Good Criminals #7
Awalnya Hwa Min mengira ia akan
mati bosan di tempat persembunyian. Misi pencurian tidak datang setiap hari,
jadi ia pikir ia akan menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk tidur
atau mendengarkan para cowok itu berceloteh soal game online. Namun ternyata tidak. Doyoung rupanya lebih serius
untuk merekrutnya ketimbang yang gadis itu kira. Ada empat buku soal merakit
bom yang bertumpuk di sebelah kepalanya saat Hwa Min bangun sore itu.
Membuatnya tercengang hebat hingga langsung bangkit ke posisi duduk.
Di perjalanan pulang setelah
pelajaran mengemudi semalam, Hwa Min ingat Doyoung memang menanyainya soal ini,
soal apa yang mau ia pelajari duluan; membidik pistol, membuka borgol, merakit
bom atau sesuatu yang lain. Hwa Min menjawab dengan nada bergurau, merakit bom akan menyenangkan, katanya
sambil terkikik, tak pernah mengira Doyoung benar-benar akan mengajarinya
membuat alat peledak. Dan yeah, perkiraannya salah.
Jadi hari itu, pukul setengah
empat sore, Hwa Min duduk bersandar di dinding yang terbuat dari batu-bata kuning di samping
perapian, membaca buku soal jenis-jenis bom sementara Yuta dan Doyoung nampak
sibuk sendiri-sendiri di ruangan lain. Dari apa yang Hwa Min baca selama dua
jam belakangan, merakit bom nampaknya bukan hal yang susah. Namun keesokan harinya,
saat Doyoung menyuruhnya untuk menerapkan langsung teori-teori di buku itu, Hwa
Min sadar ia menyimpulkan terlalu cepat.
Yuta terus berteriak padanya
dengan geram sebelum akhirnya berdiri dan menyuruhnya minggir sambil mengomel. “Kau
tahu tidak sih salah sambung tembaganya sesenti saja, tanganmu bisa hancur
lebur,” bentaknya. Pria itu melirik Doyoung yang sedang membuat sarapan—cuma
mengolesi roti dengan selai, sebenarnya—lalu menghardiknya penuh emosi, “Kau
sudah gila ya menyuruh anak ini bikin bom? Bagaimana jika dia meledakkan kita
semua?”
“Itu gunanya kau kusuruh
mengawasinya, kan? Jangan sampai dia meledak.” Doyoung menyahut tenang.
“Dasar bajingan sinting,” umpat
Yuta di balik napasnya. Pria itu lantas menoleh pada Hwa Min dengan tatapan
mengancam, menyuruhnya mundur. Hwa Min tentu saja menurut. Setelah mendesah
penuh beban, Yuta mulai memfokuskan pandangannya pada bom setengah jadi di
depannya lagi. Mengaitkan tembaga-tembaga ke paku dan baut, membentuk lilitan
rumit di sekitar botol soda kosong yang menjadi wadah bom tersebut. Wajahnya
berkerut-kerut, terlihat begitu teliti, namun tangannya bergerak amat lincah
dan cepat hingga Hwa Min kesulitan untuk mengikuti.
“Sudah jadi, nih. Mau coba di
luar?” Yuta menawarkan sesantai seolah mereka hanya ingin melakukan percobaan
roket air yang dibuat di kelas fisika di sekolah. Hwa Min mengangguk dan mereka
pun berjalan keluar, melewati Doyoung yang sedang sibuk dengan sekotak
penuh gembok. Ada roti di antara giginya dan sebuah stopwatch di sebelah kirinya. Stopwatch itu berputar selama Doyoung mencoba membuka entah berapa puluh gembok dengan kawat. Yuta melewati pria itu
tanpa peduli sedikit pun sedangkan Hwa Min melongok-longok penasaran.
Uji coba bomnya berlangsung
sekejap mata, namun berbekas luar biasa. Sebongkah besar ranting beserta
daunnya yang rimbun tiba-tiba jatuh ke kepala Hwa Min saat ia meledakkan bomnya
di bawah pohon. Yuta tertawa terpingkal-pingkal sementara Hwa Min jejeritan
sambil berlari mengitari pekarangan yang dipenuhi rumput ilalang. Tangannya
bergerak heboh menangkisi rambutnya. Kepalanya terus disentak-sentak ke segala penjuru seperti
penyanyi rock.
“Itu cuma daun,” teriak Yuta
kehabisan napas. Ia mengusap air di ujung matanya dan terus tertawa sampai
perutnya sakit.
Saat mereka berdua akhirnya masuk
ke dalam, Doyoung masih saja sibuk dengan gemboknya.
“Kukira ada binatang yang loncat
ke kepalaku,” kata Hwa Min saat Yuta menutup pintu.
Yuta yang semula sudah tenang
langsung cekikikan lagi. Dia mengambil batang ranting di rambut Hwa Min lalu
berkata dengan nada kelewat geli, “sudah kubilang itu cuma daun.”
Mendengar tawa
Yuta, Doyoung langsung menurunkan gembok yang sedang ia coba buka ke pangkuannya
lalu menoleh ke belakang dengan tampang penasaran. Sebelah alisnya terangkat
melihat penampilan Hwa Min—rambutnya kusut masai dan dipenuhi tanah tebal,
bajunya kusam dan wajahnya merah seperti stroberi.
Hwa Min
melihat tatapan Doyoung dan langsung mendecak, “Sudahlah. Aku mandi saja.”
“Rotimu, my dear.”
“Kubilang aku
akan mandi, Kim Doyoung. Dengar tidak, sih?” serunya sewot, lalu berjalan pergi
dengan muka tertekuk.
Doyoung
langsung mengalihkan tatapannya pada Yuta.
Sambil
mendudukkan diri dan mencomot roti beroleskan selai kaya di sebelah Doyoung,
Yuta menjawab tatapan penasaran pria itu tanpa bisa menahan keinginannya untuk
nyengir, “Dia meledakkan pohon dan membuat dahannya jatuh ke kepalanya.”
Seketika itu
juga, mereka serempak menyemburkan tawa.
“Yah! Kim
Doyoung! Kau tertawa?” Hwa Min tahu-tahu sudah ada di samping sofa. Memelototinya
dengan tampang tersinggung.
“Kukira kau
akan mandi, my dear.”
“Yeah, aku
lupa ambil handuk.” Gadis itu berjalan menuju perapian sambil terus mengawasi
Doyoung dan Yuta dengan kesal. Ia menunduk membuka tasnya lalu kembali
menghadap mereka. “Lebih baik kalian tidak membicarakanku selagi aku tidak ada.”
“Apa kau
menikmati pelajaran pertamamu?”
“Diamlah,
Doyoung.”
“Itu baru satu
jenis bom, my dear,” ledek Doyoung
kalem. “Kau masih punya banyak pelajaran dengan Yuta.”
“Benar. Cepat
mandinya! Setelah itu kita buat bom molotov,” timpal Yuta, melirik Doyoung dan
dengan kompak terkikik lagi.
“Cukup bikin
bomnya. Itu bahaya.”
“Bukankah
kemarin kau bilang merakit bom akan menyenangkan?” Doyoung mengulur-ulur
perkataannya, mempermainkannya.
“Diam kau.
Kukira tidak serius, tahu.”
Yuta dan
Doyoung menunggu sampai Hwa Min hilang di balik tembok sebelum tertawa lagi.
**********
Insiden
kejatuhan dahan pohon itu nampaknya amat menggelikan bagi Yuta sehingga dia
langsung menceritakan kepada Mark dan Jaehyun begitu mereka datang keesokan
harinya di Sabtu malam. Mark terbahak namun Jaehyun tidak tersenyum sedikit pun
dan langsung membeber kertas-kertasnya di meja. Rupanya mereka datang kemari
karena ada misi lainnya.
Semua orang
diminta berkumpul di meja itu, namun saat Hwa Min berdiri, Jaehyun melemparinya
dengan tatapan sedingin es sehingga membuat gadis itu duduk lagi. Saat ini
Jaehyun adalah satu-satunya yang masih bersikap tak ramah padanya. Mark
menyambutnya dengan baik sejak awal sementara Yuta perlahan-lahan mulai membuka
diri padanya. Pria berwajah runcing itu bahkan sudah berani mendatanginya di
konter dapur dan bertanya soal ‘kado seperti apa yang akan disukai perempuan’.
Dia membicarakan soal kekasihnya pada Hwa Min dengan wajah malu-malu—namun
tetap berusaha terdengar ketus. Hwa Min akhirnya mengerti kekhawatiran Doyoung.
Yuta jelas sedang jatuh cinta, dia bahkan bilang sendiri bahwa ia ingin
pekerjaan sungguhan.
Jadi malam
itu, Hwa Min hanya duduk memandang perapian sementara telinganya mendengarkan
Jaehyun bicara soal penyelundupan senjata api besar-besaran yang akan terjadi
awal bulan depan. Tanpa ragu pria itu menyebutkan nama Ma Jung Bin sebagai
dalang utama. Dia adalah mantan perwira militer yang namanya terdengar sangat
familier di telinga Hwa Min. Dia pernah beberapa kali datang ke seminarnya dan
melihatnya di televisi.
Setelah satu
jam berunding, mereka nampaknya menemui jalan bantu. Jaehyun mondar-mandir
dengan wajah berkerut-kerut. Doyoung sudah tiga kali pergi ke dapur untuk
mengisi ulang gelas kopinya. Mark membenamkan kepala di sisi mejanya yang
dipenuhi belasan bungkus lolipop sementara Yuta sudah terllihat lebih
berantakan dari biasanya, rambut mulletnya megar dan semrawut karena ulah
jemarinya sendiri.
Pola yang sama
berulang-ulang. Salah satu dari mereka akan mencetuskan ide, kemudian yang lain
akan menyangkalnya dengan nada seolah itu adalah ide terbodoh sedunia. Hwa Min
mendengus pada perapian. Bukan hanya ide mereka yang bodoh tapi semua
perundingan ini juga tolol luar biasa. Apa sih yang mereka pikirkan sampai
berniat untuk menggagalkan penyelundupan senjata segala? Hwa Min tahu mereka
semua sama sekali tak percaya pada polisi tapi ini benar-benar kelewatan. Ini
masalah negara, kan? Pasti ada mafia besar di belakang ini semua. Dengan apa
mereka akan melawan? Misi ini terlalu berbahaya.
Hari demi hari
berlalu. Selagi mencari rencana yang tepat untuk menggagalkan penyelundupan
itu, mereka tidak hanya diam dan duduk merenung di markas, melainkan melakukan
misi-misi penjarahan seperti biasa. Hwa Min merasa bersalah karena bersemangat
melakukan hal-hal tercela itu. Mereka pergi ke rumah Geum Dong Han, seorang
pejabat pemerintah di bidang pertanahan yang Hwa Min benci setengah mati. Pria
tua bangka itu gemar membuat pernyataan pedas nan arogan di televisi dan
menerapkan kebijakan-kebijakan kontroversial yang memberatkan rakyat kecil.
Hwa Min
merasakan kepuasan membara saat mereka kembali ke mobil dengan satu tas
penuh uang dan perhiasan. Sekalipun berusaha menutupi, ia tetap tak bisa
menampik kebenaran ucapan Doyoung. Balas dendam ternyata memang manis. Manis
sekali sampai ia ketagihan. Sedikit demi sedikit ia mulai memahami konsep
‘menegur’ yang pria itu usung. Ya, Geum Dong Han memang harus disentil sesekali
supaya ia sadar diri dan berhenti menindas orang susah.
Selain Geum
Dong Han, mereka juga mendatangi empat rumah pejabat lain dan berhasil mendapat
selemari penuh uang. Tidak hanya itu, mereka juga merampok sebuah bangunan
berkedok museum seni yang biasa dijadikan tempat pencucian uang para
konglomerat batu bara nakal. Mereka melakukan banyak hal dalam kurun waktu tiga
minggu sampai-sampai Hwa Min lupa tujuan awalnya di sini.
Hari baru,
misi baru. Sekarang pukul setengah tiga pagi di hari Jumat. Setelah Mark
memastikan semua CCTV di Swalayan Newson berhasil dilumpuhkan, Yuta baru
menarik rem tangannya, berbelok di perempatan dan memarkir jeep mereka di
lapangan parkirnya yang luas. Ya, target malam ini adalah sebuah swalayan mewah
di distrik Myeongdong. Baru berdiri tiga bulan lalu, di atas tanah yang secara
legal telah dihibahkan untuk membangun yayasan pendidikan anak yatim piatu.
Pembangunannya benar-benar penuh perdebatan, namun entah bagaimana tak ada satu
pun pewarta berita yang melaporkan. Meski banyak mendapat protes, namun
swalayan ini tetap dibangun dan diresmikan. Dan yeah, jika proyek pembangunan
yayasan itu dengan mudahnya mereka abaikan, maka ini waktunya untuk memberi
pelajaran yang tak bisa diabaikan.
Misi ini
tergolong mudah dan santai, jadi semua orang ikut turun dari mobil. Doyoung
memamerkan keahliannya membuka pintu putar di sana dengan cepat dan tanpa
kerusakan. Mereka berlima masuk dalam kegelapan total sebelum akhirnya Jaehyun
berhasil menemukan tuas lampu dan menariknya sampai menyala. Ada plakat besar
berisi perizinan yang ditempel di dinding di samping tuas itu dan Jaehyun
menghabiskan sepuluh detik penuh untuk menatapnya dengan tampang mengecam. “Dibayar
berapa Kementerian sampai mau-maunya memberikan izin untuk ini.” Hwa Min bisa mendengar
gerutuan pelan Jaehyun sebelum pria itu beranjak mengikuti Mark ke area kasir. Yuta
sudah menyelonong masuk bahkan sebelum lampunya menyala untuk mencari ruangan
penyimpanan safety box. Hwa Min bisa
melihat kepalanya melongok-longok sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya di
antara rak-rak besar.
Saat itu,
tiba-tiba saja tangannya disenggol oleh troli. Hwa Min menoleh dan menemukan
Doyoung tersenyum padanya. Ia berdiri di belakang troli itu dan mendorongnya
sedikit sampai mereka berdiri bersebelahan. “Waktunya belanja, my dear.”
Hwa Min
memandangnya dengan senyum lembut sebelum menggeleng, “Lebih baik aku tunggu di
sini. Aku akan awasi kalau-kalau penjaganya bangun.”
“Dia tak akan
bangun secepat ini, aku yakin.”
Doyoung
mengulurkan sikunya, kemudian mengedikkan kepala menyuruh Hwa Min ikut
dengannya. Hwa Min nampak bimbang sesaat, namun pada akhirnya ia menyerah dan
memeluk siku Doyoung,
“Sexy brain, aku butuh lolipop!” Mark
berteriak dari mesin kasir.
“Belikan
baterai untuk konsolku!” Yuta menyahut kencang entah dari mana.
“Okay,” balas
Doyoung, kemudian menoleh pada Jaehyun yang nampak tekun mengotak-atik mesin
kasir. Mencoba memecahkan kode pinnya. “Rich
Boy, kau butuh sesuatu?”
Jaehyun
menggeleng tanpa meliriknya.
“Baiklah, my dear. Ayo kita…” Doyoung berhenti
saat ia melihat Hwa Min cekikikan di sebelahnya. “Apa itu masih lucu bagimu?
Nama alias kami?”
“Aku tak akan
pernah terbiasa dengan itu,” katanya sambil menggeleng geli. “Omong-omong, kau
ingin kita berpencar? Aku akan carikan lolipop untuk…”
Doyoung
langsung menghimpit lengan Hwa Min di sikunya, menariknya rapat-rapat ke
sisinya. “Tidak mau. Ayo jalan berdua.”
Hwa Min
memutar mata, namun lantas tersenyum. “Okay,
sexy brain.” Dia terkikik. “Ayo jalan berdua.”
**********
Hal pertama
yang kelima orang itu lakukan begitu sampai di tempat persembunyian adalah
memasukkan uang jarahan mereka yang sudah menggunung ke kantong-kantong kecil
yang nantinya akan dibagi-bagikan. Itu uang yang amat banyak. Rencananya, jika
kehabisan kantong—atau apabila tangan mereka sudah kebas saking capeknya, sisa
uang itu akan diberikan langsung kepada korban bencana alam di Asia Tenggara.
Mereka akan memberikannya sebagai anonim. Biasanya mereka akan menggunakan
perusahaan Jaehyun—Jung Corp—sebagai nama dermawan, namun Jaehyun bilang akan
ada pemeriksaan keuangan oleh direktorat pajak bulan depan dan mengamalkan uang
sebanyak itu akan menimbulkan kecurigaan. Yah, intinya mereka benar-benar panen
besar. Ini pertama kalinya dalam sejarah hidupnya Hwa Min muak melihat uang.
Namun Doyoung, Yuta, Jaehyun dan Mark nampaknya sudah terbiasa dengan
pemandangan ini.
“Hei.” Empat
gepok tumpukan uang meluncur di lantai yang licin dari tempat Doyoung ke kaki
Hwa Min. “Masukkan itu ke tasmu.”
Mata Hwa Min
langsung membelalak. “S-semuanya?”
Doyoung
mengangguk. ‘Untuk ke pulau,’ ia
memimikkan dengan tampang cerah, sementara tangannya sudah sibuk kembali menyortir kantong-kantong uang.
Tubuh Hwa Min
merinding melihat uang-uang itu. Jantungnya berpacu. Semua ini berlebihan.
Terlalu banyak. Mereka bisa hidup bergelimang harta selama bertahun-tahun di
pulau itu, jika digunakan secara bijak—beda
lagi kalau Doyoung berniat untuk mendirikan kastil besar di sana. Hwa Min
melirik Mark dan Yuta yang masing-masing sudah memisahkan beberapa ikat uang
untuk diri mereka sendiri dan sejenak merasa lebih baik sebelum memasukkan uang
dari Doyoung ke dalam tasnya.
Jaehyun dan
Mark memutuskan untuk menginap di sana. Mereka tidur di lantai berlapiskan
selimut wol tebal dan menjadikan tumpukan uang sebagai bantal. Saat
itu sudah hampir jam dua belas siang saat Hwa Min bangun. Ia membuat panekuk
instan dan jus jambu lalu menatanya di meja. Aroma harum panekuk yang baru
selesai dipanggang membuat semua orang terbangun.
“Woah.” Yuta
langsung mendatangi meja dengan muka berbinar-binar. “Tumben. Biasanya buat
ramyun terus.”
“Oh, mau
ramyun? Ya sudah.” Hwa Min berpura-pura mengangkat panekuknya lagi.
“Eh, eh, tidak
kok,” sela Yuta, menahan Hwa Min yang hendak membawa pergi piringnya. “Aku bisa
mati muda kalau makan mie terus,” gerutunya selagi duduk. Ia mengambil tiga
lapis sekaligus dan menaburinya dengan keju dan madu.
Doyoung, Mark
dan Jaehyun bergabung tak lama kemudian. Semuanya nampak terkesan dan Hwa Min
merasa pujian mereka terlalu berlebihan mengingat ia cuma membuat makanan
instan. Apalagi semua yang tersaji di meja ini merupakan hasil jarahan di
swalayan semalam.
“Taaffeite,”
gumam Jaehyun selagi meletakkan panekuknya di piring. Matanya tak lepas dari
layar ponselnya sejak ia bangun.
“Ada apa, Hyung?”
Mark yang duduk di sebelahnya bertanya. Piringnya nampak menggunung karena
terlalu banyak es krim.
“Ma Jung Bin
akan dibayar dengan Taaffeite,” jelasnya serius.
“Apa itu
Taaffeite?” tanya Hwa Min seraya menuangkan jus jambu di dus pada gelas
Doyoung yang sudah setengah kosong.
“Semacam
mineral.”
“Terima kasih,
my dear,” Doyoung tersenyum pada Hwa
Min sambil melirik gelasnya sebelum menambahkan jawaban Jaehyun dengan
penjelasan mendetail. “Yeah, itu senyawa mineral. Mineral paling langka
sedunia. Mungkin salah satu batu mulia termahal di dunia saat ini. Pintar si
tua itu. Minta bayaran dengan Taaffeite.”
“Yeah, dan
gilanya benda itu akan dikirim ke sini dua hari sebelum pengiriman senjata
apinya.”
“Bukankah itu
bodoh? Kenapa dia tidak minta batunya disimpan saja? Atau dijual di sana?” Yuta
menanggapi pernyataan Jaehyun sambil menggeleng-geleng mengiris panekuknya.
“Apa dia kira menyelundupkan batu sekelas Taaffeite itu mudah? Yah, kecuali
kalau dia kirim pakai kapal. Pemeriksaan di pelabuhan masih buruk, kan?
Ambilkan selai cokelat,” kata Yuta dengan tangan terulur. Mark mengangsurkan
botol nutella padanya sembari mengedikan bahu, mengomentari.
“Sepertinya Ma
Jung Bin ingin mengecek sendiri apa batu itu asli.”
Jaehyun mengangguk.
“Aku juga berpikir begitu. Dan Yuta, kau benar, batu itu akan dikirim dengan
kapal.”
“Kalau
informanmu tahu ke pelabuhan mana dan jam berapa tepatnya Taaffeite itu akan
dikirimkan, maka bukankah kita sudah punya rencana?” kata Hwa Min hati-hati.
“Maksudku, kita bisa curi Taaffeite itu. Kalau berhasil, secara otomatis
pengiriman senjata apinya akan gagal, kan? Ma Jung Bin akan membatalkannya
sendiri.”
Semua orang
membeku selama beberapa saat sebelum akhirnya Mark memukulkan telapak tangannya
ke meja. Es krim di sendoknya muncrat ke mana-mana, membuat Yuta dan Jaehyun
menggeram. “Noona, itu ide bagus,” katanya hampir berteriak.
“Brilian, my dear,” timpal Doyoung bangga.
Yuta mengelap
es krim di sisi mejanya sambil mengangguk setuju, lalu seperti yang lain, ia
menoleh pada Jaehyun menunggu reaksinya.
“Idemu bisa
dipakai, kurasa,” katanya segan, kemudian kembali menggulirkan jemarinya di
layar ponselnya. “Kalau info yang kudapat ini akurat, maka Taaffeite itu akan
tiba di Pelabuhan Incheon besok lusa pukul setengah dua belas malam. Jadi
bersiap-siaplah. Kita juga akan langsung pindah ke tempat persembunyian baru
setelah itu, jadi sekalian rapikan barang-barang kalian.”
“Lusa katamu?”
Muka Yuta mendadak pucat. “Tapi aku sudah bilang padamu aku ada janji.”
“Shin Ye Eun
lagi?” tanya Jaehyun bosan.
“Dia ulang
tahun. Kami akan ke seaworld. Aku
sudah janji.”
“Kau mau
berputar-putar di seaworld seharian?” Jaehyun memandangnya penuh selidik
sebelum menyeringai paham. “Ah, kau berencana tidak pulang?”
“Yah, kau
tahu…”
“Lakukan apa
yang mau kau lakukan. Terserah. Tapi aku tak mau tahu pokoknya kau harus sudah ada di
sini setidaknya jam delapan malam.”
“Kalau begitu
izinkan aku pakai jeep-nya.” Yuta mengedarkan pandangannya ke seluruh orang di
meja, lalu mengulangi dengan lebih mantap. “Izinkan aku bawa mobilnya jika
kalian tak mau aku pulang telat.”
Doyoung
langsung mengangguk. “Pakailah. Asal kau tidak berbuat macam-macam di situ.”
“Ya ampun apa
yang kaupikirkan? Memangnya aku tak sanggup sewa motel!”
“Yah! Kita
lagi makan!” seru Mark jijik.
“Doyoung yang
mulai duluan.” Yuta memekik.
Doyoung
tertawa sambil mengangkat gelas jusnya. Pria itu meminumnya beberapa teguk
sebelum kembali menatap Yuta dengan mata berkedut, nampaknya baru teringat
sesuatu. “Dan jangan lupa katakan padanya kau akan menetap di luar kota lagi
selama beberapa waktu.”
Wajah Yuta
mengeras. Ia mendecakkan lidahnya dengan ekspresi masam, “Yeah, aku tahu.”
“Bagaimana
denganmu, Nona Jaksa?” Jaehyun mendongak dari piringnya yang hampir bersih dan
menatap Hwa Min yang sedang terkikik. “Kau akan ikut kami pindah?”
“Ya, tentu
saja.”
“Bagaimana
dengan orangtuamu?”
“Aku bilang
pada mereka aku sedang liburan panjang.”
“Tapi bukankah
ini terlalu panjang?” Jaehyun bicara sambil mengulurkan ponselnya pada Hwa Min,
membuat gadis itu terkejut. “Sebaiknya kau kabari mereka. Katakan kau baik-baik
saja,” lanjut Jaehyun, membuat Hwa Min makin terkejut lagi.
“K-kau
serius?”
“Kelihatannya
bagaimana?”
Hwa Min
menoleh pada Doyoung sebelum menatap ponsel Jaehyun dan menaikkan pandangannya
lagi pada sang pemilik. “Itu artinya kau sudah percaya padaku? Kau tak takut
aku akan menelepon polisi?”
“Kalau kau mau
lapor polisi, bukankah seharusnya sudah kau lakukan sejak lama? Untuk apa kau ikut kami ke sana kemari di saat ada begitu banyak kesempatan?” Sudut bibir
Jaehyun tertarik membentuk senyum bijaksana. “Kau sudah sebulan di sini, Nona
Jaksa. Kau membantu banyak, jika aku boleh jujur. Aku merasa tidak seharusnya
aku meragukanmu lagi.”
Hwa Min
benar-benar mau menangis. Rasanya seperti ada cairan hangat yang tumpah di
hatinya. Rasanya seperti jantungnya mau meledak saking senangnya. Doyoung
tersenyum padanya dan ia balas tersenyum. Matanya berkaca-kaca.
“Aku akan
menelepon mereka nanti, jika aku merasa sudah saatnya untuk memberi kabar.
Mereka tahu aku sedang stres dengan pekerjaanku, jadi kurasa ini akan baik-baik
saja.”
“Begitu?”
“Ya. Tapi
terima kasih tawarannya. Serius. Sangat berarti buatku.”
*********
Mereka
menghabiskan sebagian besar hari itu untuk melanjutkan agenda memasuk-masukkan
uang ke kantong yang sempat terputus semalam, kemudian membagi-bagikannya pada
setiap tunawisma atau panti asuhan yang mereka lewati keesokan harinya. Selama
itu, Doyoung yang semalaman berpikir keras akhirnya berhasil menyusun rencana
genius untuk misi pencurian Taaffeite besok malam. Ini akan melibatkan sedikit
drama dan Hwa Min benar-benar tak sabar. Dia akan menyamar dan mengalihkan
perhatian para penjaga sementara yang lain akan masuk ke kapal. Jaehyun bilang
dia akan membawa alat detektor logam mulia. Ini akan keren luar biasa dan Hwa
Min benar-benar bergairah.
Setelah semua
kantongnya selesai dibagi, jeep mereka yang tadinya penuh sesak kini jadi lega
kembali. Jaehyun dan Mark menghabiskan beberapa jam untuk bersantai di tempat
persembunyian sebelum akhirnya pulang setelah makan malam. Suasana menjadi
lebih lengang saat mereka pergi. Setelah membereskan plastik-plastik bekas
pembungkus makanan serta botol-botol minuman kosong, Hwa Min dan Doyoung duduk
mengobrol di depan perapian yang berkobar hangat, bicara dengan suara berbisik
dan membangun intimasi dengan sentuhan di ujung-ujung jari. Menyenangkan.
Mendebarkan. Berada di sekitar Doyoung membuat jantungnya terus-terusan bekerja
keras.
Saat Hwa Min
beranjak ke dapur untuk mengambil sisa jus jambu, ia berpapasan dengan Yuta,
baru keluar dari kamar mandi dengan wajah cemas yang mengkhawatirkan. Pria itu
terus menggulirkan jemarinya di rambutnya yang lebat, membuatnya semakin semrawut.
“Kau sudah
tahu apa yang akan kaupakai untuk kencanmu besok?”
Yuta yang
sudah berjalan melewatinya pun berhenti, berbalik padanya. “Yeah, aku sudah
beli kemeja baru.” Ia melihat tatapan Hwa Min yang tertuju pada jins kumalnya
dan langsung menambahkan, “aku juga beli jins baru.”
“Bagus.”
“Ya, trims.
Jangan pedulikan aku. Bersenang-senanglah dengan Doyoung.” Yuta hendak pergi, namun tangan Hwa Min
spontan terjulur menarik kausnya. “Mau tampil beda buat besok?”
“Apa
maksudmu?”
“Aku bisa
membantumu potong rambut. Percaya padaku. Aku lumayan jago.”
Yuta terlihat
sangsi. “Menurutmu aku butuh gaya rambut baru?”
“Sangat
butuh,” sambar Hwa Min dari hati yang terdalam.
“Uh,
entahlah.”
“Aku bersumpah
pacarmu akan suka.”
“Bagaimana
kalau tidak suka?”
“Tidak
mungkin. Kau tunggulah di dalam, aku akan ambil guntingnya.”
Tidak banyak
yang dipotong sebenarnya. Namun model rambut baru Yuta tetap membuat aura pria
itu berubah signifikan. Dia jadi terlihat lebih lembut, jika meminjam kosakata Hwa Min. Gadis itu hanya memangkas
rambut di bagian samping dan punggung bawah, serta memotong poninya sampai
sebatas alis, sementara rambut di bagian atasnya dibiarkan panjang. Untuk ditata
khusus besok pagi.
“Aku akan
menata rambutmu dengan gaya comma.
Jadi kumohon bangunkan aku sebelum kau jalan besok pagi.”
“Apa itu gaya comma?”
“Intinya
ponimu akan kubentuk seperti tanda koma, lalu disemprot hairspray.”
“Kau yakin itu
cocok buatku?”
Doyoung yang
sejak tadi hanya mengawasi langsung mendecih. Ia menurunkan bukunya sejenak dan
melempar tatapan mencela pada Yuta. “Yah! Percaya saja padanya!” serunya dari
sofa.
Hwa Min
mengangguk-angguk dengan mata berbinar.
“Terserahlah,”
dengusnya.
“Bangunkan
aku.”
“Iya.”
“Bagus,” cetus
Hwa Min senang. “Aku akan bereskan ini. Bisa tolong ambilkan aku kantong
plastik?”
“Ya.”
Hwa Min sedang
mengais-ngais rambut yang berceceran di lantai saat Yuta akhirnya kembali.
Namun pria itu tidak hanya membawa kantong plastik. Ia juga membawa ponsel
super butut yang dililit karet dan menyodorkannya pada Hwa Min. “Biasanya ada
di laci dasbor jeep kita. Tapi semenjak kau datang, aku mengamankannya
bersamaku,” Yuta menjelaskan dengan raut bersalah. “Ini. Mulai sekarang kau
saja yang pegang.”
Yuta
melesakkan ponsel itu ke genggaman Hwa Min lalu merampas sapu kecil dari
tangannya. Hati Hwa Min rasanya sudah mencelos jatuh sekarang. “Sudah awas kau!
Ini kan rambutku!” seru pria itu sewot, memberikan tatapan tajam agar gadis itu
menjauh. Hwa Min mundur selangkah dari Yuta dan memandang ponsel buruk rupa di
tangannya dengan perasaan campur aduk.
“Kau harus
mengguncangnya keras-keras supaya menyala,” sahut Doyoung dari ujung ruangan.
Hwa Min menoleh padanya dengan wajah ingin menangis. Ini bukan karena
ponselnya, ini lebih dari sekadar ponsel, ini kepercayaan besar. Hwa Min merasa
seperti sedang dirangkul. Seolah-olah ia diakui. Akhirnya, ia diakui. Diterima menjadi bagian dari mereka.
Keesokan
harinya, sebagaimana permintaan Hwa Min, Yuta membangunkannya pukul setengah
tujuh pagi. Dia sudah mandi dan memakai baju barunya. Sebuah kemeja flanel
hitam-putih dan jins gelap. Rambutnya sudah setengah kering dan ia duduk di
lantai selama Hwa Min menata rambutnya. Poni Yuta yang semalam sudah digunting
sebatas alis kini dilengkungkan membentuk huruf C. Suara pengering rambut
berdengung selama bermenit-menit sebelum akhirnya Hwa Min mematikannya.
“Sudah?” tanya
Yuta, perlahan-lahan membuka mata.
Hwa Min
tersenyum puas melihat hasil kerjanya dan mengangguk. “Siapa kaubilang nama
pacarmu?”
“Shin Ye Eun.”
“Shin Ye Eun
akan senang setengah mati hari ini.”
“Dia memang
harus senang setengah mati,” sambar Yuta, menggigit rongga mulutnya menahan
senyum. “Ini hari ulang tahunnya,” ia melanjutkan dengan suara memelan,
malu-malu. “Tapi kau serius, kan? Aku terlihat oke?”
“Coba lihat
sendiri di cermin.”
Tanpa membuang
waktu, Yuta langsung berdiri dan beranjak menuju kamar mandi—satu-satunya
cermin di bangunan ini hanya ada di sana. Lantas kembali tak lama kemudian dengan
cengiran lebar di wajah.
Hwa Min
menatapnya ikut senang. “Kau suka?”
“Yeah, mungkin
aku sudah lebih tampan dari Jaehyun sekarang.”
“Aku suka
kepercayaan dirimu,” ledek Hwa Min.
Yuta tertawa.
Ia mengulurkan tangannya mengambil kunci mobil lalu berjalan penuh suka cita ke
pintu utama. “Son Hwa Min,” ia tiba-tiba memanggil saat sudah membuka pintu.
Hwa Min yang sedang menggulung kabel hairdryer
mendongak padanya. “Terima kasih banyak,” kata yuta, menyelipkan senyum tulus
yang membuat seluruh otot-otot wajahnya terangkat. Hwa Min balas tersenyum,
merasa paru-parunya mengembang dua kali lipat.
Yuta pun
menutup pintu.
Hwa Min bisa
mendengar suara mobil jeep mereka meraung
meninggalkan pekarangan saat ia menoleh pada Doyoung. Pria itu masih terlelap
di sisi lain perapian. Hwa Min berjingkat pelan menghampirinya.
Menatap wajah damainya selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk
berbaring di sebelahnya, menghadapnya. Gadis itu menghabiskan bermenit-menit di
sana, hanya diam, bergeming mengagumi keindahan wajah Doyoung sampai akhirnya tangannya tanpa
sadar terulur membelai pipinya. Kulitnya halus dan dia mengeluarkan aroma
mahogani yang segar. Membuat tenteram.
Saat Hwa Min
hendak mengangkat tangannya lagi, tangan Doyoung tiba-tiba terulur ke pipinya.
Menahan tangan Hwa Min agar tetap di sana.
“Kau lebih hangat
dari perapian ini, my dear.” Kelopak mata Doyoung perlahan-lahan membuka, menampilkan
bola mata hitam legam yang sayu dan mengantuk, menatapnya dengan lembut. Dan
Hwa Min bersumpah hatinya baru saja jungkir balik di dada.
“A-aku habis
pegang hairdryer, jadi..”
“Boleh peluk?”
Hwa Min tersentak.
Ia menggigit bibirnya. Merasakan hawa panas menyengat kulitnya seperti kembang
api. “Ya,” balasnya, nyaris tak bisa mengenali suaranya sendiri. Hwa Min tak
mengerti kenapa bersentuhan dengan Doyoung selalu membuatnya segugup ini,
seolah-olah mereka baru melakukannya pertama kali.
Doyoung
membuka tangannya dan Hwa Min malu-malu beringsut ke pelukannya. “Tumben kau
menghampiri spot tidurku.”
Hwa Min
menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Ia juga tak tahu kenapa ia ke
sini. Ia cuma tak sengaja menoleh pada Doyoung saat sedang menyimpan hairdryer dan tiba-tiba ada keinginan
besar untuk menghampiri. Keinginan yang tak bisa dilawan. “Yah.. memangnya
tidak boleh?” Hwa Min berusaha terdengar acuh tak acuh namun suaranya terdengar
terlalu bergetar untuk itu.
“Boleh,” balas
Doyoung rendah. Suaranya bernada, seolah-olah dia sedang menyanyikan ucapannya.
“Aku senang malah.”
“Ya, aku juga.
Mumpung akhirnya kita cuma berdua.”
Doyoung
tertawa renyah di rambutnya. Hwa Min bisa merasakan getaran di dada Doyoung
saat pria itu tertawa. Membuatnya tak bisa menahan diri dan pada akhirnya ikut
terkekeh bersamanya. Ini menyenangkan. Hidup bersama Kim Doyoung amat
menyenangkan.
“My dear,”
suara Doyoung terdengar bagai mimpi, mengambang manis dan berputar di kepalanya
seperti uap. Suaranya mengantuk, membuat Hwa Min ikut mengantuk. Apalagi
Doyoung terasa hangat. Apalagi Doyoung itu harum. Apalagi… “Aku benar-benar menyayangimu.”
Aroma cokelat
menyebar di seluruh ruangan saat Hwa Min terbangun. Doyoung sudah menghilang
dari sisinya. Hwa Min membuka mata dan mendapati dirinya malah memeluk guling
alih-alih Doyoung dan itu membuatnya agak sebal. Saat Hwa Min berbalik, ada
secangkir cokelat panas di sebelahnya. Uapnya mengepul dan aroma manisnya tajam
dan menggugah selera. Ia mendengar suara dari dapur dan langsung memanggil.
“Doyoung?”
Sang pemilik
nama mengulurkan kepalanya melewati tembok, menyambutnya dengan senyum cerah.
“Selamat pagi, my dear. Aku sudah
buatkan cokelat panas. Minumnya pelan-pelan saja, aku membuatnya dengan air
mendidih,” katanya. Ia menunggu Hwa Min mengangguk sebelum menarik kepalanya
lagi, diiringi suara bising spatula dan wajan yang berdenting-denting.
Hwa Min
mengangkat cangkir cokelatnya. Tersenyum merasakan hawa panas dari keramik itu di
telapak tangannya, lantas menyesapnya sedikit. “Kau sedang apa?” teriaknya ke
dapur.
“Membuat
sarapan, my dear. Kuharap kau suka
telur dadar.”
“Aku suka,”
jawabnya. “Mau kubantu?”
“Tidak usah.
Duduk manislah dan nikmati cokelatmu.”
Hwa Min
terkikik. Dia mendengar Doyoung mengumpat setelah memecahkan telur. Entah apa
yang terjadi di sana. “Kenapa kau bertingkah begini, sih? Apa ini hari yang
spesial?”
“Ya, ini hari
terakhir.”
“Apa
maksudmu!” protes Hwa Min.
“Hari terakhir
kita di sini, maksudku. Nanti malam kita sudah harus pindah.”
“Ah, benar.”
Hwa Min mengembuskan napas lesu. Dia mulai menyukai mercusuar ini.
Hwa Min baru
saja hendak menyesap cokelatnya lagi ketika pintu utamanya berderit terbuka.
“Kenapa Yuta pulang secepat i—“ Kata-kata Hwa Min terhenti begitu melihat siapa
yang datang. Cangkirnya lepas dari tangannya dan membuat seluruh cokelat
mendidih itu jatuh ke pangkuannya. Hwa Min menjerit perih. Suara pecahan cangkirnya
menggema. Beberapa orang berseragam gelap yang kini sudah melewati pintu mulai
menyebar di mana-mana.
“Kau baik-baik
sa—“ DUARR!! Tembakan meluncur tajam persis di sebelah kaki Doyoung. Dan
sebelum ia sempat melawan, seorang pria berseragam yang lain sudah menyambar
lehernya dan menarik kedua tangannya ke belakang dengan amat kasar. Spatula di
tangan Doyoung jatuh berkelontangan di lantai.
Saat Hwa Min
sedang syok-syoknya, seorang polisi perempuan berlari ke arahnya dan menyampiri
tubuhnya dengan selimut. Ia dipapah berdiri dan diperlakukan layaknya korban
penyekapan, seseorang terus membisikkan kalimat-kalimat penenang di samping
kepalanya. ‘Jangan takut’, ‘Kau sudah
aman sekarang’. Terus-menerus. Seperti mantra. Bahunya diremas dan
diusap-usap sementara ia digiring keluar. Hwa Min bisa melihat bagaimana
kejamnya Doyoung diperlakukan. Punggungnya ditendang dan rambutnya dijambak.
Kepalanya menghantam meja dengan luar biasa kencang saat polisi-polisi itu
mencoba merundukkannya di sana. Kepalanya ditekan, dan tangannya dipelintir
dipakaikan borgol. Ia dipaksa membungkuk amat rendah di atas meja secara tidak
manusiawi sampai-sampai melihatnya pun terasa menyakitkan.
Hwa Min
dimasukkan ke salah satu mobil dan ia bisa melihat Doyoung keluar dari gedung
itu dengan kawalan selusin polisi. Hidungnya berdarah dan mata mereka beradu
dari balik kaca mobil. Hwa Min merasakan napasnya terputus. Ia tak bisa
mengartikan tatapan Doyoung. Ia benar-benar merasa jantungnya diremas dengan
menyakitkan. Hwa Min sungguh sudah lupa akan teleponnya dengan Baek Seongjoon sebulan
silam. Lagi pula ini sudah terlalu terlambat untuk merespons permintaannya. Ia
kira Seongjoon mengabaikannya.
Mobil Hwa Min
melaju duluan dan ia menoleh untuk melihat Doyoung. Pria itu ditempeleng dan diseret masuk ke dalam
mobil di belakangnya. Pria itu tidak melawan. Sama sekali. Ia bahkan tidak terlihat marah. Hati Hwa Min serasa terbakar dan terbelah dua. Tenggorokannya
tersekat. Air matanya tak bisa keluar dan ia terus bernapas pendek-pendek
sampai petugas wanita di sebelahnya memberikannya alat bantu pernapasan. Saat
itu, Hwa Min benar-benar merasa bersalah sampai mau mati. Kenapa jadi seperti
ini.
TBC
Part selanjutnya bakal jadi part terakhir
huhu. Jangan ketinggalan yaa…
Comments
Post a Comment