Mau ke mana?” gumam Ye Eun setengah sadar, menarik ujung kaus Yuta sambil menguap.
“Aku segera kembali.”
“Segera.”
“Iya.”


Yuta Lantas kembali ke ruang TV. Yanan kelihatan lebih pucat dibanding sebelum ia meninggalkannya, sementara Edawn sudah mengganti posisi duduknya menjadi lebih serius. Dia memandang Yuta sebentar sebelum mengulang pertanyaannya dengan lebih takut lagi, “Kau jatuh cinta pada Shin Ye Eun?”


Yuta tak langsung menjawab. Selama beberapa saat, ia hanya terdiam sembari meratapi pantulan siluetnya pada layar TV yang mati. “Aku cuma...," Yuta menggerakkan kepalanya asal, "tak mau lagi membunuh.”


“Tapi kau harus melakukannya supaya bisa hidup abadi,” sergah Edawn.
“Itu masalahnya.”
“Apa?”
“Mungkin,” kata Yuta lambat-lambat, “aku tak tertarik lagi untuk hidup abadi.”
“Apa maksudmu?” Kali ini Yanan yang bicara. Wajahnya mengeras bak tanah liat.
“Apa yang kurang jelas dari ucapanku?”
“Yuta, jangan tolol!”
“Aku tidak tolol, maksudku, yeah, selama ini aku memang selalu berpikir bahwa hidup abadi adalah hal yang paling kuinginkan di dunia,” katanya, mendesah, “lalu aku bertemu Shin Ye Eun.”


“Bicara apa kau!” teriak Yanan. Suaranya pecah. “Ya ampun, jangan konyol. Lebih baik sekarang kau pergi ke kamarmu. Isap darahnya sampai mati dan ikutlah dengan kami ke dunia vampir.”


“Aku tak mau dia mati.”
“Kalau begitu, kaulah yang akan mati, berengsek!!”
“Aku tahu,” sela Yuta keras, “dan aku bersedia.”


Edawn mengempaskan punggungnya dengan lemas, kemudian bicara dengan nada tak percaya. “Kau bersedia jadi debu?”


“Ya,” jawab Yuta cepat. Mutlak. “Aku bersedia, maksudku, aku sudah hidup selama empat abad, itu… sudah lebih dari cukup.”


“Kita vampir.” Edawn mengingatkan dengan suara meninggi. “Masa hidup kita 1000 tahun.”
“Aku tahu,” sergah Yuta.
“Ya ampun, jadi kau sungguh jatuh cinta?”
“Bagaimana bisa kau jatuh cinta pada makananmu?” Yanan menimpali, sama tak habis pikirnya.
“Dia pengantinku.”
“Aku tahu asosiasi sangat bodoh karena sudah menyebut ‘makanan’ sebagai ‘pengantin’.” Yanan menggerutu sendiri dengan ekspresi menyalahkan.


“Jadi kau serius? Kau benar-benar mau meninggalkan kami? Demi manusia itu?” Edawn memandangnya dengan bola mata menggelap. Perlahan-lahan ia mengangkat punggungnya dari sofa dan duduk membungkuk. Jemarinya gemetar dan saat Yuta mendongak memandangnya, mata Edawn nampak semakin gelap lagi. Seolah-olah dia bisa pingsan kapan saja. Seolah-olah dia berharap dia pingsan saja.


“Dia punya nama,” tukas Yuta sengit. “Shin Ye Eun.”
“Aku tahu. Tiba-tiba aku membenci nama itu setengah mati,” balas Edawn dengan tatapan dengki. Emosi sudah menguasainya sepenuhnya sampai-sampai sekujur tubuhnya memerah. Di seberangnya, Yanan masih terlihat pucat. Ia menarik napas dan berusaha bicara dengan tenang, nyaris memohon, “Yuta, tolong pikirkan lagi. Jatuh cinta bukan alasan. Kau harus mengorbankan nyawamu demi dia, itu bodoh, gadis itu bahkan tak akan mengingatmu setelahnya. Serius, apa yang kau cari? Kalau persoalannya benar-benar karena kau tak mau lagi membunuh, maka kumohon enyahkan pemikiran itu. Kita vampir. Itu kodrat kita. Percaya padaku apa yang kita lakukan tidak seburuk itu. Maksudku, dia manusia. Apa yang salah dari membunuh manusia? Toh paling tidak lima puluh tahun lagi dia akan mati, kan? Jarang ada manusia yang bisa hidup lebih dari 70 tahun—itu yang kubaca di bukuku. Jadi sungguh, kurasa tak masalah mempercepat kematiannya sedikit.”


“Lima puluh tahun bukan waktu yang sedikit.”
“Itu sekejap mata.”
“Bagi kita, Ya. Tapi baginya, itu keseluruhan hidupnya dikali dua. Dan kau tahu, jika aku bisa menghindarkannya dari kematian barang sedetik saja, maka aku bersumpah akan kulakukan. Ini bukan masalah waktu, Yanan. Ini lebih dari itu. Aku sudah tak mau lagi membunuh.”


“Yuta, kumohon dengarkan aku…”
“Aku tak peduli dengan apa yang mau kau katakan. Aku tak akan berubah pikiran.”
“Benar-benar tolol.” Cacian Yanan terdengar samar di antara giginya yang bergemeretak. Yanan terlihat berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan diri, namun pada akhirnya ia menyerah. Ia menanggalkan raut tenangnya yang palsu dan menggeram pada Yuta, “Jadi katakan padaku, bodoh! Katakan padaku kapan kau akan… tunggu! Mana tanda purnama di tanganmu?” Yanan menyambar pergelangan tangan Yuta dan semakin murka. “Apa-apaan ini?! Kau menutupinya?”


“Aku benci melihatnya.” Yuta menarik tangannya dari Yanan. “Aku tak mau diingatkan setiap hari bahwa kematianku semakin dekat.”


“Ya ampun! Jadi berapa lama lagi?”
“Entahlah? Terakhir kulihat titiknya tinggal dua, itu pun sudah hampir pudar.” Yuta mengangkat bahunya tak acuh. “Mungkin aku hanya punya satu setengah bulan? Atau satu bulan satu minggu?”


“Kapan purnama terakhir?”
“Aku tak tahu.”
“Astaga!” Yanan berteriak.
“Dengar,” desak Yuta tak tahan. “Kalian tak perlu mengkhawatirkanku. Ini murni keputusanku. Bagiku ini adalah cara paling terhormat untuk mati. Aku akan baik-baik saja.”


“Lalu bagaimana dengan kami? Kau pikir kami akan baik-baik saja?” tanya Yanan merana.
“Kalian adalah teman terbaik sepanjang masa, tapi…”
“Tapi manusia sialan itu bahkan lebih baik lagi.” Edawn mengolok. Yuta memandangnya geram, namun tak bisa membalas.


“Yuta, apa kau ingat waktu pencarianku dipotong setengahnya?” tanya Yanan. “Aku melakukannya demi kau. Aku membuat perjanjian besar dengan asosiasi demi kau. Dan sekarang, kau malah menyia-nyiakan pengorbananku.”


“Aku tahu. Maafkan aku. Jika ada cara untuk mengembalikannya, aku bersumpah akan kulakukan. Jika aku bisa mengembalikan waktu pencarian pengantinmu….”


“Kau tak bisa.” Yanan menyambar penuh emosi. “Tidak bisa. Tidak ada caranya.”
“Yanan, aku…”
“Baiklah, terserah padamu,” sela Yanan lagi, berdiri. “Semoga kau bahagia dengan keputusan bodohmu. Aku tak akan pernah ke sini lagi dan aku mohon padamu jangan coba temui aku lagi kecuali kau berubah pikiran,” katanya dingin. Ia memandang Yuta dengan ekspresi terluka sebelum mendesah penuh beban dan menghilang.


Edawn ikut berdiri. Namun ia bahkan tak mau repot-repot memandang Yuta lagi. “Terima kasih banyak, Pengkhianat. Kuharap kematianmu amat menyakitkan,” gumamnya, lantas menghilang menyusul Yanan.


Suasana menjadi amat sunyi setelahnya. Yuta merasa hatinya bergejolak dan hancur berkeping-keping.


Selama beberapa saat pria itu hanya mampu duduk termenung di sofa. Tatapannya nanar. Segalanya masih terasa tak nyata baginya. Persahabatannya yang sudah terjalin selama empat abad baru saja kandas di depan matanya dan ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa.


Yuta tak akan mengorbankan Ye Eun, tentu saja. Perasaannya pada gadis itu sudah mengakar terlalu kuat, tertanam terlalu dalam dan segala apa yang mereka lalui beberapa minggu terakhir ini serta-merta membuat dirinya terperosok makin dalam lagi. Mustahil ia mampu menyakiti Ye Eun alih-alih membunuhnya. Mustahil ia bisa menjalani kehidupannya selama seratus tahun ke depan dengan tenang apabila satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah meminum seluruh darah di tubuh perempuan yang dicintainya. Sungguh, ketimbang itu, ketimbang menghabisi Shin Ye Eun, ia jelas memilih binasa. Ketimbang harus menanggung beban dan penyesalan seumur hidupnya, ia  jelas memilih jadi debu saja.


Yuta memijit keningnya dan memejamkan mata. Dunianya terasa luluh lantak. Seolah kiamat datang lebih awal khusus untuknya.


Sementara Yuta hanyut dalam kesedihannya, tanpa ia sadari, di belakangnya, Ye Eun tengah membekap mulutnya sambil kembali merapatkan pintu kamarnya pelan-pelan. Semua ini sama sekali tidak masuk akal. Ia duduk di sebelah pintu, menekan lututnya ke perut sementara deru napasnya semakin berantakan dan pening di kepalanya semakin menjadi-jadi. Sebenarnya, tak ada satu hal pun yang masuk akal dari Yuta. Dan entah bagaimana, selama ini ia malah diam saja, memilih pura-pura buta.


Pertemuan awal mereka bahkan sudah tidak wajar. Yuta tiba-tiba masuk ke apartemennya tanpa meninggalkan kerusakan di pintu maupun jendela, lalu hilang begitu saja di sana, seolah dia mampu berubah menjadi gumpalan gas dan keluar lewat ventilasi. Belum lagi dirinya yang tak bisa makan-minum dan semua harta kekayaan yang tak jelas sumbernya ini. Yuta bahkan tak punya keluarga.


Sejak awal segalanya sudah amat bertolak belakang dengan akal sehat. Tapi entah bagaimana Ye Eun baru memikirkannya sekarang, tepatnya setelah Edawn mengucapkan ‘kita vampir’ dengan mata membelalak penuh penekanan, serta Yanan yang bilang ‘bagaimana mungkin kau jatuh cinta pada makananmu sendiri’ dengan ekspresi merendahkan bercampur gelisah.


Sekarang, buku aneh super tebal yang ia temukan di belakang vas tempo hari mendadak menjadi tidak aneh lagi. Ye Eun sengaja tidak memberi tahu Yuta soal buku itu karena suatu alasan; karena ia tahu ada sesuatu yang tak beres, tapi terlalu takut untuk mencari tahu. Ia cuma membaca beberapa halaman awal dan langsung menutupnya lagi, menyimpannya di pelosok lemari bajunya di lantai dua, diam-diam berharap ia tak akan pernah memiliki alasan untuk membukanya lagi. Sebab segala yang tertulis di sana amat membingungkan dan tak masuk akal. Sebab semakin ia membacanya, semakin ia merasa dirinya sudah gila.


Selain itu, jika dipikir ke belakang lagi, rasanya semua mimpi buruk yang diterimanya di awal-awal pernikahan mereka mulai masuk akal juga. Mungkin itu bukan sekadar mimpi buruk, mungkin itu gambaran kehidupan Yuta yang sebenarnya, mungkin…


Ceklek


Pintu di sebelahnya tiba-tiba saja terbuka dan Yuta tercenung di ambang pintu.


“Kenapa kau di sini?”


Ye Eun tak bisa membuka mulutnya. Rongga dadanya disesaki oleh gelombang kepanikan dan rasa takut yang menggelora. Yuta menutup pintu dan berlutut di sebelahnya, mengulurkan tangan. Namun Ye Eun malah beringsut menjauh, menolak untuk menyentuh uluran tangannya. Ye Eun benar-benar butuh waktu untuk memproses segalanya, dia butuh waktu untuk terkejut. Otaknya terlalu beku. Tangannya terlalu gemetar. Hatinya terlalu takut. Ye Eun berusaha mengontrol ekspresinya, jika Yuta melihat raut wajahnya sekarang, sudah pasti pria itu akan terluka.


Namun ternyata Yuta tak perlu melihat untuk menyadarinya. Ia menarik tangannya yang terulur itu dengan gerakan menyedihkan dan hendak kembali berdiri, mungkin untuk menyalakan lampu, mungkin untuk meninggalkan kamar, Ye Eun tak tahu dan tak bisa menebak apa yang akan ia lakukan, pun tak bisa melihat bagaimana ekspresinya sekarang. Ruangan itu terlalu gelap. Yang ia tahu, tangannya yang gemetar tiba-tiba saja sudah menjulur meraih lengan Yuta.


“Mau ke mana?” tanyanya lirih.
“Aku bertanya padamu, kenapa kau duduk di sini?” Yuta mengabaikan pertanyaan itu dan kukuh mengulangi pertanyaannya yang tadi.


Tapi Ye Eun juga sama keras kepalanya. “Kau mau ke mana? Jangan ke mana-mana.”


“Aku tidak ke mana-mana.”
“Jangan,” bisik Ye Eun, mencengkeram lengan Yuta lebih kuat, menariknya semakin dekat, “ke mana-mana. Kumohon jangan pergi.”


“Kubilang aku tidak ke mana-mana.”
“Tetap saja.” Ye Eun bergumam, mencondongkan tubuhnya perlahan-lahan ke pelukan Yuta. “Aku merasa kau akan pergi.”


“Tubuhmu gemetar.”
“Bisakah kita tidur?” sambar gadis itu cepat, seraya merapatkan rahang, berusaha menahan tubuhnya supaya berhenti gemetar. “Kumohon, jangan bicara lagi. Aku benar-benar ngantuk.”


Yuta tak bereaksi. Ia mengusap wajah Ye Eun perlahan-lahan sebelum mengangkat tubuhnya. Ia membaringkan sang gadis di tempat tidur dan menunduk untuk mencium keningnya. Bibirnya menyentuh kulit Ye Eun dengan begitu lembut dan hati-hati, seolah ini pertama kalinya mereka bersentuhan. Yuta menarik wajahnya dari Ye Eun dan menyisakan sejengkal jarak untuk menatapnya.


