Do You Want Some Fluff? Vol.9





Casts :

Mark Tuan - Hwang Jiyeong

Zhang Yixing - Lee Hara

Park Jimin - Lim Chaerin

Oh Sehun - Lee Haera



"Confession is not betrayal. What you say or do doesn't matter; only feelings matter. If they could make me stop loving you - that would be the real betrayal." - George Orwell, 1984.






Happy Reading :)






~ BAD BOY ~






Jiyeong berlari kecil menuju lorong loker. Seperti rutinitas biasanya, saat sampai di sekolah ia akan menuju lokernya untuk mengambil beberapa buku yang dibutuhkan hari itu. Namun pagi itu tujuannya sedikit berubah saat melihat seorang laki-laki tengah bersandar di depan lokernya dengan seorang perempuan yang berdiri tegak di depannya. Ia ingin memutar langkah karena tidak nyaman dengan apa yang tengah terjadi di sana. Tapi suara tinggi dari perempuan yang ia ketahui sebagai seniornya membuat tubuhnya kembali berbalik dan akhirnya memilih untuk bersembunyi di balik loker.



Dengan kepala yang sedikit dicondongkan, Jiyeong berusaha untuk mencuri pandang pada apa yang terjadi di sana. Sementara telinganya ia tajamkan untuk mendengar percakapan kedua insan itu. Beruntung hari masih terlalu pagi untuk siswa lain datang. Sehingga tidak ada yang melihat dirinya tengah menguping di sana.



“Kau keterlaluan Mark!” Perempuan itu memekik. Dari suaranya tersirat kemarahan yang begitu besar pada laki-laki di hadapannya.



Laki-laki itu –Mark– tidak menjawabnya. Wajahnya saja tidak menunjukkan reaksi apa pun atas kemarahan yang ia terima. Ia masih terlihat tenang seakan perempuan itu tengah berbicara baik-baik dengannya.



“Kenapa kau mempermainkan ku? Apakah kau menganggap ku serendah itu?” Tanya sang perempuan masih dengan intonasi tinggi yang tetap tidak mengubah raut Mark.



Mark menarik salah satu sudut bibirnya dan tubuhnya menegak hingga kini perempuan itu harus lebih mendongak untuk bisa menatap matanya.



“Aku tidak mempermainkan siapa pun. Bukankah kau sendiri yang datang kepada ku dan menyatakan perasaan mu. Kau juga yang mengatakan kalau kau rela melakukan apa pun. Dan aku tidak memaksa mu, bukan? Lalu kenapa sekarang kau yang menyalahkan ku, Shin Gyuri?”



Perempuan itu –Gyuri– bungkam seketika. Semua cacian dan bentakan yang telah berada di tenggorokannya dan siap untuk dimuntahkan di hadapan Mark seperti tertelan bulat-bulat hingga tidak menyisakan apa pun. Pandangan tajam yang ia arahkan pada Mark perlahan berubah dan kepalanya seketika menunduk.



“Apakah kau mendengar aku mengatakan kalau aku juga menyukai mu? Jika kau lupa aku bisa ingatkan apa yang terjadi kemarin di antara kita.” Mark semakin menarik salah satu ujung bibirnya saat melihat Gyuri yang semakin tertunduk dalam.



“Pertama kau datang dan memberikan ku bekal makan siang. Setelah itu kau menyatakan perasaan mu dan aku menjawabnya dengan ucapan terima kasih. Lalu kau mengajak ku pergi menonton setelah pulang sekolah. Ku pikir itu tidak buruk karena aku butuh hiburan setelah belajar di sekolah, jadi dengan senang hati aku menerimanya. Sepanjang perjalanan pulang kau terus berkata kalau kau senang bisa menghabiskan waktu dengan ku. Menurut ku tidak ada yang salah dengan ungkapan kegembiraan mu itu jadi aku menutup mulut ku rapat-rapat. Dan saat malam kau mengirimi ku pesan dan memanggil ku ‘sayang’, itu sangat mengganggu jika kau mau tahu. Karena itu aku membalas untuk mengingatkan bahwa kita tidak memiliki hubungan khusus. Dan pagi ini kau datang ke kelas ku, menarik ku ke tempat ini, serta meneriaki ku. Jadi siapa yang salah di sini, aku atau diri mu?”



Seperti ditusuk ribuan pisau. Itulah yang dirasakan Gyuri saat mendengar kalimat panjang Mark. Parahnya semua yang laki-laki itu katakan adalah kebenaran. Tidak ada yang ditambahkan atau dikurangi dari kenyataan pahit yang baru saja ia sadari. Ia ingin marah tetapi posisinya salah. Lalu apa yang bisa ia lakukan?



Menangis.



Dan Gyuri telah menangis sejadi-jadinya. Meluapkan seluruh kesedihan dan rasa sakit yang ia rasakan karena kebodohannya. Ia terlalu bodoh untuk menyadari bahwa Mark tidak mengatakan apa pun mengenai ungkapan perasaannya. Ia terlalu bodoh untuk cepat mengambil kesimpulan bahwa adik kelasnya itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya karena ia mau menerima ajakan kencannya. Sungguh bodoh!



Masih dengan mata yang mengalirkan air bening, Gyuri mengangkat kepalanya dan menatap Mark yang tengah tersenyum miring kepadanya. Tangannya terangkat dan dalam detik yang cepat telapak tangannya telah mendarat dengan sempurna di pipi kiri Mark. Menimbulkan suara nyaring yang menggema ke seluruh lorong hingga kepala laki-laki itu meneleng ke kanan.



“Berengsek!” Makinya tajam dan kemudian melangkah cepat meninggalkan Mark yang hanya tersenyum miring melihat kepergian perempuan itu.



Setelah kepergian Gyuri, Jiyeong kembali bersembunyi dan menyenderkan tubuhnya di dinding. Walau ia tidak mengalami hal yang sama dengan Gyuri, tetapi dirinya bisa merasakan rasa sakit kakak kelasnya itu. Mereka sama-sama perempuan, jadi wajar jika ia bisa merasakan apa yang dirasakan perempuan itu.



“Sudah jangan bersembunyi lagi. Aku tahu kamu sejak tadi menguping, Hwang Jiyeong.”



Tubuhnya seketika menegang saat mendengar suara berat yang beberapa saat lalu berkata dingin pada Gyuri. Dengan tarikan napas dan helaan cepat, Jiyeong berjalan keluar dari persembunyiannya menuju lokernya guna merealisasikan tujuan pertamanya datang ke sana.



Jiyeong sedikit mendorong tubuh Mark agar tidak menghalangi lokernya. Kemudian mengambil beberapa buku untuk kelas hari itu tanpa memedulikan Mark yang masih setia berdiri dan bersandar di loker.



“Aku tidak ingin ikut campur, tetapi jujur Mark kamu sudah keterlaluan. Kenapa bisa aku tahan bersahabat dengan mu?! Argh.” Ujar Jiyeong kesal. Matanya menatap Mark sebentar sebelum melenggang pergi menuju kelas.



*  *  *  *



Selama satu hari penuh ini Jiyeong mendiami Mark. Ia tidak menggubris panggilan Mark atau lambaian sahabatnya itu saat mereka bertemu di kantin. Kekesalannya karena kelakuan buruk Mark pagi tadi masih begitu besar sekali pun itu tidak menyangkut dirinya. Ia tidak tahu kenapa, tetapi rasanya ia ingin marah karena Mark bertingkah buruk. Mungkin karena mereka bersahabat sejak sekolah dasar sehingga membuat Jiyeong tidak ingin Mark melakukan hal buruk yang akan merugikan dirinya. Dengan kata lain, ia ingin melindungi sahabatnya.



Karena kedekatan itu juga Jiyeong tidak bisa marah dengan Mark terlalu lama. Seperti yang terjadi saat itu. Sekali pun Jiyeong telah berusaha keras untuk mengacuhkan laki-laki itu, tapi pada akhirnya rasa khawatir selalu mengalahkan usahanya. Ia selalu berakhir mencari Mark dan kemudian meminta maaf karena mendiami laki-laki itu.



Saat bell berbunyi nyaring, Jiyeong segera bergegas merapihkan buku dan alat tulisnya. Kemudian berlari cepat meninggalkan ruang kelasnya menuju kelas Mark yang berada di sisi lain bangunan sekolah. Saat sampai, ia langsung mencari keberadaan laki-laki itu. Namun ia tidak menemukannya di sana. Matanya hanya melihat tas sahabatnya itu yang tergeletak di atas meja.



