Businesship Part 1



Main Cast = Jung Jaehyun, Lee Sanghyeon
Minor Cast = Seo Youngho, Wang Yiren, Choi Minho, Dong Sicheng, Kim Jisoo
Length = Series
Genre = Romance
Author = Salsa



**********



“Jadi, kecakapanku dalam mengelola Jung Corp selama ini tak ada artinya bagi jajaran direksi? Hanya karena aku tak punya pasangan? Apa hubungannya punya pacar dengan memimpin perusahaan!” kata Jaehyun, nyaris menggebrak meja sebelum berhasil menahannya dengan mengepalkan tangan.


“Jung Corp semakin besar, Jaehyun. Sangat wajar jika Direksi menginginkan stabilitas.”
“Dan aku dianggap tidak stabil?”
“Mereka rasa begitu, ya.” Choi Minho, konsultan bisnis pribadi perusahaannya, memainkan kursinya sambil mengangkat bahu. “Belum lagi gosip yang menyebar tentangmu di perusahaan. Mereka khawatir itu benar.”


“Gosip apa?”
“Wah! Kau tak tahu?” serunya meledek. “Mukamu tebal juga ya sampai gosip sepanas itu tidak tahu.”
“Gosip apa!” Jaehyun mengulangi dengan lebih mendesak.
“Sudahlah! Aku dibayar bukan untuk menyebar gosip. Intinya kau sudah tahu apa yang harus kaulakukan.”


“Aku masih 26. Aku tak mau menikah.”
“Siapa yang menyuruhmu menikah, sih? Cukup ajak seseorang—seorang perempuan,” Minho menekankan dengan wajah serius, “ke seluruh agendamu di Amerika Serikat. Perkenalkan dia sebagai pacarmu dan mengaranglah kalau kalian saling mencintai dan akan bertunangan. Masalah selesai. Ayolah, itu mudah. Hanya sampai mitra perusahaanmu di sana tanda tangan kontrak. Hanya sampai RUPS tahunan Jung Corp selesai digelar. Kau tahu sendiri bagaimana Seo Youngho mengincar posisimu. Apalagi dia pandai mengambil hati pemegang saham.”


“Seo Youngho sialan. Jelas-jelas ini Jung Corp. Perusahaan ini dirintis oleh ayahku.”



Minho mendesah. “Jaehyun,” tegurnya, “Jung Corp sudah jadi perseroan terbuka sejak empat tahun lalu. Tak ada urusannya lagi siapa yang merintis. Kalau kau dianggap tak cocok memimpin, maka RUPS bisa memberhentikanmu kapan saja.”


“Aku tahu!! Berhenti mengajariku!! Aku cuma… ah berengsek!!! Dari mana aku bisa dapat pacar?”
“Sudah kubilang ini tidak seperti kau harus punya pacar sungguhan. Kalau kau malas mencari, ajaklah sekretarismu itu. Siapa namanya?”


“Kim Jisoo?”
“Ya. Dia cantik, pintar. Tawarkan saja dia uang, mana mungkin sih menolak?”



**********



“Tidak,” kata Jisoo, tanpa berpikir sama sekali.


Saat itu sore hari, ruangannya sunyi dan gorden-gorden ditutup. Jaehyun sudah memikirkan cara untuk menawarkan hal memalukan ini sejak kemarin pagi, dan jawaban Jisoo yang dingin seperti itu benar-benar menyinggung harkat martabatnya.


“Saya punya pacar,” tambah Jisoo. “Lagi pula saya mau resign.” Ia meletakkan amplop putih ke meja Jaehyun dengan kepala tertunduk muram.


Jaehyun mendengus tak terima, “Kenapa tak bilang dari tadi! Kenapa kau menungguku mengatakan semuanya dulu sebelum bilang mau resign! Memang niat ingin mempermalukanku, ya!!”


“Anda tidak memberi saya kesempatan bicara!” balas Jisoo tak tahan. Wajahnya memerah menahan emosi dan tubuhnya sedikit bergetar. Sebelumnya gadis itu tak pernah menjawab perkataan Jaehyun dengan nada tinggi seperti ini. Mungkin keberaniannya timbul karena dia sudah menyodorkan surat resign. Sekarang dia sudah tak takut lagi dipecat. “Kalau saya potong nanti diomeli. Sekarang tidak dipotong pun tetap diomeli! Saya capek diomeli terus! Bukan bermaksud lancang, tapi semoga sekretaris Anda selanjutnya benar-benar sabar.”



**********



Seumur hidupnya, tak pernah terbersit di benak Sanghyeon bahwa ia akan kabur dari rumah seperti ini. Bangunan yang selama dua puluh tahun ini menjadi tempat ternyamannya tiba-tiba disulap oleh orangtuanya menjadi neraka.


Semua ini bermula di awal April tahun lalu. Saat dirinya masih semester empat, saat seorang pria paling tak menarik yang pernah terjamah matanya berdiri di depan mobil mewah di depan kampusnya, bermaksud menjemputnya. Sanghyeon otomatis kabur, berlarian ke halte bus sementara mobil mewah itu mengejarnya dari belakang. Tidak hanya memalukan, kejadian itu juga benar-benar traumatis. Sanghyeon jadi takut keluar rumah. Namun setelah beberapa minggu, bahkan di rumah pun ia tetap ketakutan. Orangtuanya mulai mengundang cowok bertampang abstrak itu untuk makan malam bersama mereka.


Sejak saat itu, rumah kesayangannya mulai terasa suram dan tak nyaman. Ibunya mulai mengumbar semua pengorbanan yang telah ia beri kepada Sanghyeon dengan air mata yang berderai-derai dramatis, seolah mengandung, melahirkan dan menyusui adalah tindakan amal alih-alih kewajiban. Ayahnya mulai menatapnya seolah ia amat mengecewakan. Kegagalan besar. Salah didik. Mereka bertingkah seolah merekalah korbannya dan sebagai korban sesungguhnya, Sanghyeon jadi tak bisa apa-apa selain merasa bersalah. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan sesuatu yang begitu saja dilakukan karena kau sudah cukup umur, karena uang, apalagi hanya karena leluhurmu pernah bersahabat.


Selama sekian bulan itu, Sanghyeon benar-benar merasa sendiri. Sama sekali tak ada satu pun keluarga yang mendukungnya, mereka semua menghakiminya dengan kejam, menuduhnya keras kepala dan tidak dewasa.


Jika kedewasaan wanita diukur dari mau tidaknya ia menikahi ahjussi jelek bermobil mewah yang senantiasa menutup mata dari ketidaktertarikkan prominen yang ditunjukkan lawan jenisnya, maka Sanghyeon positif ia tak mau jadi dewasa. Ia tak mau menyerahkan sisa hidupnya pada cowok tak tahu malu seperti itu.


Setelah hampir setahun Sanghyeon bersikap tegas dan konsisten akan keputusannya, ia kira orangtuanya akan mengerti dan membiarkannya bernapas. Namun ternyata tidak sama sekali. Sekarang mereka malah bermaksud untuk melakukan pertemuan keluarga, membicarakan tanggal baik dan hal gila lainnya. Hati Sanghyeon mencelus. Kekecewaannya pada orangtuanya, pada hidupnya, pada dunia… semuanya sudah melampaui batas.


Maka di sinilah ia sekarang alih-alih di rumahnya. Sanghyeon kabur lewat pintu belakang tepat saat mobil mewah si berengsek itu datang. Kesabarannya habis. Sanghyeon bersumpah kebenciannya pada si ahjussi itu benar-benar sudah membara. Di cerita hidupnya, cowok itu adalah penjahat bengis keji yang mengerikan. Dan Sanghyeon pun sadar bahwa bagi cowok itu, dirinyalah penjahatnya. Cewek sombong tak tahu diri yang kabur begitu saja di acara penting. Perempuan gila yang bikin malu keluarga. Mereka adalah penjahat di cerita satu sama lain dan Sanghyeon tak sanggup lagi untuk peduli. Entah chaos macam apa yang sedang terjadi di rumahnya sekarang.


Sanghyeon turun di pemberhentian terakhir dan menarik kopernya di sepanjang trotoar tanpa ada tujuan. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Ia menemukan sauna 24 jam dan memutuskan untuk bermalam di sana sebelum bangun besok pagi dan berkeliling mencari pekerjaan.



*********



Setelah memberikan surat resign, Jisoo seenaknya tak masuk kerja lagi keesokan harinya. Inilah kenapa perusahaan-perusahaan malas mempekerjakan orang-orang yang baru lulus kemarin sore. Mereka benar-benar tak ada tanggung jawabnya.


Jaehyun masuk ke ruangannya dan menggerung kesal begitu tak menemukan Americano favoritnya di meja. Ia pun keluar lagi, bermaksud mencari seseorang untuk disuruh membelikannya kopi. Namun semua orang langsung pura-pura sibuk dan menghindari matanya. Jaehyun mendecakkan lidah. Lantas melangkah lurus ke elevator. Sementara ia berjalan, matanya melirik karyawati-karyawatinya yang berpostur lumayan. Namun tiba-tiba saja percakapan terakhirnya dengan Jisoo kemarin sore terngiang di kepalanya.


“Lebih baik Anda tidak cari perempuan di kantor ini jika tak mau gosipnya makin menyebar.”
“Gosip apa?”
“Anda gay.”


Jaehyun tiba di coffee shop di seberang kantornya dan langsung memesan. Sembari menunggu pesanannya dibuat, Jaehyun bersandar di sisi lain konter dan tak sengaja mendengar percakapan yang menarik. Ia menoleh dan menemukan seorang perempuan berambut ikal tengah bicara dengan supervisor kafe. Wanita itu membawa koper besar dan raut wajahnya dipenuhi gurat keletihan yang membuat iba.


“Kenapa Anda tidak bilang langsung saja kalau saya tidak diterima? Sudah dibilang saya tidak punya ponsel, mau hubungi ke mana!”


“Baguslah kalau Anda cepat paham. Lagian sudah dibilang tak ada lowongan malah memaksa diinterview.”


“Tadi Anda yang suruh interview dulu! Bagaimana sih!”
“Saya tidak bilang begitu, kok. Anda kenapa sih siang bolong begini malah mengigau.”
“Permisi,” Jaehyun tiba-tiba menyela. Wanita berkoper dan si supervisor kafe menoleh padanya. “Apa Anda punya waktu sebentar?” Ia bertanya kepada sang wanita. Si supervisor kafe memutar mata dan pergi meninggalkan mereka begitu saja.


“Ada perlu apa?”
“Anda mau duduk? Mau kopi?”
“Di situasi seperti ini saya tak bisa buang-buang uang untuk kopi.”
“Saya yang bayar.”
“Oke.”
“Apa yang Anda mau? Americano?”
“Vanilla Latte.”
“Baik, saya pesankan. Boleh tolong carikan tempat duduk untuk kita berdua?”
“Oke.”


Tak lama kemudian, Jaehyun pun menghampiri meja yang dipilih gadis itu dengan nampan berisi Americano-nya dan Vanilla Latte milik sang gadis. Ia duduk di hadapannya dan langsung memperkenalkan diri.


“Nama saya Jung Jaehyun, saya CEO perusahaan di seberang sana, Jung Corp.”


Jaehyun bisa melihat perubahan wajah gadis di depannya dengan jelas, ia tercengang sampai tak sadar membuka mulutnya dan hal itu membuat Jaehyun tersenyum.


“Saya Lee Sanghyeon. Mahasiswi bisnis semester enam di Universitas Seoul.” Alis Jaehyun tertarik penuh minat selagi ia menyesap Americano-nya. Ia meletakkan gelasnya dan menatap Sanghyeon sambil berdeham sedikit.


“Nona Lee Sanghyeon, saya punya proposal untuk Anda,” katanya. “Anda bisa langsung bilang tidak, saya sepenuhnya mengerti. Maksud saya, kita baru bertemu hari ini tapi saya sudah meminta yang tidak-tidak.”


“Jawaban saya tergantung proposal Anda.”


Jaehyun mengusap belakang kepalanya dengan canggung sebelum melanjutkan, “Saya tak sengaja mendengar obrolan Anda dengan supervisor kafe tadi. Nampaknya Anda sedang butuh pekerjaan.”


“Ya.”
“Apa Anda bersedia pura-pura jadi pacar saya?” Alis Sanghyeon berkerut. “Hanya untuk acara-acara perusahaan. Dua minggu lagi saya akan melakukan perjalanan bisnis ke Amerika dan konsultan saya mengusulkan agar saya membawa seseorang. Biaya perjalanan Anda akan saya tanggung, dan saya akan membayar semua pakaian, sepatu, aksesoris, dan apa pun yang Anda butuhkan untuk acara-acara itu.”


Sanghyeon terdiam seribu bahasa. Membelalak menatap Jaehyun seolah pria itu sudah gila.


Melihat reaksinya itu, tawa canggung keluar dari bibir Jaehyun. “Maafkan saya. Dalam waktu secepat ini saya benar-benar tak tahu harus mencari perempuan di mana, saya tidak bermaksud untuk merendahkan Anda atau apa. Sekali lagi saya minta maaf, Anda bisa menganggap pembicaraan ini tak pernah…”


“Berapa?” sela Sanghyeon. “Berapa yang akan saya dapat?”


Jaehyun nampak terkejut selama beberapa saat sebelum akhirnya berhasil menguasai diri. Sejenak ia merenungkan harga di kepalanya. “Anda harus tinggal dengan saya di Amerika selama empat sampai lima bulan, tergantung lancar atau tidaknya proyek saya di sana. Dan selama itu saya sanggup membayar 10 juta won per bulannya. Bagaimana menurut Anda?” Sanghyeon menggigit bibir. Itu gila. Sepuluh juta won? Per bulan? Ia akan tinggal di Amerika dan pura-pura jadi pacar seorang CEO perusahaan sekelas Jung Corp? Dan dibayar untuk itu? Sanghyeon menggenggam gelas lattenya dengan erat, dalam hati berpikir apakah ini nyata? Apa ia tidak sedang dijebak? Apakah sebentar lagi ia akan dikejutkan oleh orang-orang dari stasiun tv yang menanyakan bagaimana perasaannya? Tapi sekalipun ia tak dijebak, apa ia akan menerima tawaran manis ini? Apa dia sungguh repot-repot kabur dari rumah demi menghindari cowok hanya untuk jatuh ke perangkap cowok yang lain? Sanghyeon menatap wajah rupawan Jaehyun dan mendesah, tampang memang bisa mengubah segalanya.


Sebelum Sanghyeon menjawab, Jaehyun menyela cepat. “Saya tidak mencari pacar sungguhan, saya sama sekali belum tertarik untuk menjalin hubungan romantis dalam bentuk apa pun, termasuk secara seksual. Jadi jika saat ini ada prasangka yang berkelebat di kepala Anda bahwa saya sedang menawarkan diri untuk menjadi sugar daddy Anda atau apa, tolong buang jauh-jauh prasangka itu. Saya bisa pastikan saya bukan orang seperti itu.” Jaehyun nampak canggung sekali saat mengatakannya, dan bibir Sanghyeon otomatis tertarik membentuk senyum geli. “Saya masih harus fokus menjalankan perusahaan. Akhir-akhir ini banyak yang harus dikerjakan dan saya juga harus menjaga posisi saya dalam RUPS tahunan. Saya benar-benar butuh seseorang untuk diperkenalkan, tapi tak siap untuk menjalin hubungan. Jadi saya terpaksa mengambil jalan pintas.”


Sanghyeon menelan senyumnya dan mengangguk paham menanggapi penjelasan Jaehyun. Dalam hati berpikir mungkin ada baiknya ia diinterview sampai setengah jam di kafe ini, kesempatan sehebat ini tidak akan datang dua kali, bahkan jika ia bereinkarnasi sampai dua puluh kali sekalipun, belum tentu ia bisa bertemu CEO perusahaan besar yang bersedia membayar sepuluh juta won per bulan hanya untuk jadi pacarnya. Tidak dibayar pun tetap saja mustahil.


“Anda bisa memikirkannya dulu.” Jaehyun mengeluarkan kartu namanya. “Anda bisa cari nama saya di internet untuk memastikan bahwa saya bukan penipu.”


Sanghyeon mengambil kartu nama itu dan mengamatinya selagi Jaehyun menghabiskan sisa Americano-nya dan berdiri. Sanghyeon mendongak dan langsung ikut berdiri menghadapnya. “Saya menunggu kabar baik dari Anda,” kata Jaehyun, menyunggingkan senyum melemahkan hati sebelum melangkah pergi.



**********



Sanghyeon sudah setengah jalan menuju sauna lagi saat tiba-tiba saja hujan turun. Sambil menyeret roda kopernya yang mulai macet, ia berlari ke bangunan terdekat. Sebuah gereja katolik luas yang nampak gelap dan sunyi. Lampu-lampu mati dan pintu utamanya dikunci. Sanghyeon berteduh di teras sambil mengusap muka dan rambutnya yang setengah basah.


Sekian lama ia hanya bergeming diam menunggu hujan. Sampai akhirnya wajah teduh Jaehyun mulai terbayang di antara langit malam yang muram. Pria itu memandangnya sambil tersenyum hangat dari balik gelas Americano-nya. Manis sekali. Sanghyeon balas tersenyum, sebelum akhirnya ia sadar itu cuma halusinasi dan langsung menggeleng sendiri.


Ini gila. Jika Sanghyeon sebegitunya butuh uang, bukankah ia hanya tinggal pulang saja? Sekarang mana coba yang lebih bahaya, menikahi pria berusia satu dasawarsa di atasnya, yang amat tidak enak dilihat tapi kaya raya dan dikenal baik orangtuanya, atau tinggal selama lima bulan di Amerika bersama orang asing yang baru ia temui pagi ini? Pilihannya akan jadi luar biasa mudah jika ia menyebutkan faktor X dari orang asing itu; dia luar biasa tampan, CEO perusahaan besar dan bersedia menggajinya sepuluh juta won per bulan. Menikah membutuhkan hubungan emosional yang kuat, Sanghyeon bisa membayangkan dirinya menangis darah dan depresi akut jika tiap hari harus melihat wajah si ahjussi, harus pura-pura bahagia sampai salah satu dari mereka mati, namun dengan si CEO Jung Corp, Jung Jaehyun, semuanya tak lebih dari sekadar hubungan bisnis. Mereka adalah rekan kerja, tak lebih. Tapi masalahnya ia tak kenal Jung Jaehyun. Bagaimana jika ternyata pria itu pembunuh berantai? Bagaimana jika sebenarnya ia seorang kriminal? Pelaku perdagangan orang?


Saat pikirannya sudah semakin liar, tiba-tiba saja pintu di belakangnya berdesing membuka dan membuat Sanghyeon terkejut hingga berteriak kencang.


Sanghyeon menoleh dan menemukan seorang biarawati tengah mengernyit padanya. “Ada yang bisa saya bantu, Nona? Dari tadi Anda berdiri di sini.”


“M-maaf, saya cuma sedang berteduh."
"Baiklah kalau begitu."
"T-tunggu, apa… Anda punya komputer?” tanya Sanghyeon begitu saja, “ada yang harus saya cari di internet. Darurat.”


“Ya, kami punya.” Kerutan di dahi biarawati itu kini muncul lagi. “Silakan ikuti saya.”


Mereka memasuki perpustakaan mini berisi buku-buku agama dan biarawati itu menyuruhnya berdiri di belakang konter selama ia menghidupkan komputer.


“Apa yang ingin Anda cari?”
“Jung Jaehyun Jung Corp.”


Sang biarawati mendongak secepat kilat dan nampak tertegun memandang Sanghyeon.


“Jung Jaehyun Jung Corp, tolong.” Sanghyeon mengulangi dengan lebih sopan, tak lupa menyelipkan senyum, mengira ia diberikan pandangan seperti itu karena lupa bilang ‘tolong’.


Biarawati tersebut pun mulai mengetik di mesin pencari dan begitu hasil pencariannya keluar, Sanghyeon langsung mengulurkan kepalanya ke layar.


Foto dan data diri Jaehyun terpampang lengkap dengan perkiraan kekayaannya. Dia adalah orang terkaya ke-32 se-Asia versi majalah Forbes dan dagu Sanghyeon rasanya jatuh ke lantai melihat deretan angka nol di samping mata uang dollar di bawah fotonya.


“Wah,” gumam gadis itu sambil melirik sang biarawati. “Orang seperti ini tak mungkin penipu, kan? Kalau dia sekaya itu, dia tak mungkin punya niat menjual organ tubuh manusia atau melakukan perdagangan orang, kan? Atau apa menurutmu dia psikopat?”


Biarawati itu entah mengapa nampak tersinggung. “Saya yakin Jung Jaehyun-ssi adalah orang baik,” katanya tegas.


Sanghyeon sudah memberengut hendak menentang saat sang biarawati berdiri tiba-tiba dan mengambil buku kas ber-hard cover, lantas membebernya di depan Sanghyeon. “Dia penyumbang terbesar di gereja ini selama dua tahun berturut-turut,” ia menunjuk nama Jaehyun yang tertera di paling atas. “Tiap bulan tak pernah absen menyumbang. Tak berlebihan jika saya bilang gereja ini masih berdiri berkat uangnya. Bahkan ubin yang kau injak itu juga bisa dibeli karena uang sumbangannya, Nona.”


“Ah, begitu rupanya.” Sanghyeon akhirnya mengerti kenapa biarawati ini nampak tersinggung. Ia benar-benar kehilangan kata.


“Ada yang bisa saya bantu lagi?” tanya sang biarawati ketus.
“Ya. Boleh pinjam telepon?”



**********



Ponsel Jaehyun berdering tepat saat sang pemilik hampir tertidur. Dengan enggan, pria itu mengulurkan tangan dan mengangkatnya sebelum mendekatkannya ke telinga. “Halo.”


[Saya Lee Sanghyeon, perempuan yang Anda temui di kafe tadi pagi. Saya mau bilang bahwa saya menerima tawaran Anda dengan dua syarat.]


Jaehyun mengucek mata dan langsung bangkit ke posisi duduk. Kantuknya hilang seketika. “Sebutkan saja.”


[Setelah semua ini berakhir, setelah saya lulus kuliah, saya mau diberi pekerjaan dengan posisi bagus di perusahaan Anda.]


“Bukan masalah.”
[Syarat kedua, tolong carikan saya tempat tinggal sampai kita berangkat ke Amerika.]


Jaehyun melirik jam dindingnya yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam dan mengernyit. “Tempat tinggal?”


[Ya.]
“Memangnya di mana Anda sekarang?”
[Di Gereja Betlehem.]
“Saya ke sana sekarang.”


Sembari berjalan ke mobil, Jaehyun membuka kembali email dari tim HRD yang diterimanya siang ini. Email itu berisi tiga orang calon pengganti Jisoo—untuk menjadi sekretaris pribadinya—yang sudah lolos seleksi berkas. Rencananya, karena Jaehyun adalah user langsung, maka ketiga orang itu akan diinterview olehnya besok lusa. Namun Jaehyun menemukan cara yang lebih efisien untuk mendapatkan kandidat terbaik sekaligus menghemat waktunya.


Sambil menstarter mobil, Jaehyun menelepon Min Hyo Sun, kandidat pertama. Tidak diangkat. Ia langsung beralih ke kandidat kedua dan hasilnya sama. Mobil Jaehyun berbelok meninggalkan pekarangan rumahnya saat Jaehyun mendecakkan lidah dan menelepon kandidat ketiga.


Diangkat.


[Kau tahu jam berapa ini!] Pria di ujung telepon menjawab dengan serak. Ada kemarahan dalam suaranya yang membuat bibir Jaehyun tertarik membentuk senyum.


“Saya Jung Jaehyun, CEO Jung Corp.”
[Baik Jung Jaehyun CEO Jung Corp, kau tahu jam bera—HEHH!!! CEO JUNG CORP!?]
“Ya. Kau Dong Sicheng?”
[Benar. Saya Dong Sicheng. 25 tahun. Lulusan strata dua akuntansi universitas Chung-Ang. Saya..}
“Carikan saya tempat tinggal untuk dua minggu ke depan. Kirimkan perkiraan harga dan lokasinya ke email jungjae@jcorp.com. Kalau pekerjaanmu bagus, besok pagi kau bisa langsung kerja.”


[Wah!! Terima kasih. Saya sangat…]
“Saya tunggu dalam dua puluh menit.”
[Dua puluh menit?]
“Terlalu lama?”
[TIDAK!!]
“Bagus.”
[Boleh saya tahu berapa budget Anda, Tuan?]
“Tak terhingga.”


Jaehyun mematikan sambungannya begitu saja dan fokus menyetir. Sepuluh menit kemudian, ia sampai di gereja yang dimaksud dan turun dari mobilnya. Ia melihat Sanghyeon tengah duduk di undakan tangga gereja di teras sambil memeluk kopernya. Matanya terpejam.


“Lee Sanghyeon-ssi?”


Sanghyeon terlonjak sedikit dan langsung mendongak. “Ah! Anda sudah sampai.” Ia segera berdiri. “Maaf sudah membangunkan malam-malam.”


“Tidak masalah. Ayo.”


Sanghyeon mengangguk dan mengikuti Jaehyun ke mobilnya. Pria itu membantunya memasukkan koper ke bagasi dan membukakan pintu penumpang untuknya.


Begitu Jaehyun akhirnya duduk, ia langsung mengecek ponselnya. Email dari Dong Sicheng sudah masuk. Ia membacanya sebentar sebelum mengulurkan ponselnya pada Sanghyeon.


“Silakan pilih yang Anda suka.”


Sanghyeon mengecek pilihan-pilihan yang diberikan dan terkejut bukan main. Hotel bintang lima? Mengontrak satu rumah penuh? Menyewa apartemen? Jangan gila!


“Padahal kos-kosan pun tak masalah,” kata Sanghyeon. “Bukankah ini terlalu…”
“Kalau Anda tak suka, saya akan suruh calon sekretaris saya mencarikan yang lain.”
“Bukannya tidak suka. Tapi…”
“Kalau begitu pilih saja. Lebih cepat lebih baik.”


Sanghyeon melirik Jaehyun yang terus menyela ucapannya dengan nada tak ramah dan mendengus sebal. “Hotel saja,” sahutnya tak acuh, sengaja memilih yang paling mahal untuk membuat Jaehyun geram. Namun pria itu nampaknya tak peduli sama sekali dan langsung memasukkan alamat hotelnya ke navigasi.


Mereka tiba di hotel tersebut dua puluh menit kemudian. Sicheng sudah memesankan suite room jadi keduanya tak perlu berlama-lama lagi di meja resepsionis. Setelah check-in, seorang bell boy membantu membawakan koper Sanghyeon dan sebelum gadis itu masuk ke elevator, Jaehyun berdeham untuk mendapatkan perhatiannya. “Maaf, Lee Sanghyeon-ssi, apa Anda tak punya nomor telepon yang bisa saya hubungi?”


Muka Sanghyeon mendadak muram. “Tidak ada,” katanya tak enak. “Saya meninggalkan ponsel saya di rumah.”


“Dan Anda tak bisa mengambilnya?”


Sanghyeon menggeleng. “Maaf.”


“Akhir pekan ini ada waktu? Anda memerlukan banyak gaun dan saya dengan senang hati akan menemani Anda ke butik. Lagi pula kita harus saling mengenal dulu sebelum bisa bersandiwara.”


“Ya, saya ada waktu.”


Jaehyun tersenyum lega. “Baiklah. Kalau begitu silakan istirahat." Ia menunduk sopan. "Selamat malam.” 


Sanghyeon balas menunduk dengan kikuk. “Selamat malam.”



**********



Tepat setelah resepsionis hotel menelepon ke kamarnya, tanpa buang waktu Sanghyeon bergegas turun ke lobi. “Tuan Jung Jaehyun sudah menunggu Anda,” kata sang resepsionis ramah, diiringi dengan ucapan ‘terima kasih’ yang samar dari Jaehyun.


Berbalut setelan jas biru gelap yang rapi, Jaehyun nampak begitu bersinar dan mencolok sehingga hal pertama yang Sanghyeon lihat setelah pintu elevator terbuka adalah dirinya. Dengan gugup, Sanghyeon yang cuma memakai jins dan kaus merah terang—sekalipun itu adalah pakaian terbaik yang sempat dijejalkannya ke koper—menghampiri sang pria yang berdiri gagah di samping jendela kaca.


“Maaf membuat Anda lama menunggu.”


Jaehyun langsung menoleh dan menegakkan badan, tak lupa menyunggingkan senyum tipis andalannya. “Kita jalan sekarang?”


“Ya.”


Jaehyun membawanya ke butik mewah di kawasan Gangnam. Gaun dan aksesoris dari brand-brand dan desainer mode terkemuka dunia yang sanggup Sanghyeon bayangkan ada di sana. Lengkap. Semuanya berjejer dalam etalase kaca setebal setengah inci dengan masing-masing seorang penjaga di setiap raknya.


“Pilihlah yang Anda suka,” kata Jaehyun mempersilakan.


Sanghyeon meremas ujung kausnya dengan gugup sebelum menoleh pada Jaehyun. “Saya tak terlalu pandai memilih gaun.”


Jaehyun langsung menoleh pada pramuniaga yang baru saja menghampiri mereka. “Tolong bantu rekan saya memilih.”


“Baik, Tuan.”


Jaehyun kemudian beranjak ke sofa tunggu sambil mengeluarkan ponselnya. Membalas email yang masuk dan tenggelam dalam urusan kantornya begitu saja.


Sanghyeon diajak berkeliling butik dan mencoba banyak sekali mini dress yang manis. Ia juga dibantu memilih stiletto dan perhiasan-perhiasan cantik. Hari itu, Sanghyeon benar-benar merasa di atas awan. Ia tak pernah sebahagia itu seumur hidupnya. Para pramuniaga di sana memperlakukannya bak putri raja dan memujinya dengan berlebihan. Sanghyeon hampir percaya bahwa kulitnya nampak berkilau dalam balutan spandex kuning dan lekuk tubuhnya amat luar biasa hingga harus ditonjolkan dengan memakai wrap dress. Sanghyeon tak bisa mengendalikan pipinya yang terus merona sekalipun ia tahu pujian mereka hanya merupakan trik marketing.


Setelah mencoba kurang lebih tujuh gaun, kini Sanghyeon kembali masuk ke ruang ganti dengan membawa gaun hijau mint sebatas lutut rancangan Valentino. Bahunya terbuka dan ada Kristal swarofski yang bertumpuk di bagian dadanya. Gilap-gemilap terkena cahaya.


Saat Sanghyeon menyibak gordennya, ia terkejut melihat Jaehyun berada di hadapannya.


“Apa ada yang Anda suka, Lee Sanghyeon-ssi?”
“Y-ya,” kata Sanghyeon canggung, “saya suka gaun ini. Apa Anda juga suka?”


Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Sanghyeon dan membuat Jaehyun hampir tertawa. “Ya, saya sudah pasti suka kalau Anda suka.”


Jawaban Jaehyun berhasil membuat butik yang sejuk itu tiba-tiba jadi terasa panas. Para pramuniaga di belakang mereka terkikik. Sanghyeon menelan ludah dan malu-malu menundukkan wajahnya.


“Ada lagi yang Anda suka?”
“Ya, saya…” Sanghyeon berjalan salah tingkah ke etalase brand Chanel dan menunjuk midi dress hitam yang simpel dan elegan. “… saya juga suka gaun itu. Bahannya dari kain taffeta jadi kelihatan mengilap. Saya suka semua yang berkilauan.”


Tanpa basa-basi, Jaehyun pun langsung menoleh pada pramuniaga di belakangnya. Ia menunjuk etalase yang dimaksud Sanghyeon lalu menggerakkan telunjuknya sampai ke ujung lorong. “Saya ambil semuanya.”


Sanghyeon melotot kaget.


“Dari etalase Chanel sampai Dior, Tuan?” Pramuniaga itu memastikan.
“Ya, tolong pastikan semuanya sesuai dengan ukuran rekan saya.” Jaehyun memandang Sanghyeon yang masih syok dan lagi-lagi terlihat hampir tertawa. “Saya juga mau semua perhiasan dan heels dalam daftar best seller Anda. Dan kalau ada gaun atau aksesoris lain yang berkilauan, saya ambil itu juga. Rekan saya bilang dia suka semua yang berkilauan.”


Sanghyeon tersekat dan menggeleng-geleng. Bukan begitu maksudnya.


Jaehyun menyerahkan kartu kredit silvernya dan mereka melakukan transaksi di hadapan Sanghyeon yang masih melongo hanya dalam satu menit.


“Kami akan makan siang di restoran seberang, saya harap semua barang yang kami beli sudah siap begitu kami kembali.”


“Baik, Tuan.”


Saat pramuniaga itu pergi, Sanghyeon baru menghampiri Jaehyun dengan wajah panik luar biasa. “Kenapa Anda melakukan itu? Padahal maksud saya bukan begitu. Saya cuma suka midi dress yang hitam. Kenapa tiba-tiba beli semuanya?”


“Jadi Anda ingin semuanya dikembalikan?”
“Bukan begitu. Tapi…”
“Anda suka steak?”
“Apa?”
“Saya sudah buat reservasi di restoran seberang. Kita bisa saling mengenal sebagaimana yang saya janjikan selagi kita makan siang.”


“Ya, saya suka… steak.”
“Kalau begitu ayo.”
“Sebentar saya ganti baju dulu.”
“Bukankah Anda bilang Anda suka gaunnya?”
“Ya, saya suka.”
“Kalau begitu tidak usah diganti.”


Tanpa menunggu perkataannya dibalas, Jaehyun langsung berbalik dan berlalu begitu saja menuju pintu keluar. Membuat Sanghyeon tak punya pilihan lain selain mengikuti.


Restoran steak yang dimaksud Jaehyun benar-benar tidak masuk akal. Baik dari desain interior sampai harga makanannya, semuanya benar-benar sinting. Segala hal di sini meneriakkan kemewahan yang memuakkan. Sanghyeon duduk di hadapan Jaehyun di tengah restoran dan langsung mengikat rambutnya dengan karet gelang. Memandang berkeliling dan mengernyit melihat betapa eksklusifnya pengunjung-pengunjung di sini. Semua orang terlihat elit dan mewah seolah berasal dari dunia lain. Sekalipun menggunakan gaun karya Valentino dan stiletto keluaran Jada, entah bagaimana kepercayaan diri Sanghyeon tetap saja terjerembab ke lantai dan membuatnya tak nyaman.


“Anda mau pindah ke restoran lain, Lee Sanghyeon-ssi?” Seolah bisa membaca pikiran—atau mungkin ia hanya pandai membaca ekspresi wajah—Jaehyun menanyainya dengan ramah.


Sanghyeon langsung menggeleng. “Tidak, tidak perlu. Saya cuma agak canggung, ini pertama kalinya saya ke restoran seperti ini.”


“Anda harus membiasakan diri.”


Sanghyeon cuma mengangguk.


“Apa ada menu yang Anda mau coba? Saya sudah pesankan T-bone sapi dan Tenderloin untuk kita berdua. Itu menu andalan di sini. Tapi kalau Anda mau coba yang lain, saya bisa ganti pesanannya.”


“Tidak perlu, saya tidak pilih-pilih makanan, kok.”
“Baik kalau begitu.”


Obrolan ringan pun dimulai. Awalnya terasa sedikit canggung, namun setelah beberapa menit, terlebih setelah makanannya datang, obrolan mereka pun mengalir dengan mudah. Jaehyun benar-benar piawai untuk membangun suasana dan mengarahkan percakapan. Sanghyeon beberapa kali tersadar bahwa pertanyaan pribadi yang tadinya ia ajukan untuk Jaehyun tiba-tiba berbalik lagi padanya. Mungkin Jaehyun belum mau membiarkan Sanghyeon mengenalnya terlalu jauh dulu. Atau mungkin, ia sebenarnya tidak mau membiarkan Sanghyeon mengenalnya sama sekali. Lagi pula semua ini cuma pura-pura. Mereka tidak sedang kencan sungguhan.


Hidangan penutup yang terdiri dari beraneka fruitcake dan banana split disajikan, ditata dengan rapi dan berkelas. Sanghyeon tengah menusuk buah stroberi dengan garpu dan mencocolnya ke dalam es krim vanilla saat Jaehyun mengubah percakapan yang semula berkutat di pendidikan ke sesuatu yang lebih spesifik.


“Saya sadar bahwa Anda sedang ada masalah dengan keluarga Anda,” Jaehyun bicara dengan hati-hati, ia ingat bagaimana gadis itu membawa koper ke mana-mana dan meninggalkan ponsel begitu saja di rumahnya—tanpa berniat mengambilnya sama sekali dan itu menjelaskan sesuatu. “Apa mungkin Anda kabur dari rumah?”


Sanghyeon menggaruk bagian belakang lehernya dan mengangguk.


“Saya tidak akan bertanya alasannya. Itu privasi Anda. Saya cuma mau tahu apa Anda bawa paspor.”
“Ya, saya bawa paspor. Saya menyimpannya bersama ijazah dan dokumen penting lain, jadi syukurlah tidak tertinggal.”


“Baguslah kalau begitu. Saya akan mulai mengurus visa Anda.”


Sanghyeon mengangguk pada Jaehyun dan mengunyah stroberinya pelan-pelan.


Saat itu, seorang pria jangkung berkemeja rapi masuk ke restoran dan langsung menghampiri Jaehyun. Ia mengulurkan bungkusan yang terbuat dari kardus hitam kecil dan Jaehyun menerimanya sambil berterima kasih. “Kau bisa langsung kembali ke kantor. Kerja bagus, Dong Sicheng-ssi.”


“Saya permisi, Pak Bos.” Dong Sicheng membungkuk pada Jaehyun lalu pada Sanghyeon, yang buru-buru menyeka mulutnya yang penuh krim kocok dengan serbet dan balas membungkuk. Sanghyeon tersenyum mengamati betapa antusiasnya Sicheng, yang kini tengah berjalan keluar dengan langkah besar yang nampak bangga. Dia tersenyum sangat lebar saat Jaehyun memujinya ‘kerja bagus’ dan energi positif menguar dari tubuhnya seperti cahaya. Sebutan ‘Pak Bos’ juga terasa lucu di telinganya.


“Agak sulit jika saya harus menghubungi hotel tiap mau bicara dengan Anda, jadi ini...” Jaehyun menyodorkan bungkusan itu pada Sanghyeon yang langsung tersadar dari lamunannya, “… saya sudah menyuruh sekretaris saya menyimpan nomor saya.”


Dengan hati-hati, Sanghyeon mengeluarkan kotak beledu dari dalam bungkusan itu dan terpana melihat ponsel mahal di dalamnya.


“Saya akan sibuk untuk beberapa hari ke depan. Jadi, sampai kita berangkat ke Amerika, saya harap kita bisa berkomunikasi lewat ponsel.”


Sanghyeon yang sedang menyentuhkan ujung-ujung jarinya di pinggiran ponsel langsung mendongak dengan wajah sedih. “Maksud Anda kita tak akan bertemu lagi?”


“Kita akan bertemu lagi, tentu saja. Saya akan menjemput Anda untuk ke bandara tanggal 5 besok.”
“Jadi untuk sepuluh hari ke depan kita tak akan bertemu lagi.”


Sanghyeon terdengar begitu kecewa dan Jaehyun mengerutkan keningnya, “Ya. Apa ada yang salah?”


“Tidak, saya hanya….” Sanghyeon seketika merasa bodoh sekali. Ia tak pernah sebegini dimanja seumur hidupnya, alhasil ia jadi mudah terbawa perasaan. Sanghyeon mengingatkan dirinya sekali lagi bahwa ia dan Sicheng berada di posisi yang sama. Jaehyun adalah bosnya dan semua perlakuan manis yang diterimanya ini adalah bagian dari pekerjaan. Tidak lebih. “hanya… uh, tidak apa-apa. Tiba-tiba saja saya merasa kesepian.”


Jaehyun tak menjawab dan mengangkat gelas bourbon-nya. Menyesapnya sedikit sebelum bergumam, hanya untuk berbasa-basi, “Sepuluh hari bukan waktu yang lama.”


Sanghyeon mengangguk. “Ya.”


“Ya.”



TBC



HALOOOOO!!!!



Jadi ceritanya hari jumat kemaren aku abis nonton pretty woman trus jadi pengen bikin ff tema sugar daddy.. Tapi aku gak yakin aku bisa bikin sesuatu sesensual itu, makanya aku geser dikit ke rich CEO + fake dating  



Anyway!! FF ini sekali lagi ada di dunia yang sama kaya vampire bride dan good criminals. Jadi part ini tuh waktunya adalah beberapa hari sebelum Doyoung ketangkep. Tapi tenang aja, aku sadar diri kok good criminals views-nya semengenaskan apa wkwk jadi aku gak akan banyak nyebut Doyoung dan geng kriminalnya sama sekali di ff ini supaya kalian g risih bacanya.



Trus minggu depan aku udah masuk kuliah jadi aku g janji bisa upload part 2 dalam waktu deket ini. Tapi semoga bisa ya~ Semoga kita semua sehat-sehat terus, bahagia terus~ Good night everyone, terlebih buat Kak Doy yang lagi di manado^^



Babay~





Comments

Popular Posts