Good Criminals #8 (END)



“Saya rasa Nona Son terlalu syok untuk dimintai keterangan sekarang. Lebih baik biarkan istirahat dulu.”
“Bawa dia ke rumah sakit kalau begitu.”
“Baik, Pak.”


Seorang petugas wanita mendatangi Hwa Min yang masih duduk meringkuk di kursi tunggu, menangis sesenggukan sejak lima jam terakhir dan menolak untuk makan, minum serta menjawab pertanyaan apa pun dari siapa pun. Kedua orangtua Hwa Min duduk mengapitnya, sudah kehabisan kata-kata penghiburan sehingga kini mereka hanya memeluk dan menepuk-nepuk punggung anak semata wayangnya itu dengan tampang sedih.


“Aku tidak mau ke rumah sakit,” kata Hwa Min segera setelah petugas itu berdiri di depannya. Suaranya parau karena terlalu banyak menangis. “Aku ingin pulang saja.”


Si petugas menoleh pada pria yang nampaknya merupakan atasannya tadi dan baru mengangguk pada Hwa Min setelah pria itu terlebih dulu mengangguk padanya.


Hwa Min pun pulang bersama orangtuanya. Dia dijadwalkan untuk kembali ke kantor polisi besok pukul sepuluh pagi. Dia akan dimintai keterangan sebagai saksi.


Selama perjalanan pulang, Hwa Min hanya menatap keluar jendela, memandangi pohon dan bangunan yang nampak melesat ke belakang. Di jok depan, kedua orangtuanya tak henti-henti bicara, mengeluhkan betapa khawatirnya mereka sebulan belakangan. Dari keluhan-keluhan itu, akhirnya Hwa Min tahu apa yang membuat Seongjoon tiba-tiba menanggapi serius ucapannya. Ternyata, dua hari yang lalu orangtuanya membuat laporan ke kantor polisi. Berita hilangnya Hwa Min sampai ke telinga orang-orang di kejaksaan (yang awalnya positif mengira dirinya sudah resign) dan praktis membuat Seongjoon akhirnya buka mata dan benar-benar bertindak. Seluruh unit kepolisian Seoul dikerahkan untuk mencari bangunan mercusar sebagaimana yang dideskripsikan Hwa Min melalui telepon umum. Dan bencana ini pun terjadi.


Fakta bahwa Seongjoon cuma butuh waktu kurang dari dua hari untuk menemukannya membuat Hwa Min panas. Mungkin, kalau peringkusan ini terjadi bulan lalu, Hwa Min akan dengan senang hati menikmati kejayaannya karena sudah berhasil menggiring polisi menangkap Kim Doyoung. Tapi sekarang, Hwa Min sungguh tak bisa merasakan perasaan lain selain rasa bersalah dan penyesalan.


Mereka tiba di rumah pukul lima sore dan Hwa Min langsung masuk ke kamar tidurnya yang sudah ditinggalnya lebih dari sebulan. Ia duduk di depan meja dan menyalakan laptop, kemudian mengetikkan segala informasi penting yang menurutnya akan meringankan dakwaan Doyoung nanti.


Ia sudah menulis lebih dari lima halaman saat matanya tak sengaja melirik jam digital di pojok bawah layarnya. Seharusnya beberapa jam lagi ia akan berangkat ke pelabuhan Incheon dan mencuri Taaffeite. Apa Mark, Yuta dan Jaehyun sudah tahu soal ini? Apa mereka tahu Doyoung tertangkap?


Hwa Min membuka portal berita di internet dan tercenung melihat gambar Doyoung di mana-mana. Artikel mengenai tertangkapnya Doyoung sudah diunggah sejak pukul dua siang dan langsung menyebar cepat bak virus. Artikel itu sudah diklik hampir sejuta kali. Tidak mungkin Mark, Jaehyun dan Yuta tidak tahu soal ini. Pasti beritanya sudah menguasai televisi. Hwa Min benar-benar mau pingsan sekarang. Air matanya kembali menggenang dan tangannya terus berkeringat.


Saat tengah mengelap telapak tangannya yang basah di jinsnya, Hwa Min tak sengaja merasakan sesuatu di sakunya. Ponsel dari Yuta semalam. Hwa Min buru-buru mengambil ponsel itu dan memencet tombol power sambil—sesuai instruksi Doyoung—mengguncang-guncangnya sampai menyala. Begitu hidup, Hwa Min langsung memeriksa kontaknya dan menemukan dua nomor tersimpan di sana. Rich Boy dan Marmut, yang berturut-turut merupakan nama alias untuk Jaehyun dan Mark.


Hwa Min mencoba menelepon Jaehyun terlebih dahulu. Nomornya tidak aktif. Ia segera lanjut menelepon Mark dan hasilnya sama. Timbul rasa waswas yang luar biasa di dadanya. Apa mereka baik-baik saja? Lalu bagaimana dengan Yuta? Apa dia kembali ke tempat persembunyian?


Tak tahan dengan perasaannya sendiri, Hwa Min pun menyentak laptopnya menutup dan menyambar kardigannya dari dalam lemari, lantas berlari turun ke lantai bawah.


“Aku harus pergi,” pamitnya pada sang ibu yang sedang menelepon di ruang tamu. “Aku akan kembali malam ini juga. Aku bersumpah,” tambah Hwa Min saat ibunya mengeluarkan ekspresi menentang.


Ibu Hwa Min kukuh menggeleng-geleng, namun hal itu tidak menghalangi Hwa Min yang tetap melenggang pergi. Ia menemukan taksi di ujung jalan dan pergi ke tempat persembunyian.


Sesampainya di sana, ia menemukan jeep mereka terparkir di pekarangan dan langsung mempercepat larinya ke dalam bangunan. Ia mendorong pintu besarnya sekuat tenaga dan langsung berteriak memanggil-manggil Yuta.


Tak ada jawaban.


Semua lampunya mati dan tak ada satu barang pun yang tertinggal di sana. Entah karena sudah diamankan duluan oleh polisi atau diambil oleh ketiga pemuda itu.


Setelah berputar-putar di dalam selama sepuluh menit, Hwa Min akhirnya kembali ke pekarangan dan menghampiri jeep mereka. Mencoba membuka pintunya dan tercenung karena menemukannya tidak terkunci. Ia masuk dan duduk di kursi penumpang di jok depan. Menyalakan lampu plafon dan mengusap wajahnya yang dipenuhi air mata dengan frustrasi. Tangannya bergerak membuka laci dasbor dan mengeluarkan peta Korea milik Doyoung. Matanya tertuju pada titik kecil yang dilingkari spidol merah yang buram dan tangisnya sontak makin keras lagi. Hwa Min mencengkeram peta itu dan beringsut memeluk dirinya sendiri. Suara isakannya menggema di mobil yang kosong, meminta maaf pada udara seolah mereka akan menjawab.


Saat tangisnya sudah semakin riuh, matanya tak sengaja menemukan lebih banyak kertas di dalam dasbor. Sesenggukan Hwa Min mengulurkan tangan mengambil kertas-kertas itu, berusaha membacanya sambil mengerjap-ngerjap menghalau air mata. Ia menangkap beberapa kalimat dan tersadar bahwa itu adalah kertas yang biasa dibawa Jaehyun sebelum mereka memulai misi. Di dalamnya tertulis bukti-bukti kecurangan, penggelapan dan kualifikasi keji lainnya sehingga mereka layak untuk dijadikan sebagai target penjarahan. Hwa Min membacanya dengan saksama dan terpana melihat betapa rincinya informasi ini. Jaehyun dan informannya (entah siapa pun itu) jelas jauh lebih kompeten dari orang-orang di kepolisian.


Hwa Min bepikir mungkin, apabila Hakim yang akan menyidang Doyoung nanti bukan orang kolot dan memiliki pemikiran terbuka, semua ini akan menjadi aset besar untuk meringankan hukumannya. Semua yang Hwa Min tulis di laptopnya sore ini hanya merupakan kesaksian sepihaknya saja, namun kertas-kertas di tangannya ini berisi data-data akurat yang dilengkapi dengan gambar-gambar pendukung.  


Kepala Hwa Min berputar ke belakang dan gadis itu terkesiap melihat joknya dipenuhi dengan kertas yang bertumpuk-tumpuk. Meski nampak lusuh, semuanya sudah disortir rapi sesuai urutan bulan dan tahun. Apa Jaehyun yang melakukannya? Atau Yuta, mengingat pria itu membawa mobil pagi ini. Yah, tapi intinya ini pasti ulah salah satu dari mereka bertiga—atau malah tiga-tiganya. Mereka ingin semua ini ditemukan.


Hwa Min melirik ke kursi kemudi dengan desahan frustrasi. Ia tak tahu bagaimana caranya membawa semua ini ke rumahnya. Namun saat ia melongok ke panel kunci, matanya kontan terbeliak melihat kunci jeep itu ternyata menyantol di lubangnya. Kalau begini, sudah jelas dia diizinkan untuk membawa jeep ini, kan?


Meski tak pandai menyetir, Hwa Min merasa ia tak punya pilihan lain. Gadis itu menghela napas kasar dan berusaha membuang jauh-jauh keraguannya. Tak ada yang harus ditakutkan. Yang penting dia sudah tahu cara berbelok dan mengerem. Dia akan selamat, yah.. semoga.


Dengan dada bertalu-talu, Hwa Min pindah ke kursi kemudi. Ia memutar kuncinya dan meremas kemudi. Isi perutnya seakan jungkir balik saat mesinnya meraung, lalu makin jungkir balik lagi saat ia mulai memindahkan persneling dan memundurkan mobilnya keluar dari pekarangan.



********



Bidang-bidang langit biru cerah mulai bermunculan di balik jendela kamar Hwa Min saat ia terbangun keesokan paginya. Hwa Min tertidur di meja dengan setumpuk kertas di kanan kirinya. Tidak hanya di situ, kertas-kertas yang ia bawa dari mobil kini juga sudah memenuhi nyaris seluruh jengkal ubin di lantai kamarnya. Ia sudah membaca segalanya semalam suntuk, merangkumnya ringkas dan padat menjadi delapan puluh empat halaman.


Hwa Min mendongak ke luar jendela, menatap langit yang berseri-seri dan menghela napas. Suasana hatinya sama sekali berbanding terbalik dengan cuaca hari ini. Mereka berlima harusnya sudah menyelesaikan misi Taaffeite itu sekarang, mungkin sedang berkendara di jalanan lengang di suatu kota menuju tempat persembunyian baru. Hwa Min menatap mesin print-nya yang sedang bekerja dan menggigit bibir. Entah apa semua ini cukup untuk membebaskan Doyoung, tapi setidaknya ia harus mencoba.


Siang itu, atas permintaan Hwa Min, Seongjoon ikut duduk bersama penyidik di kantor polisi saat dirinya sedang diinterogasi. Hwa Min berusaha bicara sejujur mungkin namun tetap menyembunyikan keikutsertaan Jaehyun, Mark dan Yuta rapat-rapat. Ia kukuh bilang bahwa Doyoung mengerjakan segalanya sendiri. Hwa Min yakin Doyoung pun tak mau mereka terlibat.


Setelah hampir empat jam menjawab pertanyaan, Hwa Min akhirnya bisa keluar dari ruangan sempit berbau apak itu dengan beban yang sedikit terangkat.


Sebelum benar-benar keluar, ia berhenti di depan tangga lobi dan mengaduk tasnya untuk mengambil rangkaian kertas bukti yang sudah ia jilid, lantas mendongak pada Seongjoon yang sejak tadi terus berekspresi kaku, nampak rikuh dan serba salah.


Kali ini pria itu pun kembali menghindari tatapannya. Hwa Min membasahi bibirnya dan bicara dengan suara getir, “Doyoung tidak pernah membunuh orang. Dia hanya mencuri dari orang-orang jahat atau orang-orang yang menurutnya hidup kelewat berlebih. Saya tahu itu tetap saja salah, tapi semoga fakta ini setidak-tidaknya bisa mengurangi—atau bahkan membebaskan—hukumannya. Kau jaksa yang hebat, jadi saya mohon tolong pertimbangkan ini sebelum membuat surat dakwaan.” Hwa Min mengangsurkan kertasnya pada Seongjoon. “Dia bahkan membagikan uang hasil curiannya ke orang-orang yang membutuhkan. Dia tidak berbahaya. Dia bukan orang jahat. Dia… adalah kriminal yang baik.” Hwa Min merasa konyol sekali setelah mengatakan itu. Kriminal dan baik seharusnya tidak dijejerkan dalam satu kalimat. “Mohon bantuannya.” Hwa Min membungkuk rendah. “Saya permisi dulu.”


Seongjoon memandang kertas yang kini berada di tangannya itu dengan tatapan pahit, kemudian mendesah. “Son Hwa Min-ssi.”


Langkah Hwa Min terhenti. Ia menoleh tanpa tenaga pada sang mantan atasan dan memandangnya menunggu pria itu bicara.


“Saya minta maaf,” katanya sungguh-sungguh. “Maaf sudah meragukanmu. Sebagai seorang jaksa sekaligus atasanmu, saya akui itu bodoh sekali.”


Hwa Min berpikir akan lebih baik jika ia diragukan saja terus. Supaya semua ini tak pernah terjadi. Tapi gadis itu tak memperlihatkannya dan hanya mengangguk.


“Kalau kau masih mau bekerja di Kejaksaan, saya bisa bantu. Kau bisa kembali ke kantor kapan pun kau siap. Belum ada yang menggantikanmu, lagi pula.”


Sudut bibir Hwa Min tertarik membentuk seulas senyum sopan. “Saya belum memikirkan itu,” katanya muram. “Tapi terima kasih tawarannya, Baek Seongjoon-ssi. Saya permisi.”



**********



Keheningan yang menyusul di hari-hari berikutnya amatlah menyiksa. Satu-satunya hal baik yang terjadi adalah Ma Jung Bin tertangkap. Hwa Min rajin membaca berita sehingga ia tahu bahwa penyelundupan senjata apinya berhasil digagalkan oleh polisi—semua ini berkat kertas bukti yang diberikan Hwa Min pada Seongjoon, Seongjoon meneleponnya langsung malam itu juga untuk berterima kasih.



Berkat kebiasannya menonton televisi dan memonitor perkembangan kasus Doyoung di portal internet, Hwa Min akhirnya tahu kalau sidang perdana Doyoung sudah ditetapkan. Semakin dekat hari sidangnya, semakin guguplah ia.


Jaehyun dan Mark masih tak bisa dihubungi. Sementara Yuta, Hwa Min sama sekali tak tahu bagaimana cara mengontaknya. Pria itu tak pernah ada di tempat persembunyian setiap kali ia ke sana. Mungkin Yuta tinggal bersama pacarnya sekarang, entahlah. Pada akhirnya, Hwa Min berpikir mungkin inilah yang terbaik. Mungkin sebaiknya mereka memang mengurus diri sendiri dan pergi masing-masing dulu sampai badainya selesai. Reda, paling tidak. Walaupun itu artinya mereka harus salah paham dan membencinya untuk waktu yang lama.


Pagi itu, Hwa Min menonton berita lagi. Orangtuanya ada di meja, memakan sarapan masing-masing dalam diam. Ini adalah harinya, hari di mana sidang perdana Doyoung dimulai. Hwa Min merasakan riak rasa bersalah yang menggelegak di dasar perutnya saat wajah Doyoung ada di layar. Pria itu memakai setelan jas abu-abu muda dengan rambut disisir ke belakang. Amat rapi dan tampan seolah-olah ia akan menghadiri acara pernikahan alih-alih sidang.


Blitz kamera mengedip puluhan kali per detik, mengabadikan setiap pergerakannya. Bersama selusin penjaga, ia berjalan di lorong gedung pengadilan dengan wajah datar nyaris melamun dan Hwa Min merasakan dorongan kuat untuk berlari memeluknya, untuk mengusir ekspresi menyedihkan itu dari wajahnya. Tapi tak mungkin, tentu saja. Ia  tak mungkin memperlihatkan wajahnya di depan Doyoung lagi. Ia tak punya muka lagi di hadapan pria itu. Hwa Min benar-benar merasa seperti pengkhianat bejat.


Ruangan sidang mulai penuh. Hwa Min akhirnya mematikan televisi dan naik ke kamarnya setelah ayahnya menegur dengan raut tak senang, “Kau memang sengaja ingin membuat dirimu sendiri menderita, ya? Lebih baik tak usah nonton itu.”


Selama berjam-jam, Hwa Min berbaring miring di ranjangnya sambil memandangi lingkaran merah di peta usang Doyoung yang ia tempel di tembok. Menerka-nerka hidup seperti apa yang menantinya jika saja mereka sungguh melarikan diri ke sana. Apa itu bahkan berpenghuni? Soyeonpyong. Apa mereka akan tinggal berdua saja di pulau tak berpenghuni?


Sidangnya selesai jam tiga sore dan Hwa Min langsung mengeceknya di laptop. Sudah banyak video yang diunggah ke internet mengingat sidang itu dibuka untuk umum, bahkan disiarkan langsung di televisi. Hwa Min menahan diri untuk tidak menontonnya dan langsung mencari artikel khusus yang membahas soal dakwaannya saja. Begitu ketemu, seketika Hwa Min merasakan tubuhnya melemas saat membaca ada tiga belas pasal yang didakwakan pada Doyoung sekaligus. Pasal berlapis ini membuat Doyoung sekurang-kurangnya harus menjalani hukuman penjara selama enam belas tahun, belum lagi denda yang akan dibebankan padanya.


Hwa Min geram setengah mati sampai hampir menelepon Seongjoon. Entah kenapa pria itu tiba-tiba mengundurkan diri dari kasus Kim Doyoung dan melimpahkannya pada jaksa lain. Seorang jaksa perempuan berusia lebih dari setengah abad yang nampak kejam dan dingin.


Sidangnya ditunda sampai minggu depan karena Doyoung meminta didampingi penasihat hukum. Hwa Min bersyukur karena keputusan bijaknya itu. Yeah, walaupun tidak menjalani kuliah sampai lulus tapi setidaknya Doyoung sudah mendapatkan beban kuliah lima semester di fakultas hukum Universitas Hongik. Lagi pula Doyoung itu manusia genius brilian yang gila keadilan. Mana mungkin ia mau menerima dakwaan tak masuk akal itu begitu saja.


Setelah membaca habis artikelnya, Hwa Min menggulirkan kursornya ke laman komentar dan terpana melihat betapa banyaknya orang yang mendukung Doyoung.


Bukankah dia si Robin Hood itu? Yang membagi-bagikan uang curiannya pada orang susah? Aku tak menyangka pada akhirnya dia akan tertangkap. Sayang sekali.

Wah! Apa jaksanya sehat? Koruptor cuma didakwa lima tahun dan Kim Doyoung didakwa enam belas tahun!!

Kenapa dia harus setampan itu hanya untuk ke persidangan? 

Yang setuju Kim Doyoung jadi presiden tolong like komentar ini.

Jujur saja dia membantu lebih banyak orang di negara ini daripada pemimpin kita sendiri. Aku sangat kecewa dengan dakwaannya.

Bebaskan Kim Doyoung dan biarkan dia melakukan apa yang dia lakukan! Tindakannya benar! Harusnya para petinggi di negara ini belajar darinya!

Apakah aku satu-satunya orang di sini yang menonton televisi dan bertanya-tanya apa dia single? Kenapa orang secakep itu harus jadi maling.

Enam belas tahun? Wah Tuan Robin Hood, sia-sia sekali hidupmu!

Kalian cuma membela Kim Doyoung karena dia tampan. Coba kalau jelek, kolom komentar ini akan penuh hujatan.

Dia penjahat paling kuhormati seumur hidupku.


Hwa Min menggigit bibirnya menahan senyum. Bersyukur setidaknya Doyoung tidak dihujat di internet. Setelah membaca lebih banyak komentar, Hwa Min akhirnya mematikan laptopnya dan menghela napas. Ia bersandar di kursinya dan mendongak pada langit di luar jendela. Perasaan bersalahnya kembali datang, menggerogoti dadanya dan mencambukinya tanpa ampun. Rasanya benar-benar tidak adil. Bukan hanya untuk Doyoung tapi juga untuk dirinya sendiri.


Perasaan Hwa Min terus diselimuti awan kelabu selagi hari-hari berlalu. Makin lama makin pekat. Membuatnya gila. Ia merasa amat bersalah sampai tak mampu menatap wajahnya sendiri di cermin. Hwa Min berhenti mencari berita Doyoung di internet karena itu memperburuk kesehatan mentalnya. Namun bahkan saat ia tidak memikirkan Doyoung, saat ia berusaha menghindarinya, rasa bersalah yang mencabik-cabiknya tetap saja berkembang makin liar. Makin menjadi-jadi hingga membuatnya depresi.


Sampai akhirnya di suatu malam, kala ia memandangi peta Korea Doyoung di dinding kamarnya dengan mata sembap, sebuah pikiran ekstrim berlabuh di benaknya. Hwa Min langsung bangkit dan mencomot jaketnya dari kursi, kemudian berlari turun ke ruang tengah di mana orangtuanya berada dan berdiri menghalangi televisi. Kedua orangtuanya mendongak dan menatap horor sang anak, seolah ingin bertanya ‘ada apa’ tapi juga takut untuk mendengarnya.


“Aku sudah 25 tahun,” mulai Hwa Min dengan napas tersengal, membuat ayahnya langsung membenarkan posisi duduknya dengan wajah tegang. “Aku sudah dewasa. Aku bebas menentukan jalan hidupku, bukan begitu?”


“Hwa Min~a..”
“Aku mau pindah dari sini,” selanya tegas. “Aku sudah tahu ke mana akan pergi jadi tenang saja. Aku cuma butuh restu kalian.”


“Restu apa!” hardik ayah Hwa Min berang. “Jangan aneh-aneh atau kukirim kau ke rumah sakit jiwa! Lebih baik masuk ke kamarmu dan…”


“PILIHLAH!” Hwa Min memotong keras. Matanya ia pejamkan kuat-kuat sampai kelopaknya sakit. “Mau aku menyerahkan diri ke polisi dan minta dipenjara? Atau biarkan aku pergi dari sini?!”


Kedua orangtuanya membeku. Hwa Min menjambak rambutnya dengan frustrasi, membuka matanya yang merah berair kemudian bicara sambil menangis, “Aku benar-benar tak tahan dengan perasaan bersalahku. Aku tak bisa diam di sini dan melihat Doyoung menebus kesalahannya sendiri. Aku bukan korban, kalian tahu itu. Aku juga ikut mencuri, aku juga kriminal, aku…” Ia bersimpuh dan meraung di lutut sang ibu, lalu berpindah ke lutut sang ayah sambil melanjutkan, “Izinkan aku pergi, kumohon. Aku akan jaga diri. Aku akan baik-baik saja. Justru kalau kalian memaksaku tetap di sini, aku bersumpah aku bisa makin depresi lagi. Aku bersumpah aku bisa mati.”


Dan pada akhirnya, setelah pergolakan batin panjang, ayahnya menarik napas berat dan mengangguk. Ibu Hwa Min langsung menangis. Hwa Min mengusap wajahnya dan memeluk mereka bergantian, mengulang-ngulang kalimat terima kasih sampai bibirnya kelu. “Tolong jangan cari aku. Jangan lapor polisi. Jika sudah waktunya, aku akan kembali. Aku janji.”



*********



Senja menjelang malam, Hwa Min akhirnya berhasil menyetir meninggalkan Seoul. Ia telah menyimpan rute GPS di laptopnya untuk jaga-jaga apabila koneksi internetnya terputus. Berdasarkan sistem navigasinya itu, perjalanan darat tanpa henti dari Seoul ke Soyeonpyong akan menghabiskan waktu dua puluh jam dengan mobil. Namun Hwa Min yakin dengan kemampuan mengemudinya yang amburadul, juga kebutaannya akan nama-nama jalan, ia akan menghabiskan waktu berkali-kali lipat lebih banyak untuk sampai.


Setelah berkendara selama enam jam, bensin jeepnya habis dan laptopnya kehabisan daya. Hwa Min berhenti di pom bensin untuk mengisi bahan bakar dan singgah di rumah makan di sebelahnya untuk mencharger laptop. Saat itu sudah jam sebelas malam dan rumah makannya kosong melompong. Dia ada di distrik Daedeok di mana semua orang memakai dialek Chungcheong yang lucu. Pemilik rumah makan menawarkannya untuk menginap di motelnya di seberang jalan dan Hwa Min pun setuju. Dia punya satu tas penuh uang, lagi pula. Dia tak harus tidur di mobil yang dingin.


Kasur di motel itu nyaman sekali dan tahu-tahu saja ia terbangun saat matahari hampir tergelincir. Pemilik motel (sekaligus pemilik rumah makan) yang ramah nan baik membekalinya dengan empat lapis sandwich berisi bacon, tomat dan keju. Hwa Min tersentuh dengan kebaikan hatinya dan memutuskan untuk membayar biaya bermalamnya tiga kali lipat. Pemilik motel itu nampak terharu. Ia memberikan pelukan meremukkan tulang kepada Hwa Min sebelum gadis itu memanjat jeepnya dan melaju pergi.


Perjalanannya terasa amat panjang dan membosankan. Ia mengikuti navigator dari laptopnya sementara koleksi lagu bergenre rock alternatif milik Mark terus berputar-putar. Hanya ada sembilan belas lagu dari tiga musisi berbeda; Linkin Park, Radiohead dan Nirvana. Itu saja. Hwa Min sudah mendengar lagu creep untuk yang kedua puluh satu kali hari itu saat ia menyadari ia tersesat. Ia melewati jalanan blok yang sama berulang-ulang.


Tak ada yang bisa ditanya. Langit sudah gelap dan ia berada di distrik antah berantah di kota Gimpo. Navigatornya terus menyuruhnya putar balik saat ia sampai di lampu merah. Hwa Min mengomeli suara monoton wanita di navigasi saat ia disuruh putar balik lagi untuk yang ketiga kalinya dan nyaris membanting laptopnya karena kesal. Hwa Min benar-benar kelelahan. Akhirnya, Hwa Min mematikan mesin mobilnya di pinggir jalan dan memakan bekal sandwich-nya sebelum ketiduran menunggu pagi.


Kaca jendelanya diketuk-ketuk kasar dan praktis membuat Hwa Min melompat bangun. Matahari sudah tinggi dan ia mengulurkan tubuhnya dengan bingung dan tergesa ke pintu penumpang untuk menurunkan jendelanya.


“Ya?”
“Astaga. Kupikir kau mati. Apa kau baik-baik saja?”
“Ya. Aku cuma tersesat.”
“Mau ke mana memangnya?”
“Soyeonpyong?”
“Di mana itu?”
“Laut kuning?”


Pria itu mengerutkan kening. “Kau lurus saja ke depan. Di perempatan kedua langsung belok kanan. Ada pos polisi di sana. Kau bisa tanya jalannya. Mereka akan bantu.”


“Aku tak mau ketemu polisi.” Hwa Min menggeleng horor, melirik tasnya yang berisi uang puluhan juta dan senjata api. “Aku tak punya SIM.”


“Huh? Tak punya SIM?”
“Ya. Tapi terima kasih bantuannya. Aku akan cari rumah makan yang ada wifinya saja.”
“Kalau begitu ikuti aku. Aku juga mau cari rumah makan.”


Pemuda itu menangkap tatapan skeptis Hwa Min dan melanjutkan sambil setengah tertawa, “Aku tidak sendiri. Aku pergi dengan rombongan kampus, mau ke gunung.” Dia mengedikkan kepalanya ke mini bus yang terparkir tak jauh di seberang jalan. “Salah satu temanku curiga lihat mobimu berhenti di sini dan berhubung aku yang paling dekat dengan pintu, maka akulah yang mereka suruh untuk mengecek.”


Hening sejenak. Tatapan Hwa Min masih nampak ragu, nyaris menuduh.


“Tapi itu cuma opsi, oke? Kau boleh cari restoran sendiri. Hati-hati di jalan.” Pemuda itu menjauhkan kepalanya dari jendela dengan jengkel dan Hwa Min refleks berteriak.


“Oke, OKE! Aku minta maaf. Aku akan ikuti mobilmu. Terima kasih sudah mengajak.”


Pemuda itu menunduk lagi. Menanggalkan raut jengkelnya dan nyengir dari telinga ke telinga. “Sampai ketemu di restoran, kalau begitu.”


Namanya Se Hee, masih sembilan belas tahun dan ia membantu Hwa Min menemukan rute baru ke Soyeonpyong. Rombongan kampus Se Hee terdiri dari delapan orang, tiga di antaranya perempuan. Mereka semua berisik dan tak bisa diam, saling melempar makanan sambil mengumpat dan tertawa keras. Hwa Min dan Se Hee duduk di ujung meja. Bukan bermaksud besar kepala, tapi Hwa Min merasa anak ini sedang berusaha menggodanya. Hwa Min kukuh mengabaikan tatapan merayunya dengan terus memakan pangsit. Hingga tiba-tiba saja seseorang menyalakan televisi dan wajah Doyoung muncul di layar.


Hwa Min benar-benar lupa kalau sidang lanjutannya digelar hari ini. Agenda pemeriksaan Terdakwa. Dia memakai setelah jas hitam dan kemeja putih bermotif. Rambutnya licin dan mengilap karena gel. Penampilannya itu membuat Doyoung terlihat makin tampan dan elegan. Garis wajahnya yang lembut berbanding terbalik dengan sorot matanya yang tajam nan intens. Ia duduk rileks persis di depan Hakim dan menjelaskan motivasinya melakukan semua tindakan kriminalnya selama ini dengan suara tegas namun tetap tenang.


Semua orang di restoran terdiam sambil memandangi televisi. Semuanya kecuali Se Hee. Dia membelakangi televisi, cengengesan menggambarkan tipe cewek idealnya dengan detail yang memalukan. Pada dasarnya dia sedang mendeskripsikan Hwa Min. Rambut pendek sebahu, bibir mungil, mata bulan sabit, lebih tua.


Hwa Min memutar mata dan mendesah tak tahan, “Aku sudah punya pacar.”


“Oh ya?”
“Ya.”
“Lebih cakep dariku?”


Dia bahkan tidak cakep jika Hwa Min boleh jujur.


“Kau bisa lihat sendiri. Dia di belakangmu.”


Se Hee langsung menoleh ke belakang dan tak menemukan apa-apa selain Doyoung di televisi. Air mukanya langsung berubah. Hwa Min mengangkat alis, tak mengira cowok itu akan sebegitu peka. Hwa Min menunggunya mengajukan pertanyaan soal Kim Doyoung, namun Se Hee malah membuatnya tertawa.


“A-apa pacarmu sudah meninggal? D-dia hantu? Apa dia sungguh ada di belakangku sekarang?” Suaranya bergetar dan sepertinya anak itu tidak sedang bercanda.


Hwa Min mendesahkan tawa geli sembari menyambar tasnya. Lantas berdiri. “Aku harus kembali melanjutkan perjalananku. Senang berkenalan denganmu, Cho Se Hee-ssi.”



**********



Dugaannya benar. Hwa Min butuh waktu berkali lipat lebih banyak untuk sampai ke Soyeonpyong ketimbang hanya dua puluh jam. Dia tersesat berkali-kali dan menginap di motel nyaris setiap malam. Dan sekarang, setelah lebih seminggu ia berkelana, jeepnya mogok dan mengeluarkan asap. Hwa Min membuka kap mobilnya dan terbatuk memandangi mesinnya yang berasap. Sama sekali tak tahu harus apa.


Satu setengah jam kemudian, seseorang berhenti dan menawarkan bantuan. Ia minta dibelikan oli di supermarket dan tahu-tahu saja orang itu sudah menghilang saat Hwa Min kembali. Laptopnya ikut raib bersamanya. Syukurlah Hwa Min membawa serta tasnya ke supermarket, jadi uangnya masih utuh. Namun kehilangan laptop tetap membuatnya kesal dan frustrasi. Itu satu-satunya navigatornya. Hwa Min menangis di pinggir jalan sambil memeluk botol oli. Tingkah menyedihkannya itu membuat seorang pengendara yang lain berhenti. Kali ini orang itu benar-benar membantu. Setelah diutak-atik beberapa jam, Jeepnya kembali berfungsi dan ia bahkan digambari denah. Rupanya Hwa Min hanya harus melewati dua distrik lagi sebelum sampai di pelabuhan. Dari situ ia tinggal menyeberang dengan kapal dan tibalah ia di Soyeonpyong.


Hwa Min melanjutkan perjalanannya dengan perasaan campur aduk. Ia tak tahu apa kepergiannya ini merupakan hal yang benar atau malah keliru. Terlebih sekarang saat ia sudah semakin dekat dengan Soyeonpyong. Hwa Min masih menganggap dirinya sebagai pengkhianat bejat. Seorang pecundang berengsek yang melarikan diri dari rasa bersalah. Dan yah, mungkin memang begitulah dirinya.


Sesampainya di pelabuhan, ia harus mengisi formulir dan menunggu sampai ada orang lain yang mau pergi ke Soyeonpyong. Sebab pulau itu rupanya amat jauh dan tak ada yang mau mengantar kalau penumpangnya cuma satu. Maka Hwa Min tak punya pilihan selain menunggu. Ia tinggal selama empat hari di penginapan kecil di pelabuhan dan memekik senang begitu nahkodanya memberi tahu bahwa ia akan berangkat Sabtu malam.


Masih ada tiga jam sebelum pergi. Setelah mengemasi barangnya, Hwa Min keluar untuk membeli bekal di toko kelontong mungil seratus meter dari penginapan. Hwa Min mengambil sekotak susu moka dan beberapa bungkus onigiri tuna lalu menghampiri kasir. Dua orang di antrean beserta si kasir (yang semuanya wanita) sedang tekun menonton; mata terpaku ke satu titik sementara tubuh mereka bergeming dengan keranjang belanjaan yang terlantar begitu saja di konter.


Hwa Min mengernyit melihat situasi ini sebelum mengalihkan perhatiannya pada layar televisi yang tergantung tinggi di tembok dan terbelalak syok melihat apa yang sedang mereka tonton. Vonis Doyoung sedang dibacakan. Perut Hwa Min seketika mengejang. Kalimat demi kalimat pengantar dari sang hakim menembus telinganya seperti angin lalu.


Hwa Min merasa amat gugup sampai mau muntah. Onigiri di tangannya tanpa sadar ia remas sampai isinya keluar menjijikan saat vonis Doyoung dijatuhkan. Delapan tahun. Palunya diketuk tiga kali dengan nyaring. Semua orang di ruang persidangan berdiri dan bersorak protes. Doyoung menjatuhkan kepalanya dengan lemas ke telapak tangannya. Sekejap Hwa Min merasa dunianya berhenti. Ia bisa mendengar suara niit bunyi barcode dan racauan ibu-ibu di depannya yang mengeluh bahwa hukuman itu terlalu berat. Ia mendengar suara pembawa berita—yang melaporkan langsung dari pengadilan negeri Seoul—bahwa ia pamit undur diri. Hwa Min bisa mendengar segala suara di sekelilingnya sementara air matanya berlinang dan jantungnya serasa diremas seperti onigiri. Lalu tiba-tiba saja ia menjatuhkan diri, berlutut di lantai dan berteriak sampai membuat semua orang terkejut. Saat itu, Hwa Min benar-benar ingin melompat ke laut dan tak pernah kembali lagi.



**********



Dua tahun kemudian…


“Aku benar-benar kangen makan daging sapi,” keluh Hwa Min sementara ia berjalan bersisian dengan seorang wanita gemuk bernama Nyonya Sian. Dua anak laki-lakinya yang masing-masing berusia tiga dan enam tahun bermain kejar-kejaran mengitari mereka.


“Aduh. Jangan bilang begitu, dong! Mulutku tiba-tiba jadi berair nih—YAH! Nam Jun Ho jangan kencang-kencang nanti jatuh.”


Hwa Min tersenyum dan mengulurkan tangannya mencoba menangkap Jun Ho yang berlari ke belakangnya, “Kapan suamimu kembali ke pulau? Kalau dia bawa oleh-oleh daging sapi berikanlah sedikit padaku.”


“Mana mungkin sih dia bawa daging sapi!” gerutu Nyonya Sian. “Lalu bagaimana dengan suamimu? Masih belum ada kabar?”


Senyum Hwa Min langsung menghilang. “Belum,” katanya sambil menunduk canggung.


“Memang dia melaut ke mana, sih? Sejak kau datang ke sini aku belum pernah melihatnya.”
“India,” ujar Hwa Min asal, berharap itu cukup logis.
“Serius?”


Hwa Min mengangguk-angguk. Tangannya mengaduk tas belanjaannya untuk mengambil plastik es kelapa dan buru-buru membuka dan menyeruputnya demi menghindari percakapan.


“Heh, Son Hwa Min, sampai ketemu besok, ya.” Nyonya Sian akhirnya menarik Jun Ho dan menggendong anak bungsunya, tersenyum berpamitan pada Hwa Min dan berbelok ke jalanan gang menuju rumahnya.


Hwa Min mengawasi kepergian wanita itu dengan getir. Padahal Nyonya Sian merupakan seseorang yang paling dekat dan paling ia percaya di pulau ini, namun Hwa Min tetap saja tak bisa berkata jujur padanya jika tak mau diusir.


Di pulau kecil ini, hanya ada seratus empat belas orang. Mereka adalah orang-orang mandiri yang masih agak konservatif. Seorang wanita yang belum menikah tidak dizinkan untuk tinggal sendiri. Jadi, mau tak mau, Hwa Min pun mengaku sudah menikah. Suaminya sedang melaut dan ia akan segera datang, akunya dua tahun silam, dan sampai sekarang masih belum datang juga. Beruntung para ketua adat belum ada yang menegurnya.


Hwa Min masuk ke pekarangan rumahnya yang mungil dan duduk di teras, memandang laut berhias burung camar dan langit sore yang cerah sambil menghabiskan es kelapanya. Sulit dipercaya, tapi ia benar-benar melakukannya. Ia menyewa rumah di Soyeonpyong dan tinggal di sini tanpa alat komunikasi. Tak ada ponsel. Tak ada laptop. Tak ada televisi. Yang ada hanya dirinya dan hatinya yang berdenyut nyeri, bersama angin yang bersepoi hangat dan alam yang indah seperti lukisan. Berharap delapan tahun segera berlalu dan mungkin bisa menyembuhkan rasa bersalahnya walau sedikit. Berharap apabila sudah waktunya ia kembali ke Seoul, ia akan punya cukup nyali untuk mencari Doyoung dan minta maaf padanya. Dan mungkin, jika Tuhan sedang baik-baiknya, Doyoung akan menerima permintaan maafnya itu dan tidak membencinya lagi.


Lamunan Hwa Min berakhir begitu minumannya habis. Ia berdiri dari duduknya, namun tak langsung masuk. Sebagai gantinya, ia berjalan ke sebelah rumah, mengecek keadaan kebun sayur yang sudah hampir dua tahun ini digarapnya sendiri.


Bersiul senang, Hwa Min menyirami tanaman wortel dan mencabuti rumput liar di sana. Hobi baru yang sangat baik, bukan begitu? Rasanya damai, nyaris terapeutik.


Setelah puas, barulah ia kembali ke teras, mengambil barang belanjaannya yang ditinggal di lantai dan masuk ke dalam rumah. Menyalakan sakelar lampu dan melenggang ke dapur.


Ada hawa tak menyenangkan yang menjalari lehernya saat Hwa Min tengah memasuk-masukkan barang belanjaannya ke kabinet dapur. Seolah seseorang sedang mengawasinya. Hwa Min sudah berkali-kali menoleh, mengecek ke belakang sofa dan ke mana-mana, namun tak menemukan siapa pun.


Hwa Min melongok ke ruang tengah untuk yang ketiga kali. Dadanya berdebar-debar dan bulu kuduknya meremang. Sambil menggeleng menenangkan diri, ia kembali ke dapurnya dan serta-merta terbeliak melihat seseorang di konternya. Kim Doyoung. Hwa Min terkesiap sampai dadanya sakit dan sebelum ia menyadari apa-apa, Doyoung sudah menariknya hingga berdiri di hadapannya.


Doyoung menghela pergelangan tangan Hwa Min ke dinding dan menghimpitnya. “Aku mencarimu, my dear,” katanya dengan suara rendah yang membuat seluruh bulu halus di tengkuk dan lengan Hwa Min berdiri.


“B-bagaimana bisa kau di sini? K-kau kabur dari penjara?”


Doyoung mendenguskan tawa. Ia mengangkat dagu Hwa Min dengan ujung senjatanya—sebuah pistol yang ia temukan di nakas, persis di samping tempat tidur gadis itu sendiri. Hwa Min amat mengenal pistol itu karena itu miliknya. Ia tahu pistol itu tidak kosong. Ada sekurang-kurangnya tiga peluru di dalamnya dan mengingatnya membuat Hwa Min menangis.


“A-apa kau mau membunuhku?” Suara Hwa Min bergetar. Keningnya dipenuhi peluh dan air matanya berlinang.


Doyoung tak menjawab. Ia merapatkan tubuh mereka dan menarik pinggang Hwa Min ke pinggangnya. Hwa Min bisa merasakan embusan napas Doyoung di wajahnya. Membelai pipinya dengan kehangatan yang ia rindukan.


“Kim Doyoung, aku tahu kau pasti membenciku.” Hwa Min melirik pistol di bawah dagunya dan berusaha untuk bicara tanpa tersedu, namun suara yang keluar dari mulutnya justru lebih ironis dari sekadar tersedu. Hwa Min merintih. “A-aku sudah menghancurkan hidupmu. Aku tahu. Kau boleh membunuhku. Demi Tuhan. Kau boleh melakukannya. Tapi izinkan aku menjelaskan dulu. Aku tidak menelepon polisi dengan handphone dari Yuta, aku…”


Pria itu memainkan pelatuk dan membuat Hwa Min langsung terkesiap diam. Air matanya mengalir bersama peluhnya dan Hwa Min bahkan tak tahu ia begini karena takut pada Kim Doyoung atau takut kematian.


Doyoung mendekatkan wajahnya dengan gerakan teramat pelan. Nyaris menyakitkan. Kaki Hwa Min hampir-hampir tak bisa menopang badannya karena terlalu tegang. Ia bersandar di tembok, menatap mata Doyoung sambil menangis. Pasrah pada apa pun yang pria itu hendak lakukan. Hwa Min memejam, menunggu Doyoung menarik pelatuknya, menunggu sebongkah peluru menembus tenggorokannya, namun itu tak kunjung terjadi.


Saat Hwa Min akhirnya membuka mata lagi, Doyoung tengah menatapnya sendu. Ia menghela napas sebelum memosisikan bibirnya semakin dekat di telinga Hwa Min, lantas berbisik rendah di sana, “Apa aku menakutimu?” katanya, lantas melempar pistolnya ke konter dapur di belakang pinggang Hwa Min begitu saja. Membuat Hwa Min terlonjak.


“Maafkan aku,” kata Doyoung lagi, menabrakkan bibirnya di kening Hwa Min singkat sebelum menarik bahu gadis itu dan memeluk rusuknya erat.


Hwa Min membeku. Ia benar-benar tak bisa memahami situasi ini. “Kau tak akan membunuhku?”


“Bagaimana mungkin aku membunuhmu!” kata Doyoung. “Dan tidak! Aku tidak kabur dari penjara. Masa tahananku sudah selesai.”


“Hukumanmu delapan tahun.”


Doyoung akhirnya menjauhkan diri dari Hwa Min dan memandangnya heran. “Yeah, vonis di pengadilan negeri memang delapan tahun,” kata Doyoung dengan suara semakin heran, “Lalu aku mengajukan banding. Kau tak dengar beritanya?”


Hwa Min terbelalak. Menatap Doyoung dengan senyum histeris namun tak bisa mengeluarkan suara apa pun dari mulutnya.


“Kau sungguh tak dengar beritanya?” tanya Doyoung lagi sementara Hwa Min menerjang memeluknya. “Aku keluar tiga belas hari yang lalu. Kukira kau akan menungguku di pintu keluar tapi kau tak ada. Jadi aku ke rumahmu. Aku mencoba lewat pintu namun orangtuamu syok berat melihatku. Jadi aku lewat jendela.”


Hwa Min tak bisa menanggapi apa-apa dan hanya terisak-isak di bahu Doyoung.


“Aku tak percaya kau benar-benar pergi ke sini.”
“Bagaimana kau tahu aku di sini?” tanya gadis itu dengan suara tersekat. Hwa Min benar-benar merasa mau meledak. Ia senang, juga sedih. Tercengang. Terguncang. Segalanya.


“Kau memajang peta yang kulingkari di dinding kamarmu. Jadi kupikir ke mana lagi?”


Hwa Min mengulurkan kepalanya untuk mencium bibir Doyoung, lalu menangkup pipi pria itu sambil tersedu-sedu bahagia. “Aku benar-benar merindukanmu.”


“Apalagi aku.”
“Kau tak marah padaku?”
“Aku mau,” Doyoung menghela napas. “Tapi tak bisa.”
“Maafkan aku.” Air mata Hwa Min berlinang lagi. “Aku memang menghubungi atasanku di kejaksaan, Baek Seongjoon, sehari setelah aku ikut denganmu ke tempat persembunyian. Waktu itu aku masih… bego. Satu-satunya hal yang kupikirkan hanyalah mendapat kejayaan di kantor dan…”


“Tidak, dengar. Aku marah bukan karena itu,” sela Doyoung, menyeka air mata Hwa Min dengan ibu jarinya kemudian memegang kedua tangan gadis itu erat. “Aku marah karena kau menghukum dirimu begini. Dan yeah, aku sudah tahu soal kau meneleponnya lewat telepon umum. Seongjoon sudah cerita.”


“Dia cerita?”
“Ya. Dia juga cerita kalau kau memberikan banyak bukti untuk meringankan hukumanku.”
“Kau berhak mendapatkannya. Justru seharusnya kau tidak dihukum. Seongjoon itu benar-benar….”
“Orang baik,” sambung Doyoung, tersenyum. Hwa Min mengerutkan kening. “Seongjoon mencarikanku penasihat hukum dan membantuku mengajukan banding. Ia menyusunkan memori bandingnya semalaman dan bicara personal pada hakim ketuanya agar hukumanku diringankan.”


Itu menjelaskan kenapa Seongjoon mengundurkan diri menjadi jaksa utama kasus Doyoung. Karena ia ingin membelanya. Hwa Min bergeming menatap lantai, merasakan perasaannya melega dan memberat di saat yang sama. “Begitu?”


“Ya.”
“Lalu apa kau sudah menemui Jaehyun, Yuta dan Mark? Aku tak bisa mengontak satu pun. Mereka pasti sangat membenciku sekarang.”


Doyoung menggeleng. “Belum,” katanya. “Tapi aku yakin mereka tak membencimu. Aku yakin mereka diam-diam menginginkan ini, menginginkan kebebasan. Dan aku yakin mereka baik-baik saja. Jaehyun masih di Amerika Serikat, kuramal. Mengurus cabang perusahaannya. Yuta tinggal bersama kekasihnya. Mungkin sudah dapat kerjaan bagus sekarang. Mark bekerja di laboratorium favoritnya, Stein Lab. Menjadi ilmuwan hebat dan beli segudang lolipop dengan uang sendiri, mungkin.”


Hwa Min tersenyum terisak. Walaupun semua itu hanya prediksi, hanya kemungkinan-kemungkinan terbaik dari sekian banyak kemungkinan, namun tak dipungkiri perkataan Doyoung berhasil menenangkan hatinya. “Aku merindukan mereka.”


“Kita akan menemukan mereka, aku janji. Pertama-tama, bisa kau jelaskan padaku kenapa kepala adat di sini mengira aku suamimu? Dan… seorang… pelaut?”


Hwa Min terkekeh. “Kau menemui kepala adat?”


“Ya. Aku tanya apa ada penduduk baru bernama Son Hwa Min di sini. Lalu saat kubilang namaku Kim Doyoung, mereka langsung menyambutku dengan sukacita. Menanyaiku apa yang kudapat setelah bertahun-tahun melaut.”


“Lalu apa yang kau katakan?”
“Yah, kubilang aku dapat banyak hikmah. Dan wajah mereka langsung berubah.” Kekehan Hwa Min langsung meledak menjadi tawa geli. “Tapi dengar, my dear, aku lebih dari sekadar bersedia menjadi suamimu, aku senang luar biasa, sungguh. Hanya bingung.”


“Aku akan jelaskan padamu sambil makan malam?” tawar Hwa Min. “Kau mau makan malam?”


Doyoung menarik pinggang Hwa Min untuk mencium keningnya, lantas tersenyum lebar. “Dengan senang hati, istriku.”



*********



Dengan rambut basah kuyup dan handuk putih yang memeluk pinggang, Doyoung keluar dari kamar mandi dan memandang Hwa Min. Senyum miring yang tersungging arogan di sudut bibirnya menunjukkan bahwa ia tahu persis apa yang sedang ia lakukan—serta apa efeknya bagi Hwa Min saat ini. Doyoung berjalan mendekat dan Hwa Min mengejang di ujung ranjang.


“Keringkan rambutku,” pintanya, berhenti di hadapan Hwa Min dan mengerjapkan matanya dengan lugu. Jelas-jelas tahu betapa lemahnya Hwa Min akan hal itu.


“Jangan kekanakan! Kau bisa melakukannya sendiri.”
“Serius? Setelah menjebloskanku ke penjara, begini sikapmu padaku?”
“Astaga!” pekik Hwa Min. “Apa kau akan menggunakan rasa bersalahku sepanjang hidupmu untuk memerasku?!”


Doyoung mengangkat bahunya tak acuh, “Mungkin.”


Hwa Min mendengus, namun tetap berdiri untuk mengambil handuk lain yang terlipat di lemari. Doyoung duduk menggantikan posisi Hwa Min di ranjang. Matanya mengawasi sang gadis, dengan sabar menunggunya kembali.


Hwa Min merangkak di ranjang lewat sisi yang lain dan duduk di belakang Doyoung sebelum mulai menggerak-gerakkan handuk di rambutnya. Itu benar-benar menyenangkan. Doyoung menikmati sepenuh hati sensasi ini. Tangan Hwa Min yang menjalar di rambutnya membuat perasaannya hangat dan tenteram.


“Pertanyaan ketiga,” kata Hwa Min di sela-sela gerakan tangannya.


Doyoung menoleh padanya dengan kening berkerut, penuh tanya, sebelum akhirnya teringat akan janjinya dua tahun silam. “Kau belum lupa, rupanya.”


“Takkan pernah lupa.”
“Oke.” Doyoung mengubah posisinya menjadi menghadap Hwa Min. “Apa yang mau kau tanyakan, my dear?”


Hwa Min membersihkan tenggorokannya sebelum bicara dengan suara rendah, “Maukah…” Ia menggigit bibirnya, suaranya makin pelan lagi, “kau tinggal di sini? Bersamaku?” Itu bukan pertanyaan, tapi tawaran. Tangan Hwa Min perlahan-lahan berhenti, dadanya bergemuruh dan ia memandang Doyoung penuh antisipasi.


“Tidak.”


Hwa Min merasa jantungnya jatuh ke lantai. “T-tidak?” ulangnya, berusaha tidak terdengar terlalu kecewa.


“Ya. Aku tidak mau tinggal bersamamu di sini,” ucap Doyoung lancar. “Aku mau tinggal bersamamu di Seoul. Sekarang aku sudah bukan buronan lagi. Untuk apa kita tinggal di pulau terpencil begini! Memangnya kau tidak kangen nonton tv? Atau main game online di PC?”


“Astaga!!” Hwa Min memegangi dadanya dan melemparkan handuknya ke muka Doyoung. Doyoung terkekeh sambil mengambil handuk itu dari wajahnya.


“Lagi pula Seongjoon menawarkanku kerjaan di kepolisian. Dia bilang kemampuan investigasiku bagus.”
“Jangan bercanda!”
“Aku serius. Pikirkan ini! Dalam beberapa hari, kita akan memulai hidup normal kita di Seoul. Menikah sungguhan. Punya pekerjaan sungguhan. Menyewa apartemen di Gangnam dan pergi belanja bulanan tiap minggu pagi. Kita akan seperti pasangan manis di drama.”


“Kita akan lebih manis dari itu.”
“Yeah, tentu saja.” Doyoung mengangkat tangannya membelai pipi Hwa Min. “Intinya, sudah cukup menghukum diri sendirinya. Kau tak bersalah, lagi pula.”


“Kau harus berhenti mengatakan aku tak bersalah. Kita sama-sama tahu aku berkhianat padamu.”
“Yeah, tapi tahukah kau aku sempat mempertimbangkan opsi untuk menyerahkan diri ke polisi? Dengan begini kau membuat segalanya lebih mudah.” Hwa Min memberikan tatapan skeptis tak percaya dan Doyoung berusaha meyakinkan, “sudah kubilang padamu, aku tak mungkin mencuri dan bersembunyi seumur hidupku. Aku juga ingin bisa hidup normal tanpa takut dibekuk polisi. Aku ingin ke bioskop dan makan di restoran tanpa harus menutupi muka. Itulah alasan utamaku ingin cari pulau yang jauh dari Ibu Kota. Namun sayang sekali kita salah pilih pulau, sepertinya, tapi yeah, itu bukan masalah lagi sekarang. Toh aku sudah menjalani masa tahananku. Tak ada lagi yang akan mengejarku. Aku bisa bernapas lebih lega dan hidup lebih nyaman sekarang. Berkatmu.”


“Kau serius, kan? Itu bukan sekadar kata-kata penghiburan?”
“Aku serius. Rasanya seperti terlahir kembali. Seolah aku diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki diri.”


“Jika itu maumu maka aku siap membantumu memperbaiki diri.”
“Tidak, itu bukan tugasmu. Tugasmu adalah menggenggam tanganku dengan erat sementara aku memperbaiki diriku sendiri.”


Hwa Min tersenyum, menarik handuk dari tangan Doyoung dan mulai mengeringkan rambut pria itu lagi. “Jadi kita akan pergi dari sini? Besok?”


“Entahlah. Tapi aku yakin tidak besok.”
“Lusa?”
“Mungkin tidak secepat itu?”
“Lalu kapan?”
“Minggu depan? Setelah kita puas berbulan madu?” Doyoung menggigit rongga mulutnya. Menelengkan kepala sambil melemparkan seringaian liar yang manis. “Bukankah itu hebat? Setidaknya di satu tempat di dunia ini, kita dianggap sudah menikah? Bagaimana bisa kau berbohong soal sesuatu sebesar itu?”


“Aku cuma bilang suamiku sedang melaut dan mereka langsung percaya.”
“Suamiku,” ulang Doyoung seolah sedang menggarisbawahi. “Rasanya bahagia sekali mendengar kata itu dari mulutmu.” Ia menarik handuk dari tangan Hwa Min dan melemparnya ke belakang. Sorot matanya menggelap. Doyoung merangkak mendekati Hwa Min sambil mengeluarkan seringaian khasnya. Hwa Min menelan ludah. Ia sudah membayangkan situasi ini di antara malam-malamnya yang sunyi, membayangan Kim Doyoung merangkak di atasnya dan menciumnya penuh gairah. Namun saat bibir Doyoung akhirnya menyentuh kulitnya, Hwa Min tertegun.


Doyoung tidak menciumnya seperti yang gadis itu harapkan, tidak panas dan penuh gairah sebagaimana fantasinya pada malam-malam belakangan. Sebagai gantinya, Doyoung menekankan bibirnya dengan lembut ke ujung jari Hwa Min dan ke bulu-bulu halus di balik tengkuknya. Bibirnya menggerayang tipis di telapak tangan, lalu ke lengan, melintasi tulang selangkanya yang menonjol sebelum mencium sepanjang lehernya.


Ada rasa terbakar yang tertinggal di kulit Hwa Min saat bibir Doyoung meninggalkannya. Rasa terbakar yang menyenangkan. Jari Hwa Min tenggelam di rambut Doyoung sementara bibir puitis sang pria naik lagi ke rahangnya, halus, anggun, tak tergesa, ke pipi, dan akhirnya dia berhenti di depan wajahnya. Mereka bertatapan dan jantung Hwa Min serasa berhenti.


“Kau punya ruang tersendiri di hatiku yang tak bisa dijangkau orang lain. Kau tahu itu?” kata Doyoung dalam bisikan samar. Hwa Min menggeleng pelan.


“Tidak tahu?” Doyoung merendahkan kepalanya guna mencium Hwa Min, kemudian mendesahkan napas dan kembali mengangkat kepalanya, menatap manik matanya dalam-dalam, lembut, nyaris memuja. “Sekarang sudah tahu? Kaulah satu-satunya hal baik yang terjadi padaku di muka bumi. Bisa apa aku tanpamu, my dear.”


Hwa Min balas memandangnya dengan bibir merekah, kepalanya menggeleng sementara dadanya naik turun tak sabar. “Tak bisa apa-apa. Jadi jangan pernah tinggalkan aku.”


Doyoung tersenyum dan matanya berkerut membentuk bulan sabit yang manis. Hwa Min terpana sejenak sebelum mengalungkan lengannya di leher sang pria, lantas bertanya lirih, “Bisakah kau menciumku lagi?”


Doyoung menatapnya dari balik bulu matanya yang tebal dan lentik. Kemudian mengangguk, membiarkan bulan sabit di matanya muncul lagi. “As you please, my dear.”



END



YEYYY!!! Makasih banyak buat yg udah ngikutin GOOD CRIMINALS dari awal..



Mari kita anggap ramalan Doyoung bener. Jaehyun, Yuta sama Mark udah bahagia dgn hidup masing2~



Aku belom ada rencana bikin series baru btw, jadi entah kapan bisa publish publish lagi..



Semoga bisa cepet dapet ide buat nulis something lagi yaaa^^ See You babay

  

Comments

Popular Posts