Good Criminals #6




Rasa waswas mengemuka begitu kuat di dada Hwa Min. Ia menggenggam gagang teleponnya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih sementara staf di ujung telepon ogah-ogahan menyambungkan panggilannya dengan Baek Seong Joon.


[Halo.] Suara sang atasan akhirnya menyapa telinganya setelah sepuluh detik. Hwa Min merasakan perutnya bergejolak dan jantungnya jungkir balik di dada.


“Pak, ini saya Hwa Min.”


Hwa Min bisa mendengar desahan bosan dari Seong Joon sebelum ia bicara, [Bagaimana penyamaranmu? Menyenangkan? Apa kau habis berbincang tentang masa lalu dan minum teh bersama Kim Doyoung?]


“Pak, saya pakai telepon umum. Waktu saya tidak banyak. Saya bisa keluar dari tempat persembunyiannya karena dia sedang tidur.”


[Ini jam 1 siang. Apa buronan kita sedang tidur siang?] Seong Joon tertawa jenaka.


Hwa Min berusaha menahan kekesalannya karena diremehkan seperti ini dan menarik napas dalam sebelum menjelaskan di mana lokasinya sekarang, “Saya tak tahu pasti alamatnya, tapi kami tinggal di gedung kosong yang bentuknya seperti mercusuar. Agak jauh dari pemukiman, tapi saya yakin masih di Seoul. Saya tak punya banyak uang koin sekarang. Sebelum menelepon ke kantor kejaksaan, saya sudah menelepon polisi. Tapi sepertinya mereka sudah sering menerima telepon-telepon palsu yang mengaku-ngaku mengetahui keberadaan Kim Doyoung, maka dari itu mereka jadi sulit memercayai pernyataan saya. Anda satu-satunya harapan saya, Pak. Tolong cari tahu lokasi kami dan tangkap Kim Doyoung. Aku akan menjaganya tetap di sini sampai Anda datang. Atau jika kejaksaan sedang sibuk, tolong beri tahu polisi saja, pasti mereka akan mendengarkan jika Anda yang langsung meminta.”


Hwa Min menunggu Seong Joon bicara, tapi tak ada jawaban. “Pak?”


[Oh? Kau sudah selesai?] katanya, jelas tak mendengarkan.


Hwa Min meringis. “Pak, saya berjalan sampai dua kilo untuk mencari telepon umum bukan untuk mendapat tanggapan seperti ini. Saya tahu saya cuma staf kemarin sore, saya tahu Anda sedang banyak sidang sekarang dan saya tahu saya pernah bikin malu kejaksaan karena insiden terborgol di hotel Busan itu, tapi saya tetap bagian dari kejaksaan kan, Pak? Maka dari itu tolong percayalah pada saya sekali ini.”


Seong Joon lagi-lagi tak menjawab. Ia menjauhkan telinganya dari telepon dan mendesah samar, namun Hwa Min bisa mendengarnya. Gadis itu ikut mendesah dan ia bisa merasakan sesuatu menyengat matanya. Ya Tuhan, dia mengendap-endap keluar dari markas persembunyian Doyoung dan berjalan tanpa arah sampai kakinya sakit, kemudian nyaris menangis saat menemukan telepon umum di tengah-tengah jalan kosong dan menelepon polisi dan kejaksaan hanya untuk diabaikan begini. Semua perjuangan itu benar-benar tidak ada artinya dan hatinya sakit sekali.


“Semalam kami habis menjarah diskotik Merkuri. Doyoung yang membakarnya. Anda pasti sudah tahu tentang itu.”


[Tidak ada laporan tentang penjarahan apa pun dari Merkuri. Polisi datang ke sana dan pihak mereka bilang kebakarannya muncul karena arus pendek listrik.]


“Tidak, bukan begitu cerita sebenarnya. Mereka pasti menutupinya karena ada narkoba di dalam sana.”
[Ya, tentu saja.]
“Saya bersumpah memang ada narkoba di sana. Polisi sepertinya sudah disuap, Bapak harus turun tangan langsung untuk memeriksa Merkuri. Mereka sudah jadi pusat penjualan narkoba dari Hong Kong selama bertahun-tahun.” Hwa Min bicara menggebu-gebu.


[Apa buktinya?]
“Aku tidak tahu, tapi Doyoung tahu.” Hwa Min memasukkan koinnya lagi selagi ia bicara. “Anda harus mencaritahunya, Pak. Tapi sebaiknya jangan libatkan polisi karena kemungkinan besar mereka justru akan menutupinya.”


[Aku mengerti.] suaranya benar-benar meragukan, tapi Hwa Min tetap mengangguk dan berusaha optimis.


“Terima kasih sudah mendengarkan saya. Saya akan menunggu tim ke sini. Maaf tak banyak info soal lokasi yang bisa saya jelaskan, saya benar-benar tak tahu di mana saya berada. Semoga Bapak bisa menemukan lokasinya dengan cepat.”


[Ya.]
“Kalau begitu selamat siang. Anda akan menghadiri sidang sore ini kan, Pak? Semoga sidangnya….” tut tut tut.


Seong Joon sudah menutup teleponnya. Hwa Min tersenyum getir dan meletakkan kembali gagang teleponnya. “Dia pasti sedang buru-buru,” gumam gadis itu menguatkan diri.



**********



Ketika Hwa Min kembali ke tempat persembunyian, ia lega sekali melihat Doyoung dan Yuta masih tertidur. Ia tak mampu mengarang alasan yang masuk akal jika sampai salah satu dari mereka menemukannya sedang menyelinap masuk begini.


Saat itu sudah hampir jam tiga sore, sinar matahari mulai condong ke barat dan Hwa Min merasakan energinya juga ikut condong bersama matahari itu. Dia sudah terjaga selama kurang lebih tiga puluh jam. Belum lagi perjalanan pulang-pergi ke telepon umum yang menurut perkiraannya sejauh empat kilo lebih itu amat menyita tenaganya. Untuk orang yang payah dalam kegiatan fisik sepertinya, semua hal itu merupakan kerja keras ekstra.


Hwa Min menyeret kakinya yang lunglai ke spot tidurnya di dekat perapian. Ia berlutut ke posisi berbaring dan beberapa detik kemudian ia sudah terkantuk-kantuk. Rasa berdenyut di ototnya terasa seperti meninabobokan dan tanpa menunggu lama ia pun terlelap.


Rasanya baru sedetik setelah ia memejam dan tahu-tahu saja sudah pukul sepuluh malam. Hwa Min terbangun karena suara tembakan yang untungnya tidak sungguhan. Yuta sedang bermain game online bersama Mark yang entah sejak kapan datang ke sini. Volume suaranya disetel maksimal, menggelegar seolah mereka benar-benar sedang di arena tempur. Pekik tawa mereka pun tak kalah menggelegar. Hwa Min duduk di posisinya semula, mengamati kedua pria itu bermain dengan kesadaran yang baru terkumpul setengah. Baik batin maupun fisiknya masih letih luar biasa dan ia tak bisa menikmati tidurnya sama sekali.


