#13 Heartbreaker - Produce 45




Main Cast : Kim Hanbin, Nam Chaerin (OC)
Genre : Romance
Length : Drabble (2737 words)
Author : Salsa


**********


Hanbin mengulurkan tangannya ke bawah dan menyentak kakinya ke atas, melakukan headstand dan berputar-putar memamerkan aksi breakdance-nya yang memukau. Lagu upbeat milik the bamboos mengalun nyaring di lapangan olahraga yang sempit—yang untuk sementara dipergunakan sebagai lokasi class meeting. Semua orang berteriak menyemangati tim shuffle Hanbin yang sedang beraksi di tengah lapangan.


Ada lima orang di tim itu, semuanya populer dan memiliki penggemar sendiri. Namun kepopuleran Hanbin nampaknya berada di level berbeda. Setiap kali mereka bertukar formasi dan menjadikan Hanbin sebagai center, lengkingan cewek-cewek di pinggir lapangan menjadi tak terkendali. Oke, harus kuakui aku juga merupakan penggemarnya. Namun setidaknya aku tidak bersikap memalukan dan berteriak mengelu-elukan namanya dari pinggir lapangan seperti lumba-lumba.


Aku adalah penggemar yang elegan, yang mengajukan diri sebagai sukarelawan dan membantu OSIS di seksi dokumentasi. Maka di sinilah aku, melenggang bebas di lapangan dengan kamera di tangan. Aku berdiri tepat di hadapan Hanbin, memotretnya dalam berbagai gerakan b-boy yang keren berturut-turut sampai dua puluh kali.


Di lagu kedua, saat mengecek hasil jepretan, aku baru sadar bahwa perbandingan foto Hanbin dan anggota lain amatlah timpang. Belum lagi di semua foto grup yang kuambil selalu saja Hanbin yang sedang berada di tengah, sekalipun tidak, tetap saja fokusnya ada di Hanbin. Aku meringis dan kembali menghampiri panggung, lantas mengarahkan kameraku kepada anggota lain selain Hanbin. Aku benar-benar harus fokus dan bersikap profesional. Aku tidak mau anggota OSIS meragukan kemampuan memotretku hingga tidak diizinkan untuk berpartisipasi menjadi panitia lagi.



**********



Pada malam harinya, sembari berbaring menunggu kantuk, aku mengetikkan pesan untuk Hanbin. Kami sudah saling kenal dan pernah bertukar pesan sebelumnya, jadi aku langsung menyapanya tanpa  memperkenalkan diri lagi. Kubilang padanya bahwa panitia class meeting tidak mengunggah semua hasil fotoku dan aku bersedia memberikan semua file yang kupunya padanya jika dia mau. Hanbin membalas sepuluh menit kemudian dan menyetujui penawaranku dengan semangat (ya, aku tahu kita tidak bisa membaca perasaan orang hanya dari pesan, tapi ia mengetikkan lima tanda seru di akhir kalimat ‘aku mau’-nya jadi sepertinya dia memang bersemangat).


Aku tersenyum senang dan buru-buru mengetikkan balasan.


Baiklah. Akan kumasukkan di flash disk. Kau bisa mengambilnya besok di kelasku.

Terima kasih.
Apa yang kau mau sebagai gantinya? –Hanbin

Apa maksudmu? Aku tulus, kok.

Sungguh tidak mau apa-apa? –Hanbin

Tidak, serius. Lagi pula itu fotomu.

Benar juga, sih.
Tapi Chaerin-ssi, kalau seandainya butuh sesuatu, jangan sungkan minta bantuanku.
Sekali lagi terima kasih, ya. Selamat tidur^^ -Hanbin 


Mukaku langsung bersemu padam membaca pesan darinya. Kenapa sih Kim Hanbin harus sesempurna ini? Dia keren, jago dance, ramah dan perhatian, benar-benar mustahil ada perempuan yang tidak naksir padanya. Belum lagi dia juga pintar bahasa Jerman. Kelasnya sudah menyelesaikan seluruh SKS bahasa Jerman pada tahun lalu dan Kim Hanbin merupakan satu-satunya yang mendapat nilai A di kelasnya itu. Hebat sekali bukan?


Saat sedang berpikir begitu, tiba-tiba saja aku mendapat ide bagus untuk tetap berhubungan dengan Hanbin. Karena kami beda kelas, sulit untuk memulai topik pembicaraan dengan natural, jadi biasanya aku hanya menghubunginya saat ada kegiatan seperti ini saja. Pembicaraannya pun benar-benar terbatas, hanya seputar foto dan lagu. Namun sekarang, berhubung di semester ini aku mendapat pelajaran bahasa Jerman, aku bisa memanfaatkan itu dan memintanya mengajariku.


Aku sudah setengah jalan mengetikkan pesan untuknya sebelum memutuskan untuk bicara langsung saja. Bukankah itu bagus jika aku punya bahan obrolan ketimbang sekadar memberinya flash disk saja? Ini hebat. Rasanya tak sabar ke sekolah besok.



**********



“Tapi aku tak bawa bukunya sekarang. Kenapa tidak bilang dari semalam?” Hanbin bertanya dengan raut bersalah.


Kami sedang berada di depan pintu kelasku, pukul setengah tujuh pagi sebelum bel masuk. Anak-anak kelasku tersenyum sambil melirikku penuh arti saat berjalan melewati kami memasuki kelas. Aku tahu mereka akan menggodaku mati-matian saat aku masuk ke dalam nanti. Bagaimana tidak? Aku tengah berbincang dengan si raja shuffle, Kim Hanbin.


“Tidak apa-apa. Kau bisa membawakan bukunya saat mengembalikan flash disk-ku.”
“Begitu? Tapi katamu pelajarannya hari ini?”
“Memang hari ini, tapi tidak apa-apa, kok. Lagian ini salahku karena lupa bilang.”
“Sori, ya. Akan kubawakan besok.”


Dan keesokan harinya, saat aku baru sampai di sekolah, aku melihat Kim Hanbin sedang duduk di selasar persis di depan kelasku sambil membawa buku tulis dan flash disk. Ia tak sengaja menoleh dan langsung berdiri saat melihatku.


“Sesuai janji,” katanya saat aku tiba di depannya, mengulurkan kedua benda yang dijanjikan disertai senyum ramah.


Aku balas tersenyum padanya. Sungguh cara sempurna untuk mengawali hari. “Kau datang lebih cepat hari ini?”


“Kurasa begitu.” Ia menyibak rambutnya, lalu menoleh ke dalam kelasku (berkali-kali) sebelum melirik buku catatan bahasa jermannya yang sudah berada di tanganku. “Semoga membantu, ya.”


“Kalau ada yang tidak kumengerti, boleh tanya padamu tidak?”
“Tentu saja. Kau bisa meneleponku.”
“Oke.”
“Aku pergi, ya. Terima kasih fotonya.”
“Sama-sama.”



**********



Tanpa berlama-lama, aku menghubunginya hari itu juga, pukul setengah sembilan malam sebelum tidur. Aku mengiriminya pesan dan menunggunya membalas sambil duduk di meja belajar. Aku terus melirik ponselku sepuluh detik sekali sementara tanganku terus membolak-balik buku catatannya. Mengagumi tulisan tangannya yang rapi alih-alih membacanya.


Setelah lima menit, aku tak bisa menahan diri dan mulai gusar. Aku menekuri isi pesanku, bertanya-tanya dalam hati apa ia menganggap pertanyaanku itu amat bodoh hingga enggan menjawab. Yang kutanyakan memang sederhana, aku tak mengerti kenapa ia terus-terusan menggunakan huruf kapital di tengah kalimat. Kutanya apa dia cuma salah tulis atau memang ada aturan penulisan tertentu.


Saat aku sudah hampir putus asa, pesan balasan dari Hanbin tiba-tiba muncul.


Bukan salah tulis, kok. Di bahasa Jerman semua benda memang harus ditulis dengan awalan huruf kapital. Di tengah kalimat sekalipun, tetap harus diawali huruf kapital. Itu ciri khas orang Jerman untuk menandai sesuatu sebagai benda. -Hanbin


Aku senang bukan kepalang sampai rasanya ada kembang api yang sedang menyala di tubuhku. Syukurlah dia tidak menganggapku bodoh atau memberikan jawaban dengan sinis. Alih-alih sinis, penjelasan yang diberikannya justru amat detail dan mudah dipahami.


Aku langsung berterima kasih padanya dan berbasa-basi sedikit. Apa aku mengganggumu? Apa kau sudah mau tidur? Jam berapa biasanya kau tidur?


Hanbin menjawab langsung tanpa jeda. Dia bilang dia biasa tidur jam sepuluh dan aku tak mengganggunya sama sekali. Jadi keesokan harinya aku kembali mengiriminya pesan di waktu yang sama. Begitu pun hari-hari berikutnya.


Pukul setengah sembilan malam tiba-tiba menjadi waktu yang istimewa bagiku, waktu yang kunanti-nanti sejak pagi. Hanbin selalu menjawab dengan sabar dan penuh pengertian. Dia membantuku mengerjakan PR dan menjadi motivasi terbesarku untuk dapat nilai bagus saat ujian. Sampai tanpa kusadari, aku jadi jatuh cinta sendiri pada pelajaran itu. Aku mulai menyukai dan membeli apa pun yang berbau Jerman. Atribut-atribut kecil yang dihiasi bendera Jerman atau buku-buku tebal yang malas dilirik orang anehnya malah menarik perhatianku. Aku mulai menekuninya lebih serius bahkan berencana untuk melanjutkan kuliah di sana. Ini gila tapi rasanya benar-benar seperti jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada Jerman.


Dan soal Hanbin…


Bukan bermaksud ria tapi kurasa semuanya berjalan ke arah yang tepat. Kami menjadi semakin dekat. Jika awalnya cuma berkirim pesan, kini aku dan Hanbin malah lebih sering video call. Alasannya, karena pertanyaanku sekarang lebih banyak soal pelafalan, sesuatu yang tak cukup dijelaskan lewat ketikkan semata.


Hanbin memiliki suara yang lembut saat aku bicara dengannya di sekolah. Namun suaranya serak dan manis saat malam. Dia mengucapkan kata-kata dalam bahasa Jerman sambil berbaring di tempat tidurnya dan aku yang juga sedang berbaring di tempat tidurku akan mengikuti pelafalannya sebisa mungkin. Lalu dia akan tertawa sampai matanya menghilang jika pelafalanku terdengar lucu. Dia akan tersenyum geli sambil menyibak rambutnya lalu mengoreksi pelafalanku dengan telaten.


Tuhan, dia manis sekali saat itu, tanpa kacamata bacanya (yang tak pernah absen dari wajah tampannya bahkan saat sedang melakukan tarian shuffle atau breakdance sekalipun), hanya memakai kaus tidur, rambut mencuat ke mana-mana dan senyuman ngantuk. Ini nyaris terasa seperti kami sedang pacaran. Sejujurnya aku memang sedang berpura-pura memercayai itu. Memercayai bahwa kami pacaran. Karena rasanya memang senyata itu. Tinggal tunggu waktu yang tepat sampai aku tidak perlu lagi berpura-pura. Yah, aku sudah sejauh ini. Optimis adalah satu-satunya pilihan.



**********



“Ini, kan? Kamus Jerman yang kau maksud?”


Hanbin mengulurkan kamus pesananku (yang padahal juga kumiliki di rumah, tapi tetap kupinjam darinya hanya supaya kami bisa bertemu). Aku mengangguk dan mengambil kamus itu dari tangannya.


Hanbin menyelipkan sebelah tangannya ke saku dan melirik ke dalam kelasku.


“Mencari seseorang?” Aku bertanya.
“T-tidak,” ujarnya tersendat. Mukanya berubah merah jambu dan ia lucu sekali sampai aku tak bisa menahan diri untuk tidak terkikik.


“Lalu kenapa bicaramu begitu? Kau malu ya digoda oleh teman-temanku? Tenang saja, mereka cuma bercanda, kok.”


“Aku tidak malu, Nam Chaerin.”


Aku mengulum senyum ke arahnya lantas mengacungkan kamus di tanganku. “Akan kukembalikan minggu depan.”


“Santai saja. Lagi pula sudah tidak kupakai.”
“Baiklah.”
“Aku ke kelas sekarang.”
“Nanti malam jam setengah sembilan, ya,” kataku saat dia hendak berbalik. Hanbin langsung menahan kakinya dan menoleh padaku dengan wajah bingung.


Video call,” jelasku.
“Ada yang mau ditanyakan lagi?”
“Memangnya harus ada yang ditanyakan dulu baru boleh menghubungimu?”


Hanbin mengusap tengkuknya. “Tidak juga, sih,” katanya. “Baiklah. Aku pergi.”


Aku menunggunya sampai menaiki tangga sebelum berbalik memasuki kelas. Tanpa sadar bibirku tertarik membentuk lengkungan lebar selama aku berjalan ke kubikelku. Bersenandung pelan sambil mendekap bukunya. Aku benar-benar menyukai Hanbin. Benar-benar menyukainya dalam kadar suka luar biasa. Nyaris gila rasanya. Kuletakkan kamus itu di mejaku dan kupandangi tulisan namanya seperti orang bodoh.


Dan saat itulah manusia yang paling tak ingin kutemui di muka bumi tiba-tiba datang. Dia sepertinya punya radar sendiri untuk mendeteksi kebahagiaanku. Bagaimana bisa cewek ini selalu datang menghancurkan mood-ku di saat aku sedang bahagia?


“Hai,” sapanya dibuat-buat. Aku tak repot-repot mendongak, alih-alih menjawabnya. Aku sudah tahu itu suara Jennie.


“Senang deh melihatmu senyum-senyum begitu.” Bohong. Dia cuma mau meledekku.
“Omong-omong, itu punya Hanbin?” Ia mengedikkan dagunya ke kamus di mejaku. Basa-basi bodoh. Dia bisa melihatnya sendiri, nama Kim Hanbin jelas-jelas tertera besar di sampulnya. “Kuharap kau tidak berharap lebih padanya.”


Kata-kata itu sukses besar meruntuhkan pertahananku untuk mengabaikan kehadirannya. Dengan berat hati aku mendongak. Aku menatapnya tanpa mencoba menutupi raut benciku sama sekali. Apa-apaan sih dia? Jennie balik menatapku tak gentar, namun berhasil membuatnya terlihat seakan penuh simpati. Aku tak tahu apa maksudnya. Yang pasti semua ekspresi yang ia tunjukkan padaku itu 100% palsu. Gimmick semata. Cari perhatian. Dasar. Bisa tidak sih dia berhenti menggangguku dan urus dirinya sendiri saja?


Aku menyipitkan mata dan bertanya dengan dingin. “Apa maksudmu?”


Dan bukannya menjawab, gadis itu malah tersenyum. Apaan, sih? Kenapa dia tersenyum? Aku bersumpah Kim Jennie memang memiliki masalah serius dengan kepribadiannya. Aku tak tahu mengapa, tapi rasanya anak ini selalu ingin berkompetisi denganku. Dia selalu datang dan berkomentar macam-macam tiap kali aku sedang merasa senang—dia hobi sekali melontarkan komentar-komentar pedas yang sama sekali tak perlu, terutama kepadaku, ia menuturnya sedemikian rupa dengan suara manis dan wajah bersimpati, membuatku muak. Aku berani bertaruh perempuan ini memang benci melihatku senang. Seolah kebahagiaanku bisa membuat mukanya ditumbuhi bisul. Serius, dosa apa aku padanya!


Setelah tersenyum, dia mulai menghela napas dramatis dan memberikanku tatapan sedih. “Maksudku,” ucapnya diulur-ulur. “Jangan melakukan sesuatu yang akan menyakiti dirimu sendiri.”


“Apa tepatnya?” racauku tak sabar. Namun bukan Jennie namanya kalau tidak membuatku geram. Alih-alih menjawab, ia malah mengulas senyum sok misteriusnya lagi dan pergi begitu saja. Benar-benar cewek aneh.


Aku berusaha tak memikirkannya, dan tak sulit bagiku untuk melakukan itu. Pikiranku sudah terisi penuh oleh Hanbin dan Hanbin semata sehingga tak ada tempat untuk manusia lain, terlebih jalang sepertinya.


Sesampainya di rumah, aku langsung makan malam dan membersihkan diri, sengaja mengulur-ulur waktu untuk menunggu setengah sembilan. Dan begitu waktu spesial itu tiba, tanpa berlama-lama aku pun berbaring di tempat tidurku dan menghubunginya. Dia langsung menjawab dan kami mengobrol seperti biasa.


Dia bercerita soal kejadian-kejadian lucu di kelasnya dan kuceritakan soal kejadian-kejadian tak kalah lucu di kelasku. Kami saling menyahuti ucapan satu sama lain dengan gembira dan tertawa ria. Hingga akhirnya, setelah entah berapa puluh menit terlewat, Hanbin tiba-tiba menanyakan hal yang aneh.


[Nam Chaerin-ssi,] katanya, menyela tawaku yang tak kunjung berhenti gara-gara ceritanya tentang Lee Jinwoo, teman shuffle-nya yang sepatunya copot saat pentas.


“Ya?” jawabku, masih terkikik walau sudah berusaha kutahan.
[Kau tidak suka padaku, kan?]


Tawaku hilang sepenuhnya. Dadaku tersentak kaget dan aku bergeming menatapnya. Apa terlalu jelas? Apa perasaanku terlalu jelas?


Meski wajahku sudah merah padam aku tetap menggeleng sambil memaksakan tawa. “Apa, sih? Kau memikirkan ucapan anak-anak di kelasku, ya? Sudah kubilang mereka cuma bercanda.”


[Jadi kau sungguh tak suka padaku, kan?]


Aku menelan ludah, kemudian bicara dengan tegas. “Tidak.”


Hanbin tersenyum lega, amat lega hingga rasanya menyakitkan. [Syukurlah.]


“Apa sih tiba-tiba menanyakan itu.”
[Sori. Cuma takut.]
“Takut apa?”
[Bukan apa-apa. Omong-omong, apa aku sudah cerita soal Choi Seungyeon?] Dia tiba-tiba memutar topiknya lagi. Hanbin bicara dengan penuh semangat seperti tak terjadi apa-apa dan itu menyebalkan. Perutku serasa diaduk sekarang, dan aku tak tahu mengapa.


“Ada apa dengan Seungyeon?” Aku berusaha terdengar tertarik.
[Begini…] Dia begitu saja larut dalam ceritanya. Aku berusaha mendengarkan tapi tidak bisa. Sesuatu rasanya menyengat mataku. Jadi sepanjang sisa video call itu, aku menggigit bibir dan berusaha untuk tidak menangis sambil tertawa kaku.


Keesokan harinya, tepatnya pada jam istirahat, akhirnya aku mengerti kenapa Hanbin menanyakan itu.


Sorak-sorai dan ucapan selamat bergaung nyaring di ruang kelasku. Jennie mengumumkan kepada teman-temannya bahwa ia baru saja jadian. Apa aku peduli? Tidak, tentu saja.


Yah, awalnya memang begitu, namun kemudian aku mendengar Lisa bertanya ‘kapan Hanbin menembakmu’ dan seketika itu juga aku jadi peduli. Gerakan tanganku—yang semula sedang menyalin catatan Kimia milik Hara—langsung berhenti. Jantungku berpacu. Sayup-sayup aku mendengar Jennie menjawab; semalam, katanya. Bohong. Tidak mungkin. Semalam Hanbin melakukan video call denganku sampai jam sepuluh.


Jennie terus menceritakan bagaimana Hanbin mendekatinya dengan detail. Aku berusaha tidak mendengarkan tapi semuanya tetap terdengar. Teman-teman Jennie terus bersorak menggodanya.


‘Kukira Hanbin dekat dengan si itu,’ bisik Rose, tapi suaranya masih kudengar. Aku berusaha bernapas sambil melanjutkan tulisanku. Mereka membicarakanku. ‘Dia bilang cuma minta diajari, kok,’ jawab Jennie. Mataku mulai berkunang-kunang. Jantungku rasanya sudah naik ke tenggorokan. Suara mereka bergema dan memantul-mantul di kepalaku. Melinting paru-paruku hingga membuatku sesak napas. Air mataku jatuh ke buku saat aku menulis. Aku bahkan tak mengerti lagi apa yang sedang kutulis. Aku tersedak napasku sendiri dan tanpa sengaja mengeluarkan suara merintih, melenguh. Ya Tuhan. Aku benar-benar tak tahan dan akhirnya berdiri dengan mengejutkan. Gerakanku yang tiba-tiba membuat semua cewek di meja Jennie menoleh.


‘Ya ampun, dia ada di sini,’ kesiap salah satu dari mereka. Bohong. Mereka memang ingin aku mendengarnya. Aku tahu itu.


Aku berlari keluar dan masuk ke dalam kamar mandi. Air mataku tak bisa berhenti turun sekuat apa pun aku menahannya. Aku bersandar di dinding keramik di sebelah wastafel dan mengeluarkan ponselku. Membuka kontak Hanbin. Mengiriminya pesan.


Kau jadian dengan Jennie


Aku mengirimnya dengan cepat. Aku bahkan lupa menutupnya dengan tanda tanya. Sekarang aku terdengar seperti sedang menuduh.


Jawaban Hanbin masuk tak lama kemudian.



Dari mana kau tahu? Dia bilang padamu? -Hanbin


Aku tak bisa menahan diri dan langsung terisak keras. Kakiku lemas luar biasa, jadi aku berjongkok di lantai kamar mandi yang dingin dan mengetikkan balasan seperti orang kesetanan, seolah hidupku bergantung pada itu.


Jadi itu benar? Kalian jadian semalam?


Aku berharap dia akan membantah. Tapi saat ponselku berbunyi delapan detik setelahnya, aku menyesal sudah berharap.


Aduh. Padahal sudah kubilang padanya jangan beri tahu siapa-siapa dulu. Apa semua orang di kelasmu tahu? –Hanbin


Persetan siapa saja yang tahu. Aku membaca pesannya dan langsung menangis meraung. Suaraku menggema di kamar mandi, tapi aku tak bisa peduli. Kudekap erat lututku lalu kubenamkan wajahku di sana. Kepalaku rasanya terbelah. Dunia rasanya terbelah. Aku bertahan dalam posisi itu sampai bel masuk berbunyi. Tenggorokanku perih saat aku berhenti menangis. Badanku juga serasa mau roboh saat aku mencoba berdiri. Aku berjalan ke kelas tanpa melihat siapa pun dan langsung menyambar tas. Kuberi tahu teman-temanku bahwa aku tidak sanggup duduk di sana sampai bel pulang. Rasanya seperti ada timah panas yang tengah menjalari tubuhku, menghancurkan semua organ penting di dalam sana tanpa kenal ampun. Aku butuh menangis lebih banyak. Aku butuh berbaring di kamarku dan berduka. Jadi aku pulang hari itu dengan alasan sakit. Lalu sakit sungguhan sampai tiga hari.


Aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada Kim Hanbin sejak hari itu. Aku memblokir nomornya. Ya, aku tahu seharusnya aku bisa lebih baik dari ini. Ini bukan kali pertama aku patah hati. Tapi percayalah, itu tidak mudah. Perasaan kecewaku pada Mark Lee, perasaan sakit saat putus dengan Jungwoo Oppa atau Jinhwan Oppa, atau cowok mana pun yang pernah dekat denganku sebelumnya, sama sekali tak sebanding dengan ini. Aku merasa direnggut. Sakitnya menyebar bukan hanya di batin, tapi juga ke fisik. Aku benar-benar merasa seolah langit sudah runtuh dan demi Tuhan aku tak akan pernah mau berurusan dengan Kim Hanbin lagi.



END




Comments

Popular Posts