“Seberapa banyak kau mendengarnya?” tanya Yuta rendah.


Ekspresi terkejut terlihat di wajah Ye Eun, bahkan saat ia mencoba menutupi. “Dengar apa?”


Yuta mendengus, membuat ekspresi seolah menyuruhnya berhenti berpura-pura.


Ye Eun menelan ludah. “Tidak banyak.”


“Tidak banyak,” Yuta mengulangi. “Tapi sudah cukup untuk membuatmu sebegini takutnya padaku.”
“Aku tidak takut.”
“Kau tahu siapa aku?”
“Yeah.”
“Siapa aku?”
“Nakamoto Yuta,” Ye Eun bicara dengan suara bergetar yang bahkan lebih rendah dari bisikan, mengulurkan tangannya dengan kaku untuk membelai pipi Yuta, “suamiku.”


“Aku bukan manusia.”


Ye Eun mengangguk rikuh. Dadanya bertalu-talu.


“Kau takut padaku.”
“Kubilang aku tak takut padamu,” Ye Eun berkeras membantah, namun suaranya pecah. Jelas-jelas ketakutan.


“Aku akan pergi dari sini jika kau takut aku akan menyakitimu.”
“Sudah kubilang aku tak takut padamu.”
“Tubuhmu gemetar, kau ragu menyentuhku, dan aku bisa mendengar betapa gaduhnya detak jantungmu.” Yuta bicara terlampau datar, sama sekali tanpa emosi. “Kau takut padaku dan memang seharusnya begitu.”


“Tidak.”
“Ya.”
“Astaga tidak!! Kubilang aku tidak takut!” seru Ye Eun keras. Mendorong Yuta agar menjauh darinya dan bangkit ke posisi duduk.


“Kalau begitu takutlah padaku!” Yuta memohon.
“Kenapa aku harus takut padamu?”
“Aku monster.”
“Kau bukan monster.”


Yuta menggeleng. “Kau tahu apa yang aku minum untuk bertahan hidup?”


Ye Eun seketika merasa mulutnya terpelintir ke dalam.


“Aku minum darah.” Yuta menjawab sendiri. “Darahmu.”
“Kenapa harus darahku?”
“Karena asosiasi sudah memilihmu sebagai pengantinku di abad ini,” jawab Yuta. “Aku hanya minum darah manusia yang ditunjuk sebagai pengantinku, seabad sekali.”


“Kalau begitu minumlah!”
“Shin Ye Eun!” seru Yuta dengan nada menegur.
“Apa? Kenapa? Aku tak masalah. Kau khawatir aku kesakitan? Akan kutahan sakitnya.”
“Apa kau dengar ucapan Yanan tadi?”


Ye Eun mengernyit. Dan Yuta akhirnya mendesah paham. “Pantas kau masih berani padaku.”


Kernyitan di dahi Ye Eun terbentuk semakin dalam lagi. “Apa maksudmu?”


“Lupakan saja! Ini sudah larut. Besok kau kuliah,” kata Yuta sementara ia berjalan menuju pintu.
“Mau ke mana kau?”
“Aku akan tidur di luar.”
“Kenapa?”
“Kau masih mau tidur di sebelahku setelah tahu aku vampir?”
“Tentu saja,” jawab Ye Eun segera. “Maksudku, aku tahu kau tak akan pernah menyakitiku.”
“Siapa bilang?” Yuta tiba-tiba saja menyambar dengan suara tinggi nan tajam, membentak, membuat Ye Eun berjengit. “Aku nyaris melakukannya malam itu, sehari setelah kita pulang dari Jeonnam, di ruang tamu. Jika saja Ji Won tak datang malam itu…” Yuta menghentikan ucapannya. “Lupakan saja.”


“Apa yang akan terjadi jika Ji Won tak datang malam itu?”


Yuta segera berpaling sebelum akhirnya membuka pintu dan keluar sambil menggabrukkannya.


Itu adalah malam yang panjang, dan saat Ye Eun terbangun di pagi hari, ia benar-benar berharap semuanya cuma mimpi. Ia benar-benar berharap Yuta ada di sebelahnya, tidur dengan nyenyak, tak ada hal buruk terjadi, tak ada pertengkaran soal vampir. Ya ampun, kenapa dari sekian banyak hal di dunia ini mereka malah bertengkar soal vampir? Vampir itu tak nyata, kan? Mereka cuma mitos.


Namun saat Ye Eun mengulurkan tangannya ke kasur di sebelahnya, Yuta tak ada di sana. Dia sendirian di kamar dan sesaat memori semalam menusuk otaknya seperti belati. Itu nyata. Semuanya terjadi.


Dengan gelisah, Ye Eun keluar kamar. Ia menemukan Yuta di ruang tengah, duduk membelakanginya mengamati TV yang mati. Tangannya terkulai di kening. Atmosfer tak menyenangkan memenuhi ruangan itu begitu pekatnya sampai-sampai Ye Eun ragu untuk menghampirinya.


Perlahan Ye Eun mendudukkan dirinya di sofa tunggal, dan Yuta sontak menegakkan posisi tubuhnya. Dari wajahnya, Ye Eun cukup yakin bahwa pria itu tidak tidur semalaman. Tentu saja. Justru dirinyalah yang aneh karena masih mampu tidur dalam situasi seperti ini.


Mungkin ini karena kelelahan, tapi saat Ye Eun memandang Yuta, wajahnya kelihatan berbeda. Terlalu banyak guratan putus asa, terlalu banyak ketidakberdayaan. Seolah hidupnya, dunianya, segalanya, sudah tak berwarna lagi, hanya kelabu. Dia kehilangan semua cahaya yang akhir-akhir ini memenuhi wajahnya seperti kunang-kunang. Dia kehilangan kilaunya.


“Bukankah kau harus siap-siap kuliah?”
“Aku sedang tidak ingin kuliah.”
“Jadi langsung ke restoran?”
“Aku juga sedang tidak ingin bekerja.”
“Jadi apa yang mau kau lakukan hari ini?”
“Aku ingin bicara denganmu,” jawab Ye Eun pasti. “Aku ingin mendengar apa yang terjadi, ingin tahu apa yang membuatmu senelangsa ini.”


Yuta mengusap wajahnya terlalu kuat dengan kedua tangannya seolah ingin meratakan wajahnya, kemudian bicara sambil mendengus, “akan lebih baik jika kau tak tahu.”


“Kenapa?”
“Karena kau hanya akan menambah beban masalahku.”


Ye Eun merasakan dadanya mencelos tak terima. “Dan bisa tolong jelaskan kenapa kau menganggapku setidakberguna itu? Karena aku manusia?”


“Bukan itu.”
“Lalu apa?”
“Karena kau pasti akan membantah rencanaku.”
“Rencana apa?”
“Sudah kubilang tidak ada gunanya kau tahu. Toh pada akhirnya kau tak akan mengingat apa-apa.”
“Apa maksudmu?”
“Bisakah kau berhenti bertanya macam-macam? Jangan menanyaiku terus! Aku tidak punya jawaban apa-apa untukmu.”


“Mana mungkin aku tak bertanya?” Aliran darah di sekujur tubuh Ye Eun sontak memanas. Dia berbicara dengan suara bergetar, setengah berbisik, setengah berteriak. “Asal kau tahu aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk nampak baik-baik saja sejak kau menghilang siang itu! Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Sejak hari itu, segalanya berubah. Kau jadi sering melamun dan menangis sendiri saat malam, dan aku sudah bersabar untuk tidak bertanya, sekalipun aku penasaran setengah mati, tapi aku tak pernah bertanya. Sebab aku berpikir aku harus menghormati perasaaanmu. Jadi aku menunggu, aku menunggu sampai kau siap bercerita, tapi kau tak pernah siap! Dan aku tak tahan lagi!”


“Sedikit pun aku tak pernah punya niat untuk menceritakan apa pun padamu,” kata Yuta, pelan dan lugas, namun enggan menatap lawan bicaranya. “Aku cuma mau kita menjalani hidup ini sebahagia mungkin, sampai kita tak bisa hidup lagi.”


Ucapan Yuta membuat Ye Eun berpikir masalah ini—apa pun itu—berhubungan dengan kematian. Cara dia berkata ‘sampai kita tak bisa hidup lagi’ amat mengerikan, suaranya tipis dan penuh duka, seolah ajal salah satu dari mereka—atau malah mereka berdua—sudah sangat dekat.


“Daripada pura-pura bahagia saat tahu badai sedang mendekat, aku lebih senang mempersiapkan diri supaya kita bisa melewati badai itu,” kata Ye Eun tegas. Yuta memandangnya sambil mengatupkan rahang, dia ingin sekali berteriak bahwa yang mendekati mereka bukan sekadar ‘badai’, tak pernah sesederhana ‘badai’. Ini adalah kiamat. Tapi ia menahan mulutnya. Di sisi lain Ye Eun malah terus bicara dengan berapi-api, “Maksudku, kalau kau beri tahu apa masalahnya, aku mungkin bisa bantu. Kenapa kau selalu bersikap seenaknya sendiri? Kenapa kau tak pernah melibatkanku! Kalau kau berpikir kau sedang melindungiku dengan cara ini, maka kau salah besar! Aku tak bisa bahagia. Aku tak bisa bahagia kalau kau sedang menderita. Aku bahkan tak bisa pura-pura.”


Yuta berusaha menahan diri, tapi amarah menguar dari tubuhnya seperti gelombang panas. Dan ia tak bisa menahan buncahan emosi itu lebih lama. “Apa yang membuat makhluk lemah sepertimu berpikir bisa membantu?” Yuta meraung tanpa kendali. “Kalau aku saja tak bisa apa-apa, apalagi kau!”


“Bisakah kau percaya padaku sesekali?” Ye Eun membalasnya tak kalah kesal. “Mungkin aku bisa menemukan solusi, mungkin…”


“Mungkin,” geram Yuta, “akan lebih mudah membuatmu tutup mulut jika kau melihat wujud asliku.”


Ye Eun menatapnya waspada. “Wujud asli?”


Namun Yuta tak lagi menjawab. Ia menatap lawan bicaranya dengan tajam sebelum mendecakkan lidahnya dan memejamkan mata. Yuta jelas tak mau melakukan ini, tapi ia tak punya pilihan lain. Yuta mengembuskan napas tak senang, berpikir mungkin ia akan menyesali keputusannya setelah ini. Tapi biarlah, pikirnya. Yang terjadi biarlah terjadi. Jika pada akhirnya Ye Eun takut padanya dan pergi dari rumah ini, maka mungkin memang itu yang terbaik.


Sambil memikirkan itu, pelan namun pasti, Yuta mulai meruntuhkan kamuflasenya. Ye Eun mengamati Yuta membuka kelopak matanya dengan amat perlahan, memperlihatkan pupil hitam pekatnya berubah menjadi sewarna rubi. Ye Eun yakin ia pernah melihat bola mata itu sebelumnya; saat Yuta memuntahkan makanannya di pinggiran ladang di Jeonnam, saat Yuta murka, saat Yuta menciumi lehernya di ruang tamu. Tapi entah bagaimana ia tak pernah bertanya.


Ye Eun hampir tersenyum dan berkata bahwa bola mata Yuta nampak indah alih-alih seram. Ia ingin bilang bahwa bola mata itu mengingatkannya pada aurora merah di Alaska. Seolah ia sedang menyaksikan langsung bagaimana udara dari matahari bertabrakan keras dengan medan magnet bumi. Yuta begitu menawan. Bola matanya begitu menawan. Tipikal warna merah yang memabukkan. Ye Eun memuji Yuta banyak sekali di kepalanya sampai ia kewalahan sendiri untuk memilih menuturkan pujian yang mana.


Namun detik berikutnya itu tidak penting lagi. Yuta memotongnya duluan, “Kau masih cinta padaku jika wujudku begini?” tanyanya, taringnya yang runcing terlihat saat ia bicara.


Ye Eun tersentak. Ia menggigit bibirnya agar tidak terkesiap. Pandangan matanya turun perlahan-lahan dan ia praktis menelan ludahnya dengan gugup begitu menyadari kuku-kuku Yuta ternyata berubah juga, menjadi hitam dan panjang dan tajam dan luar biasa mengancam. “Kalau pengantinku tidak bisa diam saat aku sedang menjalankan ritual, aku biasa menyayat perut mereka dengan ini,” kata Yuta sembari mengamati jari-jarinya. Suaranya serak dan berbahaya. “Aku akan menancapkan kukuku di usus mereka supaya mereka diam.” Yuta mengetukkan kuku-kukunya di lututnya. “Supaya mereka mati lebih cepat.”


Ye Eun mengamati kuku-kuku itu dan menelan ludah.


“Aku benci dilawan, Shin Ye Eun-ssi,” tambahnya, mengangkat pandangannya pada sang pemilik nama. Mata rubinya berkilat kejam. "Jangan coba-coba melawan."


Ye Eun goyah dalam duduknya. Bohong jika ia masih bilang ia tak takut pada Yuta di situasi seperti ini. Bohong jika taring dan kuku dan suara serak dan penjelasan Yuta barusan tidak membuat bulu kuduknya berdiri. Napas gadis itu langsung berantakan, dan ia memalingkan wajahnya dari Yuta sambil menggigit bibirnya menahan diri.


Melihat itu, hati Yuta mencelos. Ia bisa melihat betapa transparannya rasa takut di mata Ye Eun. Tubuhnya terasa aneh saat menyaksikannya. Yuta mempertahankan raut bengisnya selama beberapa saat sebelum akhirnya menunduk sendiri, menyerah pada hatinya. Sekalipun ia sengaja melakukan ini, tapi jauh di dalam hatinya, Yuta tak mau Ye Eun takut padanya. Ia tak mau Ye Eun meninggalkannya. Tak mau menghabiskan sisa hidupnya sendirian. Itu egois sekali, ia tahu. Tapi sejak awal ia memang sudah begitu. Sudah egois.


Jatuh cinta pada pengantinnya—makanannya, jika ia mau meminjam kosakata Yanan—adalah bentuk penghancuran diri. Yuta tahu itu. Dia tahu konsekuensi mengerikan itu dari awal. Dia tahu pada akhirnya harus ada yang berkorban. Dia tahu pada akhirnya salah satu dari mereka harus mati—dirinya, Yuta sudah memutuskan. Tapi itu tak menghentikannya untuk jatuh cinta, terus jatuh dan jatuh lagi bahkan saat ia sudah menginjak dasar.


Ya, Yuta sudah memutuskan bahwa dirinyalah yang akan mati. Dia sudah memutuskan itu sejak kasir di restoran Ye Eun menyebutkan bahwa dirinya tengah jatuh cinta. Dia tahu apa pun yang terjadi, dia tak akan pernah mengisap seluruh darah di tubuh Ye Eun. Tak mau dan tak mampu. Bagaimana mungkin ia melakukan itu? Bagaimana mungkin ia bisa hidup setelah melakukan itu?


