Good Criminals #5




“Doyoung, kau sakit?” Jaehyun terlihat benar-benar sudah tidak punya tenaga lagi untuk menaikkan suaranya. Tenggorokannya panas karena sudah berteriak selama hampir dua puluh menit, merunut semua hal buruk yang diyakininya akan terjadi jika membiarkan Hwa Min tetap di sini.


“Dengar, apa pun yang mau kau katakan, itu sudah terlambat,” tukas Doyoung. “Dia sudah di sini. Dia sudah mengetahui Yuta dan Mark dan kau dan semuanya. Mengusirnya bukan opsi.”


“Kau sengaja, kan? Dasar sialan! Aku menyuruhmu untuk berhenti menemui cewek itu dan kau malah membawanya ke sini!” Jaehyun melemparkan pandangannya pada Hwa Min yang sedang berbincang canggung dengan Mark, matanya terpicing.


“Yeah, aku sengaja,” jawab Doyoung jujur. “Aku tak akan minta apa-apa lagi darimu. Cukup izinkan dia tinggal di sini. Aku yang akan bertanggung jawab sepenuhnya jika terjadi apa-apa.”


“Pasti!” sambar Jaehyun, suaranya tinggi dan keras sampai membuat Mark dan Hwa Min, serta Yuta yang berada di dapur menoleh. “Pasti akan terjadi apa-apa! Cepat atau lambat, pasti kita akan berurusan dengan polisi. Aku tahu kau menyukai dia, tapi astaga, kukira kau tidak akan sebodoh ini!”


“Jaehyun. Hwa Min bahkan tak punya telepon genggam. Aku dan Yuta akan mengawasinya. Demi Tuhan akan kupastikan…”


“Kalau begitu buatlah dia turun langsung!” Jaehyun menyela. “Pacar tersayangmu itu harus ikut kita menjarah Merkuri besok. Kalau tidak mau, maka aku sendiri yang akan menyeretnya pergi dari sini.”


“Aku akan tanya dulu padanya.”
“Kau pikir aku sedang memberi pilihan, huh? Ini perintah, Kim Doyoung. Setidaknya dia harus sama kotornya dengan kita jika mau bergabung. Dengan begitu, paling tidak dia akan berpikir dua kali sebelum berkhianat.”


Doyoung menghela napas. Nampak benar-benar enggan sebelum mengangkat tangannya seolah ia tak punya pilihan lain. “Oke,” katanya pelan, mengalah, “aku mengerti. Dia akan ikut.” 


Walaupun begitu Jaehyun tetap terlihat tidak puas. Ia menatap Doyoung dengan tajam—sekaligus kecewa—sebelum berbalik dan berjalan ke sofa di mana Mark dan Hwa Min duduk. Perbincangan mereka sontak terputus. Jaehyun memusatkan perhatiannya pada Hwa Min sementara tangannya bergerak mengambil mantelnya.


“Kerja bagus, Nona Jaksa. Tinggal sedikit lagi untuk menghancurkan kami, bukan begitu?” ujarnya sinis, lantas berbalik pergi sebelum Hwa Min sempat membalas. Ia menyenggol bahu Doyoung dengan keras dan keluar tanpa repot-repot menutup pintunya.


Doyoung melangkah pelan menghampiri Hwa Min dan gadis itu langsung berdiri dengan raut menyerah. “Apa sekarang kau sudah tahu apa yang harus kaulakukan?” katanya pada Doyoung. “Bawa aku pulang sebelum anak itu membunuhku!”


“Dia tak akan membunuhmu,” Doyoung menyangkal tenang, nyaris seolah dia tak peduli. “Omong-omong, kau harus ikut kami besok.”


“Ke mana?”
“Merkuri?” Mark menjawab—sekaligus bertanya—dengan nada seolah ia tak bisa memercayai telinganya. “Wah, ini akan menjadi misi pertamamu, Noona.”


Yuta yang baru selesai membuat roti isi di dapur berjalan menghampiri mereka dengan mata membelalak. “Serius?”


“Ya.”


Hwa Min merasakan sesuatu menyumpal tenggorokannya sampai ia tak bisa bicara. “K-kalian akan mencuri?”


“Apa kau tuli? Barusan jelas-jelas dia bilang kau juga ikut,” sergah Yuta, “bukan hanya kami yang akan mencuri, tapi kita. Bukan kalian tapi kita, mengerti?”


“Kenapa aku harus ikut mencuri?” protes Hwa Min, ia memalingkan kepalanya pada semua pria di ruangan itu dan menggeleng tegas. “Aku tidak mau.”


“Kau hanya perlu menunggu di mobil.” Doyoung menenangkan. “Tidak akan lama. Tenang saja.”
“Aku tidak mau.”
“Noona, aku juga akan ada di mobil. Kita akan aman,” Mark menimpali. Bibirnya melengkung lebar dan kepalanya bergerak dalam anggukan tipis, meyakinkan Hwa Min sepenuh hati bahwa segalanya akan menyenangkan dan tidak ada yang perlu ditakuti.


Namun Hwa Min tetap menggeleng.


“Untuk kali ini ikutlah dulu.” Doyoung memohon. “Kalau kau tak suka, kau tak perlu ikut di misi selanjutnya.”


“Heh, memangnya boleh begitu?” Mark langsung menyikut perut Yuta, lalu mendesis padanya menyuruh pria itu diam.


“Okay, my dear?”