Saat itu, tiba-tiba saja Doyoung muncul dari balik dinding sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk merah kecil. Ia memakai celana olahraga yang tergantung amat rendah di pinggulnya dan tidak repot-repot memakai kaus. Hwa Min mengerjap kaget namun tak bisa mengalihkan pandang. Lalu secara mengejutkan, Doyoung yang semula berjalan sembari memerhatikan layar tiba-tiba saja menoleh padanya. Tatapan mereka beradu dan Hwa Min langsung berpaling dengan wajah bersemu. Pipinya serasa terbakar dan jantungnya berpacu.


“Selamat… malam,” Doyoung menyapa dan tertawa kecil. Biasanya orang yang baru bangun akan mendapat sapaan ‘selamat pagi’ tapi mau bagaimana lagi, jam tidur mereka memang kacau.


“Selamat malam,” balas Hwa Min malu.
“Astaga, bangun juga kau. Kukira mati.” Yuta ikut menyapanya sambil mengarahkan kepalanya ke belakang sedikit, tak benar-benar niat menoleh.


“Yeah, sayang sekali kau juga belum mati,” balas Hwa Min sengit.
“Hai Noona.” Mark tak mau ketinggalan, ia menoleh dan melambai.
“Hai.” Hwa Min membalas pria muda itu dengan senyum seadanya.
“Apa kau lapar?” Doyoung bertanya seraya menyampirkan handuknya di bahu. “Mark membawa piza, tapi mungkin sudah dingin sekarang.” Pria itu membungkuk memungut kotak piza di sebelah Yuta dan berjalan menghampiri Hwa Min. Hwa Min menelan ludah. Matanya membelalak waswas dan ia langsung mengulurkan tangannya dengan panik. “Tidak!” pekiknya berlebihan.


Doyoung membeku.


Hwa Min berdiri dan menggeleng, memperbaiki respons mengejutkannya itu dengan tenggorokan tersekat, “Maksudku tidak sekarang, aku mau mandi dulu.”


“Oh.” Pria itu jelas-jelas kebingungan, namun tetap mengangguk. “Baiklah. Kamar mandinya di…”
“Aku tahu.”


Hwa Min cepat-cepat mengambil baju dan handuk dari tasnya lalu berusaha melewati Doyoung tanpa melihatnya. Pria itu berdiri dua meter di depan perapian dengan handuk merah di bahu dan sekotak piza di tangan, rambut gelapnya yang basah terjatuh di kening, celana olahraganya entah kenapa dipakai terlalu rendah sampai lekukan pinggul—yang seharusnya tidak dipertontonkan—kini terpapar di depan matanya, dia juga tak pakai baju, memamerkan dadanya yang berotot dan abdomennya yang bikin merinding. Hwa Min benar-benar tak mengerti kenapa Kim Doyoung harus berkeliaran setengah telanjang di saat dia sadar bahwa ada dirinya di sini. Pemandangan itu menimbulkan korsleting serius di kepala Hwa Min. Doyoung terlihat sangat seksi dan menyegarkan dan rasanya ia bisa memandanginya seharian tanpa berkedip.


Hwa Min masuk ke kamar mandi dan langsung mencuci muka. Berharap dengan begitu pikiran-pikiran kotor yang mengerubungi kepalanya seperti lalat bisa menghilang. Ia mengempaskan air ke mukanya berkali-kali sampai kepalanya pening, lalu mengusap wajahnya kuat-kuat dan mendesah.


Saat memandang pantulan dirinya di cermin, Hwa Min tak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya-tanya, apa tepatnya yang Doyoung lihat darinya. Apa yang membuat pria itu teramat jatuh cinta? Hwa Min merasa sama sekali tak spesial. Dia benar-benar cuma cewek biasa; tidak cantik, tidak tinggi, tidak pintar. Terlebih hari ini, bayangan yang menatapnya dari cermin ini amatlah mengerikan. Matanya sayu, pipinya cekung dan kulitnya pucat. Dia terlihat lebih pantas untuk menjadi hantu penunggu di kamar mandi ini dibanding pacar seorang Kim Doyoung. Omong-omong soal kamar mandi, kamar mandi di sini terlihat suram dan berhantu, tapi setidaknya terdapat keran, kloset, cermin serta ventilasi yang semuanya berfungsi dengan baik. Ada rak kecil berisi sabun dan sampo dan persis segala apa yang kaubutuhkan untuk mandi. Kalau ia mandi tanpa melihat ke atas, tepatnya ke langit-langit yang keropos dan dipenuhi sarang laba-laba, maka kamar mandi ini bisa dibilang hampir normal.


Setelah menghabiskan tiga puluh menit lebih di dalam sana, Hwa Min akhirnya mengenakan pakaiannya dan melangkah keluar. Ia berjalan ke ruang tengah di mana semua orang berada sambil menyisir rambutnya yang basah dengan jari dan menyibaknya dari wajahnya.


Doyoung tengah duduk di sebelah Mark ketika Hwa Min kembali, konsolnya berada di tangannya alih-alih di Yuta. Ia juga sudah memakai pakaian dan rambutnya sudah setengah kering. Syukurlah.  


Hwa Min memasukkan pakaian kotornya ke dalam tas dan menonton Doyoung dan Mark bermain game selama beberapa saat. Kemudian, karena benar-benar lapar, ia menghampiri kotak piza yang tergeletak di sofa. Tinggal tersisa satu potong, nampaknya memang sengaja disisakan untuknya. Ia mengambil potongan itu, membauinya, lalu menaruhnya lagi sambil meringis.


“Apa kalian tak punya makanan lain?” tanyanya.


Mark yang pertama merespons. Mencoba menoleh ke belakang di sela-sela permainannya. “Aku cuma beli itu. Apa kau tak suka piza, Noona?”


“Suka, kok. Cuma ini agak…” Hwa Min menggantung ucapannya dan mengernyitkan hidung.
“Makan saja apa yang ada. Jangan manja! Toh itu juga salahmu pizanya jadi dingin. Kau tidur terlau lama,” sahut Yuta ketus.


“Kalau tidak ada ya bilang saja tidak. Tak perlu mengomel.” Hwa Min mendelik padanya. Yuta balas mendelik.


Doyoung yang sedang fokus bermain tiba-tiba menyentak konsolnya ke dada Yuta. Ia berdiri dan berbalik menatap Hwa Min. “Ayo beli makan di luar.”


“A-apa? Tidak perlu. Aku akan makan pizanya.”
“Yeah, makan itu lalu temani aku beli makan di luar,” kata Doyoung, berjalan melewatinya dan membuka lemari di seberang ruangan untuk mengambil jins. Ia merentangkan pintunya sedemikian rupa dan membuka celananya langsung di situ, di balik pintu.


Mata Hwa Min tertarik begitu saja ke bawah pintu lemari, lalu bersemu sendiri melihat celana olahraga Doyoung sudah tergeletak di lantai. Ia mencoba mengalihkan pandangnya ke arah lain, namun tiba-tiba saja Doyoung menutup pintu dan menoleh padanya sambil mengancing jinsnya. Otomatis mata Hwa Min tertarik lagi ke arah sana. “Suka dengan yang kau lihat, my dear?”


Hwa Min langsung tersedak. “A-apa?”


“Kutanya, tak jadi makan pizanya, my dear?”
“Oh.” Sekujur tubuhnya rasanya membeku. Ia benar-benar tak mengerti bagaimana bisa telinganya salah dengar sampai sejauh itu. Atau mungkin bukan telinganya yang salah, tapi otaknya. Doyoung masih saja terlihat menggiurkan bahkan saat ia sudah memakai baju. “T-tidak.”


“Kalau kau tak mau pizanya, aku bisa memakannya untukmu.” Yuta berbaik hati menawarkan diri.


Hwa Min yang otaknya sedang kacau menoleh pada Yuta dan mengangguk polos, “terima kasih,” lalu baru sadar akan kebodohannya saat melihat pria sialan itu tertawa. Sial, untuk apa aku berterima kasih?


Doyoung yang turut melihat kejadian itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. Lantas berjalan dan menyambar kunci mobil jeep mereka dari meja, “Ayo.” Ia mengangguk pada Hwa Min.


Sambil meringis, Hwa Min pun berjalan mengikutinya.


“Sama-sama.” Yuta menyahut meledeknya saat gadis itu sudah di pintu. Hwa Min mendengus padanya dan menggabrukkan pintu.


Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat mereka keluar. Lumayan larut memang, tapi seharusnya tidak selarut itu apabila mereka benar masih di Seoul. Hwa Min mau tak mau mulai meragukan lokasi persembunyiannya ini. Daerah antah berantah mana yang letaknya ada di kota metropolitan namun sudah sesepi ini pukul sebelas malam? Tidak masuk akal. Semua tempat makan di sini sudah tutup dan kendaraan yang lewat bisa dihitung jari.


Doyoung mengemudikan jeep-nya dengan kecepatan rendah sambil mengedarkan pandangan ke kanan kiri. Hwa Min juga mencondongkan wajahnya keluar. Dia lapar sekali sampai rasanya ia bisa turun dari mobil ini sekarang dan memakan batu. Sebagian dari dirinya jadi menyesal sudah menolak untuk memakan piza dingin tadi.


“Oh.” Doyoung menegakkan badan. “Kau suka Mcdonald, kan?”


Mata Hwa Min langsung berbinar mendengar kata Mcdonald. Itu makanan dari surga. “Bahkan alien pun suka Mcdonald.”


Doyoung memutar setirnya dengan wajah lega dan memesan melewati drive thru. Setelah mendapatkan dua buah burger, dua cola ukuran besar dan sekantung chicken nugget sejumlah 50 pcs, Doyoung memarkir jeep-nya di parkiran rumah makan cepat saji tersebut dan mematikan mesinnya. Untuk beberapa saat mereka hanya makan dalam diam. Keduanya memandang lurus ke depan, memerhatikan jalan raya yang lengang. Keheningan itu terasa nyaman di awal, namun terlalu banyak keheningan pada akhirnya mengundang kecanggungan juga.


“Inilah saat di mana aku berharap bioskop drive-in belum punah.”


Hwa Min meliriknya sambil tertawa. Kemudian mengangguk sepakat seraya menggigit burger-nya. “Pasti menyenangkan,” komentarnya singkat.


Burger milik Doyoung habis duluan. Ia menyedot cola-nya sedikit lalu kembali menoleh pada Hwa Min. “Apa yang mau kau lakukan sekarang? Mumpung kita masih di luar.”


“Memangnya kita bisa apa malam-malam begini?” Hwa Min memasukkan potongan terakhir burger miliknya ke dalam mulut lalu meletakkan kantung nugget-nya ke pangkuan. Memakannya satu per satu dengan lahap.


“Entahlah. Sesuatu yang bisa dilakukan dengan mobil.”
“Aku tak mengerti bagaimana bisa polisi belum mampu melacak plat mobilmu juga. Kau menggunakan jeep ini tiap hari. Bahkan berkeliaran ke Mcdonald seperti ini.”


Doyoung tertawa, kemudian memutar kunci mobilnya. Mesin jeep rongsok itu meraung marah. “Seburuk itulah kinerja polisi di negara ini.”


Doyoung memundurkan mobilnya dan mereka pun keluar dari parkiran Mcdonald.


“Apa rasanya menyetir jeep sebesar ini?”
“Mau coba?”
“Tidak, kok.”
“Aku akan membawamu ke jalan tol.”
“Heh?”
“Tenang saja. Jalan tolnya masih belum dibuka. Kau bisa coba berkendara di sana.”
“Belum mulai beroperasi maksudmu?”
“Iya.”
“Lalu bagaimana kita masuk?”


Doyoung mengerling padanya. “Aku Kim Doyoung.”


“Dan apa hubungannya itu dengan pertanyaanku?”



**********



Meski belum lama menetap di daerah ini, Doyoung nampaknya sudah hapal mati dengan jalan-jalan di sana. Awalnya Hwa Min tenang-tenang saja, memakan chicken nugget-nya sambil memerhatikan jalan di depannya yang berkelok-kelok. Namun rasa tenangnya mulai tenggelam saat mobil mereka memasuki jalur yang ganjil. Jalan itu lengang sekali dan luasnya terus menyempit. Hingga akhirnya mereka berpapasan dengan tanda dilarang masuk yang dipenuhi pembatas jalan berwarna oranye.


“Kita tidak boleh ke sini.”
“Tapi kita harus lewat sini jika mau ke jalan tol yang kubilang. Aku sudah mengatakannya padamu, jalan tol itu belum dibuka,” kata Doyoung sembari mencondongkan setengah badannya keluar jendela, menggeser pembatas jalan plastik yang berjejer renggang di tengah-tengah.


“Bisakah kau bantu aku dorong road barrier di sebelah sana?”
“Kim Doyoung, ini ilegal.”
“Tidak berat-berat amat, kok.”
“Aku tahu. Harusnya mereka letakkan yang besi.”


Doyoung mendesah bosan dan tahu-tahu saja ia sudah menarik rem tangan dan hendak merayap ke kursi penumpang, bermaksud melakukannya sendiri.


Terkejut, Hwa Min langsung mendorong Doyoung menjauh. Lutut pria itu sudah ada di joknya dan dia akan bergerak semakin dekat jika tidak ditahan. “Oke,” teriak Hwa Min. “Akan kulakukan. Kembali ke kursimu. Astaga!”


Doyoung kembali duduk dengan cengiran penuh kemenangan di wajahnya.


Susah payah, Hwa Min akhirnya berhasil menyingkirkan pembatas jalan tersebut. Tidak terlalu jauh, tapi setidaknya mobil mereka muat untuk masuk. Doyoung berkendara beberapa lama di jalan tol yang luas dan kosong itu sebelum menarik rem tangannya lagi.


“Kita tukar tempat,” katanya, lalu membuka pintu di sebelahnya dan melompat keluar begitu saja.
“Kau tahu, sebenarnya ini tidak perlu. Aku cuma tanya, dan kau harusnya tinggal jawab saja.” Hwa Min berusaha menjelaskan dengan suara kencang pada Doyoung yang tengah berjalan mengitari mobil. Doyoung berhenti di sampingnya dan tangan Hwa Min melejit mencoba mengunci pintu, namun kalah cepat. Pintu di sebelahnya terpentang membuka dan Doyoung melesakkan diri masuk ke kursi penumpang. Hwa Min yang terdesak mau tak mau pindah ke kursi kemudi.


“Aku tak pernah belajar menyetir.” Hwa Min memandang kemudi lalu menunduk pada pedal-pedal di bawah kakinya. “Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.”


“Tak masalah. Ini mudah.” Pria itu mulai menjelaskan hal-hal dasar; kopling, gas, rem, persneling, semuanya.


Hwa Min menarik napas dalam-dalam dan memutar kunci. Mesin mobilnya meraung hidup. Mengikuti instruksi Doyoung, ia menekan pedal gas, membuat Jeep mereka meluncur kencang. Hwa Min syok luar biasa namun Doyoung malah tertawa terpingkal-pingkal. “Injak remnya. Pelan-pelan,” katanya. Hwa Min menginjak rem dan mereka berdua terpelanting ke depan. Doyoung meletakkan kepalanya di dasbor dan tergelak-gelak. “Aku suka sekali mengajari orang yang baru pertama kali bawa mobil. Astaga.”


“Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa. Tapi kalau caramu begini, maka agak bahaya. Sebentar.”


Doyoung mencondongkan tubuhnya mendekati Hwa Min, dan sebelum gadis itu sempat bertanya, ia sudah menarik sangkutan sabuk pengaman di sebelah kepalanya. Jarak mereka amat rapat dan Hwa Min tak bisa bergerak. Doyoung sengaja berlama-lama berkutat dengan sangkutannya, rahangnya menggerus pipi Hwa Min sebelum ia tersentak sendiri dan menoleh menatapnya. Dekat sekali.


Napas Doyoung terasa hangat dan manis. Bola matanya yang hitam nan menenggelamkan berpendar hanya sesenti di depan matanya. Hwa Min merasa jantungnya sudah jungkir balik tak keruan. Setelah tak bergerak selama beberapa saat, Doyoung menyunggingkan senyum miring seraya menyilangkan sabuk di perutnya. Matanya tak beralih dari mata Hwa Min selagi ia menancapkan ujung sabuk di penguncinya.


Udara jadi terasa lebih pekat dan susah dihirup. Buku jari Doyoung yang tak sengaja menyenggol perutnya membuatnya semakin menegang. Otaknya dipenuhi kabut dan ia benar-benar sesak napas sekarang. Doyoung menurunkan pandangannya menatap bibir Hwa Min. Kepalanya dimiringkan. Membuat gadis itu yakin sekali mereka akan berciuman. Namun tanpa diduga-duga Doyoung malah mendesahkan tawa dan berkata, “Apa yang sedang kau pikirkan?” Napasnya membelai bibir Hwa Min. “Jangan terlalu gugup, my dear. Menyetir di jalan lurus tak akan membunuhmu.” Ya, justru kau yang bersikap beginilah yang akan membunuhku, pikir Hwa Min, sementara Doyoung menjauhkan diri begitu saja dan kembali ke kursinya.


Hwa Min mencengkeram kemudi dan berusaha mengembalikan napasnya yang tersendat.


“Apa yang kau tunggu?” Suara menyebalkan Doyoung terdengar. “Ayo jalan.” Tanpa peduli pada hasil perbuatannya dia kembali memberi instruksi. Hwa Min melirik pria itu dengan kesal sebelum kembali mengerahkan otaknya yang berkabut untuk berkonsentrasi.


Sepuluh menit kemudian, tawa Doyoung mulai bergema lagi. Tawa merdunya memenuhi telinga Hwa Min selama gadis itu mencoba beradaptasi dengan sensitivitas pedal-pedal di bawah kakinya. Untungnya jalan di depannya hanya berupa garis lurus. Jadi ia tak perlu memusingkan teknik berbelok dan bisa fokus mempelajari bagaimana caranya mempercepat dan memperlambat laju mobil tanpa harus menyentak mereka berdua ke depan.


Setelah lima belas menit, Hwa Min akhirnya mulai terbiasa dan bisa berkendara dengan stabil. Doyoung menepukkan tangannya dengan wajah bangga, “Bravo!”


Hwa Min terkikik malu. “Terima kasih.”


“Nah, sekarang,” setelah memutar badan memastikan semua kaca jendela terbuka maksimal, Doyoung menyalakan musik keras-keras dan menatap Hwa Min dengan mata berkilat. “Injak penuh.”


Hwa Min balas memandangnya. Keningnya berkerut-kerut, “Apa kau gila?”


“Injak gasnya. Lajukan mobil ini secepat yang kau bisa.”


Raut berapi-api Doyoung nampak tak bisa diganggu gugat, jelas-jelas menunjukkan bahwa ia sedang tidak ingin menerima penolakan. Jadi Hwa Min pun meletakkan kakinya di atas pedal gas, menarik napas dalam, lalu mendorongnya sampai habis. Hwa Min terkejut melihat spidometernya melesat naik. Angin yang berembus melalui kaca jendela menerbangkan rambutnya, mencambuk-cambuk mukanya dengan tajam. Ia bisa mendengar Doyoung berteriak puas di sebelahnya selama Jeep mereka melaju makin kencang membelah jalan yang tampak tak berujung. Hwa Min merasakan kebebasan yang menyenangkan. Seolah mereka sedang berada di bumi yang lain, bumi yang lebih sepi dan lebih baik, yang memberikan berbagai kemungkinan masa depan yang indah. Di bumi itu, Doyoung bukan buronan dan dirinya bukan seorang munafik yang berusaha menjebak kekasihnya. Mereka hanya sepasang manusia yang sedang jatuh cinta. Ia merasa tak terkalahkan.


Setelah beberapa lama, Hwa Min akhirnya menarik kakinya dari pedal gas dan membiarkan mobil itu melambat sendiri. Saat lajunya makin pelan, Doyoung mematikan musik dan menyuruh Hwa Min menepi ke sisi jalan hingga mobil itu sepenuhnya berhenti.


Hwa Min menyingkirkan rambut dari wajahnya, berusaha menenangkan debaran jantung serta aliran adrenalin yang mengalir deras di pembuluh darahnya. Ia duduk bersandar dan menarik napas dalam-dalam, kemudian memiringkan kepala untuk melihat Doyoung di kursi penumpang.


“Pertanyaan kedua,” katanya tersengal, “apa yang membuatmu memutuskan untuk meninggalkan segalanya dan menjadi kriminal?”


“Serius? Tiba-tiba aku harus menjawab?”
“Aku memikirkannya barusan. Aku berpikir akan sangat hebat jika kita bisa lulus kuliah berdua, bekerja di tempat bagus dan menikah seperti pasangan normal. Bukan kabur-kaburan dari polisi dan tinggal di gedung berhantu seperti ini.”


Doyoung meloloskan desah penuh penyesalan dan bergumam lirih, “Maafkan aku.”


Mendengar itu, tangan Hwa Min refleks terulur. Ia mengusap tangan Doyoung sebelum meremasnya seolah sedang memberi kekuatan. “Ceritakan padaku. Semuanya. Kita punya banyak waktu.”


Permintaannya tak langung direspons.


Selama beberapa saat Doyoung hanya menggeram dan menarik napas di antara giginya. Nampak marah dan enggan. “Cuma masalah keluarga bodoh, sebenarnya. Aku malas sekali membahasnya.” Dia menggeram lagi. “Tapi karena aku sudah janji, yah.. baiklah.”


Hwa Min berpikir masalah keluarga macam apa yang bisa membuat seseorang rela memutarbalikkan hidupnya seekstrim ini, namun ia tak mengatakan apa-apa dan hanya menunggu Doyoung melanjutkan.


“Aku adalah anak angkat,” Doyoung memulai dengan napas berat, “aku tahu fakta itu sejak kecil dan hal itu tak pernah menggangguku. Aku tak peduli atau berusaha mencari tahu siapa orangtua kandungku. Maksudku, untuk apa? Toh mereka tak menginginkanku.


“Sampai akhirnya, setelah lulus SMA, seorang wanita datang ke rumah dan mengaku sebagai ibu kandungku. Dia ingin membawaku pergi. Aku menolak, tentu saja. Kubilang padanya aku bahagia tinggal bersama orangtua angkatku. Lalu dia memberikan orangtua angkatku sekoper uang dan mereka begitu saja mengusirku dari rumah.”


“Jadi ibu kandungmu kaya raya,” gumam Hwa Min.
“Tidak. Itu uang ayahku. Ayahku mengiriminya uang tiap bulan.” Doyoung melepaskan tangannya dari Hwa Min dan meletakkannya di atas lutut, mengepalnya erat-erat seolah ingin menyalurkan amarah. “Ayahku selingkuh dengannya saat sudah memiliki istri, lalu tanpa diduga wanita itu hamil. Dia mau menggugurkannya tapi ayahku menolak. Ayahku ingin wanita itu merawatku di tempat yang jauh. Sebagai gantinya, ayahku mengiriminya uang yang banyak tiap bulan. Dia melahirkanku dan merawatku beberapa bulan, dan mungkin… karena merasa mengurus bayi itu merepotkan, ia meletakkanku di depan rumah orang dan melarikan diri ke luar negeri.”


Hawa dingin yang masuk ke dalam mobil membuat mereka berdua merinding. Doyoung menutup kaca jendela di sampingnya selagi ia melanjutkan, Hwa Min mengikuti.


“Ayahku tak tahu soal hal itu, jadi ia tetap mengiriminya uang. Wanita itu hidup nyaman di Australia sampai akhirnya orang suruhan ayahku datang ke rumahnya. Rupanya ayahku sakit keras. Penyakit langka. Obatnya hanya bisa diracik jika ada DNA keluarga sedarah di dalamnya. Wanita itu panik. Ia langsung kembali ke Korea, pergi ke rumah di mana ia meninggalkanku dan memaksaku untuk ikut dengannya. Lalu…”


“Maaf menyela,” kata Hwa Min hati-hati, “tapi kau bilang ayahmu membutuhkan DNA keluarga sedarah. Apa itu artinya hanya kau keluarga sedarahnya yang tersisa?”


“Rupanya begitu.” Doyoung mengangkat bahunya tak acuh. “Dia punya dua anak dari istrinya, tapi ternyata setelah sampelnya diambil, DNA mereka sama sekali tak ada relasinya dengan ayahku.”


“Maksudmu mereka bukan anak kandung ayahmu?”
“Ya, istrinya ternyata juga selingkuh.” Tangan Doyoung menelusuri panel dasbor sementara tatapan nanarnya tertuju ke lampu-lampu jalan. “Anak sulungnya seumuran denganku. Aku bisa membayangkan betapa bimbangnya ayahku saat itu. Ia sudah menikah enam tahun tanpa dikaruniai anak, lalu saat istrinya akhirnya hamil, di waktu yang sama ia malah menghamili wanita lain. Ayahku tak mungkin membawaku ke tengah-tengah keluarga kecilnya yang bahagia. Apalagi aku berasal dari rahim pelacur.”


“Pelacur?”
“Ya, itu pekerjaannya. Tak heran hanya uang yang dipedulikan. Sama sekali tak ada ruang di hatinya untuk mengakuiku. Setelah ‘membeliku’ dari orangtua angkatku, ia memberikanku pada orang suruhan ayahku lalu pergi begitu saja sambil membawa lebih banyak uang. Aku benar-benar tak lebih dari mesin penghasil uang di matanya.” Suara Doyoung bergetar dan kekecewaannya seolah menguar hingga membuat atmosfer di dalam mobil menjadi tak menyenangkan.   


“Aku bertemu ayahku pertama kali saat aku baru masuk kuliah. Kami bertemu di rumahnya setelah DNA-ku diambil. Dia hanya bisa berbaring dengan selang di sekujur tubuhnya. Air matanya mengalir dan dia terus minta maaf padaku. Aku juga bertemu dengan istri dan anak-anaknya, mereka semua kelihatan seperti orang baik. Istri ayahku menjelaskan bahwa karena aku adalah pewaris utama dari Kidong grup, maka...”


“KIDONG GRUP?” sela Hwa Min terkejut.
“Ya.” Doyoung tertawa hambar sambil menoleh dan berusaha tersenyum lemah pada Hwa Min. “Aku adalah anak kandung satu-satunya dari CEO Kidong grup. Aku mungkin bisa sekaya Jaehyun sekarang.”


“Astaga." Hwa Min tercenung selama beberapa saat sebelum berhasil menguasai diri. "Apa kau tahu seheboh apa pemberitaan soal kebangkrutan perusahaan itu? Semua stasiun tv memberitakannya tanpa henti sampai dua minggu lebih.”


“Kau akan lebih terkejut lagi begitu tahu siapa penyebab kebangkrutan itu,” ujar Doyoung arogan.


Hwa Min menyipitkan matanya penuh antisipasi, menyiapkan mental. “Jangan bilang itu kau!”


“Maka aku tak bisa bilang apa-apa.”
“Ya ampun! Apa yang terjadi!!”
“Mereka layak mendapatkannya. Mereka iblis.” Doyoung bicara dengan geraman emosi di balik napasnya. Matanya berkilat-kilat dan suaranya terdengar kejam. “Obat itu tak pernah diberikan kepada ayahku. Mereka menyuntikkan vitamin tak berguna padanya setiap hari dan berbohong mengatakan itulah obatnya. Dan sebelumnya, saat darahku sedang diambil, mereka menyuntikkan virus yang sama dengan yang sedang menggerogoti ayahku, supaya aku juga mati.”


“Kenapa mereka bisa sejahat itu?” seru Hwa Min emosional.
“Ayahku murka saat tahu kedua anak yang dibesarkannya selama ini ternyata bukan darah dagingnya. Jadi ia tidak menuliskan nama mereka bertiga di surat wasiatnya. Dia hanya menulis namaku. Pewaris satu-satunya. Lalu mereka membuat surat peralihan aset atas namaku, di dalamnya tertulis bahwa semua yang kudapat akan menjadi milik mereka apabila aku mati. Jadi mereka butuh tidak hanya kematian ayahku, tapi juga kematianku untuk mendapatkan semuanya. Dan aku,” Doyoung menyibak rambutnya dengan wajah frustrasi, “aku malah menandatanganinya begitu saja. Karena kupikir mereka adalah orang terdekat ayahku dan seharusnya mereka bisa kupercaya.”


Cara Doyoung mengatakan kalimat terakhirnya membuat hati Hwa Min mencelos. Dia memikirkan Doyoung bicara seperti itu soal dirinya, tentang kepercayaan dan sebagainya, dan tiba-tiba saja matanya terasa tersengat.


“A-aku bertemu Irene saat mencoba mencarimu,” kata Hwa Min setelah membersihkan tenggorokannya, “dia bilang kau sakit keras sampai Jaehyun harus menjemputmu.”


Doyoung mengangguk, “Ya, untungnya aku punya Jaehyun. Kalau tidak mungkin aku sudah mati,” katanya pelan. “Dia membantuku mencari dokter-dokter yang menangani ayahku sebelum beliau meninggal. Aku tak tahu mereka disuap berapa, yang pasti itu sanggup untuk membeli martabat mereka sebagai pengemban pekerjaan mulia. Tapi untungnya di antara mereka, masih ada satu yang punya hati nurani. Dia masih memiliki sampel DNA ayahku dan bersedia membuatkan obatnya. Aku dirawat berbulan-bulan sebelum akhirnya sembuh total. Jaehyun menyuruhku untuk mengambil alih Kidong Grup dari tangan bedebah itu. Dan walaupun secara hukum aku bisa, aku tetap tak mau melakukannya. Pada akhirnya, meski Kidong Grup akan menjadi milikku, aku yakin mereka tak akan menyerah, mereka akan selalu mencoba membunuhku seumur hidupku dan aku tak mau hidup di bawah bayang-bayang mengerikan seperti itu. Jadi aku dan Jaehyun memilih untuk membuat rencana balas dendam.”


“Dan itu sukses besar,” timpal Hwa Min.
“Ya.”
“Dan seharusnya kau berhenti di sana.”
“Aku tahu. Tapi Jaehyun membutuhkanku untuk melakukan satu misi balas dendam lagi. Dia pernah ditipu oleh seseorang, jauh sebelum anak itu pergi kuliah ke California. Dia lapor polisi. Tapi polisi tak pernah benar-benar membantu. Mereka lelet dan hanya bergerak jika itu menguntungkan bagi mereka. Jadi kami melakukan sedikit penebusan kesalahan, mengambil uang setara dengan apa yang ia ambil dari Jaehyun dan membuatnya agak menderita. Dan rasanya melegakan. Melegakan sekali sampai-sampai kami ketagihan.”


Sekali lagi Hwa Min bisa melihat mata Doyoung berkilat jahat.


“Awalnya cuma sekali sebulan, tapi lama-lama semua ini mulai menjadi hobi yang tak bisa ditinggalkan.” Sudut bibir Doyoung tertarik liar. Ia memandang bengis ke jalanan dan menggeleng tipis. “Jaehyun adalah pebisnis. Dia tahu banyak soal kebusukan orang-orang kelas atas yang saling sikut demi uang. Dia punya daftar panjang pengusaha dan orang-orang berpengaruh yang bertindak sewenang-wenang. Jadi kami menggunakan daftar itu untuk mengunjungi mereka dan memberi sedikit teguran.”


“Kau tak punya wewenang apa pun untuk menegur. Caramu salah.”
“Lalu bagaimana menurutmu cara yang benar? Lapor polisi? Kau pikir mereka akan membantu?”
“Itu tugas mereka, Kim Doyoung,” tukas Hwa Min sengit.
“Apa kau bahkan mendengarku?” Doyoung menampik tak mau kalah. “Mereka tak peduli, Son Hwa Min!”


Hwa Min membeku di kursinya karena panggilan nama itu. Sudah lama sekali rasanya sejak ia mendengar namanya bergulung di lidah Doyoung. Doyoung selalu memanggilnya ‘my dear’ seolah-olah dirinya terlahir dengan nama itu. Akibatnya, kini sensasi yang tak biasa timbul di dasar perutnya, membuat jantungnya bergemuruh kencang hingga tak bisa membalas.


“Intinya aku dan Jaehyun tak pernah mengejar uang. Apa kau pikir Jaehyun tak cukup kaya hingga harus mengambil dari orang yang menipunya?” Doyoung bertanya dengan jengkel, kemudian menjawab sendiri, “Tentu saja tidak, dia anak tunggal CEO Jung Corp. Dia punya segalanya. Ini soal balas dendam yang tak ada habisnya. Pada kehidupanku. Pada orang-orang jahat yang sewenang-wenang. Pada birokrasi. Pada Polisi. Pada orang-orang kaya dan dunia yang tak adil ini.”


“Orang-orang kaya bisa kaya karena mereka bekerja keras.”
“Kau pikir sekeras apa mereka bekerja hingga bisa menghasilkan uang sebanyak itu?” Suara Doyoung dipenuhi kebencian. “Mereka punya lebih banyak uang di rekeningnya daripada apa yang sanggup mereka habiskan. Itu bukan kerja keras, tapi keberuntungan. Kurasa tidak ada orang yang bekerja sebegitu kerasnya hingga berhak mendapat 20 triliun setahun. Jika ada, maka mereka harusnya memberikan gaji yang bukan hanya layak, tapi juga berlebih pada karyawan-karyawannya. Untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Atau bangunlah yayasan untuk bantu orang yang tidak seberuntung dirinya. Harusnya mereka ikut tanggung jawab dengan nasib orang-orang susah. Toh sekalipun mereka tidak melakukan apa pun selain membakar uangnya seratus juta sehari, uang-uang itu tak akan habis sampai keturunan ketujuhnya mati. Kau mengerti maksudku?”


Hwa Min menghela napas. Walaupun penjelasan Doyoung bisa ia mengerti, tapi rasanya tetap salah. Jadi alih-alih mendebat asumsi Doyoung yang nampak sudah mengakar dalam di pola pikirnya, Hwa Min memilih untuk menyudahi debat mereka soal itu dan menanyakan hal lain. “Lalu Mark dan Yuta? Bagaimana bisa mereka ikut kalian?”


“Aksi kami mau tak mau membutuhkan teknologi. Dan sayangnya, baik aku maupun Jaehyun tak begitu mahir di bidang itu. Jadi Jaehyun yang waktu itu baru sebulan menggantikan ayahnya menjadi CEO mendatangi kampus paling bergengsi di Seoul dan menawarkan diri untuk memberikan kuliah soal bisnis di jurusan Teknologi Informatika. Jung Corp adalah perusahaan tersohor jadi tentu saja mereka menerimanya dengan senang hati. Dia bicara soal peluang usaha berbasis teknologi atau apalah lalu di akhir acara dia meminta semua peserta kuliahnya untuk mengeluarkan laptop dan mencoba membobol sistem keamanan perusahaannya.”


“Dan Mark berhasil.”
“Ya, tapi tidak yang tercepat,” timpal Doyoung. “Namun Jaehyun punya radar sendiri soal orang-orang yang bisa ia percaya. Jadi, walaupun anak itu berada di urutan keempat, Jaehyun memilihnya.”


Hwa Min menelan ludah. Itu sebabnya Jaehyun tak mudah memercayainya. Karena radar di kepalanya berfungsi dengan baik. “Dan dia benar,” kata Hwa Min lirih, “Mark bisa dipercaya.”


Doyoung mengangguk. “Dan soal Yuta, kukira aku sudah bilang kemarin. Dia..”


“Hilang ingatan. Benar.” Hwa Min mendahuluinya. Dia memandang ke depan ke jalan tol yang kosong. Memandangi kabut-kabut yang berseliweran tertimpa lampu mobil. Lantas mendesah miris.


“Maafkan aku,” katanya. “Kita pacaran tapi aku tak pernah tahu kau melalui semua itu. Berarti saat kita kuliah dulu, saat pertama kali pacaran, kau sedang berjuang melawan sakit tapi tetap pura-pura baik-baik saja di depanku.”


Doyoung menghela napas. “Bukan pura-pura,” koreksinya. “Tapi memang rasanya tidak terlalu menyakitkan jika aku sedang bersamamu.”


“Kenapa kau tak pernah bilang?”
“Karena itu memalukan.”
“Itu tidak memalukan.” Hwa Min berkeras.
“Orangtua angkatku mengusirku. Ibu kandungku seorang pelacur. Ayah kandungku mencariku hanya karena dia butuh DNA-ku. Lalu aku disuntikkan virus mematikan oleh istri ayahku dan semua kegilaan lain. Bagaimana caranya aku menceritakan itu semua padamu tanpa membuatmu pergi dariku? Aku mungkin terlihat tenang-tenang saja di luar tapi rasanya aku benar-benar bisa gila karena terlalu menyukaimu. Aku sudah menyukaimu sejak…”


“Ospek,” Hwa Min menyambung kalimat berapi-api Doyoung dengan tenang, menoleh menatapnya dengan senyum lemah. “Kun bilang kau menyukaiku sejak pertama kali melihatku.”


“Kau bahkan menemui Kun?”


Hwa Min mengangguk. “Lucu sekali kau curhat tentangku pada seniormu.”


“Yeah, aku memang lucu. Omong-omong, mumpung masih ada beberapa jam lagi sebelum pagi,” Doyoung membuka laci dasbornya dan mengeluarkan gulungan kertas. Jelas-jelas sudah enggan melanjutkan pembicaraan mereka tentang masa lalunya. “Ayo bicarakan pulau mana yang akan jadi tempat pelarian kita.”


Itu adalah peta Korea. Doyoung menyalakan lampu plafon mobil dan bergeser mendekati Hwa Min sambil merentangkan petanya. Hwa Min melepas sabuk pengamannya dan beringsut mendekat.


“Pulau Biyang?” Doyoung menunjuk salah satu titik kecil di dekat Pulau Jeju. “Luasnya cuma dua hektar. Aku yakin tak banyak yang tinggal di sana.”


“Tapi letaknya dekat dengan Jeju,” komentar Hwa Min. “Sepertinya sekarang ini semua pulau yang berada di dekat Jeju sudah menjadi objek wisata.”


“Benar juga.” Doyoung mengeluarkan suara yang terdengar seperti gumaman panjang sebelum menunjuk pulau yang lain—yang titiknya bahkan terlihat lebih kecil lagi.


“So-Yeon-Pyo~ng.” Ia membaca tulisan mungil di petanya susah payah. “Letaknya ada di Kepulauan Yeonpyong di Laut Kuning. Luasnya bahkan tak sampai satu hektar. Bagaimana menurutmu?”


“Apa itu bahkan berpenghuni?” Hwa Min menyandarkan kepalanya di bahu Doyoung dan bertanya dalam bisikan samar. Percakapan mereka, terutama soal pulau-pulau ini, membuatnya mengantuk. Ia benci geografi.


“Entahlah.”
“Sempurna.”


Doyoung tersenyum. “Ya.” Ia membuka dasbornya lagi. Mengeluarkan spidol merah yang hampir mati lalu melingkari titik antah berantah itu. Ia harus menekan spidolnya kuat-kuat supaya tintanya keluar.


“Kapan kita akan ke sana?” tanya Hwa Min dengan suara rendah, walau ia sendiri tahu pelarian itu mungkin takkan pernah terjadi.


“Secepatnya,” jawab Doyoung, menggulung petanya dan melemparnya ke laci dasbor sebelum menggabrukkannya.


“Dengan mobil?” Hwa Min mengulurkan tangannya untuk mematikan lampu plafon.
“Belum kupikirkan. Tapi itu akan menyenangkan, my dear.”
“Aku bisa menggantikanmu menyetir kalau kau lelah.”


Doyoung menenggelamkan hidungnya di puncak kepala Hwa Min dan terkekeh di sana. Hwa Min tersenyum. Rasanya seperti sedang melantur. Berada di tengah-tengah jalan tol kosong, menjelang pagi, duduk di dalam Jeep usang, memilih pulau terpencil untuk melarikan diri dan menandainya di peta yang berkerut-kerut. Benar-benar tak masuk akal. Seolah mereka adalah pasangan keren di film romantis tahun 80-an, diproduksi sacara indie, low budget, dengan akhir menggantung. 


Hwa Min sudah hampir tenggelam ke alam mimpi saat ia merasakan Doyoung memeluknya. Panas tubuh Doyoung menyelimutinya dengan kehangatan yang menyenangkan. Aroma mahogani yang manis dan segar memenuhi indra penciumannya. Mereka bertahan dalam posisi itu sebelum bisikan Doyoung yang serak dan halus seperti beledu menyapu telinganya. “Kita harus kembali sekarang. Pekerja konstruksi jalan tol biasa datang sebelum matahari terbit.”


Desahan protes lolos dari bibir Hwa Min sebelum ia mau tak mau mengangkat tubuhnya. Kehangatan yang menyelimutinya langsung hilang dan itu benar-benar menyebalkan. Kenapa pagi harus datang secepat ini? Sambil menggerutu, gadis itu mengulurkan kakinya ke kursi penumpang, hendak berpindah tempat ke sana. Namun Doyoung malah memutar badan, duduk menghadapnya dan dengan sengaja merentangkan tangannya menghalangi jalan.


“Doyoung, aku benar-benar tidak ingin menyetir.”
“Kalau begitu kau harus bayar pajak.” Doyoung menelengkan kepala, beberapa helai rambutnya tergerai menutupi dahi. Senyuman culas bermain di bibir puitisnya.


Rasa kantuk Hwa Min langsung hilang begitu saja. Berganti dengan adrenalin, melesak ke seluruh penjuru tubuhnya dan menghidupkan semua rangsangan di dalam sana hingga seluruh kulitnya kini terasa panas seperti bohlam lampu. Namun Hwa Min berusaha terlihat tak terpengaruh. Ia berlutut di kursinya dan tersenyum miring, “Kenapa aku harus bayar pajak?” katanya, memainkan nada bicaranya seraya berjalan dengan lututnya mendekati Doyoung.


“Karena kita gantian kursi,” karang Doyoung asal. Nampak sama sekali tak peduli akan betapa konyol dirinya terdengar.


“Memang ada pajak seperti itu?”
“Ada.”
“Dan kau adalah orang pertama di muka bumi yang menerapkan pajak tukeran kursi itu.”


Doyoung menjatuhkan kepalanya ke depan dan tersenyum. Tangannya masih merentang. “Yeah, my dear,” Pria itu mengangkat kepalanya lagi dan membasahi bibirnya, “Keberatan?”


“Tergantung.” 
“Tergantung apa?”
“Bagaimana aku harus membayarnya?”


Doyoung menyeringai melirik Hwa Min sebelum berpaling dan menunjuk pipinya. Gadis itu langsung tertawa. Lalu tanpa membuang waktu ia mengulurkan wajahnya dan mencium pipi sang pria.


“Apa aku boleh bayar pajak lagi?” Hwa Min mencoba beringsut lebih dekat lagi dengan lututnya.


Doyoung akhirnya menurunkan tangannya dan merapatkan punggungnya ke pintu, memberi ruang bagi Hwa Min untuk bergabung dengannya di kursi penumpang. “Kau mau bayar pajak lagi?”


Hwa Min mengangguk mantap dan mengalungkan tangannya di leher Doyoung. “Ya. Bukankah kita bertukar tempat dua kali malam ini?”


Doyoung tersenyum. “Kau wajib pajak paling disiplin yang pernah kutemui.”


Hwa Min mengulas cengiran tipis sebelum menunduk dan mempertemukan bibirnya dengan bibir Doyoung. Doyoung balas menciumnya dengan handal. Ia memiringkan kepalanya dan nyaris mengunyah setengah dagu Hwa Min di dalam mulutnya. Senyum langsung merekah lebar di wajah keduanya. Mereka terkikik dan memperdalam ciuman satu sama lain. Rasanya intens, namun tetap menyenangkan dan manis seperti gula-gula.


Dan ketika akhirnya Hwa Min menjauhkan diri, tawanya meluncur goyah. “Apa Yuta membayar pajak padamu juga?”


Doyoung mendenguskan tawa kasar. Kemudian memejamkan matanya sembari mengernyit. “Kau benar-benar pandai menghancurkan momen.”


Hwa Min terkekeh dan kembali menunduk untuk mencium pipi Doyoung.


Mereka saling berpandangan dengan lembut, meneliti wajah satu sama lain sambil melemparkan cengiran lebar. Entah sejak kapan Hwa Min sudah duduk sempurna di pangkuan Doyoung. Tangan pria itu ada di pinggangnya, jemarinya bergerak membuat putaran-putaran menenangkan di kulitnya yang berbalut linen. Mereka jelas sedang kasmaran.


Hwa Min menempelkan dadanya di dada Doyoung dan memeluknya erat saat tiba-tiba saja sebongkah cahaya merebak menembus kaca depan mobil mereka.


“D-doyoung, matahari!”


Doyoung membuka matanya dan berpaling ke depan, kemudian langsung mengumpat. Ia bergegas bangkit melewati Hwa Min dan melompat ke kursi kemudi. Lantas tanpa buang-buang waktu segera memutar kuncinya.


Hwa Min duduk bersandar ke sisi jendela sambil mengangkat kedua kakinya ke kursi, menekuknya. Jeep mereka berputar dalam decitan nyaring lalu melesat dengan kecepatan membutakan seolah mereka sedang melarikan diri dari matahari. Hwa Min melirik Doyoung sambil memandangi langit yang mulai berganti warna. Hatinya mengembang oleh rasa tenteram dan takut di saat yang sama. Berpikir sampai kapan mereka bisa menikmati semua kebahagiaan ini? 



TBC







Comments

Popular Posts