Ya, dulu dia bisa melakukannya, dia bisa membuat pengantinnya jatuh cinta dengan mulus tiap abad dan melakukan ritual di malam pernikahan mereka tanpa masalah, tapi sekarang tidak bisa lagi. Tidak setelah ia dengan magisnya merasakan perasaan terlarang itu. Jatuh cinta. Sesuatu yang begitu kuat dan melekat dan tak bisa dilawan. Sesuatu yang semakin besar dan menggelora dan membuatmu lemah tak berdaya.


Ya, Yuta tahu mencintai Shin Ye Eun adalah bentuk penghancuran diri, tapi dia benar-benar sudah kehilangan kendali. Sudah benar-benar tak tahu diri. Sebab di matanya, hidup abadi tiba-tiba menjadi tidak berarti lagi. Sebab kehidupan tanpa Shin Ye Eun terdengar lebih mengerikan daripada mati.


Tanpa sadar, semua pikiran dan rasa yang berkecamuk itu membuat air matanya mengalir. Yuta benar-benar sudah berada di titik puncaknya. Dia tak mau mati. Ya ampun, sama seperti semua orang, Yuta juga takut mati. Tapi dia juga tak mau Shin Ye Eun yang mati. Apalagi mati karenanya. Dia mau menghentikan waktu dan hidup seperti ini terus selamanya. Tapi itu mustahil. Yuta tahu itu mustahil. Makhluk sepertinya sudah dikutuk. Harga yang harus dibayar untuk keabadian amatlah mahal, yakni keharusan membunuh manusia tak bersalah dan meminum darah. Dan ia ingin berhenti sekarang. Ingin berhenti menjadi makhluk terkutuk yang membunuh manusia dan meminum darah. Dan satu-satunya cara untuk berhenti hanyalah mati. Jadi begitulah keputusannya terbentuk. Yuta takut mati tapi dia memilih mati. Bukan hanya untuk Shin Ye Eun tapi juga untuk dirinya sendiri.


“Y-yuta.” Tubuh Yuta sudah bergetar dalam duduknya, menangis tersendat dengan wajah tenggelam dalam telapak tangannya.


“Pergilah dariku,” gumam Yuta, berusaha terdengar menyeramkan—dan gagal, suaranya terlalu pecah, membuatnya terdengar menyedihkan.


Ye Eun memandangnya dengan sedih, lalu beranjak dari duduknya dan berlutut di hadapan Yuta. Tangannya masih gemetar. Sekujur tubuhnya masih gemetar. Tapi entah keberanian dari mana ia malah mencondongkan badannya dan memeluk lutut Yuta. “Aku harus apa sekarang?”


“Kemasi barangmu dan pergi dari sini!” Yuta mendorong tangan Ye Eun dari lututnya. “Aku tahu kau takut, pergilah! Selamatkan dirimu!”


Ye Eun juga tahu ia takut, tapi anehnya ia sama sekali tak ingin pergi.


“Tidak.” Ye Eun berdiri, menarik bahu Yuta dan memeluknya. “Aku tidak akan ke mana-mana.”
“Jangan bodoh.” Yuta mendorongnya.
“Kau yang jangan bodoh,” hardik Ye Eun, melesakkan diri ke pelukan sang pria lagi. Kali ini memaksa. Ia meletakkan dagunya di pundak Yuta dan mencengkeram bajunya dengan erat, hanya supaya pria itu tidak bisa mendorongnya lagi.


Ye Eun benar-benar gigih memeluknya sampai Yuta akhirnya menyerah. Tangannya terkulai di sisi tubuhnya sementara Ye Eun berbisik, “Aku tidak takut padamu, aku cuma…,” ia mendesah di bahu Yuta, memejamkan mata dan memeluknya lebih erat lagi, “…terkejut.”


Setelah itu ia menarik kepalanya untuk menatap sang pria—yang balik menatapnya dengan mata rubinya yang indah, yang menyedihkan dan putus asa dan tak bercahaya, tapi tetap indah—kemudian berkata, “Yeah, aku cuma terkejut. Kau pikir ada manusia yang akan bereaksi biasa saja melihat suaminya tiba-tiba berubah wujud begini?” Gadis itu berusaha meyakinkan Yuta bahwa ia tidak takut, sekaligus meyakinkan dirinya sendiri bahwa Yuta tidak menakutkan.


“Kau benar, aku mungkin tak bisa membantu, aku mungkin cuma makhluk lemah yang keras kepala. Tapi tolong jelaskan semuanya padaku dan biarkan aku mencoba membantumu mencari jalan keluarnya. Walau pada akhirnya usahaku tak akan berarti apa-apa, walau pada akhirnya semua yang kulakukan akan sia-sia, tapi pasti akan berbeda rasanya jika tahu bahwa setidaknya kita pernah mencoba, kan? Kita tidak pasrah pada keadaan. Kita berusaha melawan. Jika sudah berusaha sekuat tenaga tapi tetap tak bisa, maka apa pun itu, apa pun takdir yang menunggu kita itu, mungkin tak akan terasa terlalu pahit.”


Yuta tak bisa memikirkan bagaimana caranya Ye Eun membantunya, tapi kesungguhan Ye Eun membuatnya mau tak mau menganggukkan kepala.


Setelah itu, Ye Eun baru mengaku bahwa ia menemukan buku Yuta. Ia mengambilnya di lemarinya di lantai dua lalu kembali duduk di sofa sambil membolak-baliknya.


“Jadi satu abad sekali kau harus turun ke bumi untuk mencari manusia yang sudah dipilihkan asosiasi, membuatnya jatuh cinta padamu, menikahinya, lalu meminum darahnya sampai habis. Itu yang kau maksud dengan ritual?”


Yuta mengangguk. Dia sudah kembali ke wujud manusianya, duduk berseberangan dengan Ye Eun, menjawab pertanyaannya tentang vampir sementara gadis itu terus membaca bab demi bab dengan tekun. Menurutnya, tak mungkin buku setebal itu tak memiliki jalan keluar dari masalah mereka.


“Jadi berapa umurmu?” Yuta benar-benar sedang tidak ingin bercanda saat ini, tapi pertanyaan Ye Eun membuatnya tak bisa menahan diri untuk tidak menyeringai.


“Kelihatannya berapa?”


Ye Eun mengangkat pandangannya dari buku. Memicing. “Aku serius. Aku mau tahu sudah berapa kali kau menikah.”


“Ya ampun.”
“Apanya yang ya ampun?”
“Bukankah seharusnya kau bertanya sudah berapa kali aku membunuh?”


Ye Eun terdiam. Ya, pria itu membunuh. Yuta pembunuh, tapi bukankah pembunuhan itu bersifat defensif? Kalau dia tidak membunuh pengantinnya, maka dialah yang akan mati. Ye Eun tahu ia tak boleh membela perbuatan Yuta hanya karena ia mencintainya, jadi gadis itu mendecakkan lidahnya dan menggeleng. “Lupakan saja. Aku tak mau membicarakan itu,” katanya, kembali pada bukunya.


“Kau yang kelima.”


Ye Eun baru membaca satu kalimat dan terpaksa mendongak lagi.


“Kau pengantinku yang kelima,” Yuta mengulangi, lantas menambahkan dengan suara rendah, “dan yang terakhir.”


“Ya Tuhan, kau tua sekali.”
“Benar. Aku sudah hidup terlalu lama.”
“Bukan itu maksudku, sudahlah.”


Lima puluh menit kemudian, Ye Eun menemukan hal menarik di bab ke-113, tentang cara vampir menghasilkan keturunan.


“Vampir yang membuat perjanjian dengan manusia untuk menghasilkan keturunan diwajibkan untuk tinggal di dunia manusia sampai bayi vampir siap untuk hidup di dunia vampir. Sembilan bulan, sebagaimana kehamilan umum manusia, ditambah lima bulan, sebelum bayi vampir bertumbuh menjadi vampir dewasa—HEH? APA! Maksudmu bayinya akan berubah menjadi dewasa hanya dalam lima bulan?”


“Aku tahu. Itu gila,” komentar Yuta santai. Sejak tadi pria itu hanya diam memandangi Ye Eun membolak-balik buku peraturannya, merasa aneh (sekaligus damai) karena akhirnya ia bisa berbagi masalah ini pada seseorang. Seorang manusia.


“Yeah, ya ampun.”
“Kau belum sarapan,” kata Yuta, melirik jam dinding yang sudah hampir menunjuk angka Sembilan.


Namun Ye Eun tidak menghiraukannya, “Tapi mungkin ini solusi untuk masalah kita.”


Yuta tersedak kaget dan langsung menggeleng tegas. “Aku tidak akan punya anak.”


“Kenapa?”
“Aku tidak mau.”
“Tapi ini mungkin satu-satunya cara supaya kita berdua bisa melewati bulan purnama ketiga tanpa harus ada yang berkorban dan mati. Kita akan dapat 14 bulan tambahan, dan mungkin selama itu kita bisa mencari cara untuk menyudahi ritual konyolmu itu. Mungkin kita bisa hidup bahagia selamanya. Sampai kematian yang sesungguhnya memisahkan.”


“Tidak, Shin Ye Eun. Bukan begitu cara kerjanya. Kau pengantinku. Manusia yang dimaksud dalam Pasal ini adalah manusia biasa.” Yuta menekankan. “Kau bukan manusia biasa. Kau sudah ditandai oleh asosiasi.”


“Mungkin sebaiknya kita bertanya dengan yang lebih kompeten soal ini?”
“Apa maksudmu? Aku kurang kompeten? Aku vampir. Itu aturanku.”
“Mungkin kita harus bertanya langsung pada asosiasimu,” kata Ye Eun penuh harap. “Kita tanya pada mereka apa boleh aku membuat perjanjian denganmu untuk mendapat keturunan. Apa boleh….”


“Bahkan jika boleh, aku tak mau,” sela Yuta berang.
“Sebenarnya kau masih ingin hidup denganku atau tidak?”
“Aku mau! Tapi bukan begini caranya!” tukas Yuta. Napasnya menderu. “Aku tak mau punya anak. Apalagi anak vampir. Itu hanya akan menambah satu lagi manusia tak berdosa yang harus dibunuh tiap abadnya. Itu hanya akan menambah beban moral yang kupikul, aku tak mau ada orang lain yang karena perbuatan kita harus menjadi makhluk terkutuk.”


“Baiklah. Aku mengerti." Ye Eun menutup bukunya dengan keras. "Aku akan sarapan.”
“Yeah.”


Dan gadis itu pun berdiri, meletakkan buku super tebal itu di meja dalam lemparan kasar dan berlalu ke dapur.


“Kau mungkin lebih baik berangkat kuliah saja, maksudku….”
“Yeah, aku akan kuliah,” sela Ye Eun cepat. Nadanya terdengar marah, dan tersinggung, mungkin juga terluka. Yuta benar-benar tak tahu. Sejujurnya sebulan ke depan pasti akan terasa sangat aneh bagi mereka. Ye Eun akan lebih waspada, sebab sekarang ia tahu ia hidup bersama monster peminum darah yang siap menghabisinya kapan saja. Yuta juga akan lebih waspada, sebab sekarang ia tahu Ye Eun punya segala alasan untuk pergi darinya.


Dan sesaat Yuta menyesal sudah membiarkan Ye Eun tahu sebanyak ini. Mungkin jika semalam ia hanya berkata, ‘baiklah, izinkan aku meminum darahmu sebulan sekali’ setelah Ye Eun bilang ‘minumlah darahku, aku akan menahan sakitnya’, gadis itu tak akan bersikap seperti ini. Yuta mungkin harus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja sampai sebulan ke depan, berjuang sendiri melawan ketakutannya untuk mati, tapi setidaknya itu lebih baik daripada ini. Lebih baik daripada membuat Ye Eun sengsara bersamanya. Ini tidak adil untuknya.



**********



Waktu berjalan begitu cepatnya sampai rasanya mengerikan. Senin berganti menjadi Senin lagi tanpa mereka sadari. Dan walaupun sebagian besar waktu dihabiskan dengan argumen kosong—Ye Eun akan bilang ia bersedia mati, lalu menghasut Yuta untuk melakukan ritual. Hidupku berantakan sebelum ada kau, katanya, aku tak punya tujuan di dunia ini, kehadiranku cuma membuat bumi semakin sesak saja—namun sebagian yang lain diisi dengan kebahagiaan yang tulus.


Ye Eun mungkin tak pernah berhasil menggoyahkan komitmen Yuta untuk tidak melakukan ritual, tapi ia berhasil meyakinkan pria itu bahwa sebagai pengantin vampir, dirinya memiliki hak untuk merasakan sebagian dari ‘ritual’ tersebut.


Yuta memiringkan kepalanya, menancapkan taringnya lebih dalam ke pangkal leher Ye Eun. Gadis itu mengerang, meletakkan telapak tangannya di belakang kepala Yuta, menekannya lebih dalam ke lehernya sementara bola matanya terasa berputar di balik kelopaknya yang tertutup rapat. Tubuh Yuta terasa begitu hangat di tubuhnya, kulitnya terasa hangat, mulutnya terasa hangat, bibirnya terasa hangat. Segala yang terjadi di detik itu terasa hangat, terasa sensual, panas dan sempurna. Ye Eun bisa merasakan darahnya mengalir deras ke titik di mana mulut Yuta berada, terisap keluar ke rongga mulut Yuta sementara sisanya mengalir melalui bahunya dan menetes di seprai. Yuta akan menancapkan taringnya di bagian yang lain, dan Ye Eun akan merasakan dirinya terempas ke dimensi lain.


“Tunggu, tidak. Ini terlalu banyak.” Yuta tiba-tiba menarik diri. Ye Eun mengerang protes karena perpisahan kontak yang tiba-tiba. Mendadak tubuhnya terasa dingin lagi. Matanya yang merekat erat terpaksa membuka, menyipit menatap Yuta yang menunduk khawatir di atasnya.


“Kau baik-baik saja?”


Ye Eun mengangguk dan mengerang di saat yang sama. Ia mengulurkan tangannya, menarik bahu Yuta tak sabar dan berusaha menciumnya. Tapi hanya dalam dua detik ciuman itu jadi penuh darah. Yuta segera menarik diri lagi.


“Apa yang kau lakukan!” serunya terkejut. “Kubilang jangan coba-coba menciumku jika aku sedang begini.”