“Jackson, dimana Mark?” Tanya Jiyeong pada salah satu teman Mark.



Jackson mengendikkan bahunya. “Tidak tahu. Dia bolos mata pelajaran terakhir.”



Jiyeong mengangguk dan kembali melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Jackson yang menatap kepergiannya bingung. Bermodalkan kemampuan menebaknya, Jiyeong mulai berjalan cepat mengitari sekolahnya untuk mencari keberadaan Mark. Ia yakin sahabatnya itu masih ada di lingkungan sekolah karena tasnya masih berada di kelas dan motornya juga masih terparkir di depan sekolah.



Di mulai dari lapangan, kemudian kantin, kelas seni yang kerap Mark gunakan untuk membolos, dan toilet pria yang membuat dirinya harus bertanya pada setiap siswa yang akan masuk atau keluar. Tetapi Mark tidak ada di sana. Dan dari semua tempat yang memiliki kemungkinan dan telah ia datangi, tersisa satu tempat dengan kemungkinan yang kecil.



Jiyeong sedikit sangsi, tetapi kakinya tetap melangkah ke area belakang sekolah menuju halaman sekolah yang ditumbuhi ilalang. Dengan keyakinan yang kecil, ia mencoba untuk memberanikan dirinya mendorong pintu jeruji besi yang dikelilingi kursi dan meja yang tidak terpakai. Matanya kemudian mengedar mencari keberadaan Mark.



“Aku hanya membuang waktu saja di sini.” Gerutunya. Jiyeong hendak pergi tetapi telinganya mendengar suara isakan kecil yang membuat kakinya kembali berbalik dan melangkah melewati pintu tersebut.



Jiyeong berjalan semakin dalam. Kepalanya juga menoleh ke kanan dan ke kiri serta telinganya yang ia tajamkan untuk mendengar suara isakan tersebut. Kakinya kemudian melangkah menuju sumber suara yang berada di sisi kirinya.



Perlahan ia melangkah hingga akhirnya berhenti saat melihat seorang perempuan tengah menutup wajahnya dengan tangan serta pundaknya yang bergetar. Tepat di depan perempuan itu berdiri seseorang yang sedari tadi ia cari yang berdiri dengan menatap dingin sosok di depannya.



“Mark..” Bisiknya.



“Kenapa kau tega mempermainkan ku Mark? Kau bilang aku perempuan paling baik dan cantik yang selalu membuat mu senang. Tetapi kau malah pergi dengan Gyuri sunbea.” Ujarnya di tengah isakan.



“Maaf tapi sejak awal memang aku tidak menyukai mu, Ahreum. Aku hanya menganggap mu sebagai teman seperti yang lainnya. Mengenai ucapan ku tentang mu, semua itu memang benar. Kau baik dan cantik, kehadiran mu di sekitar ku selalu membuat ku senang sebagai teman, tidak lebih. Dan mengenai Gyuri sunbea, aku pergi dengannya juga sebagai teman tidak lebih.”



“Lalu kenapa kau memberikan ku ini?!” Teriak Ahreum sembari menunjukkan gantungan kunci berbentuk boneka beruang ke hadapan Mark.



Mark menarik salah satu sudut bibirnya. “Aku memberikannya karena waktu itu kau sangat menginginkannya. Lagi pula, menurut ku tidak masalah jika memberikan teman hadiah. Sekarang masalahnya dimana? Jika karena gantungan itu kau beranggapan kalau aku menyukai mu, lebih baik kau buang saja karena aku tidak menyukai mu.”



Kalimat yang Mark ucapkan begitu menyakitkan sehingga tidak dapat Ahreum tahan lagi. Ia lantas melayangkan tangannya dan menampar keras pipi kiri Mark –tempat yang sama saat Gyuri menamparnya–. Ia juga melemparkan gantungan yang diberikan Mark sembarangan hingga mengenai kening laki-laki itu. Tidak peduli lagi, Ahreum segera berlari meninggalkan Mark yang mengelus pipinya.



Jiyeong yang melihat itu hanya mampu menutup mulutnya. Melihat Ahreum yang menangis dan berlari, hatinya ikut merasakan apa yang temannya itu rasakan. Namun saat melihat Mark yang memegangi pipinya dan kening sahabatnya itu yang memerah, Jiyeong malah ikut merasakan rasa sakit seperti yang sahabatnya rasakan.



“Mark..”



Laki-laki itu menoleh. Tatapannya yang dingin berubah semakin dingin saat melihat Jiyeong.



“Ada apa?”



“Aku mencari mu.”



Mark menaikkan salah satu alisnya. “Untuk apa? Bukankah kamu yang sedari tadi menjauhi ku?” Tanyanya sinis.



Kesinisan yang ditunjukkan Mark tidak membuat Jiyeong mundur. Ia tahu ia yang salah dan ia juga tahu pasti Mark sakit hati dengan perlakuannya dan juga kata-katanya pagi tadi.



“Untuk meminta maaf.” Ujarnya dengan kepala tertunduk.



“Aku sadar tidak seharusnya aku marah dan mencampuri urusan mu. Karena itu aku minta maaf, Mark.” Sambungnya masih dengan kepala yang tertunduk.



Selama sepersekian detik yang begitu hening dan ganjil, Jiyeong masih menunduk menunggu sahutan Mark. Namun tidak terdengar suara apa pun selain suara jangkrik yang akhirnya membuat ia mengangkat kepalanya.



“Kenapa kamu tersenyum?” Tanyanya begitu melihat Mark yang malah tersenyum kepadanya.



“Karena kamu lucu.”



Jiyeong memelototi Mark dan bersiap untuk memukul tubuh sahabatnya itu. Namun tangannya dicekal oleh Mark yang berakhir melayang di udara.



“Kamu ingin memukul ku padahal kamu tahu kalau hari ini aku baru saja mendapatkan dua kali tamparan. Wah.. sahabat yang sangat pengertian sekali!” Sindir Mark.



“Itu salah mu sendiri karena mempermainkan mereka.” Balas Jiyeong dengan suara mengejek.



Namun tidak ada satu menit raut kesalnya berubah menjadi khawatir saat melihat sudur bibir Mark yang terlihat membiru.



“Mark, wajah mu memar.” Seru Jiyeong sembari menangkup wajah Mark.



Mark hanya berdeham dan membiarkan Jiyeong menelisik wajahnya.



“Ikut aku. Aku akan obati luka mu.”



Tanpa menunggu persetujuan Mark, Jiyeong segera menarik tangan sahabatnya itu untuk segera pergi menuju mini market yang berada di seberang sekolah. Ia segera masuk ke dalam membeli perlengkapan untuk mengobati wajah Mark. Mulai dari ice pack hingga obat merah ia beli semuanya. Setelah membayar semua belanjaannya, ia segera bergegas keluar menghampiri Mark yang tengah menunggunya di kursi depan mini market.



“Sini kemarikan wajah mu.” Perintahnya pada Mark.



Mark hanya menurut dan membiarkan Jiyeong bekerja mengobati lukanya. Sesekali ia merintih saat Jiyeong terlalu menekan lukanya.



Di tengah proses mengobati luka Mark, Jiyeong tidak dapat menutupi rasa penasarannya dengan sikap buruk Mark terhadap perempuan. Pasalnya dulu sahabatnya itu tidak pernah melakukan hal buruk. Mark berubah saat mereka memasuki kelas 2 menengah atas. Dan itu membuat Jiyeong bingung setengah mati karena ia tidak tahu mengapa Mark berubah.



“Mark, kenapa kamu menjadi seperti ini suka memainkan perasaan perempuan?”



“Kenapa? Apakah kamu cemburu?”



Jiyeong mengangkat pandangannya. Matanya langsung bertemu dengan obsidan hitam Mark yang juga tengah menatapnya.



Cemburu? Kenapa ia harus cemburu? Tsk.. Mark! Dia gila atau bodoh? Mereka itu bersahabat. Jadi tidak mungkinkan jika Jiyeong cemburu.



Tapi setiap ia melihat Mark dengan perempuan lain, kenapa rasanya seperti ada yang menusuk hatinya. Rasanya sedikit sakit tetapi tidak terlalu mengusik. Yang mengusiknya adalah setiap kali Mark menatapnya dalam, perutnya seperti dihuni oleh ribuan kupu-kupu yang berterbangan. Membuat wajahnya tiba-tiba menghangat.



Sama seperti yang tengah terjadi saat itu. Mereka saling bertatapan dan Mark menatapnya dalam. Rasa sakit karena pertanyaan Mark dan juga kejadian yang ia lihat pagi tadi dan beberapa saat yang lalu seketika tertutupi dengan rasa aneh diperutnya.



Ugh.. sebenarnya apa yang aku rasakan?, pikirnya.



“A-Aku cemburu? Jangan bercanda Mark. Kita bersahabat, mana mungkin aku cemburu pada sahabat ku sendiri.” Elak Jiyeong.



“Benarkah? Tapi kenapa kamu gugup?”



Jiyeong tertawa singkat. Tawa aneh yang membuat Mark semakin menaikkan sebelah alisnya dan menatapnya tajam.



“Si-Siapa yang gugup. A-Aku tidak gugup.”
Jiyeong menolehkan kepalanya. Memutus kontak matanya dengan Mark. Ia tidak tahan jika harus terus menatap obsidan Mark yang siap mengulitinya hingga titik terdalam. Ia juga tidak ingin Mark melihat semburat merah di pipinya karena wajahnya terasa mulai menghangat.



“Padahal aku senang jika kamu cemburu pada ku, Jiyeong.”



Terkejut dengan jawaban Mark membuat Jiyeong kembali memutar kepalanya cepat. Ia tidak menyadari bahwa saat ia menoleh tadi Mark semakin mencondongkan tubuhnya. Hingga kini wajah mereka terpaut kecil dengan hidungnya yang bersentuhan dengan hidung Mark.



“Karena semua yang aku lakukan ini semata-mata untuk membuat mu cemburu pada ku. Aku ingin mengetahui bagaimana perasaan mu pada ku, karena perasaan sayang sebagai sahabat yang selama ini aku rasakan telah tumbuh menjadi perasaan sayang antara perempuan dan laki-laki.” Mark menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyum manis yang nyatanya selalu ia tunjukkan hanya di hadapan Jiyeong.



“Melihat reaksi mu sekarang ini, itu sudah cukup memberi ku jawaban mengenai perasaan mu pada ku. Aku tidak akan memaksan mu karena aku tahu kamu butuh waktu. Karena itu kita akan mulai dengan perlahan. Kita akan tetap berstatuskan sebagai sahabat, tetapi aku akan memperlakukan mu berbeda hingga akhirnya kamu bisa yakin dengan perasaan mu pada ku.”





~ COMEBACK ~







Hara dengan setia duduk menghadap laptopnya di ruang tengah apartemen. Sudah lima belas menit ia menunggu seseorang untuk menghubunginya. Kegiatan itu sudah menjadi suatu kebiasaan sejak lima bulan lalu saat sosok yang ditunggunya harus mengikuti program pertukaran mahasiswa. Mereka akan melakukan panggilan video saat malam setelah masing-masing menyelesiakan kegiatan mereka.



Kegiatan itu bukanlah sebuah kewajiban atau janji yang keduanya buat sebelum sosok itu pergi. Namun entah kenapa masing-masing dari mereka seperti menjadikan itu seperti kewajiban karena seringnya mereka melakukan panggilan video. Bayangkan hampir setiap malam dan tidak pernah kurang dari satu jam mereka bertukar cerita melalaui jaringan skype. Jika sosok itu tidak kunjung menghubunginya, maka Hara yang akan melakukannya lebih dulu. Walau seringnya sosok itu yang akan menghubunginya sekali pun terlambat setengah jam dari waktu yang mereka tentukan.



Seperti malam itu, Hara tengah menunggu sosok yang belakangan ini selalu ia rindukan ke hadirannya di apartemen. Sang roommate atau apartmentmate yang menempati ruangan di sebelah kamarnya. Hara sibuk melihat jam yang tergantung di dinding saat tiba-tiba saja layar laptopnya menampilkan sebuah panggilan masuk dari sosok yang ia tunggu. Tanpa berpikira panjang dan menunggu lama, Hara segera menerima panggilan tersebut dan berseru senang saat ia dapat melihat wajah sang lawan bicara.



“Yixing!”



Dengan senyum yang merekah sempurna, Hara menyapa sang lawan bicara.



“Hai. Kenapa kamu terlihat sangat senang?” Tanya Yixing yang bingung karena mendapati Hara tersenyum begitu senang kepadanya.



Hara terkikik kemudian berkata, “Tidak ada. Aku hanya merasa senang saja.”



“Bohong.” Sahut Yixing dengan nada meledek.



“Hei aku tidak berbohong. Lagi pula darimana kamu tahu kalau aku berbohong? Apakah kamu bisa membaca isi kepala ku? Kamu kan bukan cenayang, Zhang.” Balas Hara yang tidak terima dengan tuduhan laki-laki asal negeri panda itu.



Yixing tertawa kecil sebelum ia menyerah dan mengalah pada Hara.



“Bagaimana kabar mu hari ini?” Tanya Hara kemudian.



Yixing mengendikkan bahunya. “Biasa saja. Tidak ada yang menarik.”



“Benarkah?”



“Hem..” Kepalanya mengangguk yakin.



“Lalu kapan program pertukaran mu berakhir? Aku merindukan mu, bodoh.”



Lagi-lagi kekehan kecil keluar dari bibir Yixing sebelum ia memberikan Hara jawaban.



“Minggu depan, tetapi aku tidak yakin bisa pulang tepat waktu karena ternyata ada rangkaian budaya yang harus ku hadiri.” Napasnya terhela sebelum kembali berucap. “Tapi apakah kamu benar-benar merindukan ku?”



“Tentu saja, bodoh. Aku merindukan masakan mu, suara mu saat bermain gitar, dan tentunya aku merindukan di..” Ia menghentikan ucapannya saat menyadari apa yang akan dirinya katanya.



Bodoh Lee Hara! Hampir saja kamu mengungkapkan perasaan mu padanya. Ugh.., omelnya dalam  hati.



“Hanya itu? Jahat sekali. Padahal aku merindukan mu di samping ku, Hara.” Ungkap Yixing dengan raut sedih yang dibuat-buat.



Hara tersentak begitu mendengar pengakuan laki-laki itu. Ia tidak tahu apakah yang Yixing katakan itu kebenaran atau hanya sebuah candaan untuk menggodanya. Tapi jujur, ia senang mendengarnya. Rasanya perutnya dipenuhi kupu-kupu yang membuat ia ingin tersenyum lebar.



“Hei Hara, kenapa kamu diam?” Panggil Yixing.



Hara mengerjap cepat dan kemudian kembali memfokuskan atensinya pada Yixing yang tengah menatapnya dengan kening yang berkerut.



“Tidak apa-apa.”



Yixing lantas mengangguk. Kemudian ia sempat melirik jam tangannya sebelum kembali menatap Hara.



“Hara maaf, aku harus pergi. Nanti kita sambung lagi.”



“Tapi kita baru-”



“Sampai jumpa.” Sambungan pun diakhiri Yixing secara sepihak tanpa menunggu Hara selesai dengan ucapannya.



“Padahal aku ingin memastikan kalau ia mengingat ulang tahun ku.” Gumamnya sedih. Kepalanya tertunduk sebelum menutup laptopnya dan berjalan pergi menuju kamar.



Hara merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Menarik selimutnya hingga menutupi seluruh badan dan menyisakan kepalanya. Tangannya meraih boneka kucing di sebelahnya dan memeluk benda lembut berwarna putih itu dengan erat.



Kenapa rasa sakitnya semakin menjadi? Padahal aku dan Yixing tidak memiliki hubungan apa pun selain teman yang menghuni apartemen yang sama., pikirnya dengan tangan yang telah mengusap dada kirinya. Mencoba untuk menghilangkan rasa sakit seperti ditusuk benda tajam.



“Apakah dia lupa ulang tahun ku atau dia sudah bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya?” Gumam Hara pada dirinya.



Pertanyaan tanpa ujung dan jawaban itu pada akhirnya hanya membuat Hara semakin merasakan rasa sakit di dada dan kepalanya yang terasa ingin pecah. Ia mengacak rambutnya sebelum menenggelamkan wajahnya di antara bantal. Dalam hati berdoa kepada Tuhan untuk mengizinkan dirinya cepat tidur agar secepat mungkin melupakan permasalahan hatinya terhadap Yixing dan melupakan harapan untuk Yixing menjadi orang pertama yang akan mengucapkan selamat ulang tahun kepada dirinya.



*  *  *  *



Hara semakin mengeratkan pegangan pada selimutnya saat merasakan ada yang menarik kain tebal itu dari tubuhnya. Ia mengerang kecil dan berusaha keras untuk mempertahankan selimut berwarna biru itu agar tetap menutupi tubuhnya dengan mata yang masih terpejam. Kesadarannya belum kembali karena dirinya sama sekali tidak berpikir siapa yang ada di dalam kamarnya. Apakah itu orang baik atau  malah tidak. Yang terlintas dipikirannya hanya ingin kembali tidur dengan nyenyak.



“Hara.”



Hara tetap tidak memedulikannya. Ia masih bersikeras memeluk erat selimutnya dan berusaha kembali tertidur.



“Lee Hara, ayo bangun.”



Terlalu berisik membuat tidur cantiknya akhirnya terusik. Hara menggeliat dan pasrah begitu selimut yang memberikan kehangatan untuk tubuhnya di tarik. Kemudian tanpa pemberitahuan tangannya ikut di tarik hingga tubuhnya berubah duduk.



“Ada apa?” Tanya nya dengan suara khas bangun tidur. Ia mengusap matanya yang masih terpejam dengan punggung tangan.



“Buka mata mu.”



Hara bergeming. Ia begitu mengantuk sampai merasa dirinya tetap bisa tidur sekali pun tengah duduk.



“Lee Hara, buka mata mu.” Rengek sang pelaku pengusikan tidur cantik seorang Lee Hara.



Hara perlahan mengerjap. Berusaha menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk ke matanya sebelum melihat apa yang tengah terjadi. Tidak butuh waktu lama hingga Hara benar-benar melihat apa yang ada di depannya dan siapa yang membangunkannya. Sedetik kemudian matanya membulat dan mulutnya terbuka. Terkejut.



“Zhang Yixing!”



“Selamat ulang tahun, Lee Hara.” Ujar Yixing dengan senyum yang sama yang ia tunjukkan saat mereka melakukan panggilan video tadi.



Hara tidak dapat menutupi rasa terkejutnya. Ia sampai mencubit lengannya untuk meyakinkan diri bahwa Yixing di depannya adalah Yixing apartmentmate-nya.



“Hei kenapa diam? Ayo tiup lilinya. Eh.. buat permintaan dulu sebelum meniupnya.”



Hara mengangguk. Lantas matanya terpejam. Kedua tangannya di rapatkan ke depan dada. Kemudian melafalkan harapan untuk usia barunya. Setelah selesai ia kembali membuka matanya dan menghitung dari tiga hingga satu bersama dengan Yixing sebelum meniup lilin yang ditancapkan di atas kue coklat kesukaannya.



“Terima kasih.” Ujarnya dengan memeluk erat tubuh Yixing yang berdiri di sisi ranjangnya.



Yixing tersenyum. Tangannya yang tidak memegang kue mengelus puncak kepala Hara dengan lembut.



“Kenapa kamu bisa ada di sini? Bukankah...”



“Untuk memberi mu kejutan. Sebenarnya saat aku menghubungi mu, aku ada di ruang tunggu bandara untuk pulang karena program pertukaran ku sudah selesai.” Selak Yixing dengan tangannya yang masih setia berada di atas puncak kepala Hara.



Hara mengangguk dengan tangan yang masih melingkari pinggang Yixing.



“Hara..” Panggilnya setelah membiarkan beberapa menit untuk dirinya mendapatkan pelukan hangat Hara yang belakangan ini dirindukannya.



Hara mendongak menatap Yixing. Pria itu perlahan melepaskan tangan Hara yang melingkari tubuhnya. Kemudian meletakkan kue ulang tahun Hara ke atas nakas kecil di samping ranjang. Dan ikut duduk bergabung dengan Hara di atas ranjang gadis itu.



Mereka duduk berhadapan dengan kaki yang sama-sama terlipat. Yixing meraih tangan Hara dan menggenggamnya.



“Hara, aku merasa kedekatan kita selama ini sudah lebih dari cukup untuk aku bisa mengenal mu. Aku juga selalu merasa senang saat di dekat mu. Aku merasa hidup ku sempurna saat kita bisa menghabiskan waktu bersama. Aku...” Yixing terlihat menarik napas sebelum mengangkat kepalanya kembali dan menatap lekat-lekat manik hitam Hara.



“Aku menyukai mu, Lee Hara. Aku ingin status sebagai apartmentmate berubah menjadi sepasang kekasih. Aku ingin kamu menjadi milik ku dan aku menjadi milik mu.”



Kedua kalinya Yixing memberikan sedikit jeda untuk menyelesaikan ucapannya. Matanya tidak lepas dari menatap Hara. Menelisik isi pikiran gadis itu melalui raut wajahnya yang kini terlihat terkejut sekaligus gugup karena terlihat semburat kemerahan di pipinya.



“Aku tidak akan memaksa mu untuk membalas perasaan ku sekarang juga. Aku akan menunggu sampai kamu siap dan yakin dengan hati mu sendiri. Aku ingin hubungan kita tidak dilandasi dengan keterpaksaan atau perasaan tidak enak. Apa pun jawaban mu nanti, aku akan menghargainya dan akan tetap menjadi teman mu. Jadi jangan buat perasaan ku sebagai beban untuk mu. Karena cinta ku pada mu itu tulus, Lee Hara.”





~ LOOK AT ME ~







Menganggumi adalah hal wajar yang terjadi dalam setiap hidup manusia. Bohong jika ada yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah merasakan perasaan kagum. Biasanya saat menginjak remaja dan dewasa muda rasa kagum timbul pada lawan jenis. Hal itulah yang dirasakan Chaerin.



Sejak menjajakan kakinya di dunia perkuliahan, Chaerin sudah mulai merasakan perasaan kagum yang beda dari sebelumnya. Pertama dia kagum dengan bagaimana rutinitas mahasiswa yang menurutnya berbeda dengan saat ia sekolah. Kedua dirinya kagum karena bisa mengenal banyak mahasiswa dari berbagai daerah. Hal yang langka karena saat ia sekolah dulu rata-rata temannya berasal dari kota seperti dirinya. Ketiga dan yang terakhir adalah ia kagum pada sosok laki-laki yang berstatus sebagai mahasiswa kedokteran di kampusnya.



Rasa kagum itu pertama kali ia rasakan saat tanpa sengaja mereka berjalan berlawanan arah. Siang itu matahari bersinar cukup terik dan laki-laki itu membenahi jaketnya dengan disinari terangnya sinar mentari. Kenapa jaket di hari yang terik? Karena sebagai mahasiswa baru Chaerin dan teman-temannya diwajibkan untuk mengenakan jaket kampusnya hingga masa orientasi usai.



Sejak saat itu Chaerin tidak bisa melepaskan pandangannya dari sosok itu –Park Jimin– yang di masa depan juga akan menjadi dokter seperti dirinya. Setiap mereka berada dalam radius dekat, atensi dan pikirannya selalu tertuju pada sosok Jimin. Ia bahkan tidak mendengarkan temannya yang sedang berbicara atau bahkan dosennya yang sedang menjelaskan materi dasar. Yang ada di otaknya hanya Jimin – Jimin – dan Jimin.



Gilanya ia merasa senang hanya dengan memerhatikan Jimin dari jauh tanpa ada usaha untuk mendekat dengan laki-laki itu. Padahal mereka adalah teman satu angkatan, bukankah itu pelung baik untuk dirinya? Tapi memang Chaerin saja yang bodoh sampai membiarkan kesempatan untuk mengenal dekat Jimin hanya karena malu berada di dekat laki-laki itu.



Kebodohan Chaerin terus berlanjut dan ini terjadi saat mata kuliah biomedik dasar, yang mana ia berada di ruang praktikum yang berbeda dengan Jimin. Sebenarnya ia tidak peduli karena tujuan utamanya datang ke kampus adalah untuk belajar dan ia juga berada di kelas yang berbeda untuk mempelajari materi biomedik. Namun suatu saat tanpa sengaja ia melihat Jimin yang tengah memegang alat pengukur tensi melalui pintu penghubung laboratoriumnya dengan laboratorium sebelah yang ia asumsikan sebagai ruang praktikum laki-laki itu.



