#12 Accompany - Produce 45





Cast :


Lee Jeno  ~  Nam Chaerin



Genre :


Romance (AU - Alternate Universe)





o  O  O  O  o





Ku simpan kembali ponsel ku ke dalam tas. Kemudian memutar kunci yang telah terpasang di tempatnya sejak beberapa menit yang lalu, karena aku berencana untuk menghidupkan motor andai saja tidak ada pesan masuk. Setelah memutar benda metal itu, aku segera menekan tombol untuk menghidupkan mesin motor ku yang berada di bagian kanan stir.



“Chaerin!”



Panggilan itu membuat tangan ku yang akan memutar pegangan untuk menaikkan gas berhenti. Kepala ku menoleh ke arah sumber suara begitu pun dengan tubuh ku yang ikut sedikit memutar.



“Oh ada apa, Jen?”



“Kamu mau pulang?”



Aku menganggukkan kepala. “Memangnya ada apa? Apakah ada yang terlupakan?” Tanya ku dengan sedikit khawatir.



Ia menggaruk bagian belakang kepalanya. Kemudian menatap ku dengan senyuman yang terlihat canggung.



“Em.. kamu pulang sendiri?”



Aku mengerutkan kening sebelum mengangguk.



“Kenapa? Apakah ada masalah?” Tanya ku yang masih tidak mengerti.



Tangannya masih setia berada di balik tengkuknya saat bibirnya kembali berucap.



“Em.. ini kan sudah hampir malam, bagaimana jika aku mengantar mu?”



Alis ku menukik tajam. Mengantar? Aku kan berkendara dengan motor begitu pun dengan dia.



“Tapi aku bawa motor, Jeno.”



“Aku tahu. Maksud ku, aku akan mengantar mu tapi dengan motor masing-masing. Aku akan menemani mu karena aku khawatir kamu pulang sendiri padahal matahari sudah nyaris menghilang, Chaerin.”



Oke.. ini berlebihan. Jantung ku tidak bisa mengatasinya. Rasanya seperti mendapat serangan dalam jangka waktu yang dekat. Aku bisa tidak baik-baik saja jika seperti ini terus.



“Ta-Tapi Jen...”



“Aku tidak menerima penolakan, Chae. Jadi ayo aku temani. Tidak baik anak perempuan pulang sendirian dan aku juga tidak setega itu.” Ujarnya santai sesantai kakinya yang melangkah menuju motornya yang berada tidak jauh dari milik ku.



Aku masih terus memerhatikannya hingga ia mulai mengendarai kendaraan roda duanya itu mendekat ke arah ku.



“Ayo..”



Aku mengangguk. Kemudian mulai mengendarai motor ku sendiri pergi dari sekolah menuju ke rumah dengan Jeno yang dengan setianya mengikuti ku. Seperti perkataannya, ia menemani ku hingga aku sampai di rumah. Tidak pernah motor kami terpaut dengan jarak jauh. Dia selalu berada di samping atau tepat di belakang ku. Seperti mengawasi dan menjaga ku.



“Terima kasih..” Ucap ku saat kami telah sampai di depan rumah ku.



Ia melepaskan helm-nya dan saat itu juga aku melihat senyumnya yang membuat kedua mata itu ikut melengkung karena tarikan dari kedua sudut bibirnya.



“Sama-sama.”



Selama beberapa saat aku larut dalam manisnya senyum seorang Lee Jeno yang membuat diri ku ingin mencicipinya. Lengkungan di kedua bibirnya itu terlihat manis seperti gulali, aku jadi ingin mencobanya. Ugh.. Chaerin pikiran mu itu benar-benar tidak berbobot.



Namun akal sehat ku kembali sebelum hal yang mungkin akan membuat ku malu terjadi.



“Apakah kamu ingin masuk?”



Ia menggeleng singkat. “Tidak, terima kasih. Ini sudah hampir malam jadi aku pulang saja.”



“Jeno, terima kasih. Aku jadi merepotkan mu.”



Kepalanya kembali menggeleng, kali ini sedikit lebih cepat.



“Tidak, tidak merepotkan. Lagi pula aku kan yang memaksa untuk menemani mu. Aku tidak tega dan tidak sejahat itu untuk membiarkan mu pulang sendiri, Chae.”



Aku hanya bisa diam mendengar penuturannya. Lidah ku seperti mengelu sampai menyulitkan diri ku untuk berbicara.