Ye Eun tak mampu menjawab. Bibirnya terasa amat perih, dan sekarang, leher, lengan, kaki, serta semua bekas gigitan Yuta tiga minggu belakangan ini tiba-tiba jadi ikut terasa perih lagi.


Yuta yang masih berpakaian lengkap—singlet hitam dan jogger abu-abu—merangkak turun dari ranjang. Ia berjalan ke pintu dan menghilang sebelum membukanya. Ya, dia berteleportasi. Salah satu keuntungan keren dari memiliki suami vampir adalah kemampuan mereka berteleportasi. Ye Eun bisa keliling Eropa dalam semalam jika mau. Bukan bermaksud sombong, tapi makan malam di pinggiran sungai Seine di Perancis setelah membuat sandwich di dapur rumahnya sendiri sudah menjadi rutinitas biasa baginya. Memandangi menara Eiffel dan mengobrol dengan Yuta, lalu berteleportasi kembali ke rumah jika mereka mau ke kamar mandi atau tidur. Ye Eun bahkan baru pulang dari Yunani pagi ini. Hanya untuk lari pagi.


Karena sudah terbiasa dengan segala kesupernaturalan Yuta itu, Ye Eun jelas tak terkejut lagi. Ia mengusap darah di bibirnya lantas kembali membaringkan kepalanya di bantal. Menyelimuti bahunya dan berbaring miring sembari meringis menahan sakit.


Selain menahan sakit, Ye Eun juga harus menahan diri agar tidak pingsan. Pandangan matanya mulai berkunang-kunang dan tubuhnya terasa semakin lemas tiap detiknya. Kegiatan ini benar-benar melelahkan dan menyakitkan, tapi juga membuatnya kecanduan di saat yang sama. Ye Eun akhirnya bisa membayangkan bagaimana pengantin-pengantin Yuta di abad-abad sebelumnya berbaring di ranjang mereka masing-masing, menatap Yuta bergerak anggun di atasnya dan bersedia menyerahkan seluruh jiwa, raga, darah, dan segalanya untuk sang vampir.


Ye Eun yakin Yuta berbohong soal ‘mengoyak perut pengantin yang melawan saat ritual’ dengan kuku jarinya. Yah, mungkin mereka akan terkejut saat Yuta tiba-tiba mengeluarkan taringnya, mengungkap jati dirinya. Ye Eun bisa membayangkan jika mereka melawan pada saat itu. Tapi begitu taring Yuta menancap di kulit mereka, maka tamatlah sudah. Itu adalah kesenangan paling liar yang bisa kau dapatkan di dunia, dan takkan ada manusia di abad mana pun yang cukup delusional untuk menghentikannya. Rasanya seperti diterbangkan ke langit ketujuh. Seolah ada gumpalan gas heroin di kepalamu, membelit otakmu. Kau tak bisa memikirkan apa pun selain kenikmatan mendalam, lesakkan adrenalin, dan gairah yang menggelora. Seolah kau sedang duduk di rollercoaster yang terus naik dan naik sampai meluncur ke angkasa, dan alih-alih berpikir kau mati karena darahmu diisap vampir, mungkin kepalamu yang penuh heroin itu akan mengira kau mati kehabisan oksigen, sebab angkasa luar tak memiliki oksigen.


Saat Ye Eun tengah hanyut dalam pikirannya, meromantisasi kematian para istri Yuta sebelumnya, Yuta tiba-tiba sudah berdiri di depan nakas sambil membawa banyak sekali makanan. Pupilnya sudah berwarna hitam lagi dan taringnya sudah menghilang.


“Ini, kan?” Yuta mengangkat botol obat dari nampannya, “Yang kau bilang bisa menambah darah?”
“Ya.” Ye Eun susah payah mengangkat badannya agar bisa bersandar di kepala ranjang. Yuta menyeret kursi kayu di samping nakas menjadi ke depannya—supaya posisinya lebih dekat dengan ranjang—dan duduk di sana sambil menunduk membuka laci.


“Apa kau mau makan dulu atau mau kuobati dulu?” tanya pria itu seraya mengeluarkan obat merah yang sudah hampir habis dari lacinya. Yuta sudah beli banyak sekali obat merah di apotek sampai membuat penjualnya khawatir. Dan sepertinya dia harus beli lagi.


“Bibirku sa…khit… tapi kurasa aku benar-benar harus, aw makan sesuatu,” kata Ye Eun dalam gumaman tak jelas, buah dari ketidakberdayaannya untuk membuka mulut lebih lebar.


Yuta mengulurkan ibu jarinya untuk membersihkan darah yang kembali menggenang di bibir Ye Eun.


“Bodoh,” gumamnya. “Kenapa kau menginginkan semua ini?”
“Kenapa aku tidak menginginkannya?”
“Ini menyakitkan.”
“Ini menyenangkan.”
“Barusan kau jelas-jelas bilang mulutmu sakit. Dan lukamu yang lain, kau selalu mengeluh padaku tiap terkena air.”


Ye Eun tersenyum meringis. “Yeah, tapi ini juga menyenangkan. Rasa sakitnya sama sekali bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kesenangan yang kudapat.” Perkataannya terdengar sangat salah bahkan di telinganya sendiri, “ya ampun, aku benar-benar terdengar seperti seorang masochist.”


Yuta menyunggingkan senyum miring yang tipis sementara tangannya mengulur mengambil sebilah pisau dan apel merah.


“Kau mau memotongnya untukku?”
“Ya, princess.”
“Kau bisa?”
“Tentu saja. Aku selalu mengamatimu melakukan ini,” katanya sembari mengupas kulit apelnya. Pria itu menggunakan teknik memutar dan ia melirik Ye Eun sembari menyeringai sok, “aku melakukannya dengan benar, kan?”


“Ya,” jawab sang gadis, kemudian melanjutkan dengan khawatir. “Kau yakin tidak apa-apa?”


Yuta yang sedang serius mengupas apel itu mengerutkan kening, namun matanya sama sekali tak beralih. “Maksudmu?”


“Kau bilang makanan manusia berbau busuk.”
“Ya, tapi lama-lama aku terbiasa,” jawabnya santai. Dengan semua keseriusan berlebihan itu, Yuta jadi nampak seolah ia sedang mengukir apelnya ketimbang mengupasnya, tapi Ye Eun tak berkomentar. Gadis itu mengambil sepotong kecil roti pada nampan yang dibawakan Yuta dan memakannya sambil memerhatikan sang pria.


Sebelum mengakui jati dirinya sebagai vampir, Yuta memang sudah selalu bersikap manis, tapi sekarang ia bahkan lebih manis lagi. Rasanya seperti ditenggelamkan dalam sakarin. Setiap kali mereka selesai melakukan ini, Yuta akan menyuapinya makanan dan mengobati lukanya. Lalu begitu Ye Eun akhirnya punya tenaga untuk beranjak dari kasur, pria itu akan mengganti seprai mereka—yang benar-benar terlihat seperti TKP pembunuhan—dengan seprai baru dan menyemprotkan pengharum ruangan di mana-mana. Karena ia tahu walaupun darah beraroma manis di hidungnya, namun bagi Ye Eun baunya tetap anyir dan mengerikan.


Yuta juga selalu menungguinya di kampus. Dia akan duduk di undakan tangga di depan gedung sembari membaca buku aturan asosiasi—pria itu sebetulnya sudah menyerah, namun Ye Eun kukuh memaksanya membaca buku itu sampai habis. Yuta merasa dia mungkin sudah memiliki setengah dari pengetahuan Yanan soal asosiasi dan itu sama sekali tak berguna untuknya, yang beberapa minggu lagi akan mati.


Yuta juga rajin menjemputnya di restoran. Ye Eun akan keluar bersama Ji Won pukul sepuluh malam dan Yuta akan ada di taman. Yuta selalu ada di taman. Lalu mereka akan jalan-jalan di akhir pekan, ke mall, ke hutan kota, ke pantai, ke mana-mana, bersenang-senang. Seolah tak ada hari esok. Dan mungkin memang begitu adanya. Tak ada bulan besok. Semua ini nyaris terasa seakan mereka sedang berusaha menyelesaikan bucket list sebelum tenggat waktunya datang. Sebelum ada yang mati.


Mengerikan rasanya mengetahui fakta bahwa suatu hari di bulan depan, ia akan bangun di kamar yang berbeda dan sepenuhnya tak mengingat Yuta. Ia akan melupakan semua memori indah ini. Takkan pernah tahu bahwa ia pernah tinggal di rumah sebesar kastil, tak pernah tahu ia pernah berteleportasi dari satu Negara ke Negara lain dan mengunjungi setengah bumi hanya dalam seminggu, tak pernah tahu ia mengalami kehidupan seluar biasa ini dan dipaksa begitu saja kembali ke rutinitas membosankannya lagi. Kuliah, kerja, mengeluhkan betapa berantakan hidupnya, tidur, bangun, kuliah lagi, kerja lagi, mengeluh lagi. Dan begitu seterusnya.


“Ya ampun, aku benar-benar mencintaimu,” cetus Ye Eun tanpa ia sadari.


Yuta tersenyum geli padanya sambil menyuapinya potongan apel berbentuk bulan sabit yang jelek. “Aku tahu,” katanya, “aku merasakan cintamu.” Dia tersenyum lebih lebar. “Secara harfiah. Di lidahku.”


Ye Eun ingin bertanya apa rasa darahnya berbeda dengan darah pengantinnya yang sebelumnya, tapi ia sudah terlalu sibuk mengunyah apelnya. Mulutnya terasa ngilu. Ia mengunyah dan meringis. Ia memejamkan mata, menahan sakit. Yuta mencoba mengabaikan itu dan kembali membuat potongan bulan sabit yang lain, tapi ia akhirnya menyerah.


“Oke, aku tak tahan melihatnya.” Yuta meletakkan pisau dan apelnya, menyeret kursinya lebih dekat lagi sementara tangannya mengambil obat merah. “Biar kuobati dulu lukamu.”


“Apa semua pengantinmu cantik?”
“Ya ampun. Mereka sudah tidak ada.”
“Aku tahu, tapi…”
“Shin Ye Eun, serius, tutup mulutmu, aku harus membersihkan lukanya.”
“Aku cuma...”
“Aku bahkan tak ingat wajah mereka.”



************



Ye Eun berusaha mempertahankan sebanyak mungkin ingatannya akan rumah ini, walaupun Yuta berulang kali bilang bahwa itu tidak ada gunanya, bahwa ingatannya itu tak akan berarti apa-apa, bahwa dia akan melupakan segala yang terjadi selama tiga bulan terakhir, termasuk rumah ini.


Yuta memperkirakan bahwa tenggat waktu pelaksanaan ritualnya—bulan purnama ketiga—akan terjadi di hari Sabtu, yang artinya tinggal empat hari lagi.


Rumah mereka akan menghilang saat Yuta menghilang, dan dia tak mau Ye Eun bangun di lahan kosong pada Minggu pagi dengan kondisi super bingung dan sendirian. Jadi ia menggunakan sebagian besar dari uangnya yang tersisa untuk menyewa apartemen lama Ye Eun sampai kiamat. Supaya gadis itu bisa bangun di tempatnya semula—tempat sebelum Yuta hadir di hidupnya—dan supaya ia tak perlu memikirkan biaya sewa lagi saat pria itu sudah tiada. 


Yuta menyuruh Ye Eun untuk menyimpan kuitansinya baik-baik, diam-diam berharap kuitansi itu tidak ikut menghilang saat dirinya mati. Yuta juga meminta Ye Eun untuk menyuruh adik dan orangtuanya menyimpan uang mereka di bank, untuk berjaga-jaga apabila uang itu ikut menghilang juga.


Pasal 823 aturan asosiasi menyebutkan bahwa segala yang dikeluarkan asosiasi vampir akan menghilang dari bumi begitu tugas vampir yang bersangkutan selesai. Yuta membaca Pasal itu berkali-kali sebelum menyimpulkan bahwa kuitansi dan rekening bank bukanlah ‘keluaran’ asosiasi. Mereka produk manusia, dan seharusnya itu tidak ikut menghilang juga. Yuta berharap kesimpulannya ini benar. Mungkin mereka semua akan terkejut melihat berapa banyak nominal yang tertera di rekeningnya, mungkin Ye Eun akan terenyak berpikir sejak kapan ia punya begitu banyak uang hingga sanggup ‘membeli’ apartemen sendiri, tapi Yuta amat percaya akan keistimewaan otak manusia. Biasanya, otak manusia akan secara otomatis menciptakan kemungkinan-kemungkinan alternatif sendiri, mendesak segala sesuatu supaya masuk akal dan mengirim sinyal kepada seluruh tubuh agar memercayainya. Yuta berpikir begitulah cara kerja otak manusia, dan sepertinya itu tidak akan jadi masalah.


Yang jadi masalah adalah apabila Ye Eun membuat semacam buku harian berisi kehidupannya selama tiga bulan ini, akan ada nama Yuta di sana, akan ada pengakuan bahwa ia menikahi vampir, akan ada banyak sekali hal yang, apabila dibaca setelah ingatannya terhapus, akan menjadi cerita yang begitu mengada-ada, yang berpotensi besar membuatnya depresi dan gila. Yuta tak mau Ye Eun gila. Jadi ia memastikan sendiri bahwa gadis itu tak pernah menulis apa pun yang berhubungan dengannya dan menyimpan keberadaan Pasal 823 tersebut untuk dirinya sendiri. Melupakan Yuta sepenuhnya adalah situasi paling aman untuk kesehatan mental Ye Eun di masa depan, dan pria itu bersyukur luar biasa karena Pasal tersebut ditemukan saat gilirannya membaca.


Mereka baru selesai mengosongkan koper dan merapikan apartemen pukul sembilan malam. Ye Eun meletakkan kopernya di atas lemari, lalu melirik Yuta yang tengah duduk di sisi kiri ranjang sambil lanjut membaca aturan asosiasi. Ye Eun merangkak naik dan menyandarkan kepalanya di bahu Yuta.


“Padahal aku sudah tinggal di sini hampir tiga tahun, dan hanya gara-gara melewatkan tiga bulan di rumahmu saja, tiba-tiba tempat ini menjadi asing lagi.” Ia mengamati apartemen itu selagi bicara. Segalanya terasa baru baginya dan satu-satunya hal yang membuatnya merasa sedang di rumah saat ini hanyalah keberadaan Yuta di sisinya.


Yuta menutup bukunya—menyingkirkannya jauh-jauh dari pandangannya untuk menikmati momen rapuh ini—dan berkata, “Mungkin tidak akan terlalu asing kalau aku berdiri di situ sambil bilang ‘menikahlah denganku’.”


Ye Eun tertawa kecil. Namun tawanya terdengar sedih.