Sejujurnya Hwa Min tetap enggan untuk pergi, tapi melihat Doyoung bicara begitu, dengan mata penuh harap dan suara memohon, rasanya ia tak bisa menolak. Hwa Min pun mendecakkan lidahnya dan memutar mata, “Terserahlah.”



**********



Keesokan harinya, misi pertama dengan kehadiran Hwa Min pun dimulai. Kontribusi Jaehyun diperlukan untuk memata-matai keadaan di dalam lokasi pencurian, jadi ia pun turut ada di dalam Jeep usang mereka malam itu, tepatnya di balik kemudi, terlihat agung dan menawan dalam balutan celana bahan gelap dan kemeja satin maroon-nya. Di sebelahnya, Yuta duduk di kursi penumpang, membuka lebar-lebar sebuah kertas berisi denah bangunan Merkuri yang dibuat dengan tulisan tangan yang detail, lantas mendiktekan beberapa rencana alternatif kalau-kalau ia dan Doyoung tak bisa keluar lewat pintu yang direncakan—pintu belakang.


Hwa Min duduk di jok belakang, diapit oleh Doyoung dan Mark. Gadis itu terus meremas lututnya, tak bisa menyembunyikan kepanikannya. Ia melirik Mark yang tengah sibuk dengan laptopnya, membuka aplikasi ilegal dan mengetikkan kode-kode abstrak yang sama sekali tak bisa ia pahami. Mark terlihat santai, dengan lolipop di mulut dan jemari yang ribut. Sesekali kepalanya mengangguki ucapan Yuta, atau Jaehyun, sesekali juga menimpali mereka.


Sementara itu Doyoung yang duduk di sebelah kanannya nampak sama sekali terpisah dari obrolan di mobil ini. Ia memandang keluar jendela dengan raut tak terbaca, belum membuka mulut sejak roda mobilnya melaju.


“Apa kau selalu sependiam ini?” Hwa Min akhirnya bertanya, “atau apa ini karenaku?”


Doyoung menoleh padanya, mengangkat bahu. “Hmm… yah, aku cuma berpikir seharusnya kita tidak membawamu sekarang. Semua ini… agak terlalu… entahlah, berisiko?”


“Kupikir kau mau aku menjadi Bonnie-mu, eh Tuan Clyde?”
“Aku tahu,” sambarnya, “tapi maksudku tidak secepat ini. Kau bahkan tak mengerti dasarnya. Bagaimana jika sesuatu terjadi?” Doyoung mendesah khawatir, dan itu kedengaran tulus sekali sampai Hwa Min hampir tersenyum, “Kuharap tidak ada yang mendatangimu dan Mark selagi kalian di mobil.”


“Siapa yang bilang dia akan tetap di mobil?” Tiba-tiba saja Jaehyun—yang sama sekali tidak diajak bicara—menyahut.


“Apa maksudmu?” Doyoung terdengar waspada.
“Dia harus menyamar denganku.”
“Apa kau gila? Itu terlalu berbahaya. Mana bisa dia ikut masuk!”
“Tentu saja bisa. Lagian dia tidak sendiri, ada aku. Sejujurnya membiarkan dia berdua saja dengan Mark di sini malah jauh lebih berbahaya.” Jaehyun melirik Hwa Min dari spion tengah dengan sinis. “Mark akan sibuk membobol pengamanan gedungnya, dan saat itu dia bisa saja kabur ke jalanan, teriak-teriak bilang Kim Doyoung sedang berada di Merkuri. Atau dia bisa kabur ke kantor polisi.”


Hwa Min mengerutkan keningnya, benar-benar penasaran dengan isi kepala Jaehyun. Mana mungkin rencananya seburuk itu?


Doyoung yang tidak terima langsung mendebat lagi, namun Jaehyun tak menanggapinya sama sekali. Kemudian tanpa aba-aba, pria itu memutar setirnya dengan tajam dan tahu-tahu saja mereka sudah menepi di bahu jalan selisih dua bangunan di seberang Merkuri. “Ayo turun,” katanya pada Hwa Min, mengabaikan Doyoung yang masih berkoar-koar di samping gadis itu.


“YAH JUNG JAEHYUN!”
“Doyoung, tidak apa-apa!” Hwa Min pun angkat bicara, sudah muak dengan semua adu mulut yang tak ada habisnya ini. Dengan penuh kebencian, gadis itu mengalihkan pandangannya pada Jaehyun, “Bisakah setidaknya kau beri tahu aku tempat apa Merkuri itu?”


Jaehyun langsung menoleh pada Hwa Min dan tersenyum mengolok, “Kau sudah mendengar kata Merkuri dari kemarin dan baru bertanya sekarang, Nona Jaksa? Impresif.” Pria itu lantas mengedikan kepalanya ke seberang. “Gerakkan kepalamu sedikit dan lihatlah sendiri!”


Hwa Min menoleh ke luar kaca mobil dan menemukan plang besar yang berkelip-kelip. “D-diskotik?”


“Benar, idiot. Sekarang kalian turunlah!” suruh Yuta tak sabar. “Kita tak punya banyak waktu.”
“Ya ampun, mana mungkin aku masuk ke diskotik mahal begitu dengan kaus begini! Yang ada aku diusir!”


“Aku tahu kau akan bilang begitu.” Jaehyun tak membuang-buang waktu. Ia langsung mengeluarkan sesuatu yang mengilap dari tasnya dan melemparnya ke muka Hwa Min. “Ganti dengan ini.”


Hwa Min mengirimkan tatapan marah pada Jaehyun sebelum menyadari bahwa ia sedang memegang sebuah gaun. Ia mengulurkan gaun itu di depan wajahnya dan serta-merta terkesiap melihat betapa cantiknya dress sequin silver di tangannya itu. “Ya ampun!”


“Wah!” Mark yang duduk di sebelahnya turut berdecak kagum.
“Itu indah, aku tahu. Cepat ganti!” suruh Jaehyun bosan.
“Maksudmu di sini?”
“Di mana lagi?”
“Dan kalian tetap di sini?” tanya Hwa Min tak percaya. Namun mereka semua tetap bergeming. “Astaga! Keluarlah!”


Mark, Yuta dan Jaehyun tersadar akan kebodohan mereka dan langsung membuka pintu masing-masing. Ini pertama kalinya ada anggota perempuan di tim, jadi jangan salahkan mereka. Hwa Min menoleh pada Doyoung yang tak bergerak. “Apa yang kau tunggu?”


“Kau yakin tak butuh bantuan?”
“Lucu sekali,” dengus Hwa Min sarkastik. "Pergi!"


Setelah mengganti pakaian, Hwa Min mengikuti Jaehyun masuk ke dalam Merkuri. Benar-benar mengikutinya seperti anjing peliharaan. Ia membuntuti Jaehyun ke meja bar dan memerhatikannya memesan minuman. Pria itu nampak mengawasi keadaan di sekelilingnya sebelum berbisik pada kerah kemejanya, tepatnya pada walkie talkie seukuran anggur yang terhubung langsung pada walkie talkie milik Doyoung, Yuta dan Mark. Matanya mengedar ke beberapa titik di lantai dua sebelum kembali berbisik. Bosan, Hwa Min pun mengalihkan perhatiannya dari Jaehyun ke deretan minuman di belakang bartender, lalu pada akhirnya lebih memilih menunduk menekuri meja bar. Suara musik berdentum di sekeliling mereka. Semua orang berbau seperti percampuran parfum mahal dan keringat. Menggelikan.


“Aku tahu apa maksudmu,” ucap Hwa Min beberapa saat kemudian, begitu Jaehyun tak lagi berbisik. Jaehyun meliriknya tak acuh.


“Kau ingin membuatku terlibat, kan? Kau berpikir dengan begini aku akan takut untuk lapor polisi. Apa aku benar?”


Jaehyun diam saja. Dia menoleh ke lantai dansa dan menggerakkan kepalanya mengikuti entakan musik. Sikapnya itu membuat Hwa Min yakin bahwa pertanyaannya barusan tidak akan dijawab. Hwa Min pun bertopang dagu di meja, dan saat itu tiba-tiba saja Jaehyun mencondongkan wajahnya dan berkata dengan suara keras, “Selama ini aku berpikir pacarmu itu tidak punya hati. Namun nampaknya dia sudah menghabiskan semuanya untuk satu orang. Untukmu.”


Hwa Min mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba kau bilang begitu?”


“Entahlah. Menurutmu kenapa?”
“Mana kutahu.”
“Supaya kau berkenan menggunakan hatimu juga, barangkali?”
“Huh?”
“Jika membuatmu terlibat dalam misi kami tidak akan menahanmu untuk lapor polisi, aku harap,” Jaehyun berhenti bicara begitu seorang bartender datang menyajikan minumannya, ia mengangguk pada bartender itu lalu kembali menoleh pada Hwa Min, melanjutkan, “aku harap semoga saja perasaan pacarmu yang sebesar itu setidaknya bisa menahanmu.”


“Kau berpikir aku ini sangat tidak bisa dipercaya, ya?”
“Aku tidak berpikir kau tidak bisa dipercaya, aku tahu kau tidak bisa dipercaya. Cepat atau lambat kau akan lapor polisi.”


“Kenapa kau yakin sekali aku akan lapor polisi?”
“Karena apa lagi yang mau kau lakukan di sini?” Jaehyun menyambar cepat. Kemarahan berkelebat di bola matanya. “Kau tidak terlihat seperti sangat mencintainya atau apa.”


“Aku meninggalkan pekerjaan dan keluargaku untuk Doyoung,” balas Hwa Min penuh penekanan.
“Yeah, hanya sementara, untuk menyamar menjadi kami, bukan begitu?” Jaehyun tersenyum sebelum menenggak minumannya dan mengernyit merasakan tenggorokannya terbakar. “Menyamar adalah tugasku, Nona Jaksa. Aku bisa mengenali orang-orang sepertimu dengan mudah. Kau menyedihkan. Kau membuat dirimu terlihat seolah peribahasa ‘ada udang di balik batu’ diciptakan khusus untuk menggambarkanmu seorang.”


Hwa Min menggeleng-geleng dan memutar matanya. Itu berlebihan sekali. Jaehyun mungkin tak sepenuhnya salah, tapi tetap saja berlebihan.


“Aku akui aku bukan orang baik, tapi setidaknya aku tulus berada di pihaknya,” lanjut Jaehyun.
“Kalau begitu aku akan berusaha tampak lebih tulus di depanmu, Tuan CEO,” sindir Hwa Min dingin. “Aku tak percaya aku terlibat pembicaraan seperti ini dengan orang sepertimu.”


“Memangnya kau mau terlibat pembicaraan seperti ini dengan orang seperti apa? Orang yang bekerja di kepolisian?”


“Astaga, hentikan! Kau malah membuatku benar-benar ingin lapor polisi, tahu tidak.”
“Kau bisa membodohi pacarmu, tapi tidak denganku.” Jaehyun mendecih dan bicara dengan suara rendah seraya kembali mendekatkan bibir gelas ke bibirnya. “Anak itu biasanya pintar, tapi jadi sebegini bodohnya karena cinta.”


Hwa Min mencoba untuk mendebat ucapan itu, tapi tiba-tiba saja bibirnya kelu. Pada akhirnya Hwa Min pun hanya bersedekap, beringsut menjauh dari Jaehyun. Semua ucapan pria itu membuat hatinya berat dan terbebani. Sebab segalanya memang benar dan ia membenci kemunafikannya ini setengah mati. 


“Mereka sudah selesai,” bisik Jaehyun kemudian. Ia berdiri dan meletakkan beberapa lembar uang di samping gelasnya, lantas menoleh pada Hwa Min. “Ayo.”


“Mereka sudah selesai? Secepat ini?”
“Menurutmu segini cepat?” Jaehyun mendengus mencela. “Ayo.”


Saat sedang berjalan keluar, tiba-tiba saja seseorang di lantai dua berteriak kencang mengumumkan sesuatu. Namun suara musiknya terlalu kencang hingga sulit untuk mendengar ucapannya. Hwa Min mencengkeram erat kemeja Jaehyun dengan mata membelalak cemas. “Apa mereka ketahuan?” Gadis itu bisa merasakan lututnya mendadak lemas karena terlalu gugup. Ia nyaris jatuh kehilangan keseimbangan mengikuti langkah Jaehyun.


“Jaehyun-ssi, jawab aku!”
“Aku tidak tahu. Diamlah!”
“Kau kan bisa berkomunikasi dengan mereka lewat walkie-talkie-mu!”


Suasana di dalam diskotik menjadi semakin kacau. Lampu-lampu neon dan musik masih berdentum heboh, namun semua orang sudah terlalu panik untuk menikmati. Mereka semua berlarian mencoba menyelamatkan diri. Beberapa orang menyenggol bahu Hwa Min maupun Jaehyun dan mendesak melewati mereka supaya bisa keluar lebih dulu.


“Kebakaran,” gumam Jaehyun begitu telinganya berhasil mendengar samar-samar suara teriakan pengunjung. Ia menoleh pada Hwa Min dan mengulangi lebih keras, “’Kebakaran! Selamatkan dirimu!’ Itu yang mereka katakan.”


“Kebakaran? Astaga! Apa Doyoung baik-baik saja?”
“Sshhh!” tegur Jaehyun mengingatkan. “Jangan sebut namanya!”
“Tapi…”
“Bisakah kau diam dan bantu aku berpikir! Pintunya penuh sesak sedangkan kita harus keluar sekarang juga!”


Hwa Min menggigit bibirnya seraya mengedarkan pandangan. Kepalanya pening memerhatikan kekacauan di sekelilingnya. Orang-orang terjepit di antara pintu dan tiang besi, menangis dan menjerit. Musik mengentak kelewat nyaring sampai rasanya gendang telinganya mau pecah. Penerangan semakin redup dan asap mulai menguar memenuhi langit-langit.


“Yuta bilang ada pintu darurat di sayap kiri bangunan,” cetus Hwa Min mendadak teringat.


Jaehyun dengan cepat menoleh pada pintu yang dimaksud. Ia menangkap tangan Hwa Min dan segera berlari ke sana. Sebagian pintu itu terhalang oleh meja biliar dan catnya sama gelapnya dengan tembok di sekelilingnya. Letaknya yang tersembunyi itu membuat tak banyak orang menyadari keberadaannya.


Lewat walkie talkie, Jaehyun menyuruh Mark untuk menyetir jeep mereka ke depan pintu darurat tersebut sementara ia menggeser meja biliar yang menutupi pintu dengan pinggulnya.


Saat mereka melewati pintu itu, di saat yang sama Doyoung dan Yuta keluar dari pintu di lantai dua dan menuruni tangga darurat persis di area exit yang sama di atas mereka. Hwa Min tak bisa menyembunyikan kelegaannya saat melihat Doyoung dan tanpa berpikir langsung menerjang memeluknya sampai pria itu terdorong menabrak tembok. “Ya Tuhan! Syukurlah kau selamat. Apa ada yang terluka? Kau baik-baik saja?”


Doyoung terlalu terkejut untuk memproses semuanya. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah tersenyum lebar dan mengangguk dengan ekspresi kepalang senang. Itu benar-benar sambutan yang tidak biasa untuknya.


Yuta memutar mata melihat pemandangan itu dan melesak kasar melewati mereka. Ia menghampiri Jaehyun dan membantunya membuka pintu keluar utamanya yang digembok.


Begitu berhasil melepas lilitan rantai yang mengikat kenop pintunya, Jaehyun langsung mundur, memberi ruang bagi Yuta untuk menghancurkan gembok itu dengan besi yang sengaja direkatkan di sol sepatunya. Yuta berhasil memecahkannya di tendangan ketiga. Gembok dan rantainya jatuh berkelontangan di lantai keramik dan mereka semua berhamburan keluar, melompat masuk dengan terburu-buru ke dalam jeep mereka yang sudah menunggu persis di depan pintu. Mark lantas menginjak pedal gasnya dalam-dalam dan melaju kencang bahkan sebelum Yuta sempat menutup pintu.


“Belok kiri di perempatan kedua dan kita akan aman.” Jaehyun menginstruksikan Mark setelah mengawasi GPS-nya.  Pria itu lantas menoleh ke jok belakang dan memandang Doyoung sambil mengernyit, “Apa yang terjadi? Kenapa ada kebakaran?”


“Kami menemukan lemari penuh obat,” mulai Yuta tersengal.
“Narkoba,” timpal Doyoung, sama tersengalnya.
“Dan kami tak tahu harus diapakan semua narkoba itu. Kami tak mungkin membawanya.”
“Dan lebih tak mungkin lagi jika didiamkan.”
“Yeah, jadi Doyoung menyarankan untuk membakarnya saja.”
“Ide yang cemerlang,” Doyoung menyahut memuji dirinya sendiri, kemudian ia menudingkan jarinya pada Yuta dengan tampang berang. “Tapi anak setan ini malah berpikir untuk membakar seluruh ruangannya juga.”


“Aku tidak berpikir begitu. Sudah kubilang aku tidak sengaja menjatuhkan minyaknya.”
“Kau pasti tidak sengaja juga menjatuhkan koreknya, ya?” sindir Doyoung tajam.
“Memangnya menurutmu aku harus apa? Mengelap minyaknya dulu, begitu?”
“Demi Tuhan aku benar-benar butuh partner baru,” bual Doyoung.


Yuta tertawa dibuat-buat selama beberapa saat sebelum memekik mengejutkan. “LAKUKAN SAJA!” suaranya menantang dan ia terlihat persis seperti pemeran wanita dalam sitkom picisan yang sedang cemburu buta; dramatis dan berisik. Yuta menanggapi ocehan asal Doyoung kelewat serius sampai-sampai wajahnya memerah. “Kau pikir aku senang melakukan ini denganmu?!”


Doyoung melontarkan desahan frustrasi dan serta-merta ikut mengamuk. “Memangnya aku senang melakukan ini denganmu?” Rahangnya mengeras dan ia berteriak dengan wajah penuh tekad. “Aku benar-benar akan cari partner baru. Lihat saja!”


Hwa Min yang turut duduk bersama mereka di jok belakang menutup telinganya rapat-rapat dengan telapak tangan. Setulus mungkin berharap perdebatan keduanya cepat berakhir. Rasanya benar-benar tak habis pikir bagaimana bisa Doyoung dan Yuta tinggal seatap selama ini dan belum saling bunuh juga.


“Yeah, gelarlah audisi di TV nasional! Buatlah survival show. Criminal 101! Terserah.”
“AKAN KULAKUKAN!”
“LAKUKANLAH!”
“YAH! Berhenti bertengkar!” Jaehyun yang tak tahan akhirnya meninggikan suaranya sampai membuat semua orang terkejut. Perang saudara di jok belakang pun berhenti. Doyoung dan Yuta mendengus dan saling memalingkan muka. Syukurlah. Tingkah mereka benar-benar bikin sakit kepala seisi mobil, kecuali Mark, sepertinya—yang malah cekikikan terhibur di balik kemudi. “Aku cuma khawatir karena suasananya amat kacau di dalam. Banyak yang terjepit karena berebut untuk keluar. Kuharap mereka baik-baik saja,” kata Jaehyun, nada dan raut cemasnya bukan sesuatu yang bisa dibuat-buat.


Hwa Min benar-benar tak mengerti bagaimana bisa seorang pelaku kejahatan mengkhawatirkan keselamatan korbannya begitu, tapi ada hal lain yang membuatnya tak kalah heran. “Kenapa bisa ada narkoba di Merkuri?”


“Tentu saja ada narkoba di Merkuri,” balas Jaehyun dengan nada jengah, seolah pertanyaan itu amatlah bodoh. “Bukankah polisi sudah tahu? Lebih baik kau berhenti pura-pura lugu. Polisi melindungi mereka sampai detik ini karena disuap, kan?”


“Kenapa sih kau sinis sekali padaku? Aku bahkan bukan polisi. Aku cuma staf dengan pangkat terendah di kejaksaan.”


“Sama saja,” gumam pria di jok depan itu bebal.
“Apanya yang sama?” suara Hwa Min meroket. “Asal kau tahu, hubungan kepolisian dan kejaksaan sekarang ini sudah sangat renggang.”


Jaehyun memutar mata sembari membenarkan posisi duduknya kembali menghadap depan. “Serenggang-renggangnya hubungan kalian, tetap saja sama-sama boneka negara.”


“Kau itu…”
“Lebih baik energimu yang besar itu kaugunakan untuk membantu Yuta,” potong Jaehyun. “Masukkan masing-masing 200.000 won ke amplop. Kita harus selesai membagikannya sebelum pagi. Aku ada meeting penting besok. Dan Kim Doyoung,” suaranya berubah menjadi menegur saat memanggil Doyoung, “berhenti memicing padaku dan ajari pacarmu itu nama alias kita jika masih mau melihatnya di sini. Dia tak bisa berhenti menyebut namamu selama di diskotik.”


Doyoung langsung memalingkan mukanya dari Jaehyun dan mendengus.


“Kalian punya alias?”
“Ya, akan kuberi tahu nanti.”


Hwa Min mengangguk pada Doyoung kemudian menggerakkan kepalanya sedikit ke depan untuk melihat Yuta. Pria itu sudah memasukkan sebagian uang curiannya ke dalam amplop-amplop—dengan tekun, sendirian, tanpa disuruh, dan lagi-lagi hal itu terasa ganjil untuk Hwa Min sehingga ia membuka mulutnya lagi, “Kepada siapa uang-uang ini akan dibagikan?”


“Tunawisma di sekitaran Hangang.” Mark yang sedari tadi sibuk menyetir akhirnya berbagi suara.
“Semuanya?”
“Ya.”
“Tidak semuanya,” tanpa mengalihkan fokusnya sama sekali, Yuta mengoreksi. “Kalau sedang butuh kami akan mengambil beberapa ratus ribu juga.”


“Cuma itu?” Hwa Min menoleh pada Doyoung, “Lalu apa yang kalian dapat dari ini? Maksudku…”
“Tak ada yang mau tahu apa maksudmu.” Jaehyun mendorong rambutnya ke belakang dan menoleh pada Hwa Min dengan raut frustrasi. “Serius, Nona Jaksa, bisakah kau diam dan mulai membantu Yuta? Apa kita sedang berada di kantor polisi sekarang? Kenapa kau gemar sekali menginterogasi?”


“Ya ampun, baiklah. Kau tak perlu kasar begitu.”
“Kasar apanya!” Jaehyun meraung, secara harfiah. Dia terlihat muak sekali seolah ingin menerkam Hwa Min dan melemparnya keluar. Dan itu membuat Doyoung ikut membentak. “Rich boy sudahlah!”


Rich boy?” ulang Hwa Min meledek. “Itu nama aliasmu?”


Jaehyun mendesah dan Doyoung langsung mengulurkan amplop-amplop kosong dari pangkuan Yuta kepada Hwa Min. “Akan kujelaskan nanti.”



**********



Pada dini hari, saat keheningan menyelimuti (Yuta sudah tertidur pulas di sofa, Mark sudah kembali ke flatnya, begitu pula Jaehyun), Doyoung menghampiri Hwa Min yang tengah berbaring di dekat perapian. Sebagian dari dirinya ingin berterima kasih karena sudah mau melewati hari yang panjang ini bersamanya, sementara sebagian yang lain ingin meminta maaf karena hal yang sama. Maaf sudah membuatmu melewati hari seperti ini bersamaku.


Doyoung berlutut perlahan-lahan kira-kira satu meter di belakang Hwa Min. Gadis itu meringkuk memunggunginya, entah masih terjaga atau tidak. Rambut pendeknya digelung ke atas sementara selimutnya tersampir asal di sekitar perutnya. Doyoung beringsut mendekat dengan lututnya, tangannya mengulur untuk meraih ujung selimut tersebut, hendak membenarkan posisinya supaya tersampir sempurna melewati bahu sang gadis. Namun baru saja Doyoung mengangkat selimutnya sedikit, Hwa Min tiba-tiba menoleh. Keduanya sontak terkesiap dan menjerit dengan suara keras.


Doyoung tersentak ke belakang hingga jatuh terduduk di lantai kayu sementara Hwa Min langsung bangkit ke posisi duduk. Mereka saling membelalak dengan kaget selama beberapa saat sebelum secara serempak menoleh pada Yuta, yang untungnya sama sekali tidak terusik.


“Apa yang kau lakukan!” Hwa Min menanyainya dalam bisikan sewot, masih terkejut.
“Kukira kau sudah tidur. Aku cuma mau membenarkan selimutmu.”
“Mana bisa aku tidur di tempat begini.”
“Kau bisa, kok. Kemarin kau tidur nyenyak persis di sini. Aku percaya kau bisa melakukannya lagi.”


Doyoung pasti bercanda, namun Hwa Min tetap saja tak senang mendengar candaannya itu dan mendengus. “Kau benar, terserah. Omong-omong, terima kasih perhatiannya, tapi aku bisa membenarkan selimutku sendiri. Pergilah jika hanya itu yang mau kau lakukan.”


Hwa Min hendak membaringkan badannya kembali saat Doyoung berkata, “Aku mau bicara.”


Alis Hwa Min bertaut, “Bicara apa?”


“Tidak di sini. Ayo!”  Doyoung menepuk-nepuk debu di jinsnya seraya berdiri. Kemudian mengulurkan tangannya pada Hwa Min, tak lupa mengumbar senyum miring, “Kau akan terkejut melihat betapa indahnya pemandangan di sini.”


Pada awalnya Hwa Min berpikir Doyoung akan mengajaknya keluar, sebab mereka memang menuju pintu keluar. Namun sayangnya pria itu malah berbelok persis sebelum tiang utama dan membawanya menaiki tangga sampai ke lantai tiga.


Jendela-jendela tinggi berjejer di lantai itu, namun kacanya banyak yang sudah pecah sehingga hanya menyisakan bingkainya saja. Doyoung menceluskan diri di salah satu bingkai kosong itu dan menuntun Hwa Min berjalan di antara kegelapan, mengitari selasar panjang bangunan berbentuk mercusuar tersebut hingga tibalah mereka di sebuah balkon luas tak beratap.


Voilà.” Doyoung tersenyum puas sambil mengulurkan tangannya ke angkasa.


Hwa Min nampak terpana. Ia melangkah sampai ke pagar pembatas dan tersenyum semringah. Pemandangan kota dan langit terpapar dengan megahnya di depan matanya. Doyoung mengambil posisi di sebelah sang gadis, bersender miring di pembatas dan tersenyum bangga seolah dialah yang melukis pemandangan itu.


“Jadi,” Hwa Min memulai dengan suara tenteram, seolah sedang tersihir, “apa yang mau kau bicarakan denganku?”


Doyoung menoleh menatapnya, bibirnya tersenyum sementara badannya berputar menyandarkan punggungnya di pembatas. Bersedekap. “Aku cuma berpikir kau sudah melewati hari yang panjang, jadi apa salahnya memberi hadiah.”


“Hadiah? Maksudmu pemandangan ini?”
“Ini dan ada lagi.”
“Oh, ya?  Dermawan sekali. Apa itu?”
“Penjelasan.”
“Penjelasan?”
“Ya. Aku akan menjawab pertanyaanmu.”
“Semua pertanyaanku?”
“Aku tidak sedermawan itu.”
“Benar juga,” Hwa Min tertawa. Suasana hatinya sedang sangat bagus jadi ia terus melemparkan senyum ke mana-mana sambil menghirup udara segar. Ia lalu bergerak semakin dekat dan mencondongkan kepalanya pada sang lawan bicara. Pipinya mengenai lengan Doyoung sampai pria itu terlonjak. “Lima pertanyaan akan menyenangkan.”


Wajah Doyoung mendadak kaku. Ia menggerakkan lengannya yang tidak ditempeli Hwa Min untuk mengusap tengkuknya canggung. Serbuan sensasi memusingkan melandanya dan rasanya aneh sekali. Bukan begini seharusnya. Biasanya dialah yang selalu bertingkah penuh percaya diri di depan Hwa Min. Dialah yang suka menggoda, bukan sebaliknya. “Sebenarnya aku hanya akan memberimu tiga.”


“Cukup adil.”
“Memang,” Doyoung berpaling kaku, berusaha sebisa mungkin untuk nampak tak terpengaruh dengan Hwa Min yang tiba-tiba agresif. “Jadi silahkan.”


Hwa Min tak langsung bertanya. Ia punya banyak sekali pertanyaan hingga mustahil rasanya untuk hanya memilih tiga.


“Baiklah, pertama,” katanya setelah merenung panjang, mengangkat kepalanya dari lengan Doyoung dan bersender miring di pembatas, menatapnya penuh selidik, “Apa kau serius akan membawaku ke pulau? Atau apa itu cuma akal-akalanmu saja supaya bisa membuatku hidup bersamamu seperti ini?”


Doyoung bersyukur Hwa Min menjauh darinya, karena entah mengapa kontak fisik dengan gadis itu tiba-tiba saja membuatnya sesak napas dan hilang konsentrasi. Jadi supaya gejala aneh nan memalukan itu tidak terjadi lagi, ia menarik sikunya ke sisi tubuhnya dan menjaga jarak seaman mungkin dari Hwa Min, lantas mulai menata diri untuk berkonsentrasi.


Hwa Min menelengkan kepalanya kepada Doyoung, menunggu pria itu menjawabnya. Namun Doyoung tak kunjung membuka mulut dan malah menatap ke kejauhan dan mengernyit sendiri seolah tak yakin. Doyoung sudah menduga Hwa Min akan menanyakan ini, tapi entah mengapa baru sekarang rasa bimbang untuk membeberkan semuanya itu menusuk kepalanya.


Hwa Min yang melihat keraguan di wajah Doyoung itu langsung mengingatkan, “Kau sudah janji akan menjawab.”


“Benar, dan jawaban untuk pertanyaan pertamamu itu adalah ya,” sambutnya. Ia menggeleng kecil mengusir keraguannya dan melanjutkan dengan lebih tegas. “Ya, aku serius mengajakmu ke pulau. Kau hanya harus bersabar beberapa lama lagi sebelum kita benar-benar pergi ke sana.”


“Kau akan meninggalkan teman-temanmu begitu saja?”
“Sudah sepantasnya begitu, kan? Pada akhinya semua yang bersama-sama akan memilih, meninggalkan atau ditinggalkan.” Doyoung merasakan beban berat menggelayut di dadanya seperti parasit. “Aku tidak mungkin mencuri dan bersembunyi seperti ini selamanya.”


“Tapi bukan berarti kau harus pergi secepat ini,” Hwa Min membalas begitu saja, kemudian terkejut sendiri dengan perkataannya. Apa ia baru saja menghasut Doyoung untuk tetap menjadi kriminal? Hwa Min menggigit bibirnya, meyakinkan diri dalam hati bahwa ia hanya sekadar bersimpati. “Maksudku, hm.. aku tahu walaupun kalian berempat sering bertengkar, kalian tidak benar-benar saling benci.”


"Ini bukan masalah saling benci." Doyoung nampak larut sendiri dalam pikirannya. Suaranya terdengar rendah dan sayu di antara embusan angin bulan Juli yang dingin saat ia menjelaskan, “Jaehyun akan membuka cabang perusahaannya di Amerika Serikat. Dia bilang dia harus turun langsung untuk mengawasi perkembangan cabangnya di sana sampai stabil. Dia tak bilang kapan atau berapa lama tepatnya akan pergi. Tapi aku bisa menyimpulkan dia akan pergi tahun ini, untuk waktu yang cukup banyak baginya hingga tak bisa bicara sambil menatapku.”


Hwa Min terdiam seribu bahasa, benar-benar tak tahu harus menanggapi informasi itu seperti apa. Jaehyun jelas merupakan salah satu bagian vital dalam semua aksi kriminal Doyoung. Absennya Jaehyun pasti akan sangat berpengaruh bagi keberlangsungan kelompok mereka.


“Mark juga akan lulus tahun ini. Dia mendapat undangan dari pusat penelitian swasta nomor satu di Korea, Stein Lab. Mereka mau mengontraknya untuk bekerja di sana begitu lulus. Mark bilang pada kami bahwa ia tidak akan menerima tawaran itu. Dia bilang dia akan tetap bersama kami. Tapi bagaimana mungkin aku membiarkan anak itu menghancurkan masa depannya sendiri? Terlebih di saat aku tahu betapa dia selalu mengagung-agungkan Stein Lab seperti Nabi.”


Doyoung memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan, “Lalu Yuta…”


“Dia juga akan pergi?”
“Cepat atau lambat, ya,” jawab Doyoung, kemudian suaranya menjadi kian melamun, “Satu setengah tahun lalu dia tiba-tiba muncul di pekarangan salah satu ‘rumah’ tempatku bersembunyi. Hilang ingatan dan tak punya identitas. Jadi Jaehyun mengajaknya bergabung. Yah, sebenarnya dia memang tak benar-benar punya pilihan lain selain ikut dengan kami. Bisa apa dia di luar sana? Tapi Yuta mulai dekat dengan seorang perempuan akhir-akhir ini. Mereka saling suka dan pada akhirnya mereka akan menginginkan ikatan yang lebih dari apa yang mereka punyai ini.


“Walau enggan kuakui, namun nyatanya sekarang Yuta bukan lagi seseorang yang tidak punya pilihan. Dia bisa pergi kapan saja. Dia bisa hidup normal bersama perempuan itu dan aku tahu dia akan memilih itu. Siapa pun akan memilih itu.”


Semua yang diucapkan Doyoung adalah beban yang dipendamnya sendiri selama ini, dan sekarang, setelah ia membaginya dengan seseorang, hatinya terasa jauh lebih ringan. “Dan tinggalah aku sendiri. Satu-satunya yang tanpa rencana.” Doyoung menoleh pada Hwa Min, mengembuskan napas dan tanpa sadar sudah beringsut mendekatinya lagi, “Hingga akhirnya kita tak sengaja bertemu di supermarket Busan malam itu.”


Doyoung tertawa getir. “Terdengar konyol memang, tapi rasanya sungguh seperti takdir, seolah kau adalah jawaban dari semua masalahku, seolah akhirnya aku juga bisa membuat rencana seperti yang lain.”


Suaranya terdengar amat rapuh saat ia mengucapkan semua ‘rencana’ impiannya itu, dan Hwa Min refleks mengulurkan tangan untuk menggenggamnya.


Doyoung tersenyum dan menggenggam tangan Hwa Min lebih erat. “Rencanaku saat itu hanyalah, aku ingin hidup bersamamu, wanita pertama dan satu-satunya yang membuatku jatuh cinta. Lalu kemudian aku teringat aku tak bisa pergi begitu saja dan mulai hidup baru seperti Yuta. Aku buronan negara.”


“Maka dari itu kau memilih untuk hidup di pulau?”


Doyoung mengangguk, “Pulau yang jauh, sangat jauh hingga tak ada siapa pun yang mampu mengenaliku.”


Hwa Min mengangguk mengerti. Ia memandang bola mata hitam Doyoung yang segelap malam dan tak bisa menemukan hal lain kecuali rasa tenteram yang menghanyutkan. Keduanya saling memandang dengan penuh pemahaman dan penyesalan, mungkin hanya untuk beberapa menit tapi rasanya seperti percikan keabadian. Rasanya seperti selamanya. Hingga akhirnya cahaya yang silau dan hangat merebak menyentuh wajah keduanya. Pagi sudah menyapa dan walaupun enggan mengakui, mereka sama-sama tahu bahwa sihirnya akan segera berakhir.


Jemari Doyoung menyentuh pipi Hwa Min, menyelipkan rambutnya yang berantakan ke balik telinganya. “Kita ke bawah sekarang?” bisiknya. “Kau butuh tidur.”


Hwa Min mendongak menatap matanya lagi. Kelembutan dalam suara dan sentuhan Doyoung terpancar juga dari matanya. Dan tiba-tiba ia merasa seperti sedang berada di kelas antropologi lagi. Saling tersenyum manis dan kasmaran lagi.


“Tapi aku masih punya dua pertanyaan yang belum kau jawab,” kata Hwa Min dengan suara serak.
“Aku ingat. Jangan khawatir.”


Hwa Min tersenyum lemah pada Doyoung sebelum melempar pandangannya ke sekeliling kota yang nampak berkilauan disirami mentari pagi. “Bisakah kita ke sini lagi nanti malam?”


“Kemana pun yang kau mau, my dear.”



TBC


Holla again.. aku bener2 ngejar nulis scene terakhir yang di balkon itu biar bisa publish dua kali di bulan Juni dssdgjh jadi maaf kl rasanya agak buru2


Anyway, ff ini bakal abis kurang lebih 3 part lagi..  Makasih buat siapa pun yang udah berkenan baca sejauh ini, makasih pokoknya udah mampir


Have a good day yall byebye



Comments

Popular Posts