Matanya seketika membulat dan seulas senyum langsung terbentuk di bibirnya. Ia senang bukan main saat melihat Jimin di sana. Hingga membuat dirinya lebih sering memerhatikan Jimin dibandingkan lembar penjelasan yang ia punya untuk praktikum. Sudah dibilang bukan kalau Chaerin itu bodoh dan kebodohannya terus dilakukan apalagi kalau bukan memerhatikan Jimin tanpa henti bahkan hingga satu semester berakhir.



Memasuki awal semester baru, Chaerin membulatkan tekad untuk lebih berkonsentrasi pada kuliahnya dan menyingkirkan sejenak permasahalan Jimin yang terus menyita waktu dan pikirannya. Tapi semua hanya omong kosong dan berakhir tanpa hasil saat ia mendatangi kelas pertama di hari Senin di awal semester genap. Ia yang sejak bangun tidur terus memperingati dirinya untuk fokus belajar dan mengurangi kegiatan stalking Jimin, seketika melupakannya saat melihat namanya tertulis di bawah nama Jimin.



Ia membulatkan matanya dan menutup mulutnya yang sedikit terbuka dengan tangan.



APA?!, batinnya berteriak.



Matanya membola tidak percaya dengan apa yang tengah ia lihat. Ia berusaha untuk meyakinkan dirinya sekali lagi dengan melihat baik-baik lembar kertas pembagian kelas yang terpasang di papan pengumuman. Sama! Hasilnya tetap sama. Namanya berada di kelas 12 untuk mata kuliah komunikasi kesehatan dan tertulis tepat di bawah nama Park Jimin.



Chaerin menggeleng singkat. Ia masih belum mempercayai matanya. Ia bingung. Jujur ia tidak menyangka bahwa ia bisa sekelas dengan laki-laki itu –walau kemungkinannya memang besar karena mereka teman satu angkatan– saat dirinya telah bertekad untuk fokus pada studinya. Namun Tuhan sepertinya memiliki rencana lain untuk ia. Sekelas dengan Jimin itu berarti fokus pada dosennya akan terdistraksi oleh laki-laki itu.



Chaerin tidak tahu harus bagaiamana. Sungguh ia bingung dan dilema. Apa yang harus dirinya lakukan untuk bisa tetap fokus dalam belajar tanpa terganggu dengan Jimin yang kemungkinan besar akan memenuhi pikirannya selama kelas beralngsung. Bisa gila dia jika ia harus mempelajari materi yang sama di malam harinya. Apa kabar tugas kuliahnya yang lain?



Chaerin mengusap wajahnya kasar. Bertepatan dengan itu seseorang menyentuh pundaknya. Kepalanya tertoleh dan menemukan Yoori –sahabatnya– tengah menyunggingkan senyum kepadanya.



“Kenapa masih di sini? Ayo ke auditorium, sebentar lagi kelas akan dimulai.”



Dengan senyumnya yang manis, Yoori merangkul pundaknya. Ia mengangguk dan melangkah beriringan dengan sang sahabat.



Terlalu terkejut dengan kenyataan membuat Chaerin lupa akan kelas pertamanya yang akan dilaksanakan di auditorium bersama seluruh mahasiswa kedokteran angkatannya. Karena baru pertemuan pertama, seperti biasa seluruh mahasiswa akan dikumpulkan bersama untuk mendapat penjelasan mengenai mata kuliah yang mereka ambil. Semuanya baik itu pengaturan jadwal ujian, materi yang akan mereka terima, dan rangkaian kegiatan selama perkuliahan berlangsung.



Chaerin dan Yoori berjalan beriringan memasuki auditorium yang didominasi warna putih – hitam – abu-abu. Keduanya mencari kursi kosong yang tidak terlalu jauh dari podium tetapi juga tidak berada di baris depan. Tapi posisi seperti itu sudah hampir penuh karena memang posisi yang paling aman. Tapi dewi keberuntungan sepertinya tengah memihak mereka. Yoori berseru dan menunjuk baris keenam dari bawah yang berada di tengah yang masih kosong. Chaerin mengangguk dan mereka segera bergegas menuju kursi di sana dan menempatinya.



“Akhirnya..”



Chaerin menyimpan tasnya di bawah dan mengeluarkan meja yang tersimpan di dalam pemangku tangan pada kursi. Ia lantas meletakkan ponselnya di atas meja dan mulai berselancar ria di media sosial sembari menunggu kedatangan dosen mereka.



“Oh shit!” Yoori mengumpat pelan yang berhasil membuat Chaerin menoleh kepadanya.



“Ada apa?”



Yoori menggerakkan kepalanya ke sebelah kiri – bawahnya guna memberitahu penyebab ia berkata kasar. Chaerin yang bingung dan penasaran akhirnya mengikuti arah tunjuk sang sahabat dan seketika matanya membulat. Jantungnya bergemuruh hebat. Dan wajahnya terasa menghangat.



Jimin, laki-laki itu ada di sana. Duduk satu baris di bawahnya dengan kursi yang sejajar dengan dirinya.



Apakah ini kesialan atau malah keberuntungan untuk Chaerin? Ini adalah jarak paling dekat dirinya dengan Jimin selama ia berkuliah. Tentu dirinya senang dengan fakta itu. Tapi ia juga khawatir. Ia khawatir dengan keadaan jantungnya jika terus berada dalam jarak yang sedekat itu. Apakah jantungnya akan baik-baik saja sampai kelas berakhir nanti?



“Jimin sangat tampan. Pantas saja banyak teman-teman kita yang berusaha mendekatinya.” Ujar Yoori pelan.



Chaerin hanya dapat menganggukkan kepala. Presensi Jimin di hadapannya sudah berhasil membuat ia kehilangan kemampuan dasar berbicara. Selain itu komentar Yoori yang mengatakan bahwa banyak teman mahasiswinya yang berusaha mendekati Jimin seakan menampar dirinya. Membuat jantungnya seperti ditusuk sebilah pisau hingga rasa nyeri tidak terhindarkan.



Kenapa rasanya sakit? Kami bahkan tidak pernah berbicara dan hanya bertukar senyum saat tanpa sengaja bertemu. Itu pun hanya terjadi sekali. Tapi kenapa aku merasa tidak rela mendengar ucapan Yoori? Aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya. Aku hanya pengagum yang mengaguminya secara diam-diam. Tapi kenapa aku berharap lebih?, pikir Chaerin.



*  *  *  *



Dua bulan berlalu dan ujian tengah semester pun telah usai. Chaerin begitu senang dengan fakta itu. Setidaknya ia telah melewati setengah semester dengan baik-baik saja walau ia harus bekerja sedikit lebih keras untuk memfokuskan pikirannya selama perkuliahan.



Ia melangkahkan kakinya di Senin pagi itu dengan earphone yang menggantung di telinga. Alunan musik kesukanan menemani langkah kakinya menuju kelas pertama di hari itu. Komunikasi kesehatan. Kelas yang selalu membuat jantungnya berdetak cepat dan tubuhnya terasa menghangat. Apalagi jika bukan karena Park Jimin. Laki-laki yang ia suka dan telah berhasil mengubahnya menjadi bodoh dalam hitungan hari.



Chaerin menekan gagang silver dan mendorong pelan pintu berwarna abu-abu di depannya. Ia melangkah masuk dan kembali menutup pintu di belakangnya tanpa melihat keadaan di dalam ruangan yang hanya mampu menampung 20 mahasiswa itu. Saat fokus pada telepon genggamnya teralih untuk mencari tempat duduk, hal pertama yang disadari Chaerin adalah bukan pada kursi kosong tetapi Park Jimin. Laki-laki itu telah duduk dengan santai di kursinya dan tengah menoleh kepadanya. Ia gugup bukan main. Tetapi dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk bersikap biasa saja. Ia tidak ingin Jimin tahu mengenai perasaannya.



Chaerin buru-buru mengangguk singkat dan tersenyum sebelum menempati kursi di ujung.



Selama kurang lebih sepuluh menit Chaerin berusaha untuk tidak mengangkat kepalanya karena ia tahu pada akhirnya kepalanya akan menoleh ke arah Jimin. Ia tidak mau karena takut Jimin sadar dan dirinya tidak tahu harus berkata apa pada laki-laki itu. Jadi pura-pura menyibukkan diri dengan telepon genggam adalah pilihan paling baik untuk dirinya sembari menunggu dosen datang dan kelas di mulai.



Sepuluh menit yang terasa seperti setengah jam akhirnya berlalu. Seorang wanita berambut sebahu masuk dengan memeluk sebuah map hijau dan tas tangan di pundaknya. Wanita itu menyapa seluruh mahasiswa di kelasnya sembari menempati kursi di dekat papan tulis. Ia mengeluarkan daftar hadir dan menyerahkannya kepada salah satu mahasiswa untuk diedarkan. Setelahnya bibirnya mulai berkata melafalkan materi di pagi hari itu.



Setelah penjelasan singkat dari sang dosen, kini giliran para mahasiswa bertugas untuk berdiskusi mengenai topik hari itu. Mereka dibagi ke dalam empat kelompok yang masing-masing mendapatkan pertanyaan mengenai cara berkomunikasi dengan pasien. Chaerin dan empat temannya mendapatkan topik mengenai geriatrik.



Mereka begitu serius membahas mengenai topik tersebut. Mencari dari berbagai referensi untuk menjawab asumsi yang muncul di otak mereka. Mereka sama sekali tidak membiarkan waktu terbuang sia-sia. Sampai akhirnya tugas tersebut selesai, baik dalam bentuk makalah dan poin presentasi.



Chaerin menghembuskan napasnya. Lega. Karena bisa selesai sebelum kelas berakhir.



Sambil menunggu dosennya kembali dari ruang akademik untuk mengambil lembar penilaian antar mahasiswa yang tertinggal, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan telepon genggamnya. Saat ia membuka kuncinya, sebuah pesan telah menunggu untuk dibaca. Dahinya mengerut saat melihat nama pengirim pesan tersebut. Kepalanya seketika terangkat dan menolah pada sang pengirim yang masih fokus pada topik bahasannya. Ia menatap sang pengirim selama beberapa saat sebelum kembali pada pesan yang ia terima.



From: Park Jimin

Aku menyukainya.



Alisnya mengerut begitu membaca dua kata yang tertulis di sana. Memang apa yang disukai? Ia tidak melakukan apa-apa dan tidak tahu juga apa yang tengah dibicarakan.



Mengenai user id chat, Chaerin memiliki id Jimin karena saat itu mereka mendapatkan tugas untuk meminta data diri antar sesama mahasiswa baru. Kesempatan bagus untuk Chaerin memiliki kontak Jimin. Sayang memang Chaerin yang bodoh atau lebih tepatnya sangat bodoh, saat ia sudah memiliki seluruh kontak laki-laki itu ia sama sekali tidak melakukan hal berguna dan hanya menyimpannya sebagai kontak di telepon genggamnya.



To: Park Jimin

Apa? Memangnya apa yang kamu sukai?



From: Park Jimin

Aku suka saat memergoki mu menatap ku, tapi kemudian kamu pura-pura tidak melakukannya saat aku balik menatap mu.



Matanya membulat sempurna. Tidak menyangka dengan apa yang baru saja dibacanya. Apakah ini benar Jimin yang berada di kelasnya? Atau ini hanya sebuah jebakan yang dilakukan salah satu temannya?



Karena penasaran, ia mengangkat kepalanya. Ada keraguan saat kepalanya mulai terangkat perlahan dan menoleh pada sosok Jimin yang ternyata tengah memandangi telepon genggamnya. Chaerin buru-buru kembali pada teleponnya dan mengetikan balasan.



To: Park Jimin

APA?? Tunggu.. TIDAK! KAPAN AKU MELAKUKANNYA??!



From: Park Jimin

Haha.. tenang. Aku tidak masalah jika kamu melakukannya. Hanya saja untuk sekarang lebih baik kita fokus ke kelas. Tinggal sepuluh menit sebelum kelas berakhir. Setelah itu kamu bisa menatap ku sepuas mu.



To: Park Jimin

What the hell Jimin! Aku tidak melakukan itu!



From: Park Jimin

Jangan berbohong Chaerin. Aku melihatnya.



Chaerin mengangkat kepalanya dan seketika menoleh pada Jimin yang tengah menatapnya. Sial! Bagaimana bisa laki-laki itu tahu?



Tanpa ada niatan untuk membalas kembali pesan Jimin, Chaerin lebih memilih menyimpan teleponnya ke dalam saku celana. Bersamaan dengan itu dosennya kembali masuk dengan membawa lembar penilaian yang tadi sempat dibicarakan. Wanita itu membagikannya dan meminta setiap mahasiswa dapat mengumpulkannya kembali sebelum kelas berakhir. Kedatangan kembali sang dosen memberikan kelegaan untuk Chaerin yang merasa terpojok. Ia berharap dirinya bisa keluar dari kelas tanpa disadari oleh Jimin.



Doa tetaplah doa. Mengenai terkabul atau tidaknya itu bergantung kepada Tuhan. Apakah Tuhan ingin mengabulkannya atau tidak. Begitu pun dengan doa Chaerin agar bisa segera pergi setelah selesai mengisi penilaian untuk teman satu kelompoknya.



Tanpa memikirkan banyak hal, Chaerin memberikan nilai dengan skala 1-10 seperti yang diperintahkan. Kemudian menuliskan komentar terkait kinerja teman satu kelompoknya. Ia berusaha untuk memberikan komentar yang baik tetapi sesuai dengan realita dan tidak terlalu panjang. Karena ia ingin sekali pergi menjauh dari Jimin saat itu juga.



Setelah selesai, Chaerin buru-buru merapihkan buku dan alat tulisnya. Memasukkan barangnya secara asal ke dalam tas sebelum bangkit dari kursi dan berjalan ke arah sang dosen yang tengah merapihkan barang-barangnya. Ia menyerahkan lembaran tersebut dengan memasang senyumnya sebelum berucap terima kasih.



“Terima kasih, Dok.” Ia membungkuk sebelum kakinya kembali merajut langkah pergi.



Chaerin menutup pintu kelasnya dan melangkah lebar keluar dari area diskusi. Ia berjalan tanpa peduli dengan sekitar. Yang ia pikirkan adalah segera lenyap sebelum sosok Jimin muncul di hadapannya.



Sayang seribu sayang, untuk kesekian kalinya dewi keberuntungan tidak berpihak kepadanya. Belum juga ia bisa menghirup udara luar, seseorang mencekal pergelangan tangannya. Membuat langkahnya terhenti kemudian memutar tubuhnya sepihak.



“Jimin.”



Jimin menyunggingkan senyumnya hingga matanya mengecil.



“Kamu mau kemana?”



“I-Itu aku ingin ke kantin.”



“Kita pergi bersama saja. Aku juga ingin ke kantin.” Ujar Jimin dan akan melangkahkan kakinya. Namun langkahnya tertahan oleh tangan Chaerin.



“A-Aku sendiri saja.”



Jimin sedikit membungkuk guna menyejajarkan wajahnya dengan wajah Chaerin. Cukup dekat karena napas hangat keduanya saling beradu. Kemudian menatap obsidan Chaerin.



“Kenapa harus sendiri jika ada yang menemani. Bukankah tadi aku sudah mengatakan jika setelah kelas berakhir kamu bisa menatap ku sepuas mu, begitu pun dengan ku. Jadi mulai sekarang, mari kita pergi bersama.”





~ FIRST LOVE ~







Haera menghirup udara Seoul tamak-tamak karena rasa rindu yang teramat besar. Ia telah meninggalkan negara kelahirannya kurang lebih empat tahun. Dan setelah waktu yang panjang itu, ia akhirnya memutuskan untuk kembali. Kembali ke negaranya. Kembali berkumpul dengan keluarganya. Kembali bertemu dengan teman lamanya. Kembali untuk memulai lembaran hidup baru. Serta kembali untuk merasakan rasa nyeri di dada karena cinta pertamanya.



Haera tidak mengira bahwa setelah empat tahun hatinya bahkan masih sakit saat mengingat cinta pertamanya. Begitu tragis untuk seorang mahasiswi yang belum pernah berpacaran sebelumnya. Belum sempat perasaannya terutarakan, sang cinta pertama malah mematahkannya berkeping-keping dengan sebuah undangan pernikahan yang ia dapatkan langsung dari sang belahan jiwa.



Haera menatap langit biru di atasnya. Berharap pada Tuhan dan alam agar kepulangannya ini tidak membuat dirinya menyesal.



“Lee Haera!”