“Itu pertama kalinya untuk kita,” tambah Yuta. Suaranya meratap.
“Uh, bukan? Kita pertama bertemu di depan kampusku. Waktu itu kau mengikutiku sampai ke restoran.”
“Aku tahu, tapi di sinilah pertama kalinya kita bicara. Sangat berkesan. Aku yakin aku sudah mengatakannya baik-baik tapi tiba-tiba kau malah…” Yuta membuat gerakan seolah-olah ia mengambil sesuatu di nakas dan melemparnya sekuat tenaga ke hadapan mereka. Lakonnya itu langsung saja disambut gelak tawa oleh Ye Eun. Kali ini tawanya tidak terdengar sedih.


Yuta melanjutkan, “Kau berteriak kencang sekali, lalu keluar membangunkan semua tetangga dan menelepon polisi.”


“Dan kau berteleportasi begitu saja sampai semua orang menuduhku berkhayal.” Ye Eun menimpali.
“Hahaha. Benar. Astaga, itu terdengar kacau sekali jika dibicarakan seperti ini.”
“Ya ampun, apa maksudmu? Itu memang kacau,” Ye Eun meyakini. Ia bicara dengan wajah berseri dan tawa renyah seolah sedang mengingat kenangan manis. Sepenuhnya lupa bahwa malam yang mereka kenang itu sesungguhnya amat mengerikan alih-alih manis.


“Yuta.”
“Apa?”
“Apa kita tak bisa teleportasi ke surga saja? Mungkin asosiasi bodohmu itu takkan bisa menemukan kita di sana.”


“Surga?”
“Ya. Jangan bilang kau tak percaya surga!”
“Tentu aku percaya,” sambutnya mantap. “Tapi aku tak yakin apa surga di bayanganku sama seperti yang ada di bayanganmu.” Ia menunduk pada gadis yang tengah bersandar di bahunya itu dan tersenyum tipis, lantas melanjutkan, “Setiap hari yang kulewati bersamamu, setiap detiknya, bagiku itulah definisi surga. Jika kau mau aku membawamu teleportasi ke surga, maka kita tetap akan berakhir di sini. Karena surgaku ada di sini.”


Ye Eun memutar mata dengan geli.


“Aku serius.” Yuta membela diri. Namun gadis di sebelahnya malah mendecakkan lidah, kemudian merendahkan kepalanya ke lengan Yuta untuk menyembunyikan senyumnya.


“Walau begitu, jika boleh jujur, sebenarnya ada yang kusesalkan dari kebersamaan kita selama ini,” lanjut Yuta dengan helaan napas dibuat-buat.


Ye Eun segera mengangkat kepalanya untuk menatap Yuta. “Apa?” tanyanya waspada.


“Entahlah, aku cuma berpikir ketimbang novel Harry Potter, akan lebih menguntungkan bagi kita jika kau membacakan komik-komik erotismu padaku.”


“Yah! Aku tidak punya yang seperti itu.”
“Kau punya dua lusin di rakmu.”
“Yuta!” Muka Ye Eun serta-merta menjadi merah padam, sementara Yuta malah tertawa cekikikan di sebelahnya.


“Tapi belum terlambat, kok,” kata sang pria setelah menguasai diri. “Mau bacakan untukku?”
“Kubilang aku tidak punya.”
“Ya ampun, princess, kau punya. Kalau kau mau, aku bisa teleportasi ke kamarmu di Jeonnam untuk mengam—YAH! Kenapa kau memukulku betulan? Aku cuma bercanda.” Tangan Ye Eun bergerak dari kepala Yuta ke telinganya, menjewernya sedikit sampai pria itu mengerang sebelum kembali ke posisinya semula, melingkar di perut Yuta, memeluknya.


Yuta menggunakan kekuatan supernaturalnya untuk mematikan lampu dan seketika tak ada cahaya di dalam ruangan. Mereka menggeser tubuh, mencari posisi yang benar dengan bantalnya. Dan selama beberapa saat tak ada yang bicara, keduanya terdiam menikmati keberadaan satu sama lain, membiarkan kelembutan malam sepenuhnya mengambil alih.


“Kalau di kehidupan selanjutnya kita terlahir lagi, semoga kita sama-sama terlahir sebagai manusia,” bisik Ye Eun sembari menyelipkan kakinya di antara kaki Yuta. Kakinya terasa dingin dan kaki Yuta bahkan lebih dingin lagi, tapi itu tak masalah, karena fakta bahwa kaki mereka tengah bertautan, masih bisa bertautan, sudah cukup untuk membuat perasaannya menghangat.


“Kalau di kehidupan selanjutnya kita terlahir lagi, siapa pun kau, aku akan mencarimu dan menikahimu lagi,” balas Yuta, menyorongkan badan untuk memeluk Ye Eun seerat yang ia bisa.


“Siapa pun aku?”
“Yeah.” Lebih erat lagi.
“Bahkan jika aku terlahir jadi kacang almond?”
“Kau bisa terlahir jadi kacang mede, kacang panjang, kacang polong, kacang apa pun, dan aku tetap akan menikahimu.”


Ye Eun tertawa geli. “Itu akan sangat aneh.”


“Aku tahu.” Yuta turut tersenyum. Ia mencondongkan wajahnya untuk mencium kening Ye Eun. “Please lahir jadi manusia saja.”


Ye Eun balas menciumnya. “Kuusahakan.”



*********



Itu malam yang indah. Nuansa kamar yang baru, percakapan sebelum tidur yang rapuh, serta suara-suara malam yang terdengar lebih jelas membuat hati Yuta tenteram. Untuk sesaat ia mengira ia bisa menghabiskan sisa malamnya persis seperti itu, sampai akhirnya hari Jumat tiba dan Ye Eun benar-benar menggila. Gadis itu tak terkontrol. Ia menjerit, menangis, meraung dan mengguncang tubuh Yuta, memaksanya melakukan ritual seperti orang kesetanan. Ia bergelung di lantai sambil memosisikan gunting menuding di perutnya dan mengancam akan bunuh diri. ‘Kalau kau mati, aku juga akan mati’. Ye Eun benar-benar kesurupan malam itu dan rasanya masih seperti mimpi bagaimana Yuta pada akhirnya mampu menenangkannya. ‘Bukan malam ini,’ katanya, memeluk Ye Eun dan membisikkan hal-hal yang membuatnya tenang, hal-hal yang ingin ia dengar, lalu menggiringnya menuju alam mimpi. Itu hari yang melelahkan bagi Yuta dan ia tak yakin dirinya mampu melewati hari esok—karena besok adalah harinya, dan ia yakin Ye Eun akan lebih tak terkontrol lagi.


Dan benar saja. Ye Eun benar-benar di luar kendali. Dia berteriak ‘aku tak mau kau mati’ dan Yuta balas berteriak ‘ini juga bukan mauku’ dan mereka saling meneriakkan omong kosong seolah itu akan mengubah apa pun.


Malam semakin larut dan Yuta akhirnya meneleportasi Ye Eun bersamanya ke rumah Ji Won. Jika Yuta tak bisa menangani Ye Eun dalam kondisi ini, ia berharap Ji Won bisa.


“Tunggu, memangnya kau mau ke mana?” tanya Ji Won bingung setelah Yuta menyerahkan Ye Eun yang benar-benar berantakan dan hilang akal ke sisinya.


“Tempat yang jauh.”
“Sampai kapan?”
“Aku tak tahu,” desah Yuta. “Pokoknya apa pun yang terjadi tolong awasi Ye Eun. Jauhkan dia dari benda tajam dan jangan biarkan dia pulang ke apartemennya dulu.”


“Ya ampun, sebenarnya ada apa sih? Kau membuatku takut.”
“Aku tak bisa menjelaskannya.” Yuta lalu mengeluarkan dompet dari saku belakang jinsnya dan tanpa basa-basi langsung memberikannya pada Ji Won. “Aku sudah tak membutuhkan ini.”


“Huh?”
“Kau harus menyetorkan semua uang di dalam sana ke rekeningmu sebelum tengah malam.”
“Ke rekeningku?” ulang Ji Won tak mengerti. “Uangnya untukku?”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Karena aku memberikannya padamu.”
“Tapi…”
“Moon Ji Won, terima kasih banyak. Tapi aku tak punya waktu lagi. Aku harus pergi,” kata Yuta genting. Kemudian ia mengucapkan selamat tinggal pada Ye Eun dan benar-benar pergi.


Yuta tak mengira pertemuan terakhirnya dengan Shin Ye Eun akan terjadi seperti itu, tapi memang begitulah akhirnya. Ia kembali ke apartemen dan mengganti bajunya dengan kemeja salmon yang dibelikan Ye Eun di Jeonnam. Ia mencuci rambutnya, menyisirnya rapi ke belakang, lalu duduk di ujung ranjang dengan gelisah.


Yuta tak tahu bagaimana sikap yang tepat untuk menghadapi kematian. Ini pertama kalinya ia menjadi debu. Semakin lama menunggu, rasa takutnya menjadi semakin brutal. Ia membayangkan tubuhnya dirobek paksa dari dalam dan akan terus dirobek-robek lagi sampai seukuran partikel debu. Ia membayangkan semua itu dan merasakan tangannya mulai gemetar.


Pada akhirnya, Yuta memilih membaringkan diri di ranjang dan memaksa tubuhnya untuk tidur, berharap dengan begitu rasa sakitnya lebih bisa ia tolerir, atau mungkin, jika beruntung, ia bisa saja tidak merasakan apa-apa sama sekali.


11.50 PM. Yuta tertidur, dan ia kira ia tak akan bangun lagi.


Namun dia salah.


09.02 AM.


Yuta bangun seperti biasa sebelum tersadar bahwa seharusnya ia sudah menjadi debu.


Satu-satunya alasan yang tepat untuk kejadian ini adalah perkiraan waktunya meleset. Kemungkinan bulan purnama tersebut baru akan terjadi malam ini. Atau lusa, jika alam sedang baik-baiknya, namun ia meragukan hal itu.


Yuta mondar-mandir di samping ranjang, menimbang apa ia harus menemui Ye Eun lagi atau berdiam diri saja di sini, menunggu ajalnya tiba. Ia berpikir selama berjam-jam sebelum hatinya mendobrak semua pikiran yang berkecamuk itu. Yuta akhirnya tersadar bukan Shin Ye Eun lah yang seharusnya dia temui. Hidupnya tidak berputar hanya untuk gadis itu. Ada yang lain, yang tak kalah penting.


Menjelang siang, Yuta berteleportasi ke rumah Ji Won untuk mengecek keadaan Ye Eun. Gadis itu tertidur di ruang tengah dengan raut getir dan jejak air mata di seluruh wajahnya. Ji Won menghampirinya sepuluh menit kemudian di teras dengan wajah lelah. Ia meminta maaf kepada Yuta karena terpaksa harus mencekoki obat tidur pada Ye Eun pagi ini—dia tak mau tidur, katanya, aku tak punya pilihan lain. Dan dia bilang, karena obat itu, mungkin Ye Eun akan tertidur seharian. Itu artinya Yuta tak bisa mengucapkan sepatah kata pun pada Ye Eun lagi. Kemarin adalah yang terakhir. Yuta mengangguk pada Ji Won dan berterima kasih padanya sebelum pergi.


Setelah menemukan tempat tersembunyi untuk teleportasi, Yuta tak membuang-buang waktu dan segera menghilang ke dunia vampir. Ia harus mencari Edawn dan Yanan. Yuta akan meminta maaf pada mereka, lagi dan lagi, sampai mulutnya tak bisa bicara lagi. Bukan masalah jika pada akhirnya ia tidak dimaafkan, Yuta cuma mau minta maaf, dia butuh minta maaf. Supaya matinya lebih tenang. Atau mungkin, Yuta sejujurnya cuma ingin melihat mereka lagi. Untuk terakhir kali.


Yuta tak butuh waktu lama untuk menemukan Edawn.


“Hei.”


Edawn terkejut sekali melihat Yuta sebelum ragu-ragu menjawabnya. “Hei.”


“Jadi bagaimana kabarmu?” tanya Yuta rikuh.
“Sejak kapan kau peduli kabarku? Bersikaplah seperti dirimu sendiri! Malah canggung kalau begini.”
“Yeah, benar.”
“Jadi,” katanya, “ada apa?”
“Aku mau menemuimu.”
“Untuk?”
“Minta maaf padamu.”
“Kau tahu, aku tak butuh itu,” kata Edawn muak. “Maksudku, pada akhirnya ini hidupmu. Kau bisa memilih untuk mentransplantasi otakmu dengan otak monyet dan aku tak bisa berbuat apa-apa.”


“Bisakah kita bicara serius?”
“Aku serius,” Edawn menyahut. “Kau tak perlu minta maaf padaku. Seberapa pun bodohnya keputusanmu di telingaku, pada akhirnya sebagai teman aku harus menghargainya.”


Edawn terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali bicara, “Jadi kapan kau akan jadi debu?” tanyanya, berusaha terdengar kasual, seolah itu bukan masalah. Seolah Yuta hanya akan jadi debu dalam sehari, dan besoknya mereka akan bertemu lagi. Seolah itu adalah fase temporer.


“Malam ini.” Yuta menoleh ke langit yang mulai gelap, lalu menggeleng, “Entahlah, beberapa jam lagi.”
“Beberapa jam lagi?”
“Ya, lebih mudah jika aku tak menghitung berapa waktu yang kupunya.”
“Kau tak akan ke dunia manusia lagi?”


Yuta menggeleng. “Aku ingin mati di habitatku sendiri.”


“Lalu bagaimana dengan Shin Ye Eun?”
“Sudah kutitipkan pada Ji Won.”


Edawn mengangguk tipis. Ia memandang Yuta dengan ekspresi syok yang masih terlihat jelas walau sudah berusaha ia tutupi. “Ini benar-benar terjadi. Wah.”


“Aku tahu.” Yuta mengangkat bahu. “Wah.”
“Jadi intinya kau ke sini untuk mengucapkan selamat tinggal?”


Yuta tak langsung menjawab. Ia memberi jeda selama beberapa saat sebelum menghela napas dan mengangguk dramatis. Dan saat itu tiba-tiba saja seseorang menyeruak di antara mereka dan menjerit, “IKUT AKU KE PERPUSTAKAAN!”


Yuta dan Edawn bahkan tidak sempat berkedip dan mereka sudah dibawa berteleportasi ke sebuah meja bundar paling tersembunyi di perpustakaan dunia vampir. Pelakunya tidak lain tidak bukan adalah Yanan.


“Wah, kau masih hidup ternyata,” sindir Edawn, mendecakkan lidahnya. “Susah sekali menemuimu akhir-akhir ini.”


“Maafkan aku. Aku berusaha mencari jalan keluar untuk Yuta, oke?”
“Astaga.” Yuta mengerang. “Dengar, aku berterima kasih kau mau repot-repot memikirkanku. Tapi kau tahu itu tak ada gunanya, kan? Kita semua tahu kalau masalahku tidak memiliki solu….”


“Aku menemukannya,” sela Yanan.


Yuta dan Edawn terperanjat.


“Kau ingin hidup bersama nona pengantin, kan?” tanya Yanan.


Yuta mengangguk tanpa ragu.


“Kau tak mungkin bisa bersamanya sebagai vampir, kau tahu itu?” Yuta mengangguk lagi, kali ini lebih pelan, lebih waspada. Yanan melanjutkan, “tapi aku yakin akan ada jalan untuk bersamanya jika kau adalah manusia.”


“Ew.” Edawn mengernyitkan hidungnya dengan jijik. “Hanya vampir sakit jiwa yang mau menukarkan kehidupan sehebat ini dengan…”


“Aku bisa jadi manusia?” Yuta menyela penuh harap.
“Kau mau jadi manusia?” Edawn menjerit melengking, tapi tak ada yang mendengarkannya. Yanan menjawab pertanyaan Yuta bahwa ia bisa jadi manusia, lalu berdiri mengambi buku kuno bersampul kulit lembu, tebalnya dua kali lipat dari buku aturan asosiasi. Jika buku itu digunakan untuk memukul orang, mungkin yang dipukul akan langsung gegar otak. Yanan meletakkan buku itu di tengah-tengah meja sampai membuat meja mereka bergetar. Edawn yang penasaran langsung menarik buku itu ke sisinya dan membalik halamannya. Halaman pertama kosong. Edawn membalik halaman berikutnya. Kosong. Lalu melompat ke halaman di tengah. Ke halaman akhir. Kosong. Kosong.


“Sialan, apa ini lelucon?” umpatnya.
“Wah.” Namun Yanan malah melotot takjub memandang buku itu. “Jadi itu benar?”
“Apanya?”
“Hanya aku yang bisa membacanya.”
“Huh?”
“Di sini tertulis, buku ini hanya bisa dibaca oleh para vampir yang pernah membuat perjanjian dengan asosiasi.” Yanan menoleh awas ke sekelilingnya sebelum mendekatkan wajahnya ke tengah meja dan melanjutkan dengan suara rendah. “Ini buku terlarang. Vampir generasi pertama yang membuatnya. Ribuan tahun lalu. Seluruh isinya dibuat dengan tulisan tangan klasik dan ejaan lama. Aku yakin dia membuat ini sebagai pedoman bagi mereka yang cukup bodoh karena sudah berani-beraninya membuat perjanjian dengan asosiasi—vampir sepertiku.”


Yuta langsung membuat ekspresi menyesal dan hendak meminta maaf (lagi), namun Yanan langsung menggeleng, menolak mentah-mentah permintaan maafnya bahkan sebelum kata maaf itu ditutur. “Tidak. Aku tidak menyesal sudah membuat perjanjian dengan mereka. Kalian tak mengerti. Buku ini luar biasa. Kau tak perlu khawatir lagi dengan waktu pencarian pengantinku. Asal ada buku ini, aku yakin aku bisa melaksanakan ritual dengan mudah.”


Yuta dan Edawn menatapnya skeptis. Menjadi satu-satunya di antara mereka bertiga yang bisa membaca buku itu saja sudah aneh, Yanan bisa saja berbohong, dan mereka berdua tidak akan tahu. Kedua pria itu berpandangan, saling bertanya dalam hati apa mereka bisa memercayai ucapan Yanan.


Melihat itu, Yanan mendecakkan lidahnya. “Aku bersumpah aku tidak bohong.”


“Sekalipun kau tidak bohong, apa kau yakin buku itu bukan lelucon? Mungkin pengarangnya tidak waras.”


“Dan dia membuat hampir sepuluh ribu halaman untuk membuktikan ketidakwarasannya? Yeah, terdengar sangat tidak waras di telingaku,” sindir Yanan.


Muka Edawn makin skeptis lagi. “Itulah persis yang dilakukan orang-orang tidak waras. Apa dia tak punya kehidupan?”


“Oke, aku tak peduli kalian mau percaya atau tidak. Tapi kalau aku jadi kau,” Yanan mengarahkan pandangannya pada Yuta, “aku akan melakukannya. Toh kau tak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, kan? Kalau buku ini ternyata cuma lelucon, kau sudah memutuskan untuk mati malam ini, tidak akan ada yang berbeda. Tapi jika buku ini benar, kau bisa bangun besok pagi di dunia manusia. Menjadi manusia.”


“Yeah, aku tahu,” kata Yuta. “Jadi apa yang harus kulakukan supaya jadi manusia?”
“Kau sungguh mau jadi manusia?” Muka Edawn berubah menjadi merah jambu saking jijiknya.
“Ya. Aku akan melakukan apa pun jika itu artinya aku bisa hidup dengan Ye Eun.”
“Benar-benar sakit jiwa,” caci Edawn. “Bahkan menjadi debu pun jauh lebih terhormat daripada menghabiskan sisa hidupmu menjadi manusia.”


“Aku tahu,” balas Yuta sengit. “Bukankah beberapa menit yang lalu kau bilang sesuatu soal menghargai keputusanku? Jadi tutup mulutmu! Ini keputusanku.”


“Tapi keputusanmu sekarang sudah berbeda lagi. Mungkin aku akan lebih senang melihatmu jadi debu.”
“Kau serius?” sahut Yuta tak percaya. “Hidup lebih baik dari mati.”
“Huh? Kenapa begitu? Apa kau takut mati?”
“Tentu saja.”


Edawn memutar bola matanya tak habis pikir. “Jadi kau takut mati dan menawarkan dirimu sendiri untuk mati? Hebat sekali manusia itu bisa membuatmu berkorban sebesar ini.”


“Kukira aku sudah memberitahumu bahwa aku mencintainya?”
“Lalu?”
“Jelas kau tak mengerti. Kau tak pernah jatuh cinta.”
“Yeah, aku tak sebodoh itu sampai jatuh cinta pada manusia.”
“Bukan itu poinnya.”
“Aku bahkan tak mau tahu apa poinmu. Aku cuma mengira kau sudah sebegitu angkuhnya sampai tak takut mati.”


Sementara itu, Yanan menemukan halaman yang dicarinya dan mulai membaca. “Vampir yang ingin menjadi manusia harus mendatangi asosiasi dan menyebutkan kata kuncinya. ‘a vita eterna ùn hè micca per mè. Lalu menjelaskan secara garis besar apa alasanmu ingin menjadi manusia.”


“Apa artinya kata kunci itu?”
“Aku tak tahu.”
“Bagaimana mungkin aku mengucapkan sesuatu yang tak kumengerti?”
“Ini bukan saatnya untuk mendebat. Turuti saja apa kata buku ini.”


Yuta tak punya pilihan lain selain mengangguk. “Baiklah. Hanya itu?”


“Bagaimana menurutmu?”
“Asosiasi tidak bekerja seperti jin lampu ajaib. Mereka tak mungkin mengabulkan keinginanku begitu saja.”


“Benar.”
“Jadi apa yang harus kuberikan?”


Yanan membaca tulisan di baris terakhir dengan napas tertahan, “Segalanya.”


“Apa maksudnya?”
“Aku tak tahu,” katanya putus asa. Ia memandangi lembaran itu dan menggeleng gusar, “tak ada penjelasan apa pun soal itu. Maafkan aku.”


“Itu gila,” gumam Edawn. “Apa maksudnya segalanya?”
“Sudah kubilang aku tak tahu. Aku baru menemukan buku ini satu jam yang lalu. Aku belum membaca semuanya. Tapi pasti ada penjelasannya, di antara ribuan halaman ini. Jika kau mau menunggu, aku akan…”


“Hidungku berdarah,” sela Yuta. Suaranya cuma berupa gumaman pelan. Namun masih bisa didengar oleh kedua orang di sebelahnya. Mereka menoleh serentak kepada Yuta dan praktis terbelalak.


“Astaga. Jam berapa ini?” tanyan Yanan genting.
“Aku yakin sudah hampir tengah malam.” Yuta mengangkat bahunya. Berusaha menyumbat hidungnya. “Aku tak punya waktu lagi. Bisa kau tolong ulangi itu?” pinta Yuta sembari berdiri.


Yanan mengikuti gerakan Yuta dengan matanya. “Ulangi apa?”


Hidung Yuta terus mengeluarkan darah. “Apa yang harus kuucapkan di depan asosiasi jika mau jadi manusia?”


“Ah, benar. Maaf.” Yanan membaca tulisan di bukunya lagi. “a vita eterna ùn hè micca per mè.”


Yuta menggumamkan kalimat itu di balik napasnya, berusaha mengingatnya, tapi kepalanya mulai pening, dan ia tak yakin apa sakit di kepalanya itu timbul karena kalimat tersebut terlalu asing dan sulit diingat atau karena perubahan menjadi debunya sudah dimulai. “Bahasa apa sih itu? Kenapa susah sekali?” keluhnya.


“Aku juga tak tahu,” kata Yanan. Menoleh pada bukunya lagi dan berusaha mencari artinya. Namun nihil.


Saat itu, Edawn tiba-tiba menyeruak berdiri sambil mencengkeram tangan mereka berdua. “Itu tidak susah. Kau bisa mengingatnya. Ucapkan keras-keras setelah aku. a vita eterna ùn hè micca per mè.”


a vita eterna ùn hè micca per mè,” gumam Yuta.
“Bagus. Lebih baik kita teleportasi ke gedung asosiasi sekarang,” balas Edawn, lantas tanpa menunggu persetujuan, ia membawa mereka berteleportasi ke sana. Ya, Edawn memang selalu bergurau soal ‘tak sabar melihat Yuta jadi debu’, tapi saat itu benar-benar terjadi, terlebih di depan matanya, ia merasa hatinya dihujam oleh seribu belati. Edawn pada akhirnya setuju, Yuta benar, bagaimanapun hidup jauh lebih baik dari mati. Bahkan hidup sebagai manusia yang ia anggap hina sekalipun jauh lebih baik dari mati. Ia benar-benar tak tega melihat Yuta menguap jadi debu dengan proses pendarahan hebat yang menyakitkan. Dia sudah pernah melihat seorang vampir menjadi debu dan membayangkan Yuta melewati fase itu membuat air mata menggenang di pelupuknya tanpa sepengetahuannya.


Mereka berteleportasi ke pintu utama gedung asosiasi. Pintu raksasa super besar, megah dan tinggi dengan kenop berbentuk taring yang terbuat dari zamrud. Gedung asosiasi selalu diselimuti awan hitam yang senantiasa nampak mendung seolah ingin hujan. Mereka berdiri di sana, memerhatikan Yuta yang sudah semakin kacau.


a vita eterna ùn hè micca per mè,” gumam Edawn kepada Yuta. Yanan langsung menoleh padanya dengan kagum.


“Aku mengingatnya. Terima kasih,” kata Yuta sembari mengangguk pada pria berkulit pucat itu. Ia menoleh pada pintu raksasa di depannya dan menghela napas. Inilah waktunya.


“Apa pun yang terjadi setelah ini, kuharap tidak akan ada penyesalan.” Yanan menepuk pundaknya.
“Yeah, apa pun yang terjadi setelah ini, jika itu artinya kehidupan yang baru, aku harap kau bisa jaga diri tanpa kami,” timpal Edawn. “Aku yakin buku itu benar. Kau tak akan jadi debu, kau akan jadi manusia. Dan kuharap di tempat barumu itu, kau akan mendapat teman yang lebih baik dari kami, dari aku, tepatnya. Maaf sudah menjadi teman yang buruk.” Muka Edawn berwarna merah jambu lagi, dan kali ini bukan karena ia sedang jijik. Kulit wajah pria itu benar-benar pucat sampai seluruh emosinya nampak transparan. Dan sekarang Yuta bisa melihat bahwa temannya itu sedang amat panik, sedih dan tak tega. Dan hatinya praktis serasa ngilu.


Darah mengalir terus-menerus dari hidung Yuta sekeras apa pun ia menyumbatnya. “Dengar,” katanya, suaranya bergetar, dan ia tersengal-sengal saat melanjutkan. “Aku tak tahu bagaimana caranya berterima kasih. Kalian adalah hal terbaik yang kupunya di dunia ini.”


Yuta melihat Edawn yang semakin merah jambu dan tak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Ia bahkan tak menangis saat mengucapkan selamat tinggal pada Ye Eun, tapi ia malah menangis di sini. “Aku tak tahu apa jadinya aku tanpa kalian. Aku bisa saja berjalan mengelilingi bumi dan aku bersumpah, tak akan ada teman yang lebih baik dari kalian. Aku…ya ampun, aku…benar-benar minta maaf.”


Yuta mencengkeram dadanya, dan nyaris bersimpuh saat ia menangis.


Edawn yang sejak tadi menahan-nahan air matanya pada akhirnya ikut menangis.


Melihat itu, Yanan menarik mereka berdua ke dalam rangkulan besar. Mereka bertahan dalam posisi itu sementara Yanan terus berkata bahwa ‘ini bukan akhir’, bahwa ‘kau tak akan mati’ dan Edawn terus berkata bahwa ‘kami akan sering mengunjungimu di bumi’ serta ‘hidup bahagialah dengan Shin Ye Eun’ secara berulang-ulang. Sampai akhirnya bunyi nyaring terdengar dari pintu raksasa di belakang mereka. Pintu itu berderit membuka, menandakan asosiasi sudah siap untuk bicara.


Ketiga pria itu terpaksa melepaskan diri satu sama lain dan menghapus air mata masing-masing sambil mengeluarkan ekspresi sok tabah.


“Andai ada cara untuk membalas…”
“Berengsek! Kenapa kau hobi sekali bicara? Cepat masuk ke dalam!” Edawn membentak. Hidungnya semakin merah lagi dan ia menyedot ingusnya dengan sangat tidak keren sebelum mengusapnya dengan punggung tangan.


“Selamat tinggal,” kata Yanan.


Yuta melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam. Pintu itu bergerak menutup.


“Selamat tinggal,” balas Yuta dari celah kecil.
“Selamat tinggal apanya! Dasar berengsek!” Edawn masih bisa-bisanya mencaci. “Katakan sampai jumpa!”


Dan pintu pun tertutup.



**********



Rupanya yang benar memang selamat tinggal.


Selagi Yuta berjalan menuju bagian tengah aula pertemuan, obor-obor berwarna hijau lumut yang temaram menyala tiba-tiba di kanan kirinya. Ini bukan kali pertama Yuta mendatangi asosiasi. Tapi ini kali pertama ia berjalan di altar tersebut dengan hidung berdarah dan kepala yang serasa terbelah. Kondisinya tersebut membuat aula itu terasa lebih besar dari yang semestinya, membuatnya harus berjalan lebih jauh, mengeluarkan tenaga lebih keras. Yuta merasa ini pasti sudah benar-benar tengah malam—mungkin hanya beberapa menit sebelum tengah malam—dan tubuhnya sudah terasa tidak kokoh lagi. Seolah sudah ada partikel, atom-atom, serpihan bintangnya yang menghilang.


Setelah berjalan kira-kira dua puluh meter, Yuta akhirnya sampai persis di tengah aula. Ia berdiri di atas podium berbentuk setengah lingkaran dan menyebut namanya.


“Nakamoto Yuta, ingin bicara dengan majelis asosiasi,” katanya sekeras yang ia mampu. Tenggorokannya terasa terbakar dan saat ia hendak bicara lagi, cahaya menyilaukan dari lampu sorot jatuh tepat di podiumnya, di atas kepalanya, menyinarinya dengan cahaya kelewat terang yang terasa panas di kulitnya.


Walaupun podiumnya terang benderang, namun sekelilingnya gelap. Yuta tak bisa melihat apa pun kecuali warna hitam di mana-mana, seolah-olah dia sedang sendiri. Yang mampu terlihat di antara kegelapan itu hanyalah titik-titik merah dari mata kelelawar yang bergantung terbalik pada tiang di langit-langit.


Sesuai petunjuk Yanan, Yuta menyebutkan kata kunci untuk menjadi manusia dan alasannya memilih keputusan itu.


a vita eterna ùn hè micca per mè,


Yuta bisa merasakan beberapa pasang mata menyorotnya tajam walau ia tak bisa melihat apa pun sama sekali.


Dia lantas melanjutkan, “Aku ingin jadi manusia karena aku jatuh cinta pada seorang wanita dari kaum mereka. Aku ingin menjadi manusia untuk hidup bersamanya. Aku ingin jadi manusia karena…” Napas Yuta tercekat sedikit, menahan sakit, “…karena aku tak mau jadi debu seperti ini. Ya, aku tahu, ini sifat pecundang, aku sedang berusaha menghindari takdirku untuk mati, tapi…”


Kau tak bisa menyebut sesuatu yang kau pilih sendiri sebagai takdir.


Tiba-tiba muncul suara lembut yang menggema di seluruh ruangan. Entah dari mana.


Kau memilih untuk tidak melaksanakan ritual. Dengan kata lain, kaulah yang memilih untuk mati. Itu bukan takdir. Jangan bicara sembarangan soal takdir. Takdir adalah sesuatu yang mutlak. Sementara ini, ini adalah pilihanmu, keputusanmu.


Yuta terdiam sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. Setuju. “Benar. Maafkan aku,” katanya dengan suara rendah yang sopan. Berharap semua sikap hormatnya ini bisa memudahkannya untuk membujuk asosiasi. “Dan jika aku masih diizinkan untuk memilih, untuk menentukan keputusanku, maka aku memilih untuk menjadi manusia.”


Kau tahu apa yang harus kau bayar untuk itu?


“Ya,” sahut Yuta takzim. “Segalanya.”


Suara lembut itu berubah jadi lebih besar saat ia tertawa, lalu mengakhirinya dengan dengusan mencemooh.


Dan kau siap kehilangan segalanya?


Setelah mendengar pertanyaan itu, Yuta bisa merasakan telapak tangannya menjadi semakin basah. Awalnya ia berpikir itu hanya keringat. Namun saat ia mengangkat kedua tangannya, ternyata darah segar sudah mulai merembes lewat pori-porinya.


Lihat dirimu! Kau tak punya waktu lagi. Sekarang jawab pertanyaan ini, apa kau siap kehilangan segalanya?


Yuta jelas tak memiliki kesempatan lagi untuk berpikir, jadi ia langsung mengangguk. “Aku siap,” jawabnya, lantas menelan ludah. Suaranya keluar lebih pelan dari yang ia harapkan, namun untungnya cukup keras untuk bisa didengar di ruangan sesunyi itu.


Kalau kau siap dengan konsekuensinya, maka terjadilah.


Tepat saat suara itu terdengar, Yuta merasakan tulang-tulang di kakinya rontok dan ia jatuh terjerembab. Kepalanya tersungkur keras membentur lantai podium dan ia tak bisa mengangkatnya lagi. Darahnya tercecer di mana-mana. Keluar melewati hidung dan merembes dari semua pori-pori di kulitnya.


Katakan selamat datang pada kehidupan baru yang menantimu, dan selamat tinggal pada kehidupanmu sebelumnya.


Yuta mendengarnya samar-samar. Suara besar itu terasa seakan sedang meninabobokannya. Yuta mulai merasa semakin menjauh dari ruangan ini. Dunianya seakan menyusut, seolah-olah separuh darinya ada di sini sementara separuh yang lain sudah berada di tempat lain.


Sebagai gantinya, kau akan kehilangan segalanya. Segala yang ada di dunia vampir, dan segala yang ada di bumi. Tak ada satu pun yang akan mengingatmu dan tak ada satu pun yang bisa kau ingat dari mereka.


Suara itu terasa semakin jauh dan terus menjauh. Segalanya seperti mimpi. Mata Yuta berangsur-angsur memejam.


Selamat atas kehilanganmu.


Kau kehilangan segalanya, sebagaimana yang kau minta.


Lampu sorot di atasnya mati. Dan Yuta merasakan sesuatu menghujam jantungnya dengan amat keras. Sangat keras hingga Yuta merasa dirinya pun ikut mati.



**********



1 tahun kemudian…


Malam itu benar-benar meriah. Acara pertunangan anak bungsu Xavier Evans—seorang pengusaha asal Perancis yang sudah menetap di Seoul selama 10 tahun—nampaknya akan digelar semalam suntuk. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam tapi tak ada satu pun dari tamu undangan yang menunjukkan tanda-tanda akan pulang.


Cowok-cowok di sana berpakaian necis; kemeja sutra dan sepatu mengilap. Begitu pun cewek-ceweknya, gaun sequin dan stiletto bertali. Semua orang terlihat mewah seakan-akan baru keluar dari etalase rumah mode di fifth avenue. Mereka menggoyangkan badannya mengikuti irama musik di halaman belakang rumah tuan Evans yang luas. Mengangkat tinggi gelas wine mereka dan bersulang dengan penuh gaya.


Jaehyun berbaur dengan para kalangan borjuis itu sambil menyesap sampanye. Tak ada satu pun dari mereka yang nampak curiga bahwa Jaehyun adalah penyusup. Penampilannya amat meyakinkan; dia memakai kemeja satin emas berlengan panjang, rambut tersisir rapi ke belakang, ditambah lagi wajahnya yang benar-benar rupawan. Teman-teman mempelai wanita akan mengira Jaehyun adalah teman dari mempelai pria, dan teman-teman mempelai pria akan mengira dia adalah teman mempelai wanita.


Tepat setelah sampanye-nya habis, walkie talkie seukuran anggur yang ia sisipkan di balik kerah kemejanya berbunyi.


“Kami sudah hampir selesai. Rich Boy, aku butuh kau untuk awasi jalan keluarnya.”
“Dari mana kau akan keluar?” balas Jaehyun sembari menarik diri dari kerumunan. Ia berjalan mengitari kolam renang, mencari tempat yang lebih sepi sebelum mendongak mengawasi salah satu jendela.


“Jendela ruang brankas,” kata Doyoung. “Aman?”
“Tidak. Ada beberapa orang yang sedang ngobrol di bawah. Lewat tangga jauh lebih aman. Kau bisa keluar lewat jendela ruang tamu dan langsung ke mobil.”


“Oke.”


Jaehyun menukar gelasnya yang kosong dengan gelas yang baru dari pelayan yang lewat, lalu menyesapnya sembari kembali mengawasi jendela tempat rekan-rekannya sedang beraksi.


Doyoung dan Yuta bekerja dalam diam. Doyoung berdiri di ambang pintu sementara Yuta memasukkan bergepok-gepok uang dan perhiasan dari brankas ke dalam tas miliknya. Sesering apa pun ia melakukan ini, ia tetap saja merasa bersalah. Perutnya bergejolak tak nyaman dan keringat dingin mengalir di punggungnya.


“Sudah?”
“Sudah.”
Rich Boy bilang jendela itu tak aman,” Doyoung mengedikan kepalanya ke jendela di seberang Yuta, “kita bisa ke lantai satu lewat tangga dan keluar dari jendela ruang tamu.”


“Kita cuma berdua di sini. Bisakah kita panggil dia Jaehyun saja?”
“Tidak, anak setan,” kata Doyoung. “Kita pakai nama samaran saat sedang beraksi.”
“Dan bisa kau jelaskan sekali lagi kenapa nama samaranku anak setan?” kata Yuta sementara ia mengayun tasnya ke bahu dan berdiri.


Doyoung bertolak pinggang. “Dengar,” tuntutnya, dan tiba-tiba saja suara alarm yang nyaring terdengar di seluruh penjuru rumah.


“Sial,” umpat Doyoung. Keduanya reflesk berlari. Yuta tipis di belakang Doyoung. Selagi berlari, Doyoung menarik headset-nya dan bicara pada Mark yang menunggu di mobil. “Heh, marmut, apa yang terjadi? Matikan alarmnya.”


“Sedang kulakukan,” kata Mark.
“Cepat, berengsek.”
“Diamlah! Aku butuh konsentrasi.”
Sexy Brain, semua petugas keamanan sedang berlari ke lantai dua, jauhi tangganya!” Jaehyun mengingatkan Doyoung lewat walkie talkie. Tapi Doyoung dan Yuta sedang berlari ke arah tangga, dan mereka berlari kencang sekali sampai-sampai tak bisa langsung berhenti. Saat akhirnya Doyoung bisa berhenti, para petugas keamanan itu sudah berdiri sepuluh meter di depan mereka.


Yuta mengeratkan pegangannya pada tasnya. “Apa yang harus kita lakukan?”


Doyoung mendorong Yuta dan dirinya masuk ke dalam kamar mandi di sebelah mereka dan segera mengunci pintunya. Ia mengedikan kepalanya pada jendela kamar mandi. “Kau lompat dari sana,” suruhnya. “Aku akan mengalihkan perhatian mereka.”


Yuta tak membantah. Doyoung tak pernah salah setiap kali mereka terjebak dalam situasi ini. Yuta memanjat kloset porselen dan memecahkan kaca dengan tang di sakunya. Pintu kamar mandi mulai digebrak-gebrak. Doyoung menunggu sampai Yuta berhasil mengeluarkan setidaknya setengah tubuhnya dari ventilasi sebelum menendang pintu kamar mandi sampai engselnya copot. Pintu kayu itu jatuh bergubrakan di lantai dan Doyoung tanpa ragu maju dan menghajar mereka semua dengan tangan kosong.


Sementara itu, Yuta berhasil keluar dari ventilasi. Namun saat ia menjejakkan kakinya, ternyata alas di bawahnya adalah genteng dengan kemiringan nyaris tegak lurus. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling ke ujung atap dan terpental ke rumput di bawah. Ia mengenai seseorang. Seorang perempuan. Dan dia langsung menjerit. Yuta praktis mengulurkan tangannya yang dipenuhi luka beset ke mulut sang gadis.


“Diam, please. Jangan berisik,” kata pria itu. Ia mengulurkan tangan pada tasnya yang jatuh di dekat tanaman bambu, memeluknya erat-erat, memastikan tas itu aman dalam dekapannya sebelum mendongak pada sang gadis.


Yuta sesaat terperangah. Dia merasa jantungnya terentak dan kerinduan mendalam membuncah di dadanya seperti kembang api. Gadis itu balas memandangnya, raut matanya yang penuh ketakutan berangsur-angsur tenang. Mereka saling bertatapan untuk waktu yang terasa begitu lama.


“A-apa aku mengenalmu?” tanya Yuta, perlahan-lahan melepas tangannya dari mulut sang gadis.


Gadis itu tak menjawab. Seolah ia sendiri pun ragu.


“Shin Ye Eun!” teriak seseorang, membuat mereka terkejut. Gadis yang dipanggil Shin Ye Eun itu langsung terbeliak dan mendorong Yuta yang membungkuk terlalu dekat di atasnya, lantas menoleh pada perempuan yang memanggil namanya itu seraya berdiri. “Ada apa?”


“Tolong bawakan lebih banyak wiski untuk di bar,” kata wanita itu, kemudian melirik Yuta dan menambahkan, “kalau kau sedang sibuk, biar kusuruh Donghyuck.”


“Tidak,” sergahnya langsung, ia menatap Yuta yang baru saja berdiri sambil menyandang tasnya, lalu menggeleng dan menegaskan. “Aku tidak sibuk.”


Gadis itu, Shin Ye Eun, segera berlalu ke dapur sambil merapikan bajunya. Yuta masih terpana, ia tak bisa mengalihkan pandang sama sekali. Perasaannya terasa amat hangat saat mata mereka bertemu. Yuta merasa tiba-tiba saja ia menemukan rumahnya, masa lalunya. Rasanya ia menemukan ingatannya yang hilang, yang tak pernah lagi ia coba pikirkan selama beberapa bulan terakhir ini.


Saat itu, tiba-tiba saja bahunya ditendang oleh seseorang dan sebelum tubuhnya benar-benar terjatuh, Doyoung menarik kausnya dari belakang, menyambarnya pada tengkuknya dan memaksanya berlari menuju tembok yang dipenuhi tanaman rambat dan memanjat keluar.


Jaehyun sudah ada di dalam mobil saat kedua laki-laki itu masuk.


“Marmut!” teriak Doyoung pada Mark. “Bagaimana bisa alarmnya bunyi!”
“Aku berpikir untuk mogok kerja sampai kau mengganti aliasku,” kata Mark sambil mendecakkan lidahnya.


“Jangan alihkan pembicaraan.”
“Apa hubungannya tugasku dengan marmut?”
“Yah! Kubilang jangan alihkan pembicaraan!”
“Harusnya aku dipanggil hacker master.”
“Yah! Master apanya? Kau bahkan tak becus dalam tugasmu!”
“Dengar, harusnya kau berterima kasih padaku! Alarmnya bisa bunyi lebih cepat dari ini dan aku berhasil menahannya sampai menit terakhir. Lagian kenapa kalian lama sekali!”


“Anak setan gemetaran saat mengambil uangnya.” Doyoung mengedikan dagunya pada Yuta.


Yuta yang duduk di depan cuma menatapnya dari spion tengah dan mendengus. Kepalanya melayang lagi pada cewek tadi. Kenapa rasanya ia sangat merindukannya? Kenapa gadis yang baru ia temui sekali bisa terasa sebegini tak asingnya?


“Shin Ye Eun.” Yuta bergumam amat pelan. Bahkan namanya juga tak asing di mulutnya.
“Kawan-kawan,” panggil Yuta.
“Berhenti bilang kawan-kawan!” sambar Doyoung tak tahan. “Aku benar-benar geli mendengarmu bilang begitu.”


“Baiklah, geng,” ralat Yuta.
“Astaga!” Kali ini Mark yang menyuarakan rasa jijiknya. Jaehyun yang sedang menyetir ikut mendesah. Doyoung apalagi.


Yuta mengabaikan ketidaksuportifan semua rekannya itu dan melanjutkan, “Kurasa aku bertemu seseorang dari masa laluku.”


“Benarkah?” tanya Jaehyun dengan nada bersimpati yang dibuat-buat, kemudian menoleh pada spion tengah untuk bicara pada Mark. “Aku butuh kau untuk mengehack lampu merah di perempatan 500 meter lagi.”


“Kenapa aku harus mengehack lampu merah? Menyetirlah sesuai ketentuan.”
“Tidak bisa. Kita diikuti mobil polisi,” balas Jaehyun tenang.
“APA!” teriak Doyoung, refleks memutar badannya untuk melihat sendiri mobil itu.


Mark mendecak bosan dan segera berputar ke laptopnya. Sementara Yuta kembali melanjutkan curhatnya dengan wajah meratap. Ini bukan kali pertama mereka dikejar polisi, jadi bagi Yuta itu tidak terlalu penting. Untuk sekarang, pelayan misterius di pesta tadi jauh lebih penting.


“Yuta, kau selalu merasa menemukan ‘masa lalu’-mu sebulan sekali,” kata Jaehyun. Pria itu baru menanggapi cerita Yuta begitu ia berhasil melewati lampu merah yang mati karena ulah Mark dengan santai. Lampu merah tersebut lantas menyala lagi, lima kali lipat lebih lama dari yang seharusnya begitu mobil polisi di belakang mereka mendekat. Doyoung tertawa puas.


“Tapi kali ini berbeda.”
“Apa dia mengenalmu?” Doyoung menanyainya sambil bersedekap bosan.
“Dia tidak menjawab.”
“Itu artinya dia tidak mengenalmu.”
“Namanya Shin Ye Eun dan entah kenapa nama itu terasa tidak…”
“Bukankah inisialnya sama dengan yang ada di pergelangan tanganmu?” Mark memotong. Dan Yuta refleks mengangkat tangannya.


“Benar,” bisik pria itu terperanjat.
“Jangan melebih-lebihkan!” tukas Doyoung. “Mungkin itu cuma kebetulan.”
“Tidak. Tidak mungkin. Aku mau bertemu dengannya. Rich Boy, putar arah!”
“Apa-apaan! Kita tidak akan putar arah!” Doyoung menyergah. “Kita harus ke rumah kedua sebelum tengah malam. Pemiliknya sedang liburan ke Bali dan mereka akan pulang besok pagi. Kita tak punya waktu.”


“Kalau begitu turunkan aku di sini,” kata Yuta.
“Kau serius?” tanya Jaehyun.
“Kau gila? Kau akan kembali ke rumah itu? Saat setidak-tidaknya tiga mobil polisi sedang terparkir di depannya?” Doyoung membulatkan matanya dan menatap Yuta seolah pria itu benar-benar bodoh.


“Aku tidak akan ketahuan.”
“Bagaimana kalau kau ketahuan?”
“Aku tak akan membawa-bawa nama kalian.”
“Berjanjilah atas nama ibumu.”
“Aku tak tahu siapa nama ibuku.”
“Tch, benar. Pokoknya berjanjilah! Silangkan jarimu di dada.”


Yuta mengikutinya dengan malas, kemudian bicara dengan lebih malas lagi, “Bisakah kau pinggirkan mobilnya sekarang?”


Jaehyun mengangkat bahunya tak peduli dan memutar setirnya ke kiri. Yuta turun di trotoar dan baru sadar ia tak membawa uang sepeser pun saat mobil jeep rongsok mereka sudah menjauh. Alhasil pria itu pun berjalan kaki kira-kira 40 menit dan baru sampai di rumah Xavier Evans pukul 12 malam. Pestanya sudah usai. Namun ada mobil box restoran yang sedang mengangkut sisa makanan beserta perlengkapannya di depan pagar. Yuta berdiri di samping mobil box itu dan mencari gadis tadi.


Seorang pria berkulit cokelat madu keluar sambil membawa kotak berisi gelas-gelas wine. Dia memakai seragam hitam-putih yang sama dengan yang gadis tadi pakai. Jadi Yuta berpikir pria ini pasti mengenal gadis misterius tersebut dan langsung menanyainya.


“Permisi, aku mencari Shin Ye Eun. Boleh kutahu di mana dia? Aku harus bicara dengannya.”


Pria itu meletakkan kotaknya di mobil lalu mendongak sekilas pada Yuta sebelum menoleh ke pintu masuk. “Itu dia,” katanya, mengedikan dagu dengan bosan ke arah Ye Eun yang baru keluar sambil membawa kotak yang lain.


Langkah gadis itu otomatis memelan begitu menyadari kehadiran Yuta. Sang pelayan pria menghampirinya dan mengambil kotak dari tangannya sambil berkata, “Dia bilang mau bicara denganmu.”


Ye Eun mengangguk, mengucapkan terima kasih pada pria itu. Lantas mendekati Yuta.


Yuta mendadak merasakan kehangatan familier itu lagi. Seolah ia pulang ke rumahnya lagi untuk yang kedua kali malam ini. Yuta memimpin jalan menuju tepi, berdiri di sebelah dinding rumah Xavier Evans yang dipenuhi tanaman rambat, beberapa meter dari mobil box. Setelah yakin ia mendapat lebih banyak privasi di situ, ia membalik badannya dan menatap Ye Eun lagi. Jantungnya serasa jungkir balik di dada. Lagi dan lagi. Seolah ia baru menatapnya untuk pertama kali.


“Jadi apa yang mau kau bicarakan denganku?”


Air muka Yuta langsung berubah. Ia tidak berpikir sejauh itu. Satu-satunya rencana yang ia punya hanyalah menemui Shin Ye Eun dan menatapnya lagi. Dan sekarang, setelah rencananya terwujud, otaknya langsung kosong.


“Kalau kau tak segera bicara, aku akan kembali ke dalam dan membantu teman-temanku. Aku harus kerja.”


“Tidak, tunggu! Aku mau minta maaf,” sergah Yuta, menarik tangan Ye Eun dan merasakan aliran listrik yang mengejutkan.


Ye Eun juga mungkin merasakannya. Sebab gadis itu segera menarik tangannya dari Yuta dan menatapnya kaget. “Apa itu?”


“Tanganku.”
“Tidak, maksudku….” Ia berhenti, menggelengkan kepalanya lalu memicing aneh pada Yuta. “Lupakan! Aku sudah memaafkanmu.”


“Terima kasih.”
“Apa kau akan menjelaskan padaku kenapa tiba-tiba kau jatuh dari lantai dua?”


Yuta akan dengan senang hati menjelaskan bahwa ia habis melompat dari jendela kamar mandi untuk kabur dari petugas keamanan, tapi ia teringat wajah kejam Doyoung dan langsung menggeleng. “Maafkan aku.”


“Apa kau pencurinya?”
“Bukan,” sergahnya, “tentu saja bukan.”
“Terima kasih. Pestanya jadi bubar lebih cepat dan aku bisa pulang lebih awal karenamu.”


Yuta tersenyum sok penting. “Sama-sama.”


“Jadi kau benar pencurinya?”
“Apa? Tidak! Kenapa kau berpikir begitu?”
“Jelas-jelas barusan kau bilang ‘sama-sama’.”
“Lalu?”


Ye Eun mendecih. Ia menyilangkan tangannya di dada dan bicara dengan ketus. “Jadi apa ada lagi yang mau kau katakan padaku? Aku benar-benar harus kembali bekerja.”


“Yeah, ada lagi,” sambarnya. “Aku benar-benar ingin tahu apa kita sungguh tak saling kenal?”
“Sekarang kutanya balik padamu, apa kita saling kenal?”
“Aku tak tahu. Tapi kurasa begitu.”
“Jawaban macam apa itu!”
“Aku hilang ingatan,” balas Yuta apa adanya. “Aku sama sekali tak tahu siapa aku sebelum bertemu kelompokku sekarang.”


“Kelompok?”
“Seperti teman? Tapi mereka tak suka dipanggil teman.”
“Baiklah.” Ye Eun menghela napas. “Tapi kenapa tiba-tiba aku?”
“Karena kau terasa familier. Karena saat melihatmu rasanya seperti aku mengenalmu.” Yuta mengulurkan pergelangan tangannya dan menunjukkan tatonya. “Dan namamu memiliki inisial yang sama dengan tatoku. Tato ini sudah ada sejak ingatanku hilang, jadi ini seperti petunjuk besar bagiku soal masa laluku.”


Ye Eun menatap tato itu tanpa minat, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Yuta. “Bukan hanya aku yang punya inisial nama S.Y.E.”


“Tapi cuma kau yang terasa pas.”


Ye Eun memutar bola matanya, “Aku benar-benar harus pergi.”


“Tunggu.” Yuta mencekal sikunya lagi, lalu buru-buru melepasnya saat Ye Eun menoleh.
“Apa lagi?” tuntut gadis itu galak.
“Bisakah setidaknya kita kenalan dulu?”
“Kau sudah tahu namaku.”
“Tapi kau belum tahu namaku.”
“Aku tidak tertarik kenalan dengan maling.”
“Aku bukan maling,” Yuta berkeras. Namun Ye Eun tak mendengarkannya dan segera berjalan pergi.
“Namaku Yuta,” seru sang pria. Ye Eun terkesiap dan praktis menghentikan langkahnya. Dia menoleh pada Yuta dengan wajah mengeras. “Nakamoto Yuta?” tanyanya.


“Huh?”
“Nama panjangmu,” sambar Ye Eun. “Apa nama panjangmu Nakamoto Yuta?”


Yuta menggerakkan kepalanya dalam gelengan samar. “Entahlah,” katanya. “Aku tak tahu nama panjangku. Satu-satunya informasi yang bisa diakses kepalaku hanya itu. Hanya Yuta.”


Ye Eun memicing penuh selidik padanya selama beberapa saat sebelum menoleh ke mobil box dan menjerit memanggil seseorang, “Yah Moon Ji Won! Kemari!”


Gadis yang dipanggil Moon Ji Won itu berjalan menghampirinya dengan tampang bingung. Dan sesaat kemudian mereka sudah saling terkesiap, berbisik-memekik dengan begitu hebohnya dan melotot ke arah Yuta seperti melihat hantu. Yuta yang berdiri satu setengah meter di belakang mereka bisa mendengar sesuatu soal ‘surat aneh itu’ dan ‘bisa jadi bukan dia tapi aku tak pernah ketemu orang lain yang namanya Yuta’, lalu beberapa saat setelah itu, setelah mereka berhenti saling bicara dengan ekspresi menggemparkan, keduanya nampak menenangkan diri.


Perempuan yang dipanggil Moon Ji Won mencondongkan badannya melewati kaca mobil untuk mengambil sesuatu di laci dasbor, lalu mengulurkannya pada Ye Eun. Ye Eun mendesah dan kembali menghampiri Yuta. “Besok datanglah ke sini.” Gadis itu mendorong untaian panjang rambutnya ke belakang dengan wajah frustrasi sembari mengulurkan kartu nama restoran. “Paling telat jam 9 pagi. Karena jam 10 restorannya sudah buka dan aku tak akan punya waktu untuk bicara denganmu.”


“Kau berutang penjelasan padaku soal surat perjanjian konyol ini,” tambahnya sambil menggerakkan jari-jarinya membentuk persegi panjang—berusaha menghadirkan bayangan surat. Dia kelihatan benar-benar hilang akal saat mengatakannya. “Mungkin kau tahu sesuatu tentang itu. Kutemukan di selipan koperku setahun yang lalu.”


Yuta ingin memberitahunya sekali lagi bahwa ia hilang ingatan, bahwa walaupun ia ingin, ia tak mungkin bisa menjelaskan apa pun pada siapa pun jika nama lengkapnya sendiri saja ia tak ingat, bahwa jika Ye Eun menganggap penjelasan itu adalah ‘utang’ maka itu artinya ia akan berutang selamanya.


Tapi Yuta tak menuturkan semua itu, tentu saja. Sebagai gantinya, ia mengangguk sambil tersenyum lebar. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu Shin Ye Eun lagi. Tak peduli untuk alasan apa.


“Bisakah kau berhenti melakukan itu!” Ye Eun menegurnya jengkel.
“Melakukan apa?”
“Tersenyum menggoda padaku.”


Yuta tak bisa menahan diri untuk tidak menyeringai. Menatap Ye Eun dengan ekspresi terhibur. “Aku cuma tersenyum biasa. Bukan salahku jika kau tergoda.”


Ye Eun merasakan wajahnya memanas. Ia memalingkan muka dari Yuta—yang masih tersenyum ‘biasa’—lalu beranjak menuju mobilnya.


“Shin Ye Eun-ssi.” Yuta kembali menarik sikunya, untuk yang ketiga kali malam ini. “Senang bertemu denganmu.”


Ye Eun bisa merasakan ketulusan dalam suaranya, dalam tatapannya, dalam gerakannya, tapi ia berusaha menampik itu semua dan memutar mata. “Lepaskan aku.”


“Tidak sampai kau bilang ‘senang bertemu denganmu juga’.”
“Tapi aku tak senang bertemu denganmu.”
“Begitu?”
“Ya,” tegas Ye Eun.


Yuta pun melepasnya, mengangguk sembari tersenyum manis, lantas bicara penuh percaya diri. “Di pertemuan kita selanjutnya, aku akan berusaha lebih keras untuk membuatmu senang bertemu denganku.”


“Yeah, berusahalah sepuasmu.”



END


Happy new year^^

Btw, aku udah nyiapin epilog vampire bride kurang lebih 4,7k kata.. bakal dipublish di salah satu hari di minggu ini. Ditunggu ya..

Sekali lagi selamat tahun baru semuaaaa, makasih banyak atas waktu kalian yang terbuang untuk membaca ff abalku ini.

Sampai ketemu di epilog wahai kaum manusia^^

Comments

Popular Posts