Businesship Part 2



Jaehyun dan Sanghyeon meninggalkan Korea hari Kamis pagi dan menghabiskan hampir dua belas jam di udara sebelum akhirnya mendarat di Bandara Internasional McCarran di Las Vegas. Karena perbedaan waktu yang luar biasa (Seoul lebih cepat 16 jam) maka mereka pun tiba di sana pada dini hari di hari yang sama.


Sopir Jaehyun, seorang pria asal Orlando bernama Kurt, sudah menunggu di pintu kedatangan saat mereka tiba. Ia membawa dan memasukkan semua koper dengan telaten ke bagasi sebelum mengantar keduanya ke penthouse mewah milik Jaehyun yang berada persis di jantung kota.
  

Menara apartemen itu memiliki dua puluh dua lantai dan Jaehyun adalah pemilik keseluruhan lantai sebelasnya. Dengan akses lift pribadi, mereka naik ke lantai tersebut dan ketika pintunya terbuka, seketika Sanghyeon merasa udara di sekelilingnya tersedot habis ke angkasa. Ia terkesiap dan melirik Jaehyun dengan senyum merekah. Lantainya terbuat dari marmer dan langit-langitnya dilukis dengan fresco. Ada lampu gantung raksasa di tengah ruangan, bertahtakan emas dan berlian yang melingkar-lingkar. Luas bangunan itu mungkin lebih dari 1.500 meter persegi dan Sanghyeon tak bisa mengatupkan mulutnya sama sekali.


Dari ketinggian dua ratus kaki, pemandangan yang tersaji di hadapan mereka benar-benar bukan main. Dindingnya terbuat dari kaca tebal, menjulang megah sampai ke langit-langit, memamerkan keindahan kota Las Vegas yang tak pernah tidur. Persis di depan kaca itu, terdapat teras yang terhubung langsung dengan infinity swimming pool pribadi, melengkung indah menyongsong langit. Saat itu, matahari mulai naik dan cahaya jingga yang halus membias di seluruh kaca, jatuh di kolam renang dan membuat airnya nampak gemerlapan seperti kristal.


“Saya akan tunjukkan kamar Anda.”


Sanghyeon mengangguk pada Jaehyun sebelum mengekornya sembari menarik koper.


Kamarnya berada persis di ujung lorong. Sanghyeon hampir menangis begitu Jaehyun membuka pintunya. Dengan ranjang besar di tengah, kamar mandi kaca dan perapian bergaya Eropa, kamar itu nampak begitu mewah dan berkelas. Dinding kaca di sekelilingnya ditutup gorden emas. Cahaya mentari mengintip dari celah-celah kecil dan membuat lantai marmernya gilap gemilap. Ruangan itu luas dan penuh gaya. Memanjakan mata.


“Acara pertama yang harus kita datangi baru ada besok malam. Anda bisa istirahat dulu sekarang,” kata Jaehyun saat Sanghyeon tengah membuka pintu kamar mandinya yang transparan. “Di lantai bawah ada Swedish spa, perpustakaan, gym dan bioskop indoor. Anda bisa pergi ke sana kalau mau. Itu semua fasilitas gratis untuk pemilik penthouse di sini.”


Sanghyeon menutup kembali pintu kamar mandinya dan tersenyum pada Jaehyun.


“Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan panggil saya.”
“Terima kasih banyak, Jung Jaehyun-ssi.”
“Selamat istirahat,” kata Jaehyun seraya menutup pintu.
“Anda juga.”



*********



Sanghyeon menjaga mulutnya agar tetap tersenyum sepanjang hari, berusaha membalas gurauan yang dilontarkan kepadanya dengan cerdas dan memberi kesan baik pada semua tamu penting di undangan. Acaranya membosankan. Instrumen klasik yang mengalun samar dan keramahan palsu semua orang membuatnya muak. Para pebisnis berdasi mahal yang berpencar di ruangan ini tak sungkan menjilat satu sama lain demi kesejahteraan masing-masing. Yeah, termasuk Jaehyun.


Satu-satunya hal yang membuat Sanghyeon bisa bertahan selama tiga belas jam terakhir ini adalah kehadiran Jaehyun di sisinya. Telapak tangannya yang besar dan lembap tak pernah meninggalkan punggung Sanghyeon, menggiringnya ke sana kemari sembari mendiktekan CEO perusahaan apa yang sedang mereka tuju dan jenis perbincangan apa yang diharapkan dimiliki bersamanya.


“Ini yang terakhir untuk malam ini. Christian Miguel, pemilik resort ini. Saya berencana membeli 20% sahamnya tahun depan,” bisik Jaehyun, tangannya membelai bahu Sanghyeon selagi mereka berjalan menghampiri pria berambut putih tersebut. Sanghyeon bisa merasakan aliran listrik merambat di tulang punggungnya hingga membuatnya merinding. Ia menelan ludah dan mengangguk.


Mr. Miguel, good evening, sir. Nice to meet you.” Jaehyun menyapa dengan antusiasme dibuat-buat dan menjabat tangan Christian Miguel yang nampak berseri-seri. Ia lalu memperkenalkan Sanghyeon dan mereka pun mulai bercakap-cakap layaknya rubah.


Sanghyeon memainkan perannya sebagai calon tunangan Jaehyun sebaik mungkin. Ia tak menyangka mengambil pendidikan bisnis ternyata sebegini berguna. Istilah-istilah bisnis sama sekali bukan hal asing di telinganya dan ia bisa mengikuti alur perbincangan tanpa masalah. Sanghyeon bahkan mampu turut berkontribusi dalam perbincangan itu hingga membuat Jaehyun terkesan—membuat Jaehyun terkesan adalah hal paling membanggakan yang dirasakan Sanghyeon sejauh ini. Walaupun acaranya membosankan, namun Sanghyeon tetap bersyukur ia punya kesempatan untuk hadir di antara puluhan pengusaha berpengaruh dari berbagai belahan bumi. Semua pengetahuan baru yang ia dapat malam ini pastinya akan sangat berguna jika ia benar-benar akan meniti karir di bidang bisnis nantinya.


“I’ve trully enjoyed our conversation but it seems like my girlfriend is tired already,” Jaehyun merangkul pinggang Sanghyeon dan menatapnya seolah sedang memberi isyarat. Sanghyeon langsung memegangi kepalanya pura-pura kelelahan. “I look forward to speaking with you again soon, Mr. Miguel.”


Suara musik dan perbincangan orang-orang memudar ketika Jaehyun dan Sanghyeon melangkah ke luar resort. Selewat tangga terakhir, Jaehyun langsung melepas genggaman tangannya dari Sanghyeon dan berjalan sendiri mendahuluinya sambil menelepon Kurt, sang sopir.


Mereka duduk berdampingan di jok belakang dalam diam. Jaehyun sibuk menjawab email di ponselnya sementara Sanghyeon melamun memandang ke luar jendela.


“Terima kasih banyak untuk hari ini, Lee Sanghyeon-ssi.” Jaehyun tiba-tiba bicara padanya. Sanghyeon berpaling dari jendela dan—entah untuk yang keberapa kali hari ini—terpana melihat pria di sebelahnya. Jaehyun memamerkan senyum manis yang membutakan mata dan rambutnya yang hitam tampak ungu di bawah cahaya jalan. Matanya yang redup terlihat amat teduh bagai oasis dan garis wajahnya nampak lebih lembut dari biasanya. Sanghyeon merasakan pipinya memanas sebelum balas tersenyum.


“Benar-benar kerja bagus, saya tak salah memilih Anda.”


Senyum Sanghyeon perlahan-lahan memudar. Sesuatu di dadanya rasanya baru saja retak. Kerja bagus, dia bilang.


Sepanjang hari ini, Jaehyun terus merangkul dan memperkenalkannya dengan embel-embel ‘calon tunangan’ atau ‘kekasih saya’ di belakangnya. Sanghyeon sudah mendengar status barunya itu berkali-kali dan semakin sering didengar, semakin ia mempercayainya. Maka di momen ini, tepatnya saat Jaehyun bilang ‘kerja bagus’ sebagaimana ia memuji sekretarisnya dua minggu silam, Sanghyeon merasa seperti disiram air dingin. Dia terlalu tenggelam dalam perannya sebagai calon tunangan Jaehyun sampai lupa bahwa itu tidak nyata.


“Saya baru ada agenda lagi besok lusa kira-kira pukul dua siang. Anda bisa beristirahat sampai hari itu,” katanya sopan. “Kemudian Selasa Minggu depan kita harus terbang ke Mississippi untuk jamuan makan malam.”


“Kita akan terbang selama tujuh jam hanya untuk makan malam?”
“Ya.” Jaehyun mendesah. “Dia investor penting.”
“Yeah, pasti penting,” gumam Sanghyeon.
“Seharusnya kami bertemu di acara barusan tapi ia berhalangan hadir dan akhirnya mengundang saya ke kediamannya.”


“Begitu.”
“Ya.”


Sanghyeon menunduk menatap mermaid dress-nya yang bernuansa gold dan silver kemudian menoleh lagi pada Jaehyun. “Saya kira saya juga harus berterima kasih pada Anda, Jung Jaehyun-ssi.”


Jaehyun memandangnya dengan kening berkerut. “Untuk?”


“Saya benar-benar buta dalam menentukan gaun. Terima kasih sudah membantu saya memilih gaun cantik ini. Untuk acara selanjutnya, saya mohon bantuannya.”


Jaehyun tersenyum. “Saya akan dengan senang hati melakukannya.”



**********



Sanghyeon menyelubungkan selendang sutranya begitu dia dan Jaehyun turun dari pesawat. Mereka tiba di Mississippi pukul tiga sore. Mataharinya amat menyengat dan dalam hitungan menit tubuh keduanya sudah dibanjiri keringat.


Makan malamnya akan dimulai empat jam lagi, Jaehyun dan Sanghyeon tak membuang-buang waktu dan langsung ke hotel untuk bersiap-siap. Sanghyeon memakai sundress kuning cerah yang tak memiliki lengan maupun kerah. Dengan garis leher yang lebar dan tali bahu yang tipis, gaun itu tak hanya nyaman namun juga terlihat anggun sekali di tubuhnya. Ada pita besar di belakang gaun tersebut dan saat Jaehyun masuk ke kamarnya, ia dengan senang hati menawarkan diri untuk membantu mengikatnya.


“Ini bukan acara formal, lagi pula setahu saya makan malamnya diadakan di luar ruangan, jadi pakaian kasual seperti ini adalah yang terbaik,” katanya sambil melonggarkan simpul pita di gaun Sanghyeon dan berusaha memosisikannya persis di tengah. Pria itu sendiri memakai kaus polo dan celana chino serba putih, slip on abu-abu tua dan arloji Louis Vuitton sebagai aksesoris. Tak diragukan lagi nampak menawan seperti biasa.


“Namanya Arthur Bezos. Dia bersedia berinvestasi 27% dari total biaya pembangunan cabang perusahaan saya di Las Vegas.”


“Sebagaimana kata Anda, dia jelas investor penting.”
“Paling penting,” Jaehyun menimpali, mengangguk dengan raut super setuju.
“Selain Tuan Bezos, apa ada tamu lain yang harus saya beri perhatian lebih?” Sanghyeon berbalik badan menatap Jaehyun.


Jaehyun nampak berpikir sejenak sebelum menunduk menatap Sanghyeon dan tersenyum lembut, lantas menggeleng. “Tidak ada, saya rasa. Tapi sebenarnya saya juga tak tahu pasti siapa saja yang dia undang untuk makan malam ini. Jika di sana saya melihat seseorang yang saya kenal, saya pasti akan langsung memberi tahu Anda.”


“Baik.”


Ketika Jaehyun dan Sanghyeon tiba di tempat tujuan, tempat itu masih kosong. Seorang pelayan mengantar mereka langsung ke meja makan panjang yang sudah didekorasi dengan bunga-bunga dan taplak berbordir di halaman belakang. Pelayan itu menuangkan anggur dan mengatakan bahwa Tuan Bezos akan turun sebentar lagi.  


Beberapa menit kemudian, tamu-tamu undangan yang lain mulai berdatangan memenuhi meja. Rupanya Tuan Bezos mengundang lebih banyak orang dari yang Jaehyun kira. Semuanya datang berpasang-pasangan dan dalam hati, Jaehyun amat bersyukur karena sudah mengikuti saran konsultan perusahaannya, Choi Minho untuk mencari pasangan. Tak terbayang akan secanggung apa jika ia datang sendiri. Topik pembicaraan yang bisa dikatakan padanya pun jadi tak seluas sekarang. Pasti mereka akan membahas hal-hal yang membuatnya tak nyaman, atau bahkan, yang lebih buruk, sepenuhnya mengabaikannya.


Jaehyun tersenyum geli seraya menyesap anggurnya sementara Sanghyeon menceritakan pengalaman lucunya saat berlatih Capoeira. Gadis itu bicara dengan antusias dan berhasil membuat hampir seluruh orang di meja larut dalam ceritanya dan tertawa bersamanya. Istri dari seorang pengusaha otomotiv asal Perancisyang namanya tak bisa Sanghyeon ejabahkan sampai menangis karena tak bisa berhenti tertawa.


Sekalipun Tuan Bezos belum juga turun, namun atmosfer di meja makan sudah amat hidup gara-gara ocehan Sanghyeon. Gelak tawa terdengar dari segala sisi, menimpali ucapannya dengan pengalaman masing-masing.


Saat Jaehyun pertama kali bertemu Sanghyeon, ia tak mengira gadis itu ternyata memiliki kemampuan bersosialisasi sebagus ini. Sanghyeon amat piawai mencairkan suasana dan tak pernah sungkan memulai obrolan duluan. Kepribadian supel dan senyum ramahnya selalu berhasil membuat orang di sekitarnya merasa nyaman dan jatuh hati.


Pukul tujuh lewat lima belas, sang pemilik acara akhirnya muncul juga. Semua orang berdiri untuk menyambutnya. Setelah ia duduk, belasan pelayan berseragam hitam dengan dasi merah berbaris keluar sambil membawakan hidangan pembuka.


Perbincangan ringan pun dimulai sementara mereka menyantap kaviar. Pemilihan lokasi makan malamnya benar-benar sempurna. Udara di luar amat sejuk. Selagi Tuan Bezos berceloteh soal masa kecilnya di kampung halamannya di Omaha, angin malam terus bersepoi hangat, menghasilkan suara gemerisik samar dari daun-daun kelapa yang bergesekan. Semua orang nampaknya sedang dalam suasana hati yang baik, mereka semua tersenyum dan mendengarkan cerita Tuan Bezos dengan khidmat. Namun walaupun begitu tetap saja ada beberapa undangan yang terlihat sekali mencari perhatiannya sampai-sampai tak malu mengeluarkan komentar-komentar yang ketara sekali menjilatnya. Mendengar salah seorang dari mereka mengatakan pujian berlebihan, Sanghyeon melirik Jaehyun sambil memutar mata. Jaehyun terkikik dibuatnya.


Saat makanan utamanya—ikan barramundi, kaserol kentang, daging asap, lobster dan berbagai jenis seafood lainnya—dihidangkan, Sanghyeon baru sadar bahwa Jaehyun tengah menggenggam tangannya. Gadis itu berusaha bersikap biasa saja meskipun secara mental ia sudah sibuk menampar dan mewanti-wanti diri sendiri supaya tidak terbawa perasaan hanya karena kontak fisik tak penting seperti ini. Semuanya cuma sandiwara. Cuma pura-pura. Bagaimanapun mereka ada di tempat umum. Di bawah pengawasan banyak orang. Jaehyun jelas menggenggam tangannya karena merasa sedang diperhatikan saja.


Sanghyeon tengah sibuk mengendalikan debaran jantungnya saat tiba-tiba saja Tuan Bezos menyerukan Bon appetit dengan suara ceria membahana hingga membuatnya tersentak. Jaehyun menurunkan tautan tangan mereka ke bawah, ke balik meja, lalu melepasnya begitu saja tanpa basa-basi apa-apa. Walaupun sudah diwanti-wanti, Sanghyeon tetap saja merasa hatinya yang semula hangat menjadi dingin seperti es. Ia mengambil sendok garpunya tanpa minat dan menatap piring makannya yang kosong dengan muram.


“Mau coba udangnya?” Jaehyun berbisik padanya dan tanpa menunggu jawaban, langsung memindahkan udang di piringnya ke piring Sanghyeon.


“Terima kasih.” Sanghyeon mengulum senyum dengan berat hati dan menundukkan kepalanya dengan hormat pada Jaehyun.


Jaehyun balas menunduk padanya.


Di tengah-tengah santapan main course yang tak henti-hentinya dikeluarkan, seseorang muncul dari pintu geser dan membuat Jaehyun terkejut luar biasa sampai tersedak.


“I’m very sorry, Mr. Bezos. My flight was delayed. I don’t wanna miss your dinner invitation so I came straight from the airport without changing my shirt.” Pemuda itu bicara dengan suara besar dibuat-buat dan langsung mendapat perhatian semua orang. “I hope my presence still welcome here.”


“Of course! Of course you are! Please have a seat, Mr. Seo.”


Setelah menjabat tangan Tuan Bezos dan melemparkan senyum cerah pada semua orang di meja, pemuda itu, Seo Youngho, langsung berjalan dan mengambil posisi duduk persis di hadapan Jaehyun walaupun masih banyak kursi kosong di mana-mana.


“Brother!” serunya pura-pura terkejut. Jaehyun mendengus dan langsung membuang muka. Youngho nampaknya puas dengan respons yang ia dapat dan menyeringai sebelum mengalihkan perhatiannya sejenak pada Sanghyeon. “Finally moved on from your Chinese doll, I See.”


Alis Sanghyeon berkerut. Dalam hati menerka-nerka siapa maksudnya Chinese doll itu.


Saat Sanghyeon menoleh, hendak bertanya pada Jaehyun, dilihatnya muka sang pria sudah mengeras. Tangannya terkepal dan ia menenggak sisa anggurnya dengan gerakan kasar.


“Apa Anda dekat pria di depan kita ini? Haruskah saya menya…”
“Tidak,” sambar Jaehyun, berbisik dengan rahang mengatup, “tidak usah disapa. Abaikan saja. Bukan orang penting.”


Sanghyeon tak pernah melihat Jaehyun seemosi itu dan mau tak mau ia jadi penasaran sendiri pada Youngho. Dosa macam apa yang sudah diperbuatnya sampai membuat pria setenang Jaehyun menjadi kehilangan kendali begini.


Setelah kedatangan Youngho, sisa makan malam itu menjadi tak kondusif lagi bagi mereka berdua. Tamu undangan lain masih sibuk bercengkerama dan berusaha membangun koneksi yang lebih intim dengan Tuan Bezos, namun Jaehyun sudah sepenuhnya menarik diri. Ia menyantap menu apa pun yang terhidang di hadapannya dalam diam sementara aura suram menguar dari tubuhnya seperti racun. Sanghyeon yang duduk di sebelahnya otomatis tertular. Ia diam seribu bahasa.


Malam semakin larut ketika akhirnya Tuan Bezos berinisiatif mendatangkan band jazz dengan pemain gitar dan saksofon untuk menghibur para tamu undangannya dengan live music. Hampir semua orang sudah meninggalkan meja dan berdiri menyebar di depan panggung, menikmati alunan musik jazz instrumental dan pemandangan laut yang tersaji dari halaman rumah Tuan Bezos yang terletak di dataran tinggi.


Selusin pelayan dengan seragam yang sama—baju hitam dan dasi kupu-kupu merah—berseliweran membawa nampan bundar berisi aneka koktail, sampanye dan beberapa tusuk buah ceri.


“Apa kita masih lama di sini, Jung Jaehyun-ssi?” tanya Sanghyeon sambil menahan kuap.


Jaehyun menoleh ke sekeliling dan mendesah. “Saya juga ingin kembali ke hotel secepatnya tapi kita tak mungkin jadi orang pertama yang meninggalkan tempat ini.”


“Ah, benar juga.” Sanghyeon menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha mengusir kantuk lalu kembali mengarahkan perhatiannya pada Jaehyun. “Omong-omong, kapan kita kembali ke Las Vegas? Besok? Lusa?”


“Besok, saya yakin. Saya sudah menyuruh Sicheng membeli tiket untuk penerbangan pagi. Saya belum mengecek ponsel saya lagi, tapi saya percaya dia sudah mendapatkannya.”


“Sekretaris Anda yang waktu itu?”
“Benar.” Jaehyun mengetuk-ngetukkan jemarinya di bibir gelas sebelum kembali membuka mulut. “Atau apa Anda ingin menginap dulu di sini? Melihat-lihat Mississippi?”


“T-tidak, itu tidak perlu. Saya yakin Anda pasti sibuk, pasti sudah banyak jadwal yang menunggu Anda di…”


“Apa kalian selalu sekaku ini?” Tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang mereka. Jaehyun dan Sanghyeon praktis menoleh. Youngho menyesap koktail dan tersenyum menyeringai sambil mendecap-decap puas. “Kalau ada yang dengar bisa-bisa hubungan kalian dikira cuma sekadar bos dan bawahan, loh!” lanjutnya sok peduli, “Atau jangan-jangan memang benar, ya? Apa kau menggajinya, Jaehyun~a?” Bibir Youngho meliuk membentuk cibiran.


Jaehyun mengabaikannya.


“Yah.. tapi siapa aku sampai ikut campur? Itu urusan kalian, bukankah begitu uh bolehkah aku tahu namamu nona…”


Tangan Jaehyun melesat cepat menangkis tangan Youngho yang terulur. Ia memicing tajam pada Youngho sebelum merebut gelas sampanye dari tangan Sanghyeon dan meletakkan gelas miliknya dan gelas milik gadis itu di nampan salah seorang pelayan yang lewat.


“Ayo pulang,” katanya dingin. Ia menarik tangan Sanghyeon dan berlalu begitu saja meninggalkan acara.
“Lain kali,” Youngho bicara dengan keras, membuat beberapa orang ikut menoleh, walaupun sebagian besar suaranya masih teredam oleh musik, “kalau mau pura-pura, cobalah lebih meyakinkan sedikit.”


Sekalipun langkah Jaehyun tak melambat alih-alih terhenti, namun Sanghyeon bisa merasakan cengkeraman Jaehyun menguat di tangannya karena ucapan Youngho itu. Mereka bertemu dengan Tuan Bezos di pintu geser dan Jaehyun susah payah bicara tanpa menampilkan ekspresi jengkel; kami harus segera pulang ke hotel untuk istirahat karena besok ada penerbangan pagi, pamitnya dengan raut menyesal. Tuan Bezos yang baik hati mengantar keduanya ke luar sambil mengucapkan banyak terima kasih dan menyuruh mereka berdua datang lagi.


Perjalanan ke hotel terasa amat lama dan mencekam. Sanghyeon yang tak tahan dengan suasana sedingin es tersebut akhirnya membersihkan tenggorokannya dan memberanikan diri bertanya. “Pria tadi…,” katanya dengan suara diulur-ulur, “… apa saya boleh tahu siapa dia?”


Jaehyun tak langsung menjawab. Rahangnya terkatup rapat.


Atmosfer di mobil pun mendadak makin suram lagi. Sanghyeon menyerong sedikit pada Jaehyun dan menundukkan kepalanya dengan raut menyesal. “Maaf jika menurut Anda pertanyaan saya barusan lancang. Anda tak perlu…”


“Sepupu saya.”
“Sepupu?”
“Ya, Seo Youngho sayangnya adalah sepupu saya.”
“Begitu rupanya.”


Hening lagi.


Sanghyeon meremas ujung sundress-nya sebelum memutuskan untuk mengakhiri keheningan yang mencekik itu dengan bicara lagi. “Anda sepertinya tidak begitu akur dengannya.”


“Tidak akan ada yang bisa akur dengan manusia seobsesif itu.”
“Obsesif?”
“Ya. Youngho tergila-gila ingin menjadi saya. Dia menginginkan apa yang saya punya dan mengikuti apa yang saya lakukan. Teman, pendidikan, pekerjaan, semua. Itu memuakkan. Saya juga tak mengerti bagaimana bisa dia diundang ke acara tadi. Tapi saya rasa itu menjelaskan betapa terobsesinya dia dengan keseluruhan hidup saya.”


Sanghyeon mengangguk-angguk penuh simpati sebelum dengan hati-hati mengutarakan pendapatnya. “Saya sangat menyayangkan sifat menjengkelkannya itu, tapi soal komentar terakhirnya tadi, mengenai gaya bicara kita, saya rasa dia ada benarnya, sepupu Anda itu.”


Sanghyeon memandang penuh harap pada pria di sampingnya. Namun Jaehyun diam saja. Setelah beberapa detik menunggu respons, Sanghyeon akhirnya mulai salah tingkah dan buru-buru menyangkal ucapannya sendiri, “Yah, tapi di sini kan kita lebih sering menggunakan bahasa Inggris jadi…”


“Saya juga berpikir begitu,” sela Jaehyun tenang. “Youngho memang benar. Gaya bicara kita masih terlalu kaku untuk orang pacaran—pura-pura pacaran, maksud saya, maaf.”


Sanghyeon menurunkan pandangannya ke pangkuannya dan menahan senyum. Jaehyun nampak kikuk sekali hingga membuatnya geli.


“Yeah, kalau begitu…” Jaehyun menelan ludahnya gugup sebelum menoleh pada Sanghyeon dengan gerakan sesantai yang ia bisa. “Mulai sekarang, kau harus bicara informal padaku.”


“Kau juga bicaralah informal padaku,” balas Sanghyeon lancar, seolah ia sudah menanti-nanti untuk bicara seperti ini sejak lama.


Jaehyun mendesahkan tawa, memamerkan lesung pipitnya yang dalam dan mulai terkikik. Sanghyeon meliriknya dan ikut terkikik.


“Okay, Sanghyeon-ssi.”
“Okay.”



**********



Bidang-bidang langit yang cerah terpampang megah di depan mata Sanghyeon begitu ia akhirnya kembali ke penthouse dan membuka seluruh gorden di ruang tengah. Selepas dari bandara, Jaehyun cuma mengantarnya sampai pintu lift sebelum pergi lagi untuk meeting. Sanghyeon menghabiskan waktu sendirinya untuk membongkar koper dan mandi air hangat.


Saat sore menjelang, ia membuat teh kamomil dan duduk di balkon kolam renang sembari menikmati pemandangan langit yang mulai berubah warna menjadi perpaduan ungu, merah muda dan jingga. Sorenya terasa begitu damai dan tenteram hingga tiba-tiba saja dering telepon mengejutkannya. Meletakkan cangkir tehnya, Sanghyeon berlari menghampiri pesawat telepon di meja mungil di sebelah sofa ruang tamu dan menyambarnya ke telinga.


[Selamat sore. Ada tamu untuk Anda di bawah.]


Walaupun bingung, Sanghyeon tetap memutuskan untuk turun ke lobi.


Seorang perempuan secantik boneka sedang duduk di sudut ruang tunggu yang tertimpa sinar matahari tenggelam. Ia menoleh pada Sanghyeon dan membuat rambut panjangnya yang seakan berwarna oranye itu berkibar dramatis. Sanghyeon sampai menahan napas dibuatnya.


Sambil menggendong anjing pudelnya—yang berbulu putih dengan mata oval hitam pekat, wanita itu berdiri dan menghampiri Sanghyeon dengan langkah tegas. Dia memakai sepatu hak supertinggi dan Sanghyeon hampir melangkah mundur karena merasa terintimidasi.


“Aku ingin bertemu Jaehyun,” katanya ketus. Sanghyeon hanya menatapnya, seratus persen kehilangan kata. Dilihat dari jarak dekat sekalipun, gadis ini masih saja terlihat seperti boneka hidup. Bahkan anjing pudelnya pun terlihat seperti boneka.


“Kau dengar tidak sih aku ngomong apa? Mana Jaehyun!” hardiknya. Anjing di pelukannya ikut menggonggong seolah turut menghardik Sanghyeon.


“D-dia belum pulang.”
“Begitu,” katanya jemu. “Ya sudah, aku tunggu di atas saja.”


Gadis itu lantas berjalan melewati Sanghyeon dan memasuki lift begitu saja. Ia menahan tombol liftnya dan memicing pada Sanghyeon seolah menyuruhnya cepat masuk.


Kendati merasa ada yang salah, Sanghyeon tetap memasuki lift dan mempersilakan wanita itu ke dalam penthouse. Saat itu ia benar-benar terpana sampai tak bisa berpikir jernih. Sanghyeon terus berpikir ia akan menyesali perbuatannya ini, membiarkan orang asing masuk ke penthouse tanpa seizin Jaehyun, tapi setiap kali melihat paras manis wanita itu, ia entah bagaimana jadi luluh sendiri. 


“Silakan duduk,” Sanghyeon rikuh memberitahunya. “Saya akan telepon Jaehyun. Tapi sebelumnya boleh saya tahu nama Anda? Dan ada keperluan apa?”


“Aku yang harusnya tanya begitu,” serangnya selagi duduk. Ia menyilangkan kaki dan menatap Sanghyeon tajam. Dagunya terangkat angkuh dan senyum sinis bermain di bibir merahnya. “Bagaimana bisa tiba-tiba dia memperkenalkanmu sebagai calon tunangannya? Apa kau mengancamnya? Mustahil kan selera ceweknya bisa sebegitu anjlok, maksudku, lihatlah aku baik-baik dan bandingkan dengan dirimu di cermin.” Ia menurunkan pandangannya pada celana Scooby doo Sanghyeon dan mendenguskan tawa mencela. “Bahkan langit dan bumi pun masih terlalu bagus untuk membandingkan kita.”


Hati Sanghyeon mencelus mendengar perkataan jahatnya itu. Tangannya tanpa sadar meremas celana piamanya kuat-kuat sementara otaknya kembali mengingat ucapan Youngho semalam. Pasti inilah sang Chinese doll.


“Yeah, selera Jaehyun benar-benar parah,” balas Sanghyeon, suaranya bergumam seolah sedang bicara dengan diri sendiri. “Bagaimana bisa dia mengencani boneka bermulut sampah seperti ini?”


Namun wanita itu jelas mendengarnya. Air mukanya berubah keras dan kecantikan yang sejak tadi membutakan Sanghyeon mendadak luntur seketika. “YAH! BICARA APA KAU!”


“Bukan apa-apa.” Sanghyeon tersenyum simpul. “Aku akan telepon calon tunanganku. Tapi aku minta padamu, selagi aku pergi, tolong jangan ambil barang apa pun di penthouse kami.”


Wanita itu menyeruak berdiri dan berteriak tak terima. Anjing pudel di pangkuannya melompat ke lantai dan menggonggong nyaring mengitari sofa. “DASAR BAJINGAN!”


“Berhenti teriak-teriak di rumahku atau kupanggilkan satpam untuk mengusirmu!” ancam Sanghyeon dingin, lantas mendecakkan lidahnya. “Wah, selera Jaehyun benar-benar.”


“Telepon saja Jaehyun, dasar keparat!” Ia bicara dengan rahang terkatup dan mata bergetar mengerikan, sudut bibirnya tertarik liar membentuk seringai culas. “Katakan Wang Yiren ada di sini!”



TBC


Pengumuman!!!!


I’ll be hiatus for the rest of the year


Sampai ketemu di 2020 uwu

Comments

Popular Posts