Panggilan itu membuat kepalanya langsung tertoleh. Matanya mengedar mencari sang pemilik suara melengking yang sangat dikenali.



“Haera!”



Suara nyaring itu kembali terdengar. Haera berusaha untuk menajamkan penglihatan di tengah banyaknya orang dan kendaraan yang berlalu lalang di bandara. Matanya memicing ke depan saat melihat seorang wanita melambai kepadanya. Kemudian ia melihat namanya kembali dilafalkan dan suara nyaring itu kembali memenuhi gendang telinganya.



Senyumnya mengembang dan kakinya langsung merajut langkah menghampiri sang pemilik suara melengking itu.



“Aku merindukan mu!” Wanita itu langsung memeluk Haera dengar erat. Membuat koper yang tengah ditarik Haera terlepas begitu saja.



“Hei Cho Dahyun, lepaskan. Kau membuat ku tidak bisa bernapas.” Keluh Haera.



Dahyun melepaskan pelukannya. Ia tersenyum lucu saat melihat wajah kesal Haera.



“Maaf sahabat ku. Aku terlalu merindukan mu sampai tidak sadar kalau aku menggunakan seluruh tenaga ku.” Kekehnya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.



Haera memutar matanya malas.



“Dari pada memeluk ku seperti ingin meremukkan tulang-tulang ku, lebih baik kau gunakan tenaga berlebih mu itu untuk membantu ku membawa koper. Bukankah lebih bermanfaat?”



“Baiklah baik. Untuk kali ini aku akan membantu mu, Nona Lee.”



Dahyun pun mengambil alih koper besar yang berada di belakang Haera. Kemudian menarik benda biru itu menuju bagasi mobilnya. Dengan kekuatan yang ia miliki, Dahyun dapat mengangkat beban koper itu hingga masuk ke dalam bagasi. Ia lantas menutup bagian belakang mobilnya sebelum masuk menuju bagian pengemudi.



Dahyun mulai menghidupkan mesin mobilnya. Perlahan kendaraan roda empat itu bergerak meninggalkan bandara. Selama perjalanan menuju apartemen Haera, Dahyun tidak henti-hentinya bertanya mengenai kabar sahabatnya itu dan bagaimana keadaannya selama ia berada di Amerika. Apa saja yang ia lakukan di sana? Bagaimana kehidupan sosial warga Amerika? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang Dahyun tanyakan sampai membuat Haera geleng kepala.



“Serius kau harus jawab pertanyaan ku yang tadi. Apakah kau menemukan penggantinya di sana?” Dahyun mengulangi pertanyaannya.



Terdengar tarikan napas panjang sebelum suara Haera terdengar menyahuti pertanyaan Daehyun.



“Sedihnya tidak. Aku pernah berkencan tetapi hanya selama lima bulan karena ternyata kami tidak cocok.”



“Benarkah? Wah.. miris sekali kehidupan asmara mu, sahabat ku.”



Haera mendelik tajam. Ia tidak bisa menerima komentar yang terdengar menyepelakan dirinya.



“Hei bagaimana dengan mu? Apakah kamu lebih baik dari ku? Apakah kamu sekarang sudah mempunyai kekasih, huh?!”



Dahyun tertawa canggung. Benar. Ia sendiri tidak kalah menyedihkannya seperti sang sahabat. Malah mungkin dirinyalah yang paling menyedihkan karena sampai saat ini belum juga memiliki kekasih.



Haera mendengus. “Asmara mu bahkan lebih tragis dari pada aku, Cho Dahyun!”



Dahyun hanya bisa meringis. Ia baru sadar kalau ternyata dirinya tidak kalah menyedihkan dari sang sahabat. Dan pada intinya adalah keduanya sama-sama menyedihkan jika sudah berbicara mengenai kekasih.



Setelahnya, Dahyun dan Haera sama-sama membungkam mulut mereka. Dahyun sibuk memerhatikan jalan sedangkan Haera sibuk memerhatikan kota yang ia rindukan. Menatap gedung bertingkat, para pejalan kaki, dan pohon-pohon yang tertanam di pinggir jalan. Semuanya terlihat biasa saja tetapi Haera merindukannya.



Ia merindukan saat bisa berjalan seperti para pejalan kaki itu saat akan menuju halte. Ia rindu bagaimana pohon-pohon itu memberikan kesejukan saat musim panas. Dan yang paling ia rindukan adalah saat ia bisa menghabiskan waktunya dengan sang cinta pertama di rooftop kampus.



Haera menggeleng bar-bar. Cukup! Ia tidak boleh memikirkan pria itu lagi. Ia harus bisa melupakannya. Melupakan semua tentang pria itu termaksud perasaannya. Tidak baik jika ia tetap memendam perasaan yang hanya bertepuk sebelah tangan. Sangat menyedihkan jika ada yang tahu kemalangannya itu.



“Kau kenapa?” Suara Dahyun tiba-tiba menyadarkan Haera dari pikirannya. Ia menoleh dan menemukan sang sahabat sesekali melirik padanya dengan dahi mengerut.



Haera menggeleng. “Tidak apa-apa.” Jawabnya setelah itu kembali memerhatikan kota melalui jendela di sebelahnya.



“Bohong. Kau pasti tengah memikirkan Sehun, iya kan?”



“Tidak! Siapa yang-”



Dahyun mendecak sebal. “Jangan berbohong pada ku Lee Haera. Kita sudah berteman lama, jadi aku tahu saat kau berbohong dan tidak. Dan sekarang kau sedang berbohong.”


Ia menatap sang sahabat saat mobil yang ia kendarai berhenti karena lampu lalu lintas berubah merah. Matanya menatap lekat-lekat Haera yang hanya mampu bungkam karena ucapannya.



“Kau masih menyukainya. Kau belum bisa melupakannya. Kau telah gagal membuktikan hipotesa mu waktu itu.” Lanjutnya dengan mata memicing. Membuat Haera secara tidak sadar memundurkan tubuhnya hingga menyentuh pintu di belakangnya.



“Ti-Tidak. Aku sudah tidak...”



“Sehun sudah bercerai. Wanita itu ternyata hanya menjebak Sehun dengan mengatakan bahwa pria itu menidurinya saat mabuk. Ia melakukannya untuk merampas harta Sehun. Namun kebenaran terungkap setelah satu bulan pernikahan mereka. Tanpa ampun Sehun langsung menceraikannya dan kemudian kau tahu apa yang ia lakukan?” Dahyun menaikkan sebelah alisnya dengan menatap dalam serta penuh ketertarikan pada Haera.



“A-Apa?”



“Dia mencari mu. Dia bahkan datang ke rumah mu dan bertemu dengan kedua orang tua mu. Tapi tidak ada jawaban yang ia dapatkan. Kemudian dia menemui ku tetapi karena aku sudah berjanji kepada mu, aku tidak memberi tahunya. Sejujurnya aku kasihan padanya karena ia terlihat sangat sedih saat tahu bahwa kau memutuskan untuk pergi. Tetapi aku tidak bisa melakukan apa pun.”



“K-Kau bohong.”



Kepalanya menggeleng. Matanya masih menatap dalam manik kecoklatan Haera sebelum kembali berucap. “Jika kau tidak percaya, kau bisa lihat secara langsung. Dia tidak menikah kembali atau bahkan berkencan sejak mengetahui kau pergi.”



Dahyun menjeda kalimatnya. Kemudian tubuhnya sedikit dicondongkan pada Haera dan berkata penuh penekanan.



“Karena dia sepertinya juga menyukai mu.”



*  *  *  *



Ucapan Dahyun terus terngiang dalam pikirannya. Membuat hatinya yang telah ia coba untuk teguhkan mulai kembali goyah hanya karena asumsi instingtif sang sahabat. Tubuhnya pun ikut bereaksi aneh saat kalimat Dahyun bermain-main di setiap lobus otaknya.



Kenapa aku merasa jantung ku berdetak tidak karuan dan wajah ku mulai memanas?, batin Haera.



Tangannya terangkat menangkup pipinya. Mengusapnya perlahan sebelum kepalanya menggeleng.



Tidak. Aku tidak boleh begini. Aku-,



“Haera?”



Ia terdiam. Tidak bergerak atau berbalik. Tubuhnya seketika terasa kaku saat suara berat yang selama ini ia rindukan mengalun indah ke dalam telinganya. Bohong jika ia bilang tidak rindu dengan suara itu. Karena nyatanya setiap malam ia seakan mendengar suara berat itu yang memanggil namanya.



“Haera, kamu Lee Haera?” Suara itu semakin mendekat. Membuat Haera ingin pergi tetapi otak dan tubuhnya tidak seirama.



Sosok itu menyentuh pundak Haera. Lantas memutar tubuhnya hingga mereka berdiri saling berhadapan.



“Haera, ini benar diri mu!” Serunya nyaris berteriak.



Tanpa menunggu jawaban Haera tangan kekarnya langsung menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Merengkuh seperti tidak ada hari esok. Merasakan kehangat yang sempat menghilang dan ia pikir tidak akan pernah dapat ia rasakan lagi. Menyesap tamak-tamak aroma kesukaannya –vanila– yang menguar dari tubuh Haera.



“Aku merindukan mu. Sangat merindukan mu. Kenapa kamu meninggalkan ku?” Sosok itu berujar dengan suara yang mulai bergetar. Membuat Haera terkejut karena tidak menyangka bahwa sosok di depannya bisa selemah itu. Perasaan terkejut itu bertambah saat ia merasakan pakaiannya melembab.



“Sehun, kamu menangis?” Tanya Haera khawatir di balik dada bidang Sehun.



Sehun tidak menjawabnya. Ia masih terlalu merindukan sosok Haera dan ia tidak memedulikan hal lainnya selain menyalurkan rasa rindunya.



“Sehun..” Haera kembali memanggilnya. Kali ini ia mendorong tubuh Sehun hingga membuat pelukannya merenggang dan Haera dapat melihat dengan jelas wajah pria itu.



“Kenapa kamu menangis?” Tanyanya sembari mengusap air mata yang membasahi pipi Sehun dengan ibu jarinya.



“Aku merindukan mu, Lee Haera.” Jawabnya dengan suara yang serak.



Haera tidak tahu harus apa dan berkata apa. Hatinya mengatakan hal yang sama seperti yang Sehun katakan. Ia juga merindukan Sehun, bahkan lebih besar dari yang dapat Sehun pikirkan. Dan lagi-lagi kalimat Dahyun terputar dengan lancarnya seperti pemutar film.



“Kau masih menyukainya. Kau belum bisa melupakannya. Kau telah gagal membuktikan hipotesa mu waktu itu.”



Tanpa pikir panjang Haera kembali membenamkan kepalanya di dada bidang Sehun. Tangannya melingkari pinggang pria itu dengan erat. Menikmati aroma tubuh Sehun yang selama ini selalu teringat dan tidak pernah bisa ia lupakan sekali pun ia sempat berkencan dengan mantan kekasihnya.



“Maafkan aku..” Ujar Haera lirih.



Hanya kata maaf yang dapat terucap dari bibirnya. Ia tidak tahu adakah kata lain yang lebih pantas dari pada permintaan maafnya. Jika ada, ia akan mengatakannya dan menggantikan kata klise itu untuk menyampaikan rasa menyesalnya.



Sehun semakin merengkuh Haera. Tidak ingin gadis itu kembali meninggalkanya. Tidak peduli kini banyak pasang mata yang tengah menatap mereka aneh karena berpelukan di tengah jalan. Sehun tidak memedulikannya. Biarkan orang lain berkata buruk mengenai dirinya yang terpenting adalah Haera tetap berada di sampingnya.



Pelukan antara keduanya berlangsung cukup lama. Dan Haera menjadi orang pertama yang menjuhkan tubuhnya dan melepaskan kontak fisik di antara mereka. Kepalanya lantas menengadah untuk menatap Sehun yang juga ikut menatapnya.



“Ikut aku.” Ajaknya sembari meraih lengan pria itu dan menggandengnya untuk mengikuti langkah kakinya.



Kaki jenjangnya membawa dirinya dan juga Sehun menuju taman terdekat. Ia menuju salah satu kursi taman dan mendudukkan tubuhnya di sana, diikuti dengan Sehun yang duduk di sampingnya. Selama beberapa menit awal, tidak ada yang berbicara. Hanya membiarkan suara angin yang berhembus jarang. Sampai akhirnya Haera menoleh dan mendapati Sehun yang ternyata tengah menatapnya.



“Apa kabar mu?”



Sehun memasang senyum kecilnya. “Menurut mu bagaimana?”



Alisnya mengerut sebelum memberikan jawaban. “Em.. baik?” Jawabnya dengan nada keraguan yang terdengar jelas.



“Benarkah. Apakah itu yang kamu lihat? Ku pikir Dahyun pasti sudah menceritakan bagaimana hidup ku pada mu.”



Haera menunduk. Entah mengapa rasa bersalahnya kembali datang begitu mendengar kalimat Sehun.



“Maaf.” Cicitnya.



Terdengar kekehan kecil sebelum kepalanya terasa diusap oleh tangan besar Sehun hingga perasaan hangat seketika menjalar ke dalam hatinya.



“Tidak perlu minta maaf, Haera. Ini semua bukan salah mu.”



Haera bergeming. Kepalanya pun masih tertunduk hingga Sehun harus menyentuh dagunya dan membawa pandangan Haera kembali kepadanya.



“Maaf karena aku tidak menyadari perasaan mu terhadap ku. Maaf telah membuat mu terluka dengan kebodohan ku di masa lalu. Maaf, tapi ku rasa kata maaf tidak akan cukup untuk menyampaikan penyesalan ku yang menyebabkan mu  pergi.”



Tangan besar Sehun meraih kedua tangan Haera dan menggenggamnya. Matanya tidak pernah ia lepaskan dari mata Haera yang selalu berhasil membuat dirinya merasa tenang.



“Kamu tahu, setelah kamu pergi aku merasakan kehampaan. Aku tidak tahu kenapa aku merasakannya padahal saat itu aku telah menikah. Dan kehampaan itu semakin menjadi saat aku tahu bahwa wanita sialan itu menjebak ku. Aku merasa dunia ku yang kosong kini hancur seketika. Aku berusaha mencari mu tetapi tidak ada yang memberi tahu ku dimana kamu. Sampai akhirnya aku memutuskan berhenti karena ku pikir ini memang keiinginan mu.” Ada jeda singkat yang Sehun berikan. Ia memanfaatkan waktu singkat itu untuk menatap lekat-lekat wajah Haera yang begitu ia rindukan.



“Setelah aku berhenti mencari mu, aku baru sadar kenapa aku merasa begitu kehilangan mu. Itu semua karena ternyata aku mencintai mu, Lee Haera. Aku mencintai teman ku sendiri. Sayangnya saat itu aku terlalu bodoh untuk menyadari perasaan ku pada mu.”



Seperti tersambar petir, jantung Haera semakin bergemuruh hebat. Darahnya berdesir cepat. Dan perutnya dipenuhi sesuatu yang berterbangan menggelitik dirinya.



“Sehun...” Gumamnya pelan tetapi masih dapat Sehun dengar.



Ia merasakan tangannya semakin erat di genggam Sehun. Tatapan pria itu pun ikut berubah semakin serius.



“Haera aku tahu kamu masih sendiri, Dahyun yang mengatakannya pada ku hingga akhirnya aku mencari mu dan kita bertemu di sini. Sayangnya aku tidak tahu bagaimana hati mu setelah aku menyakitinya. Aku tidak yakin apakah hati mu masih hanya ada aku atau sudah digantikan oleh pria lain. Tapi Haera...”



Salah satu tangannya melepas genggaman pada tangan Haera dan beralih menangkup pipi gadis itu. Menyentuhnya pelan dan ibu jarinya mengusap dengan gerakan teratur.



Dengan menggenggam tangan dan mengusap beraturan pipi Haera, Sehun kembali membuka mulutnya untuk melanjutkan kalimat yang sempat ia tahan.



“Aku akan menunjukkan pada mu seberapa besar rasa cinta yang ku miliki untuk mu. Aku akan berusaha untuk membuat hati mu jadi hanya terisi oleh nama ku lagi. Sampai akhirnya kita bisa bersama tanpa harus kembali terpisah. Membangun keluarga bahagia. Hanya ada aku, kamu, dan anak-anak kita kelak.”



E . N . D



 
Happy Valentine Everyone :)

(P.s: Thank you Sal for the fake chat that you sent me at 2015. That chat gave me the idea for 'Look at Me'. And fyi, this stupid girl just understood the meaning at this 2019 after idly read the chat again haha)

감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts