Hurtful Desire : ๋ - Snow
Salju pertama di bulan Desember. Chaerin berada di bawahnya
dan merasakan bagaimana lembut dan dinginnya benda putih itu saat mengenai
kulitnya. Kepalanya menengadah, menatap langit yang mulai menjingga dengan
butiran kecil yang turun dari sana. Menadahkan telapak tangannya untuk
menghalangi benda halus itu jatuh ke tanah.
Hawa dingin yang mulai menerpa tubuhnya mengingatkan ia pada
betapa dinginnya salju dua tahun lalu di negara kelahirannya, Korea. Suhu yang
rendah saat itu tidak sebanding dengan kedinginan hatinya yang perlahan membeku
saat menghadapi kebenaran yang dalam kenyataan telah ia coba sangkal, tetapi
pada akhirnya tetap terungkap. Rasanya sakit. Tapi entah kenapa setelah dua
tahun berlalu, rasa sakit itu masih tetap ada dan dengan angkuhnya berdiam di
dalam hati.
โHei Lim Chaerin! Kenapa kamu berdiam di sana? Ayo masuk.โ
Suara melengking sang sahabat membuyarkan pikiran gadis
berambut sebahu itu. Ia menolehkan kepalanya dan mengangguk pada gadis yang
tengah berjalan memasuki rumah. Meninggalkan dirinya yang masih setia berada di
luar dengan salju yang baru turun.
Ia kembali mengangkat kepalanya ke atas. Memejamkan matan
dan merasakan butir salju yang jatuh tepat di wajahnya. Membiarkan tubuh kurusnya
diterpa angin dingin yang berhembus. Merasakan sedingin apa hari pertama saat
salju mulai turun.
โTernyata aku masih belum bisa melupakannya.โ Gumam Chaerin
pelan sembari memegangi dadanya yang terasa nyeri seperti kembali mendapatkan
tusukan pada bekas luka yang belum mengering.
โLIM CHAERIN!! Aku tidak mau mengurus mu jika nanti kamu
sakit!โ
Teriakan memekikan yang dilengkapi dengan ancaman itu
membuat Chaerin membuka matanya. Melupakan sejenak apa yang tengah ia rasakan
akibat manipulasi yang baru saja dilakukan pikirannya. Senyum kecilnya terukir
sebelum membalas teriakan dari dalam rumah oleh sosok yang sama.
โBaik.. baik. Jangan berteriak lagi, Shin Bora. Aku juga
tidak mau membelikan obat radang jika nanti tenggorokan mu terluka karena
berteriak.โ
Ia terkekeh. Lantas benar-benar mengikuti sang sahabat yang
telah berada di dalam rumah. Meninggalkan butiran salju dan hembusan dingin
yang telah berhasil membuka luka masa lalunya. Luka yang timbul karena cupid
bodoh yang malah memanahkan panah kepadanya kemudian mencabut sesukanya tanpa
memikirkan akibat yang ditimbulkan.
โApa yang kamu lakukan tadi? Kamu seperti orang bodoh tahu.
Menatap langit dan membiarkan salju mengenai wajah mu.โ
Baru saja ia mendaratkan bokongnya, sambutan menyebalkan
telah diberikan Bora yang tengah menikmati secangkir coklat yang uapnya masih
mengepul di permukaan. Ia melirik singkat sebelum mengalihkannya pada ponsel
yang sedari tadi tersimpan di balik mantel hangatnya.
โTidak ada.โ
Terdengar dengusan setelah Chaerin memberikan jawaban dengan
suara tak berminatnya. Kemudian hening mengambil alih keadaan. Chaerin yang
memegangi ponselnya, sibuk berkutat dengan benda tipis itu dan larut dengan
sesuatu yang ada di sana. Sedangkan Bora, sahabatnya itu begitu menikmati kehangatan
dan rasa manis dari minuman coklatnya serta tayangan komedi yang tengah
ditayangkan di televisi.
Setelah beberapa menit mereka sibuk masing-masing.
Membiarkan ruang tengah itu hanya dipenuhi suara gelak tawa dari tv. Bora
akhirnya menghancurkan keheningan di antara mereka. Masih setia dengan cangkir
biru tuanya, gadis itu melirik pada Chaerin yang seluruh atensinya masih
berpusat pada ponsel kesayangannya.
โChae..โ
โHm?โ
โTolong jawab pertanyaan ku dengan jujur, oke?โ
Chaerin mengangkat kepalanya. Lantas menoleh dan menatap
Bora dengan kening yang berkerut.
โTapi janji jangan marah.โ
โTergantung.โ Jawab Chaerin. Ia mengalihkan atensinya
kembali pada ponsel dan membiarkan Bora dengan rasa kesal karena merasa agak
diacuhkan.
โIsh Chaerin..
janji dulu. Apa pun itu yang aku tanyakan, kamu tidak boleh marah dan harus
menjawabnya dengan jujur.โ
Ia menghela napas kasar. Melirik singkat sebelum
menganggukkan kepala.
โOke.. itu baru sahabat ku!โ Seru Bora senang.
Cangkir yang setia berada di genggaman ia letakkan ke atas
meja di depannya. Tubuhnya kemudian sedikit diputar hingga dirinya dapat
melihat Chaerin โyang masih asyik dengan ponselnyaโ lebih baik. Matanya melihat
sang sahabat dari sebagian sisi yang menghadapnya. Dalam diamnya, otak yang
tersimpan di dalam tempurung kepala itu tengah bekerja sedikit keras menyusun
kata yang akan bibirnya ucapkan.
Napas panjangnya dihelakan sebelum kedua bibirnya terbuka
dan vokalnya terucap.
โBagaimana perasaan mu saat ini?โ
Walaupun pertanyaan itu dilafalkan Bora dengan suara yang
pelan dan sedikit bergetar, Chaerin masih bisa mendengarnya dengan baik.
Terbukti dengan dirinya yang langsung memutar kepala dan menatap sang sahabat.
Ponsel yang sebelumnya berada sejajar dengan wajahnya kini berada di atas
bantal yang ada di pangkuannya.
Bora terlihat menarik napas sebelum kembali membuka
suaranya.
โKamu tahu maksud ku, Chae. Tolong jawab dengan jujur. Aku
ini sahabat mu, dan sahabat itu tidak pernah menutupi apa pun dari sahabatnya.โ
Ia membuang pandangannya. Menunduk sejenak untuk
mengonsentrasikan pikiran pada perasaannya. Sampai napasnya terhembus panjang
dan kepalanya kembali terangkat. Saat itulah Bora dapat melihat raut tersakiti
yang selama ini selalu ditutupi sang sahabat dengan begitu apik.
โSepertinya aku telah gagal.โ Ia menarik napasnya.
Memberikan sedikit waktu untuk otaknya berpikir agar apa yang ingin ia katakan
tidak tersampaikan dengan salah. โAku belum sembuh, Bora. Aku masih sakit.
Rasanya seperti ada tambang besar tengah melilit dada ku sampai untuk bernapas
pun terasa sakit dan sulit.โ
Suara Chaerin terdengar lemah dan bergetar. Membuat Bora
sedikit menyesal karena secara tidak langsung telah menguak kembali kisah pahit
sang sahabat. Tapi satu sisi hatinya juga tidak ingin diam. Ia perlu tahu
tentang keadaan Chaerin yang memutuskan untuk mengikuti dirinya menetap di
negeri yang dipimpin oleh seorang ratu itu setelah mereka lulus.
Ia tidak ingin menjadi sahabat yang bodoh. Ia tidak ingin
diam saja dan beranggapan semua baik-baik saja setelah dua tahun kepergian
mereka. Padahal yang sebenarnya, tidak ada kata baik-baik saja. โBaikโ itu
hanya terlihat dari luar saja. Tetapi dalamnya hanya ada โhancurโ dan โsakitโ.
Ini memang bukan gayanya, tetapi melihat seberapa lemahnya
Chaerin karena pertanyaanya membuat Bora langsung memeluk sang sahabat dan
mengusap punggungnya. Berharap pelukannya bisa menenangkan kekacauan yang baru
saja ia ciptakan. Membiarkan dirinya menjadi sanggahan untuk kekacauan sang
sahabat sampai setidaknya ia merasa lebih baik.
โChae..โ Bora kembali memanggilnya setelah membiarkan waktu
bergerak tanpa ada kata yang terucap.
Masih dengan mengusap lembut punggung Chaerin, suaranya
kembali bersambung. Melanjutkan panggilan yang beberapa detik lalu dilakukan.
โAku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk membantu
mu. Tapi yang perlu kamu tahu Chae, aku, Hyemi, dan Yoori akan selalu ada untuk
mu. Karena itu, tolong jangan pendam apa pun sendiri. Kamu bisa bercerita
kepada kami. Karena itulah gunanya sahabat, iya kan?โ
Chaerin mengangguk pelan. โTerima kasih.โ Ujarnya lirih.
Pelukan mereka pun semakin mengerat sebelum akhirnya
terlepas dengan senyum yang mengembang lebar di bibir Bora.
โKu dengar Yoori akan datang. Kapan?โ Tanya Bora mengalihkan
pembicaraan.
โPenerbangannya sore ini, sepertinya besok sudah sampai.โ
Bora mengangguk. โBaguslah. Jadi besok kita akan
menjemputnya?โ
Chaerin menjawabnya dengan anggukan kepala sembari
menyandarkan tubuhnya ke sofa dan ikut bergabung dengan Bora menikmati tayangan
di depannya. Matanya yang menatap pada layar televisi dan senyum kecilnya yang
sesekali terukir saat ada adegan yang lucu, membuat dirinya terlihat tengah
menikmati adegan komedi seperti yang dilakukan Bora. Namun kenyataan yang
sebenarnya adalah pikirannya tidak sepenuhnya menikmati sajian lucu yang
dihadirkan oleh para komedian. Lebih dari separuh isi pikirannya kembali
dipenuhi dengan rentetan kejadian di hari tersakitnya yang membuat keputusan untuk
mengikuti Bora merantau ke negara dimana Buckingham
Palace dan Stonehenge berada kala
itu semakin bulat.
Chaerin mengusapkan
kedua telapak tangannya. Berharap kehangatan karena gesekan antar kulitnya
dapat mengurangi dinginnya malam yang semakin terasa dingin. Di tempatnya
berdiri, ia memerhatikan sekitar. Berharap sosok laki-laki yang membuat janji
dengannya segera terlihat oleh matanya.
Sayangnya sejauh mata
memandang, tidak ada tanda-tanda kehadiran laki-laki itu. Padahal jam yang
mengikat di pergelangan kirinya telah menunjukkan pukul sembilan malam. Itu
berarti telah lewat dua jam dari waktu yang laki-laki itu tentukan.
Pikiran negatif pun
mulai memenuhi otaknya. Namun ia berusaha untuk tidak memedulikannya. Ia
percaya dengan laki-laki itu. Bagaimana pun dia adalah kekasihnya. Tidak baik
jika berpikiran buruk pada kekasih sendiri.
Tapi sepertinya malam
tidak berpihak kepadanya. Di tengah dinginnya hembusan angin serta lamanya
laki-laki itu untuk datang, salju pertama di bulan Desember malah turun.
Membuat hawa dingin yang sudah melingkupi tubuh mungilnya terasa semakin
dingin. Rasanya seperti seluruh tulangnya mulai mengaku karena rasa dingin yang
menusuk. Sialnya lagi, ia tidak menggunakan sarung tangan. Hanya sebuah mantel
coklat selutut yang melindungi dirinya dari terpaan angin malam di musim
dingin.
Perlahan ia bangkit
dari kursi yang diduduki. Melangkahkan kakinya memutar di depan kursi panjang
itu demi bisa mengurangi rasa dingin yang mengusik kenyamanannya. Masih setia
untuk menunggu kedatangan sang kekasih. Tidak peduli jika hari semakin larut
dan malam semakin dingin karena semakin banyak kristal salju yang turun ke
bumi. Di tambah hembusan angin yang tidak berteman baik dengan seluruh umat di
bumi ini.
Sekali lagi, ia
menyingkap lengan mantelnya. Melirik jam berwarna hitam yang mengikat di
pergelangannya. Napasnya terhembus begitu menyadari sudah pukul berapa malam
itu dan sudah selama apa dia menunggu. Ia merasa sudah tidak kuat untuk
menunggu lagi. Tiga jam sudah ia berada di sana ditemani hembusan angin yang
menerjangnya hingga ke tulang.
Walaupun begitu, ia
tidak berniat untuk segera pergi. Ia harus memastikan terlebih dulu. Seharusnya
ini yang ia lakukan sejak tadi. Menghubungi sang kekasih untuk menanyakan
keberadaannya. Tapi memang dirinya yang bodoh, ia tidak melakukan hal itu
karena masih meyakini bahwa sosok laki-laki yang nomornya tengah ia hubungi itu
akan datang sebentar lagi.
โHalo..โ Suara berat
yang ia tunggu akhirnya menyapa gendang telinganya. Seulas senyum pun terukir
di bibirnya saat mendengar suara itu.
โJimin, kamu dimana?
Aku menunggu mu sedari tadi. Apakah kamu akan datang?โ
โASTAGA โ Chaerin,
maafkan aku. Aku lupa memberitahu mu. Kita tidak bisa bertemu malam ini. Maaf
Chae.. maaf.โ
Ia terdiam. Tidak tahu
harus menjawab apa. Rasanya ingin menangis saja mendengar jawaban laki-laki di
seberang sambungannya. Dan benar, setetes air mata langsung melesat jatuh
membentuk garis panjang di pipinya.
โChaerin..โ Laki-laki
itu kembali memanggilnya. Membuat Chaerin buru-buru menghentikan tangisnya.
โI-Iya Jim. Adakah
yang terjadi sampai kita tidak jadi bertemu?โ
Napas berat terhembus
begitu ia berhasil menjawab panggilan dari Jimin. Beruntung air matanya tidak
mengalir saat ia mengatakannya. Jimin bisa khawatir jika mendengar suaranya
yang bergetar. Dan ia tidak mau laki-laki yang dirinya cintai itu
mengkhawatirkan dirinya. Walaupun sebenarnya wajar jika seorang kekasih
mengkhawatirkan kekasihnya.
Terdengar hembusan
napas yang mengawali perkataan Jimin selanjutnya.
โAku menemani Hana.โ
DEG!
Rasanya seperti ada
sebuah batu besar yang menghantam dadanya kemudian menimpanya. Sakit. Sangat
sakit. Ingin bergerak untuk pergi tetapi tidak mampu untuk memindahkan batu
yang menghimpit tubuhnya.
โMe-Memangnya ada apa
de-dengannya?โ
Lagi-lagi Jimin
menghembuskan napasnya. Kali ini terdengar lebih berat dan sedih dibandingkan
sebelumnya. Sedih? Kenapa ia sedih?
โIa baru saja putus
dengan Daehyun. Katanya laki-laki itu selingkuh di belakangnya. Saat aku akan
berangkat, Hana menghubungi ku dan meminta ku untuk menemuinya di taman dekat
kampus. Lalu dia menangis kencang dan aku tidak tega meninggalkannya sendiri.
Karena itu aku menemaninya malam ini. Orang tuanya sedang ada urusan bisnis
jadi ia hanya bersama dengan asisten rumah tangga saja. Saat aku ingin
memberitahu mu, Hana masih menangis. Aku tidak tega melepaskan pelukannya. Saat
ia sudah tenang, aku malah lupa memberitahu mu.โ
Ia menjedanya sebelum
menarik napas dan menghembusnya pelan. โ Maafkan aku Chaerin...โ
Air mata sudah tidak
mampu dibendung lagi. Bukan hanya setetes tetapi telah banyak tetes yang jatuh
dari matanya. Membasahi kedua pipinya sampai ia harus menutup mulut dengan
telapak tangan untuk menghindari munculnya suara isakan.
โOh Tuhan! Chaerin
apakah kamu masih menunggu ku?โ
Kepanikan mulai
melanda Jimin. Terdengar dari suaranya yang agak meninggi dan gusar saat ia
kembali teringat dengan janji yang ia buat.
Chaerin tidak langsung
menjawabnya. Ia masih berusaha keras untuk menghentikan air mata yang sialnya
malah mengalir deras seperti aliran sungar.
โChaerin.. jawab aku.
Apakah kamu masih di sana?โ
Ia menarik napasnya
panjang dan dalam sebelum membuka suaranya yang tidak bisa dirinya jamin tidak
bergetar. Selain karena hawa dingin yang semakin menusuk, tangisnya juga belum
reda sepenuhnya.
โTi-Tidak Jim. A-Aku
sudah pu-lang, ka-karena ku pi-kir tadi ka-mu ti-tidak akan da-datang ka-re-na
ada urusan.โ
Oke itu buruk. Selain
bergetar, ia juga tergagap.
โBenarkah? Chae jangan
bohong pada ku. Jika kamu masih menunggu ku, aku akan segera ke sana.โ
Mulutnya kembali ia
tutup dengan telapak tangan saat isakan tangisnya memaksa keluar. Ia sudah
tidak kuat untuk berbicara dengan sang kekasih hati. Ia tidak bisa menahan
tangisnya lebih lama lagi. Karena itu ia harus segera mengakhirinya.
Dengan menarik napas,
Chaerin kembali berkata. โBe-nar, Jim. Ti-tipkan salam ku un-tuk Hana. A-Aku
akan isti-rahat. Ka-mu juga harus, se-sekali pun kamu me-menemani Hana.โ
Jimin kembali menghela
napasnya. โChaerin, sekali lagi maafkan aku. Aku janji akan menebusnya di lain
waktu.โ
โHm.. selamat malam,
Jim.โ
โSelamat malam, Chae.
Mimpi indah.โ
Saat sambungan
berakhir, seketika itu juga ia terjatuh dari posisi berdirinya. Lututnya
membentur cukup keras ke paving block yang ia pijaki. Tangisnya semakin pecah
dan isakan tidak bisa lagi dibendung. Semua pertahanan yang ia bangun saat
berbicara dengan sang kekasih langsung hancur seketika. Tidak hanya pertahanan,
hatinya pun ikut hancur.
Sakit bahkan teramat
sakit. Sampai rasanya seperti mati rasa karena terlalu sakit.
Begitu sakit membuat
Chaerin tanpa sadar memukuli dadanya dengan tangan yang terkepal.
โSeharusnya ini memang
tidak terjadi. Kamu tahu kalau hati Jimin hanya untuk Hana. Tapi kenapa kamu
malah menerima pengakuan cintanya. Padahal kamu sendiri tahu jika ia
melakukannya karena ingin mengubur perasaannya pada Hana, yang tidak akan
pernah bisa memudar. Bodohnya, kamu
malah menutup mata. Ini konsekuensi kebodohan mu, Chae. Dan kamu harus
menerimanya.โ
Sindiran yang ia
ungkapkan untuk dirinya sendiri. Berharap hatinya bisa menyadari kesalahan yang
telah ia perbuat. Kesalahan yang membawa penderitaan untuk dirinya sendiri.
Tolong salahkan hatinya yang saat itu seakan menghambat kerja otaknya hingga
tidak berpikir dengan jernih.
โIni harus berakhir.
Aku tidak bisa menjadi penghalang antara Jimin dan Hana. Aku juga tidak bisa
membiarkan diri ku terus berada di dalam lingkaran setan ini.โ
Dengan tekad yang
entah datang darimana, ia berusaha untuk bangkit. Menyekah air mata sialan yang
malah tidak bisa berhenti mengalir padahal otaknya telah memutuskan. Menarik
napasnya dalam-dalam. Memandang ke langit malam berwarana hitam tanpa bintang.
Sempurna! Dunia seperti berada di pihaknya. Merasakan kesedihan dan
kesakitannya.
Tangannya terus
meremas dadanya yang masih setia dengan rasa sakit. Dengan mata yang terpejam,
ia merasakan rasa sakit itu. Sekali lagi membiarkan matanya bertindak di luar
perintah otaknya untuk berhenti mengalirkan air bening dari sana.
Meninggalkan kesakitan
dan tumpahan air mata yang telah jatuh, ia mulai melangkah pergi. Melepaskan
sang cinta dan kebodohan cupid yang membuat hatinya harus ia kubur di tempat
tersebut. Tempat yang ia pikir akan memiliki kenangan manis. Namun kenyataannya
malah sebaliknya. Tidak manis, tetapi pahit dan menyakitkan.
To be continued
Hallo!
Wah.. akhirnya aku bisa bawa cerita baru. Walau enggak tau gimana peminatnya, tapi dengan percaya dirinya aku malah publish. Tapi this is me, gregetan gitu kalau udah punya hasrat dan imajinasi yang berhasil nguasain diri sampai akhirnya nulis dan publish. So.. lahirlah Hurtful Desire di hadapan kalian semua :')
Sedikit informasi aja, aku nulis ini pas lagi tergila-gila sama lagunya rizky febian yang indah pada waktunya. Jadi setiap nulis aku selalu dengerin lagu itu dan hanya itu aja. So.. aku bisa bilang kalau soundtrack cerita ini adalah lagu tersebut dan meyakinkan kalian kalau baca ini sambil dengerin lagunya, kalian bisa ngerasaan perasaan yang sama kayak yang aku rasain selama nulis dan menjadikan diri sebagai chaerin. Hehe
Oke deh, berhubung enggak tau mau nulis apa lagi dan karena hari sudah berganti dan malam telah berubah walau langit tetap gelap. Aku pamit.
Semoga bisa menghibur dan enggak cheesy ya.
Sampai jumpa semua :)
๊ฐ์ฌํฉ๋๋ค ^^
Comments
Post a Comment