Kejadian ini seperti dejavu untuk ku. Saat itu, saat rapat pertama. Jeno juga melakukan hal yang sama. Ia mengantar ku sampai rumah, kemudian membuka helm-nya dan tersenyum seperti saat ini. Senyum yang mengembang lebar hingga matanya ikut melengkung. Yang berbeda adalah saat itu aku menumpang di motornya karena motor ku sedang dalam perbaikan.



“Kalau begitu aku pamit. Terima kasih untuk hari ini, Chaerin. Sampai jumpa Senin nanti.”



*  *  *  *



Guru biologi kami baru saja meninggalkan ruang kelas. Kepergian pria dengan tubuh tidak terlalu tinggi itu langsung mendatangkan Cheonsa dan Hara duduk di depan ku dan Sora. Keduanya, ah maksud ku ketiganya menatap ku dengan penuh selidik terlebih Cheonsa.



“Jadi bisa jelaskan yang sejelas-jelasnya kepada kami, Nona Nam?” Itu Cheonsa yang bertanya. Kalimatnya dipenuhi dengan penekanan dan rasa penasaran yang tinggi.



Ok.. jadi setelah kepulangan Jeno kemarin aku segera mengirimi ketiga sahabat ku ini pesan. Aku bermaksud menceritakan segala yang terjadi selama satu hari itu kepada mereka. Berbagi kebahagian itu hal yang baik kan? Dan itulah alasan ku melakukannya. Aku pikir mereka akan membalas sama senangnya dengan perasaan ku sore itu atau paling tidak biasa saja seperti mereka pada umumnya. Tapi dugaan ku ternyata meleset, bahkan terlalu meleset dari sasaran.



Cheonsa menjadi orang pertama yang memberikan balasan dengan membalas ‘APA?!?!’. Disusul Sora yang lebih tenang tetapi cukup menusuk ‘Hah ini sudah biasa! Kau selalu seperti ini, Chaerin.’. Terakhir adalah Hara yang sama tenangnya dengan Sora tapi jangan lupakan umpatan yang selalu ia sisipkan disetiap kalimatnya jika dirinya terkejut ‘Dasar gila! Jangan ulangi kebodohan yang pernah kau lakukan.’.



“Aku sudah menceritakan semuanya di pesan itu. Jadi apa lagi yang harus ku ceritakan?”



Terlihat Cheonsa menarik napasnya dalam sebelum menghembuskannya.



“Jangan pura-pura bodoh, Nam Chaerin. Maksud ku bukan bagaimana kau bisa pulang ditemani Jeno, tapi ceritakan apa yang terjadi dengan otak mu setelah kejadian di hari Sabtu itu.”



Aku mendengus kasar. Cheonsa itu memang sahabat yang tidak punya hati. Apakah ia perlu berkata seperti itu? Sungguh menyebalkan sekali gadis di hadapan ku ini!



“Otak ku baik-baik saja, Jung Cheonsa. Otak ku masih berada di kepala dan tidak pindah ke kaki.”



“Tapi sepertinya otak mu itu memang sudah pindah, Chae.”



Aku menoleh pada Sora. Ia dengan santainya menatap ku yang bingung sembari membuka bungkus permen coklat yang ia simpan di kolong meja. Setelah terbuka, ia memasukkan makanan berwarna coklat itu ke dalam mulutnya sebelum kembali membuka suaranya karena mengetahui ketidakpahaman ku.



“Jika otak mu masih berada di kepala, kau tidak mungkin merasa sesenang itu. Kejadian mu di hari Sabtu itu sama seperti saat kau menemukan Luhan di instagram. Kau menggebu-gebu karena katanya kau tertarik padanya. Tapi itu hanya euforia kecil yang timbul akibat kekosongan hati saja. Tidak lebih.”



“Dan jangan lupakan Jaemin. Kau juga menceritakan bahwa Jaemin mengkhawatirkan mu yang pulang sendiri di sore hari. Lalu kau bilang kau tersentuh dengan perhatiannya. Ku mohon Chae, jangan jadi bodoh untuk kesekian kalinya hanya karena asumsi instingtif mu itu.”



Itu Hara yang menambahkan. Dia seperti pelengkap yang selalu berhasil melengkapi kejadian yang baru terjadi dengan yang telah terjadi. Kemudian menyusunnya seumpama puzzle hingga dapat terangkai dengan tepat.



“Jadi bagaimana Chaerin? Apakah kau masih bisa mengatakan kalau otak mu baik-baik saja?” Cheonsa menarik salah satu sudut bibirnya. Tersenyum miring dengan matanya yang berputar malas.



Tsk.. gadis ini benar-benar menyebalkan! Rasanya aku ingin sekali menggaruk mukanya yang menyebalkan itu.



Aku menghela kasar kemudian menatap satu per satu sahabat ku ini.



“Aku tidak berasumsi. Bukankah kalian sudah membaca pesan Jaemin dan mendengarkan cerita ku mengenai Jeno. Semua itu benar, aku tidak menambahkan atau mengurangi. Jadi jika aku beranggapan bahwa mereka menaruh perhatian lebih kepada ku, itu tidak salah kan?”



Hara kini yang menghela napasnya. Terlihat sekali dirinya yang mencoba untuk meredam rasa kesalnya.



“Ok, jika itu anggapan mu. Tapi bagaimana jika semua itu hanya karena mereka ingin berbuat baik. Jeno menemani mu karena dia tahu sejak pagi tadi kalian berdua berkeliling ke berbagai tempat. Sudah pasti kau lelah. Dia hanya mencoba untuk memastikan bahwa rasa lelah mu tidak akan mencelakai mu. Lalu Jaemin, bagaimana jika pesan itu memiliki tujuan yang sama seperti Jeno –hanya ingin memastikan kau selamat karena dia tahu kau lelah setelah berkeliling kemudian mencari pesanannya–?”



“Nam Chaerin. Ayolah jangan ulangi kebodohan saat Luhan atau laki-laki yang lalu. Kau itu selalu terjebak dengan pemikiran mu sendiri. Kau selalu menganggap perhatian kecil seperti tanda besar yang sebenarnya menggiring mu pada rasa sakit.”



Perkataan Hara yang disambung Sora membuat aku seperti dicubit. Rasanya sakit tetapi mampu membuat mata ku yang mengantuk dan nyaris tertidur di kelas saat guru sejarah kami menerangkan kembali terbuka.



Apa benar jika aku hanya melebih-lebihkan perhatian mereka? Tapi kenapa rasanya tetap beda. Perhatian Jaemin dan Jeno itu berbeda dari teman laki-laki yang pernah dekat dengan ku sebelumnya. Aku merasakan sesuatu yang nyata dibandingkan sebelumnya. Aku merasa perhatian mereka bisa aku jangkau, tidak seperti sebelumnya.



Argh! Jadi apa yang seharusnya aku pikirkan dan aku rasakan?



“Jadi menurut kalian apa yang harus aku lakukan?”



Cheonsa yang mendengar pertanyaan ku mendecakkan lidahnya.



“Sudah pasti kau harus menghapus pikiran bodoh mu itu, Chaerin! Jangan pernah berpikir lagi jika perlakuan mereka selama ini karena ada sesuatu terhadap mu. Cukup anggap saja mereka memang melakukannya karena kalian satu tim. Jika kau dalam kondisi buruk, maka proses pengerjaan buku tahunan akan sedikit mengalami kendala karena peran mu cukup penting di sana.”



Aku menghela napas. Aku rasa itu sulit untuk dilakukan. Bagaimana jika otak ku memanipulasi rencana ‘cemerlang’ Cheonsa ini?



“Chaerin.”



Aku menoleh ke arah pintu kelas saat Sekyung menyebut nama ku.



“Ada Jeno, dia mencari mu.”



Aku mengangguk dan melafalkan kata ‘terima kasih’ kepadanya.



“Ingat perkataan ku, Chae. Jangan berlebihan dalam menanggapi perlakuan Jeno atau Jemin atau laki-laki mana pun!” Cheonsa kembali mengingatkan yang hanya bisa ku balas dengan anggukan singkat.



“Aku menemui Jeno dulu.” Pamit ku.



Aku beranjak dari tempat duduk dan bergegas menuju Jeno yang menunggu di luar kelas.



Untuk kali ini, biarkan aku tetap dengan pemikiran awal ku. Aku tidak ingin mengubahnya karena terlalu nyata dan sayang untuk ditinggalkan. Aku tidak bisa melakukan itu. Jika memang nanti aku malah merasa sakit karena ulah dan kebodohan ini, tolong Tuhan semoga Cheonsa, Sora, dan Hara akan tetap mendengarkan curahan hati ku dan membantu ku untuk sembuh.




E . N . D




감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts