Good Criminals #8 (END)
āSaya rasa Nona Son terlalu syok
untuk dimintai keterangan sekarang. Lebih baik biarkan istirahat dulu.ā
āBawa dia ke rumah sakit kalau
begitu.ā
āBaik, Pak.ā
Seorang petugas wanita mendatangi
Hwa Min yang masih duduk meringkuk di kursi tunggu, menangis sesenggukan sejak
lima jam terakhir dan menolak untuk makan, minum serta menjawab pertanyaan apa
pun dari siapa pun. Kedua orangtua Hwa Min duduk mengapitnya, sudah kehabisan
kata-kata penghiburan sehingga kini mereka hanya memeluk dan menepuk-nepuk punggung anak
semata wayangnya itu dengan tampang sedih.
āAku tidak mau ke rumah sakit,ā
kata Hwa Min segera setelah petugas itu berdiri di depannya. Suaranya parau
karena terlalu banyak menangis. āAku ingin pulang saja.ā
Si petugas menoleh pada pria yang
nampaknya merupakan atasannya tadi dan baru mengangguk pada Hwa Min setelah
pria itu terlebih dulu mengangguk padanya.
Hwa Min pun pulang bersama
orangtuanya. Dia dijadwalkan untuk kembali ke kantor polisi besok pukul sepuluh
pagi. Dia akan dimintai keterangan sebagai saksi.
Selama perjalanan pulang, Hwa Min
hanya menatap keluar jendela, memandangi pohon dan bangunan yang nampak melesat
ke belakang. Di jok depan, kedua orangtuanya tak henti-henti bicara,
mengeluhkan betapa khawatirnya mereka sebulan belakangan. Dari keluhan-keluhan
itu, akhirnya Hwa Min tahu apa yang membuat Seongjoon tiba-tiba menanggapi
serius ucapannya. Ternyata, dua hari yang lalu orangtuanya membuat laporan ke
kantor polisi. Berita hilangnya Hwa Min sampai ke telinga orang-orang di
kejaksaan (yang awalnya positif mengira dirinya sudah resign) dan praktis membuat Seongjoon akhirnya buka mata dan
benar-benar bertindak. Seluruh unit kepolisian Seoul dikerahkan untuk mencari
bangunan mercusar sebagaimana yang dideskripsikan Hwa Min melalui telepon umum.
Dan bencana ini pun terjadi.
Fakta bahwa Seongjoon cuma butuh
waktu kurang dari dua hari untuk menemukannya membuat Hwa Min panas. Mungkin,
kalau peringkusan ini terjadi bulan lalu, Hwa Min akan dengan senang hati
menikmati kejayaannya karena sudah berhasil menggiring polisi menangkap Kim
Doyoung. Tapi sekarang, Hwa Min sungguh tak bisa merasakan perasaan lain selain
rasa bersalah dan penyesalan.
Mereka tiba di rumah pukul lima
sore dan Hwa Min langsung masuk ke kamar tidurnya yang sudah ditinggalnya lebih
dari sebulan. Ia duduk di depan meja dan menyalakan laptop, kemudian
mengetikkan segala informasi penting yang menurutnya akan meringankan dakwaan
Doyoung nanti.
Ia sudah menulis lebih dari lima
halaman saat matanya tak sengaja melirik jam digital di pojok bawah layarnya.
Seharusnya beberapa jam lagi ia akan berangkat ke pelabuhan Incheon dan mencuri
Taaffeite. Apa Mark, Yuta dan Jaehyun sudah tahu soal ini? Apa mereka tahu
Doyoung tertangkap?
Hwa Min membuka portal berita di
internet dan tercenung melihat gambar Doyoung di mana-mana. Artikel mengenai
tertangkapnya Doyoung sudah diunggah sejak pukul dua siang dan langsung
menyebar cepat bak virus. Artikel itu sudah diklik hampir sejuta kali. Tidak mungkin
Mark, Jaehyun dan Yuta tidak tahu soal ini. Pasti beritanya sudah menguasai televisi. Hwa Min benar-benar mau pingsan sekarang. Air matanya kembali
menggenang dan tangannya terus berkeringat.
Saat tengah mengelap telapak
tangannya yang basah di jinsnya, Hwa Min tak sengaja merasakan sesuatu di
sakunya. Ponsel dari Yuta semalam. Hwa Min buru-buru mengambil ponsel itu dan
memencet tombol power sambilāsesuai
instruksi Doyoungāmengguncang-guncangnya sampai menyala. Begitu hidup, Hwa Min
langsung memeriksa kontaknya dan menemukan dua nomor tersimpan di sana. Rich Boy dan Marmut, yang berturut-turut
merupakan nama alias untuk Jaehyun dan Mark.
Hwa Min mencoba menelepon Jaehyun
terlebih dahulu. Nomornya tidak aktif. Ia segera lanjut menelepon Mark dan
hasilnya sama. Timbul rasa waswas yang luar biasa di dadanya. Apa
mereka baik-baik saja? Lalu bagaimana dengan Yuta? Apa dia kembali ke tempat
persembunyian?
Tak tahan dengan perasaannya
sendiri, Hwa Min pun menyentak laptopnya menutup dan menyambar kardigannya dari
dalam lemari, lantas berlari turun ke lantai bawah.
āAku harus pergi,ā pamitnya pada
sang ibu yang sedang menelepon di ruang tamu. āAku akan kembali malam ini juga.
Aku bersumpah,ā tambah Hwa Min saat ibunya mengeluarkan ekspresi menentang.
Ibu Hwa Min kukuh
menggeleng-geleng, namun hal itu tidak menghalangi Hwa Min yang tetap
melenggang pergi. Ia menemukan taksi di ujung jalan dan pergi ke tempat
persembunyian.
Sesampainya di sana, ia menemukan
jeep mereka terparkir di pekarangan dan langsung mempercepat larinya ke dalam
bangunan. Ia mendorong pintu besarnya sekuat tenaga dan langsung berteriak
memanggil-manggil Yuta.
Tak ada jawaban.
Semua lampunya mati dan tak ada
satu barang pun yang tertinggal di sana. Entah karena sudah diamankan duluan
oleh polisi atau diambil oleh ketiga pemuda itu.
Setelah berputar-putar di dalam
selama sepuluh menit, Hwa Min akhirnya kembali ke pekarangan dan menghampiri
jeep mereka. Mencoba membuka pintunya dan tercenung karena menemukannya tidak
terkunci. Ia masuk dan duduk di kursi penumpang di jok depan. Menyalakan lampu plafon
dan mengusap wajahnya yang dipenuhi air mata dengan frustrasi. Tangannya
bergerak membuka laci dasbor dan mengeluarkan peta Korea milik Doyoung. Matanya
tertuju pada titik kecil yang dilingkari spidol merah yang buram dan tangisnya
sontak makin keras lagi. Hwa Min mencengkeram peta itu dan beringsut memeluk
dirinya sendiri. Suara isakannya menggema di mobil yang kosong, meminta maaf
pada udara seolah mereka akan menjawab.
Saat tangisnya sudah semakin
riuh, matanya tak sengaja menemukan lebih banyak kertas di dalam dasbor.
Sesenggukan Hwa Min mengulurkan tangan mengambil kertas-kertas itu, berusaha
membacanya sambil mengerjap-ngerjap menghalau air mata. Ia menangkap beberapa
kalimat dan tersadar bahwa itu adalah kertas yang biasa dibawa Jaehyun sebelum
mereka memulai misi. Di dalamnya tertulis bukti-bukti kecurangan, penggelapan
dan kualifikasi keji lainnya sehingga mereka layak untuk dijadikan sebagai
target penjarahan. Hwa Min membacanya dengan saksama dan terpana melihat betapa
rincinya informasi ini. Jaehyun dan informannya (entah siapa pun itu) jelas
jauh lebih kompeten dari orang-orang di kepolisian.
Hwa Min bepikir mungkin, apabila
Hakim yang akan menyidang Doyoung nanti
bukan orang kolot dan memiliki pemikiran terbuka, semua ini akan menjadi aset
besar untuk meringankan hukumannya. Semua yang Hwa Min tulis di laptopnya sore
ini hanya merupakan kesaksian sepihaknya saja, namun kertas-kertas di tangannya
ini berisi data-data akurat yang dilengkapi dengan gambar-gambar pendukung.
Kepala Hwa Min berputar ke
belakang dan gadis itu terkesiap melihat joknya dipenuhi dengan kertas yang
bertumpuk-tumpuk. Meski nampak lusuh, semuanya sudah disortir rapi sesuai
urutan bulan dan tahun. Apa Jaehyun yang melakukannya? Atau Yuta, mengingat
pria itu membawa mobil pagi ini. Yah, tapi intinya ini pasti ulah salah satu
dari mereka bertigaāatau malah tiga-tiganya. Mereka ingin semua ini ditemukan.
Hwa Min melirik ke kursi kemudi
dengan desahan frustrasi. Ia tak tahu bagaimana caranya membawa semua ini ke
rumahnya. Namun saat ia melongok ke panel kunci, matanya kontan terbeliak
melihat kunci jeep itu ternyata menyantol di lubangnya. Kalau begini, sudah
jelas dia diizinkan untuk membawa jeep ini, kan?
Meski tak pandai menyetir, Hwa
Min merasa ia tak punya pilihan lain. Gadis itu menghela napas kasar dan
berusaha membuang jauh-jauh keraguannya. Tak ada yang harus ditakutkan. Yang
penting dia sudah tahu cara berbelok dan mengerem. Dia akan selamat, yah..
semoga.
Dengan dada bertalu-talu, Hwa Min
pindah ke kursi kemudi. Ia memutar kuncinya dan meremas kemudi. Isi perutnya
seakan jungkir balik saat mesinnya meraung, lalu makin jungkir balik lagi saat ia
mulai memindahkan persneling dan memundurkan mobilnya keluar dari pekarangan.
********
Bidang-bidang langit biru cerah
mulai bermunculan di balik jendela kamar Hwa Min saat ia terbangun keesokan
paginya. Hwa Min tertidur di meja dengan setumpuk kertas di kanan kirinya.
Tidak hanya di situ, kertas-kertas yang ia bawa dari mobil kini juga sudah
memenuhi nyaris seluruh jengkal ubin di lantai kamarnya. Ia sudah membaca
segalanya semalam suntuk, merangkumnya ringkas dan padat menjadi delapan puluh
empat halaman.
Hwa Min mendongak ke luar
jendela, menatap langit yang berseri-seri dan menghela napas. Suasana hatinya
sama sekali berbanding terbalik dengan cuaca hari ini. Mereka berlima harusnya
sudah menyelesaikan misi Taaffeite itu sekarang, mungkin sedang berkendara di
jalanan lengang di suatu kota menuju tempat persembunyian baru. Hwa Min menatap
mesin print-nya yang sedang bekerja
dan menggigit bibir. Entah apa semua ini cukup untuk membebaskan Doyoung, tapi
setidaknya ia harus mencoba.
Siang itu, atas permintaan Hwa
Min, Seongjoon ikut duduk bersama penyidik di kantor polisi saat dirinya sedang
diinterogasi. Hwa Min berusaha bicara sejujur mungkin namun tetap
menyembunyikan keikutsertaan Jaehyun, Mark dan Yuta rapat-rapat. Ia kukuh
bilang bahwa Doyoung mengerjakan segalanya sendiri. Hwa Min yakin Doyoung pun
tak mau mereka terlibat.
Setelah hampir empat jam menjawab
pertanyaan, Hwa Min akhirnya bisa keluar dari ruangan sempit berbau apak itu
dengan beban yang sedikit terangkat.
Sebelum benar-benar keluar, ia
berhenti di depan tangga lobi dan mengaduk tasnya untuk mengambil rangkaian
kertas bukti yang sudah ia jilid, lantas mendongak pada Seongjoon yang sejak
tadi terus berekspresi kaku, nampak rikuh dan serba salah.
Kali ini pria itu pun kembali
menghindari tatapannya. Hwa Min membasahi bibirnya dan bicara dengan suara getir,
āDoyoung tidak pernah membunuh orang. Dia hanya mencuri dari orang-orang jahat
atau orang-orang yang menurutnya hidup kelewat berlebih. Saya tahu itu tetap
saja salah, tapi semoga fakta ini setidak-tidaknya bisa mengurangiāatau bahkan
membebaskanāhukumannya. Kau jaksa yang hebat, jadi saya mohon tolong
pertimbangkan ini sebelum membuat surat dakwaan.ā Hwa Min mengangsurkan
kertasnya pada Seongjoon. āDia bahkan membagikan uang hasil curiannya ke
orang-orang yang membutuhkan. Dia tidak berbahaya. Dia bukan orang jahat. Diaā¦
adalah kriminal yang baik.ā Hwa Min merasa konyol sekali setelah mengatakan itu.
Kriminal dan baik seharusnya tidak dijejerkan dalam satu kalimat. āMohon
bantuannya.ā Hwa Min membungkuk rendah. āSaya permisi dulu.ā
Seongjoon memandang kertas yang
kini berada di tangannya itu dengan tatapan pahit, kemudian mendesah. āSon Hwa
Min-ssi.ā
Langkah Hwa Min terhenti. Ia
menoleh tanpa tenaga pada sang mantan atasan dan memandangnya menunggu pria itu
bicara.
āSaya minta maaf,ā katanya sungguh-sungguh.
āMaaf sudah meragukanmu. Sebagai seorang jaksa sekaligus atasanmu, saya akui
itu bodoh sekali.ā
Hwa Min berpikir akan lebih baik
jika ia diragukan saja terus. Supaya semua ini tak pernah terjadi. Tapi gadis
itu tak memperlihatkannya dan hanya mengangguk.
āKalau kau masih mau bekerja di
Kejaksaan, saya bisa bantu. Kau bisa kembali ke kantor kapan pun kau siap.
Belum ada yang menggantikanmu, lagi pula.ā
Sudut bibir Hwa Min tertarik
membentuk seulas senyum sopan. āSaya belum memikirkan itu,ā katanya muram.
āTapi terima kasih tawarannya, Baek Seongjoon-ssi. Saya permisi.ā
**********
Keheningan yang menyusul di
hari-hari berikutnya amatlah menyiksa. Satu-satunya hal baik yang terjadi adalah
Ma Jung Bin tertangkap. Hwa Min rajin membaca berita sehingga ia tahu bahwa
penyelundupan senjata apinya berhasil digagalkan oleh polisiāsemua ini berkat
kertas bukti yang diberikan Hwa Min pada Seongjoon, Seongjoon meneleponnya
langsung malam itu juga untuk berterima kasih.
Berkat kebiasannya menonton televisi dan memonitor perkembangan kasus Doyoung di portal internet, Hwa Min akhirnya tahu kalau sidang perdana Doyoung sudah ditetapkan. Semakin dekat hari sidangnya, semakin guguplah ia.
Berkat kebiasannya menonton televisi dan memonitor perkembangan kasus Doyoung di portal internet, Hwa Min akhirnya tahu kalau sidang perdana Doyoung sudah ditetapkan. Semakin dekat hari sidangnya, semakin guguplah ia.
Jaehyun dan Mark masih tak bisa
dihubungi. Sementara Yuta, Hwa Min sama sekali tak tahu bagaimana cara
mengontaknya. Pria itu tak pernah ada di tempat persembunyian setiap kali ia ke
sana. Mungkin Yuta tinggal bersama pacarnya sekarang, entahlah. Pada akhirnya,
Hwa Min berpikir mungkin inilah yang terbaik. Mungkin sebaiknya mereka memang
mengurus diri sendiri dan pergi masing-masing dulu sampai badainya selesai.
Reda, paling tidak. Walaupun itu
artinya mereka harus salah paham dan membencinya untuk waktu yang lama.
Pagi itu, Hwa Min menonton berita
lagi. Orangtuanya ada di meja, memakan sarapan masing-masing dalam diam. Ini
adalah harinya, hari di mana sidang perdana Doyoung dimulai. Hwa Min merasakan
riak rasa bersalah yang menggelegak di dasar perutnya saat wajah Doyoung ada di
layar. Pria itu memakai setelan jas abu-abu muda dengan rambut disisir ke
belakang. Amat rapi dan tampan seolah-olah ia akan menghadiri acara pernikahan
alih-alih sidang.
Blitz kamera mengedip puluhan
kali per detik, mengabadikan setiap pergerakannya. Bersama selusin penjaga, ia
berjalan di lorong gedung pengadilan dengan wajah datar nyaris melamun dan Hwa
Min merasakan dorongan kuat untuk berlari memeluknya, untuk mengusir ekspresi
menyedihkan itu dari wajahnya. Tapi tak mungkin, tentu saja. Ia tak mungkin memperlihatkan wajahnya di depan
Doyoung lagi. Ia tak punya muka lagi di hadapan pria itu. Hwa Min benar-benar
merasa seperti pengkhianat bejat.
Ruangan sidang mulai penuh. Hwa
Min akhirnya mematikan televisi dan naik ke kamarnya setelah ayahnya menegur
dengan raut tak senang, āKau memang
sengaja ingin membuat dirimu sendiri menderita, ya? Lebih baik tak usah nonton
itu.ā
Selama berjam-jam, Hwa Min
berbaring miring di ranjangnya sambil memandangi lingkaran merah di peta usang
Doyoung yang ia tempel di tembok. Menerka-nerka hidup seperti apa yang
menantinya jika saja mereka sungguh melarikan diri ke sana. Apa itu bahkan
berpenghuni? Soyeonpyong. Apa mereka akan tinggal berdua saja di pulau tak
berpenghuni?
Sidangnya selesai jam tiga sore
dan Hwa Min langsung mengeceknya di laptop. Sudah banyak video yang diunggah ke
internet mengingat sidang itu dibuka untuk umum, bahkan disiarkan langsung di
televisi. Hwa Min menahan diri untuk tidak menontonnya dan langsung mencari
artikel khusus yang membahas soal dakwaannya saja. Begitu ketemu, seketika Hwa Min
merasakan tubuhnya melemas saat membaca ada tiga belas pasal yang didakwakan
pada Doyoung sekaligus. Pasal berlapis ini membuat Doyoung sekurang-kurangnya
harus menjalani hukuman penjara selama enam belas tahun, belum lagi denda yang
akan dibebankan padanya.
Hwa Min geram setengah mati
sampai hampir menelepon Seongjoon. Entah kenapa pria itu tiba-tiba mengundurkan
diri dari kasus Kim Doyoung dan melimpahkannya pada jaksa lain. Seorang jaksa
perempuan berusia lebih dari setengah abad yang nampak kejam dan dingin.
Sidangnya ditunda sampai minggu
depan karena Doyoung meminta didampingi penasihat hukum. Hwa Min bersyukur
karena keputusan bijaknya itu. Yeah, walaupun tidak menjalani kuliah sampai
lulus tapi setidaknya Doyoung sudah mendapatkan beban kuliah lima semester di
fakultas hukum Universitas Hongik. Lagi pula Doyoung itu manusia genius brilian
yang gila keadilan. Mana mungkin ia mau menerima dakwaan tak masuk akal itu
begitu saja.
Setelah membaca habis artikelnya,
Hwa Min menggulirkan kursornya ke laman komentar dan terpana melihat betapa
banyaknya orang yang mendukung Doyoung.
Bukankah dia si Robin Hood itu? Yang membagi-bagikan uang curiannya
pada orang susah? Aku tak menyangka pada akhirnya dia akan tertangkap. Sayang
sekali.
Wah! Apa jaksanya sehat? Koruptor cuma didakwa lima tahun dan Kim
Doyoung didakwa enam belas tahun!!
Kenapa dia harus setampan itu hanya untuk ke persidangan?
Yang setuju Kim Doyoung jadi presiden tolong like komentar ini.
Jujur saja dia membantu lebih banyak orang di negara ini daripada
pemimpin kita sendiri. Aku sangat kecewa dengan dakwaannya.
Bebaskan Kim Doyoung dan biarkan dia melakukan apa yang dia lakukan! Tindakannya
benar! Harusnya para petinggi di negara ini belajar darinya!
Apakah aku satu-satunya orang di sini yang menonton televisi dan
bertanya-tanya apa dia single? Kenapa
orang secakep itu harus jadi maling.
Enam belas tahun? Wah Tuan Robin Hood, sia-sia sekali hidupmu!
Kalian cuma membela Kim Doyoung karena dia tampan. Coba kalau jelek, kolom
komentar ini akan penuh hujatan.
Dia penjahat paling kuhormati seumur hidupku.
Hwa Min menggigit bibirnya
menahan senyum. Bersyukur setidaknya Doyoung tidak dihujat di internet. Setelah
membaca lebih banyak komentar, Hwa Min akhirnya mematikan laptopnya dan
menghela napas. Ia bersandar di kursinya dan mendongak pada langit di luar
jendela. Perasaan bersalahnya kembali datang, menggerogoti dadanya dan
mencambukinya tanpa ampun. Rasanya benar-benar tidak adil. Bukan hanya untuk
Doyoung tapi juga untuk dirinya sendiri.
Perasaan Hwa Min terus diselimuti
awan kelabu selagi hari-hari berlalu. Makin lama makin pekat. Membuatnya gila.
Ia merasa amat bersalah sampai tak mampu menatap wajahnya sendiri di cermin.
Hwa Min berhenti mencari berita Doyoung di internet karena itu memperburuk
kesehatan mentalnya. Namun bahkan saat ia tidak memikirkan Doyoung, saat ia
berusaha menghindarinya, rasa bersalah yang mencabik-cabiknya tetap saja
berkembang makin liar. Makin menjadi-jadi hingga membuatnya depresi.
Sampai akhirnya di suatu malam,
kala ia memandangi peta Korea Doyoung di dinding kamarnya dengan mata sembap,
sebuah pikiran ekstrim berlabuh di benaknya. Hwa Min langsung bangkit dan
mencomot jaketnya dari kursi, kemudian berlari turun ke ruang tengah di mana
orangtuanya berada dan berdiri menghalangi televisi. Kedua orangtuanya
mendongak dan menatap horor sang anak, seolah ingin bertanya āada apaā tapi
juga takut untuk mendengarnya.
āAku sudah 25 tahun,ā mulai Hwa
Min dengan napas tersengal, membuat ayahnya langsung membenarkan posisi
duduknya dengan wajah tegang. āAku sudah dewasa. Aku bebas menentukan jalan
hidupku, bukan begitu?ā
āHwa Min~a..ā
āAku mau pindah dari sini,ā
selanya tegas. āAku sudah tahu ke mana akan pergi jadi tenang saja. Aku cuma
butuh restu kalian.ā
āRestu apa!ā hardik ayah Hwa Min
berang. āJangan aneh-aneh atau kukirim kau ke rumah sakit jiwa! Lebih baik
masuk ke kamarmu danā¦ā
āPILIHLAH!ā Hwa Min memotong
keras. Matanya ia pejamkan kuat-kuat sampai kelopaknya sakit. āMau aku menyerahkan
diri ke polisi dan minta dipenjara? Atau biarkan aku pergi dari sini?!ā
Kedua orangtuanya membeku. Hwa
Min menjambak rambutnya dengan frustrasi, membuka matanya yang merah berair
kemudian bicara sambil menangis, āAku benar-benar tak tahan dengan perasaan
bersalahku. Aku tak bisa diam di sini dan melihat Doyoung menebus kesalahannya
sendiri. Aku bukan korban, kalian tahu itu. Aku juga ikut mencuri, aku juga
kriminal, akuā¦ā Ia bersimpuh dan meraung di lutut sang ibu, lalu berpindah ke
lutut sang ayah sambil melanjutkan, āIzinkan aku pergi, kumohon. Aku akan jaga
diri. Aku akan baik-baik saja. Justru kalau kalian memaksaku tetap di sini, aku
bersumpah aku bisa makin depresi lagi. Aku bersumpah aku bisa mati.ā
Dan pada akhirnya, setelah
pergolakan batin panjang, ayahnya menarik napas berat dan mengangguk. Ibu Hwa
Min langsung menangis. Hwa Min mengusap wajahnya dan memeluk mereka bergantian,
mengulang-ngulang kalimat terima kasih sampai bibirnya kelu. āTolong jangan
cari aku. Jangan lapor polisi. Jika sudah waktunya, aku akan kembali. Aku
janji.ā
*********
Senja menjelang malam, Hwa Min
akhirnya berhasil menyetir meninggalkan Seoul. Ia telah menyimpan rute GPS di
laptopnya untuk jaga-jaga apabila koneksi internetnya terputus. Berdasarkan
sistem navigasinya itu, perjalanan darat tanpa henti dari Seoul ke Soyeonpyong
akan menghabiskan waktu dua puluh jam dengan mobil. Namun Hwa Min yakin dengan
kemampuan mengemudinya yang amburadul, juga kebutaannya akan nama-nama jalan,
ia akan menghabiskan waktu berkali-kali lipat lebih banyak untuk sampai.
Setelah berkendara selama enam
jam, bensin jeepnya habis dan laptopnya kehabisan daya. Hwa Min berhenti di pom
bensin untuk mengisi bahan bakar dan singgah di rumah makan di sebelahnya untuk
mencharger laptop. Saat itu sudah jam sebelas malam dan rumah makannya kosong
melompong. Dia ada di distrik Daedeok di mana semua orang memakai dialek
Chungcheong yang lucu. Pemilik rumah makan menawarkannya untuk menginap di
motelnya di seberang jalan dan Hwa Min pun setuju. Dia punya satu tas penuh
uang, lagi pula. Dia tak harus tidur di mobil yang dingin.
Kasur di motel itu nyaman sekali
dan tahu-tahu saja ia terbangun saat matahari hampir tergelincir. Pemilik motel
(sekaligus pemilik rumah makan) yang ramah nan baik membekalinya dengan empat
lapis sandwich berisi bacon, tomat
dan keju. Hwa Min tersentuh dengan kebaikan hatinya dan memutuskan untuk
membayar biaya bermalamnya tiga kali lipat. Pemilik motel itu nampak terharu.
Ia memberikan pelukan meremukkan tulang kepada Hwa Min sebelum gadis itu
memanjat jeepnya dan melaju pergi.
Perjalanannya terasa amat panjang
dan membosankan. Ia mengikuti navigator dari laptopnya sementara koleksi lagu
bergenre rock alternatif milik Mark
terus berputar-putar. Hanya ada sembilan belas lagu dari tiga musisi berbeda; Linkin Park, Radiohead dan Nirvana. Itu saja. Hwa Min sudah
mendengar lagu creep untuk yang kedua
puluh satu kali hari itu saat ia menyadari ia tersesat. Ia melewati jalanan
blok yang sama berulang-ulang.
Tak ada yang bisa ditanya. Langit
sudah gelap dan ia berada di distrik antah berantah di kota Gimpo. Navigatornya
terus menyuruhnya putar balik saat ia sampai di lampu merah. Hwa Min mengomeli
suara monoton wanita di navigasi saat ia disuruh putar balik lagi untuk yang ketiga
kalinya dan nyaris membanting laptopnya karena kesal. Hwa Min benar-benar
kelelahan. Akhirnya, Hwa Min mematikan mesin mobilnya di pinggir jalan dan
memakan bekal sandwich-nya sebelum ketiduran menunggu pagi.
Kaca jendelanya diketuk-ketuk
kasar dan praktis membuat Hwa Min melompat bangun. Matahari sudah tinggi dan ia
mengulurkan tubuhnya dengan bingung dan tergesa ke pintu penumpang untuk
menurunkan jendelanya.
āYa?ā
āAstaga. Kupikir kau mati. Apa
kau baik-baik saja?ā
āYa. Aku cuma tersesat.ā
āMau ke mana memangnya?ā
āSoyeonpyong?ā
āDi mana itu?ā
āLaut kuning?ā
Pria itu mengerutkan kening. āKau
lurus saja ke depan. Di perempatan kedua langsung belok kanan. Ada pos polisi
di sana. Kau bisa tanya jalannya. Mereka akan bantu.ā
āAku tak mau ketemu polisi.ā Hwa
Min menggeleng horor, melirik tasnya yang berisi uang puluhan juta dan senjata
api. āAku tak punya SIM.ā
āHuh? Tak punya SIM?ā
āYa. Tapi terima kasih
bantuannya. Aku akan cari rumah makan yang ada wifinya saja.ā
āKalau begitu ikuti aku. Aku juga
mau cari rumah makan.ā
Pemuda itu menangkap tatapan
skeptis Hwa Min dan melanjutkan sambil setengah tertawa, āAku tidak sendiri.
Aku pergi dengan rombongan kampus, mau ke gunung.ā Dia mengedikkan kepalanya ke
mini bus yang terparkir tak jauh di seberang jalan. āSalah satu temanku curiga
lihat mobimu berhenti di sini dan berhubung aku yang paling dekat dengan pintu,
maka akulah yang mereka suruh untuk mengecek.ā
Hening sejenak. Tatapan Hwa Min
masih nampak ragu, nyaris menuduh.
āTapi itu cuma opsi, oke? Kau
boleh cari restoran sendiri. Hati-hati di jalan.ā Pemuda itu menjauhkan
kepalanya dari jendela dengan jengkel dan Hwa Min refleks berteriak.
āOke, OKE! Aku minta maaf. Aku
akan ikuti mobilmu. Terima kasih sudah mengajak.ā
Pemuda itu menunduk lagi.
Menanggalkan raut jengkelnya dan nyengir dari telinga ke telinga. āSampai
ketemu di restoran, kalau begitu.ā
Namanya Se Hee, masih sembilan
belas tahun dan ia membantu Hwa Min menemukan rute baru ke Soyeonpyong.
Rombongan kampus Se Hee terdiri dari delapan orang, tiga di antaranya
perempuan. Mereka semua berisik dan tak bisa diam, saling melempar makanan
sambil mengumpat dan tertawa keras. Hwa Min dan Se Hee duduk di ujung meja.
Bukan bermaksud besar kepala, tapi Hwa Min merasa anak ini sedang berusaha
menggodanya. Hwa Min kukuh mengabaikan tatapan merayunya dengan terus memakan
pangsit. Hingga tiba-tiba saja seseorang menyalakan televisi dan wajah Doyoung
muncul di layar.
Hwa Min benar-benar lupa kalau
sidang lanjutannya digelar hari ini. Agenda pemeriksaan Terdakwa. Dia memakai
setelah jas hitam dan kemeja putih bermotif. Rambutnya licin dan mengilap
karena gel. Penampilannya itu membuat Doyoung terlihat makin tampan dan elegan.
Garis wajahnya yang lembut berbanding terbalik dengan sorot matanya yang tajam
nan intens. Ia duduk rileks persis di depan Hakim dan menjelaskan motivasinya
melakukan semua tindakan kriminalnya selama ini dengan suara tegas namun tetap
tenang.
Semua orang di restoran terdiam
sambil memandangi televisi. Semuanya kecuali Se Hee. Dia membelakangi televisi,
cengengesan menggambarkan tipe cewek idealnya dengan detail yang memalukan.
Pada dasarnya dia sedang mendeskripsikan Hwa Min. Rambut pendek sebahu, bibir
mungil, mata bulan sabit, lebih tua.
Hwa Min memutar mata dan mendesah
tak tahan, āAku sudah punya pacar.ā
āOh ya?ā
āYa.ā
āLebih cakep dariku?ā
Dia bahkan
tidak cakep jika Hwa Min boleh jujur.
āKau bisa lihat sendiri. Dia di
belakangmu.ā
Se Hee langsung menoleh ke
belakang dan tak menemukan apa-apa selain Doyoung di televisi. Air mukanya
langsung berubah. Hwa Min mengangkat alis, tak mengira cowok itu akan sebegitu
peka. Hwa Min menunggunya mengajukan pertanyaan soal Kim Doyoung, namun Se Hee
malah membuatnya tertawa.
āA-apa pacarmu sudah meninggal? D-dia
hantu? Apa dia sungguh ada di belakangku sekarang?ā Suaranya bergetar dan
sepertinya anak itu tidak sedang bercanda.
Hwa Min mendesahkan tawa geli
sembari menyambar tasnya. Lantas berdiri. āAku harus kembali melanjutkan
perjalananku. Senang berkenalan denganmu, Cho Se Hee-ssi.ā
**********
Dugaannya benar. Hwa Min butuh
waktu berkali lipat lebih banyak untuk sampai ke Soyeonpyong ketimbang hanya
dua puluh jam. Dia tersesat berkali-kali dan menginap di motel nyaris setiap
malam. Dan sekarang, setelah lebih seminggu ia berkelana, jeepnya mogok dan
mengeluarkan asap. Hwa Min membuka kap mobilnya dan terbatuk memandangi
mesinnya yang berasap. Sama sekali tak tahu harus apa.
Satu setengah jam kemudian,
seseorang berhenti dan menawarkan bantuan. Ia minta dibelikan oli di
supermarket dan tahu-tahu saja orang itu sudah menghilang saat Hwa Min kembali.
Laptopnya ikut raib bersamanya. Syukurlah Hwa Min membawa serta tasnya ke
supermarket, jadi uangnya masih utuh. Namun kehilangan laptop tetap membuatnya
kesal dan frustrasi. Itu satu-satunya navigatornya. Hwa Min menangis di pinggir
jalan sambil memeluk botol oli. Tingkah menyedihkannya itu membuat seorang
pengendara yang lain berhenti. Kali ini orang itu benar-benar membantu. Setelah
diutak-atik beberapa jam, Jeepnya kembali berfungsi dan ia bahkan digambari
denah. Rupanya Hwa Min hanya harus melewati dua distrik lagi sebelum sampai di
pelabuhan. Dari situ ia tinggal menyeberang dengan kapal dan tibalah ia di
Soyeonpyong.
Hwa Min melanjutkan perjalanannya
dengan perasaan campur aduk. Ia tak tahu apa kepergiannya ini merupakan hal
yang benar atau malah keliru. Terlebih sekarang saat ia sudah semakin dekat
dengan Soyeonpyong. Hwa Min masih menganggap dirinya sebagai pengkhianat bejat.
Seorang pecundang berengsek yang melarikan diri dari rasa bersalah. Dan yah,
mungkin memang begitulah dirinya.
Sesampainya di pelabuhan, ia
harus mengisi formulir dan menunggu sampai ada orang lain yang mau pergi ke
Soyeonpyong. Sebab pulau itu rupanya amat jauh dan tak ada yang mau mengantar
kalau penumpangnya cuma satu. Maka Hwa Min tak punya pilihan selain menunggu.
Ia tinggal selama empat hari di penginapan kecil di pelabuhan dan memekik
senang begitu nahkodanya memberi tahu bahwa ia akan berangkat Sabtu malam.
Masih ada tiga jam sebelum pergi.
Setelah mengemasi barangnya, Hwa Min keluar untuk membeli bekal di toko
kelontong mungil seratus meter dari penginapan. Hwa Min mengambil sekotak susu
moka dan beberapa bungkus onigiri tuna lalu menghampiri kasir. Dua orang di
antrean beserta si kasir (yang semuanya wanita) sedang tekun menonton; mata
terpaku ke satu titik sementara tubuh mereka bergeming dengan keranjang
belanjaan yang terlantar begitu saja di konter.
Hwa Min mengernyit melihat
situasi ini sebelum mengalihkan perhatiannya pada layar televisi yang
tergantung tinggi di tembok dan terbelalak syok melihat apa yang sedang mereka
tonton. Vonis Doyoung sedang dibacakan. Perut Hwa Min seketika mengejang.
Kalimat demi kalimat pengantar dari sang hakim menembus telinganya seperti
angin lalu.
Hwa Min merasa amat gugup sampai
mau muntah. Onigiri di tangannya tanpa sadar ia remas sampai isinya keluar
menjijikan saat vonis Doyoung dijatuhkan. Delapan tahun. Palunya diketuk tiga
kali dengan nyaring. Semua orang di ruang persidangan berdiri dan bersorak
protes. Doyoung menjatuhkan kepalanya dengan lemas ke telapak tangannya.
Sekejap Hwa Min merasa dunianya berhenti. Ia bisa mendengar suara niit bunyi barcode dan racauan ibu-ibu di depannya yang mengeluh bahwa hukuman
itu terlalu berat. Ia mendengar suara pembawa beritaāyang melaporkan langsung
dari pengadilan negeri Seoulābahwa ia pamit undur diri. Hwa Min bisa mendengar
segala suara di sekelilingnya sementara air matanya berlinang dan jantungnya
serasa diremas seperti onigiri. Lalu tiba-tiba saja ia menjatuhkan diri,
berlutut di lantai dan berteriak sampai membuat semua orang terkejut. Saat itu,
Hwa Min benar-benar ingin melompat ke laut dan tak pernah kembali lagi.
**********
Dua tahun kemudianā¦
āAku benar-benar kangen makan
daging sapi,ā keluh Hwa Min sementara ia berjalan bersisian dengan seorang
wanita gemuk bernama Nyonya Sian. Dua anak laki-lakinya yang masing-masing
berusia tiga dan enam tahun bermain kejar-kejaran mengitari mereka.
āAduh. Jangan bilang begitu,
dong! Mulutku tiba-tiba jadi berair nihāYAH!
Nam Jun Ho jangan kencang-kencang nanti jatuh.ā
Hwa Min tersenyum dan mengulurkan
tangannya mencoba menangkap Jun Ho yang berlari ke belakangnya, āKapan suamimu
kembali ke pulau? Kalau dia bawa oleh-oleh daging sapi berikanlah sedikit
padaku.ā
āMana mungkin sih dia bawa daging
sapi!ā gerutu Nyonya Sian. āLalu bagaimana dengan suamimu? Masih belum ada
kabar?ā
Senyum Hwa Min langsung
menghilang. āBelum,ā katanya sambil menunduk canggung.
āMemang dia melaut ke mana, sih?
Sejak kau datang ke sini aku belum pernah melihatnya.ā
āIndia,ā ujar Hwa Min asal,
berharap itu cukup logis.
āSerius?ā
Hwa Min mengangguk-angguk.
Tangannya mengaduk tas belanjaannya untuk mengambil plastik es kelapa dan
buru-buru membuka dan menyeruputnya demi menghindari percakapan.
āHeh, Son Hwa Min, sampai ketemu
besok, ya.ā Nyonya Sian akhirnya menarik Jun Ho dan menggendong anak bungsunya,
tersenyum berpamitan pada Hwa Min dan berbelok ke jalanan gang menuju rumahnya.
Hwa Min mengawasi kepergian
wanita itu dengan getir. Padahal Nyonya Sian merupakan seseorang yang paling
dekat dan paling ia percaya di pulau ini, namun Hwa Min tetap saja tak bisa
berkata jujur padanya jika tak mau diusir.
Di pulau kecil ini, hanya ada
seratus empat belas orang. Mereka adalah orang-orang mandiri yang masih agak
konservatif. Seorang wanita yang belum menikah tidak dizinkan untuk tinggal
sendiri. Jadi, mau tak mau, Hwa Min pun mengaku sudah menikah. Suaminya sedang
melaut dan ia akan segera datang, akunya dua tahun silam, dan sampai sekarang
masih belum datang juga. Beruntung para ketua adat belum ada yang menegurnya.
Hwa Min masuk ke pekarangan
rumahnya yang mungil dan duduk di teras, memandang laut berhias burung camar
dan langit sore yang cerah sambil menghabiskan es kelapanya. Sulit dipercaya,
tapi ia benar-benar melakukannya. Ia menyewa rumah di Soyeonpyong dan tinggal
di sini tanpa alat komunikasi. Tak ada ponsel. Tak ada laptop. Tak ada
televisi. Yang ada hanya dirinya dan hatinya yang berdenyut nyeri, bersama
angin yang bersepoi hangat dan alam yang indah seperti lukisan. Berharap
delapan tahun segera berlalu dan mungkin
bisa menyembuhkan rasa bersalahnya walau sedikit. Berharap apabila sudah
waktunya ia kembali ke Seoul, ia akan punya cukup nyali untuk mencari Doyoung
dan minta maaf padanya. Dan mungkin, jika Tuhan sedang baik-baiknya, Doyoung
akan menerima permintaan maafnya itu dan tidak membencinya lagi.
Lamunan Hwa Min berakhir begitu
minumannya habis. Ia berdiri dari duduknya, namun tak langsung masuk. Sebagai
gantinya, ia berjalan ke sebelah rumah, mengecek keadaan kebun sayur yang sudah
hampir dua tahun ini digarapnya sendiri.
Bersiul senang, Hwa Min menyirami
tanaman wortel dan mencabuti rumput liar di sana. Hobi baru yang sangat baik,
bukan begitu? Rasanya damai, nyaris terapeutik.
Setelah puas, barulah ia kembali
ke teras, mengambil barang belanjaannya yang ditinggal di lantai dan masuk ke
dalam rumah. Menyalakan sakelar lampu dan melenggang ke dapur.
Ada hawa tak menyenangkan yang
menjalari lehernya saat Hwa Min tengah memasuk-masukkan barang belanjaannya ke
kabinet dapur. Seolah seseorang sedang mengawasinya. Hwa Min sudah berkali-kali
menoleh, mengecek ke belakang sofa dan ke mana-mana, namun tak menemukan siapa
pun.
Hwa Min melongok ke ruang tengah
untuk yang ketiga kali. Dadanya berdebar-debar dan bulu kuduknya meremang.
Sambil menggeleng menenangkan diri, ia kembali ke dapurnya dan serta-merta
terbeliak melihat seseorang di konternya. Kim Doyoung. Hwa Min terkesiap sampai
dadanya sakit dan sebelum ia menyadari apa-apa, Doyoung sudah menariknya hingga
berdiri di hadapannya.
Doyoung menghela pergelangan
tangan Hwa Min ke dinding dan menghimpitnya. āAku mencarimu, my dear,ā katanya dengan suara rendah
yang membuat seluruh bulu halus di tengkuk dan lengan Hwa Min berdiri.
āB-bagaimana bisa kau di sini?
K-kau kabur dari penjara?ā
Doyoung mendenguskan tawa. Ia
mengangkat dagu Hwa Min dengan ujung senjatanyaāsebuah pistol yang ia temukan
di nakas, persis di samping tempat tidur gadis itu sendiri. Hwa Min amat
mengenal pistol itu karena itu miliknya. Ia tahu pistol itu tidak kosong. Ada
sekurang-kurangnya tiga peluru di dalamnya dan mengingatnya membuat Hwa Min
menangis.
āA-apa kau mau membunuhku?ā Suara
Hwa Min bergetar. Keningnya dipenuhi peluh dan air matanya berlinang.
Doyoung tak menjawab. Ia
merapatkan tubuh mereka dan menarik pinggang Hwa Min ke pinggangnya. Hwa Min
bisa merasakan embusan napas Doyoung di wajahnya. Membelai pipinya dengan
kehangatan yang ia rindukan.
āKim Doyoung, aku tahu kau pasti
membenciku.ā Hwa Min melirik pistol di bawah dagunya dan berusaha untuk bicara
tanpa tersedu, namun suara yang keluar dari mulutnya justru lebih ironis dari
sekadar tersedu. Hwa Min merintih. āA-aku sudah menghancurkan hidupmu. Aku
tahu. Kau boleh membunuhku. Demi Tuhan. Kau boleh melakukannya. Tapi izinkan
aku menjelaskan dulu. Aku tidak menelepon polisi dengan handphone dari Yuta,
akuā¦ā
Pria itu memainkan pelatuk dan
membuat Hwa Min langsung terkesiap diam. Air matanya mengalir bersama peluhnya
dan Hwa Min bahkan tak tahu ia begini karena takut pada Kim Doyoung atau takut
kematian.
Doyoung mendekatkan wajahnya
dengan gerakan teramat pelan. Nyaris menyakitkan. Kaki Hwa Min hampir-hampir
tak bisa menopang badannya karena terlalu tegang. Ia bersandar di tembok,
menatap mata Doyoung sambil menangis. Pasrah pada apa pun yang pria itu hendak
lakukan. Hwa Min memejam, menunggu Doyoung menarik pelatuknya, menunggu
sebongkah peluru menembus tenggorokannya, namun itu tak kunjung terjadi.
Saat Hwa Min akhirnya membuka
mata lagi, Doyoung tengah menatapnya sendu. Ia menghela napas sebelum
memosisikan bibirnya semakin dekat di telinga Hwa Min, lantas berbisik rendah
di sana, āApa aku menakutimu?ā katanya, lantas melempar pistolnya ke konter
dapur di belakang pinggang Hwa Min begitu saja. Membuat Hwa Min terlonjak.
āMaafkan aku,ā kata Doyoung lagi,
menabrakkan bibirnya di kening Hwa Min singkat sebelum menarik bahu gadis itu
dan memeluk rusuknya erat.
Hwa Min membeku. Ia benar-benar
tak bisa memahami situasi ini. āKau tak akan membunuhku?ā
āBagaimana mungkin aku
membunuhmu!ā kata Doyoung. āDan tidak! Aku tidak kabur dari penjara. Masa
tahananku sudah selesai.ā
āHukumanmu delapan tahun.ā
Doyoung akhirnya menjauhkan diri
dari Hwa Min dan memandangnya heran. āYeah, vonis di pengadilan negeri memang
delapan tahun,ā kata Doyoung dengan suara semakin heran, āLalu aku mengajukan
banding. Kau tak dengar beritanya?ā
Hwa Min terbelalak. Menatap
Doyoung dengan senyum histeris namun tak bisa mengeluarkan suara apa pun dari
mulutnya.
āKau sungguh tak dengar
beritanya?ā tanya Doyoung lagi sementara Hwa Min menerjang memeluknya. āAku
keluar tiga belas hari yang lalu. Kukira kau akan menungguku di pintu keluar
tapi kau tak ada. Jadi aku ke rumahmu. Aku mencoba lewat pintu namun orangtuamu
syok berat melihatku. Jadi aku lewat jendela.ā
Hwa Min tak bisa menanggapi apa-apa
dan hanya terisak-isak di bahu Doyoung.
āAku tak percaya kau benar-benar
pergi ke sini.ā
āBagaimana kau tahu aku di sini?ā
tanya gadis itu dengan suara tersekat. Hwa Min benar-benar merasa mau meledak.
Ia senang, juga sedih. Tercengang. Terguncang. Segalanya.
āKau memajang peta yang
kulingkari di dinding kamarmu. Jadi kupikir ke mana lagi?ā
Hwa Min mengulurkan kepalanya untuk
mencium bibir Doyoung, lalu menangkup pipi pria itu sambil tersedu-sedu
bahagia. āAku benar-benar merindukanmu.ā
āApalagi aku.ā
āKau tak marah padaku?ā
āAku mau,ā Doyoung menghela
napas. āTapi tak bisa.ā
āMaafkan aku.ā Air mata Hwa Min
berlinang lagi. āAku memang menghubungi atasanku di kejaksaan, Baek Seongjoon,
sehari setelah aku ikut denganmu ke tempat persembunyian. Waktu itu aku masihā¦
bego. Satu-satunya hal yang kupikirkan hanyalah mendapat kejayaan di kantor
danā¦ā
āTidak, dengar. Aku marah bukan
karena itu,ā sela Doyoung, menyeka air mata Hwa Min dengan ibu jarinya kemudian
memegang kedua tangan gadis itu erat. āAku marah karena kau menghukum dirimu
begini. Dan yeah, aku sudah tahu soal kau meneleponnya lewat telepon umum.
Seongjoon sudah cerita.ā
āDia cerita?ā
āYa. Dia juga cerita kalau kau
memberikan banyak bukti untuk meringankan hukumanku.ā
āKau berhak mendapatkannya. Justru
seharusnya kau tidak dihukum. Seongjoon itu benar-benarā¦.ā
āOrang baik,ā sambung Doyoung,
tersenyum. Hwa Min mengerutkan kening. āSeongjoon mencarikanku penasihat hukum
dan membantuku mengajukan banding. Ia menyusunkan memori bandingnya semalaman
dan bicara personal pada hakim ketuanya agar hukumanku diringankan.ā
Itu menjelaskan kenapa Seongjoon
mengundurkan diri menjadi jaksa utama kasus Doyoung. Karena ia ingin
membelanya. Hwa Min bergeming menatap lantai, merasakan perasaannya melega dan
memberat di saat yang sama. āBegitu?ā
āYa.ā
āLalu apa kau sudah menemui
Jaehyun, Yuta dan Mark? Aku tak bisa mengontak satu pun. Mereka pasti sangat
membenciku sekarang.ā
Doyoung menggeleng. āBelum,ā
katanya. āTapi aku yakin mereka tak membencimu. Aku yakin mereka diam-diam
menginginkan ini, menginginkan kebebasan. Dan aku yakin mereka baik-baik saja.
Jaehyun masih di Amerika Serikat, kuramal. Mengurus cabang perusahaannya. Yuta
tinggal bersama kekasihnya. Mungkin sudah dapat kerjaan bagus sekarang. Mark bekerja
di laboratorium favoritnya, Stein Lab. Menjadi ilmuwan hebat dan beli segudang
lolipop dengan uang sendiri, mungkin.ā
Hwa Min tersenyum terisak.
Walaupun semua itu hanya prediksi, hanya kemungkinan-kemungkinan terbaik dari
sekian banyak kemungkinan, namun tak dipungkiri perkataan Doyoung berhasil
menenangkan hatinya. āAku merindukan mereka.ā
āKita akan menemukan mereka, aku
janji. Pertama-tama, bisa kau jelaskan padaku kenapa kepala adat di sini
mengira aku suamimu? Danā¦ seorangā¦ pelaut?ā
Hwa Min terkekeh. āKau menemui
kepala adat?ā
āYa. Aku tanya apa ada penduduk
baru bernama Son Hwa Min di sini. Lalu saat kubilang namaku Kim Doyoung, mereka
langsung menyambutku dengan sukacita. Menanyaiku apa yang kudapat setelah
bertahun-tahun melaut.ā
āLalu apa yang kau katakan?ā
āYah, kubilang aku dapat banyak
hikmah. Dan wajah mereka langsung berubah.ā Kekehan Hwa Min langsung
meledak menjadi tawa geli. āTapi dengar, my
dear, aku lebih dari sekadar bersedia menjadi suamimu, aku senang luar biasa,
sungguh. Hanya bingung.ā
āAku akan jelaskan padamu sambil
makan malam?ā tawar Hwa Min. āKau mau makan malam?ā
Doyoung menarik pinggang Hwa Min
untuk mencium keningnya, lantas tersenyum lebar. āDengan senang hati, istriku.ā
*********
Dengan rambut basah kuyup dan
handuk putih yang memeluk pinggang, Doyoung keluar dari kamar mandi dan
memandang Hwa Min. Senyum miring yang tersungging arogan di sudut bibirnya
menunjukkan bahwa ia tahu persis apa yang sedang ia lakukanāserta apa efeknya
bagi Hwa Min saat ini. Doyoung berjalan mendekat dan Hwa Min mengejang di ujung
ranjang.
āKeringkan rambutku,ā pintanya,
berhenti di hadapan Hwa Min dan mengerjapkan matanya dengan lugu. Jelas-jelas
tahu betapa lemahnya Hwa Min akan hal itu.
āJangan kekanakan! Kau bisa
melakukannya sendiri.ā
āSerius? Setelah menjebloskanku
ke penjara, begini sikapmu padaku?ā
āAstaga!ā pekik Hwa Min. āApa kau
akan menggunakan rasa bersalahku sepanjang hidupmu untuk memerasku?!ā
Doyoung mengangkat bahunya tak
acuh, āMungkin.ā
Hwa Min mendengus, namun tetap
berdiri untuk mengambil handuk lain yang terlipat di lemari. Doyoung duduk
menggantikan posisi Hwa Min di ranjang. Matanya mengawasi sang gadis, dengan
sabar menunggunya kembali.
Hwa Min merangkak di ranjang
lewat sisi yang lain dan duduk di belakang Doyoung sebelum mulai
menggerak-gerakkan handuk di rambutnya. Itu benar-benar menyenangkan. Doyoung
menikmati sepenuh hati sensasi ini. Tangan Hwa Min yang menjalar di rambutnya
membuat perasaannya hangat dan tenteram.
āPertanyaan ketiga,ā kata Hwa Min
di sela-sela gerakan tangannya.
Doyoung menoleh padanya dengan
kening berkerut, penuh tanya, sebelum akhirnya teringat akan janjinya dua tahun
silam. āKau belum lupa, rupanya.ā
āTakkan pernah lupa.ā
āOke.ā Doyoung mengubah posisinya
menjadi menghadap Hwa Min. āApa yang mau kau tanyakan, my dear?ā
Hwa Min membersihkan
tenggorokannya sebelum bicara dengan suara rendah, āMaukahā¦ā Ia menggigit
bibirnya, suaranya makin pelan lagi, ākau tinggal di sini? Bersamaku?ā Itu
bukan pertanyaan, tapi tawaran. Tangan Hwa Min perlahan-lahan berhenti, dadanya
bergemuruh dan ia memandang Doyoung penuh antisipasi.
āTidak.ā
Hwa Min merasa jantungnya jatuh
ke lantai. āT-tidak?ā ulangnya, berusaha tidak terdengar terlalu kecewa.
āYa. Aku tidak mau tinggal
bersamamu di sini,ā ucap Doyoung lancar. āAku mau tinggal bersamamu di Seoul.
Sekarang aku sudah bukan buronan lagi. Untuk apa kita tinggal di pulau
terpencil begini! Memangnya kau tidak kangen nonton tv? Atau main game online di PC?ā
āAstaga!!ā Hwa Min memegangi
dadanya dan melemparkan handuknya ke muka Doyoung. Doyoung terkekeh sambil
mengambil handuk itu dari wajahnya.
āLagi pula Seongjoon menawarkanku
kerjaan di kepolisian. Dia bilang kemampuan investigasiku bagus.ā
āJangan bercanda!ā
āAku serius. Pikirkan ini! Dalam
beberapa hari, kita akan memulai hidup normal kita di Seoul. Menikah sungguhan.
Punya pekerjaan sungguhan. Menyewa apartemen di Gangnam dan pergi belanja
bulanan tiap minggu pagi. Kita akan seperti pasangan manis di drama.ā
āKita akan lebih manis dari itu.ā
āYeah, tentu saja.ā Doyoung
mengangkat tangannya membelai pipi Hwa Min. āIntinya, sudah cukup menghukum
diri sendirinya. Kau tak bersalah, lagi pula.ā
āKau harus berhenti mengatakan
aku tak bersalah. Kita sama-sama tahu aku berkhianat padamu.ā
āYeah, tapi tahukah kau aku
sempat mempertimbangkan opsi untuk menyerahkan diri ke polisi? Dengan begini
kau membuat segalanya lebih mudah.ā Hwa Min memberikan tatapan skeptis tak
percaya dan Doyoung berusaha meyakinkan, āsudah kubilang padamu, aku tak
mungkin mencuri dan bersembunyi seumur hidupku. Aku juga ingin bisa hidup
normal tanpa takut dibekuk polisi. Aku ingin ke bioskop dan makan di restoran
tanpa harus menutupi muka. Itulah alasan utamaku ingin cari pulau yang jauh
dari Ibu Kota. Namun sayang sekali kita salah pilih pulau, sepertinya, tapi
yeah, itu bukan masalah lagi sekarang. Toh aku sudah menjalani masa tahananku.
Tak ada lagi yang akan mengejarku. Aku bisa bernapas lebih lega dan hidup lebih
nyaman sekarang. Berkatmu.ā
āKau serius, kan? Itu bukan
sekadar kata-kata penghiburan?ā
āAku serius. Rasanya seperti
terlahir kembali. Seolah aku diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki diri.ā
āJika itu maumu maka aku siap
membantumu memperbaiki diri.ā
āTidak, itu bukan tugasmu.
Tugasmu adalah menggenggam tanganku dengan erat sementara aku memperbaiki
diriku sendiri.ā
Hwa Min tersenyum, menarik handuk
dari tangan Doyoung dan mulai mengeringkan rambut pria itu lagi. āJadi kita
akan pergi dari sini? Besok?ā
āEntahlah. Tapi aku yakin tidak
besok.ā
āLusa?ā
āMungkin tidak secepat itu?ā
āLalu kapan?ā
āMinggu depan? Setelah kita puas
berbulan madu?ā Doyoung menggigit rongga mulutnya. Menelengkan kepala sambil
melemparkan seringaian liar yang manis. āBukankah itu hebat? Setidaknya di satu
tempat di dunia ini, kita dianggap sudah menikah? Bagaimana bisa kau berbohong
soal sesuatu sebesar itu?ā
āAku cuma bilang suamiku sedang
melaut dan mereka langsung percaya.ā
āSuamiku,ā ulang Doyoung seolah
sedang menggarisbawahi. āRasanya bahagia sekali mendengar kata itu dari
mulutmu.ā Ia menarik handuk dari tangan Hwa Min dan melemparnya ke belakang.
Sorot matanya menggelap. Doyoung merangkak mendekati Hwa Min sambil
mengeluarkan seringaian khasnya. Hwa Min menelan ludah. Ia sudah membayangkan
situasi ini di antara malam-malamnya yang sunyi, membayangan Kim Doyoung
merangkak di atasnya dan menciumnya penuh gairah. Namun saat bibir Doyoung
akhirnya menyentuh kulitnya, Hwa Min tertegun.
Doyoung tidak menciumnya seperti
yang gadis itu harapkan, tidak panas dan penuh gairah sebagaimana fantasinya
pada malam-malam belakangan. Sebagai gantinya, Doyoung menekankan bibirnya
dengan lembut ke ujung jari Hwa Min dan ke bulu-bulu halus di balik tengkuknya.
Bibirnya menggerayang tipis di telapak tangan, lalu ke lengan, melintasi tulang
selangkanya yang menonjol sebelum mencium sepanjang lehernya.
Ada rasa terbakar yang tertinggal
di kulit Hwa Min saat bibir Doyoung meninggalkannya. Rasa terbakar yang
menyenangkan. Jari Hwa Min tenggelam di rambut Doyoung sementara bibir puitis
sang pria naik lagi ke rahangnya, halus, anggun, tak tergesa, ke pipi, dan
akhirnya dia berhenti di depan wajahnya. Mereka bertatapan dan jantung Hwa Min
serasa berhenti.
āKau punya ruang tersendiri di
hatiku yang tak bisa dijangkau orang lain. Kau tahu itu?ā kata Doyoung dalam
bisikan samar. Hwa Min menggeleng pelan.
āTidak tahu?ā Doyoung merendahkan
kepalanya guna mencium Hwa Min, kemudian mendesahkan napas dan kembali
mengangkat kepalanya, menatap manik matanya dalam-dalam, lembut, nyaris memuja.
āSekarang sudah tahu? Kaulah satu-satunya hal baik yang terjadi padaku di muka
bumi. Bisa apa aku tanpamu, my dear.ā
Hwa Min balas memandangnya dengan
bibir merekah, kepalanya menggeleng sementara dadanya naik turun tak sabar.
āTak bisa apa-apa. Jadi jangan pernah tinggalkan aku.ā
Doyoung tersenyum dan matanya
berkerut membentuk bulan sabit yang manis. Hwa Min terpana sejenak sebelum
mengalungkan lengannya di leher sang pria, lantas bertanya lirih, āBisakah kau
menciumku lagi?ā
Doyoung menatapnya dari balik
bulu matanya yang tebal dan lentik. Kemudian mengangguk, membiarkan bulan sabit
di matanya muncul lagi. āAs you please,
my dear.ā
END
YEYYY!!! Makasih banyak buat yg udah ngikutin GOOD CRIMINALS dari
awal..
Mari kita anggap ramalan Doyoung bener. Jaehyun, Yuta sama Mark udah bahagia dgn hidup masing2~
Aku belom ada rencana bikin series baru btw, jadi entah kapan bisa publish publish lagi..
Semoga bisa cepet dapet ide buat nulis something lagi yaaa^^ See You babay
Aku belom ada rencana bikin series baru btw, jadi entah kapan bisa publish publish lagi..
Semoga bisa cepet dapet ide buat nulis something lagi yaaa^^ See You babay
Comments
Post a Comment