Inside of Us 1 of 2




Cast :  Mark Tuan  -  Hwang Jiyeong


Genre :  Romance, Sad (AU - Alternate Universe)




----------





Ia tidak terlalu menyukai fase baru dalam kehidupannya. Ia seakan merasa sangat benci dengan hidupnya. Sekeras apa pun dirinya mencoba untuk menerima fase baru tersebut, selalu saja berakhir pada penyesalan atas pilihan terbodoh yang telah diambilnya. Namun apa daya –dirinya bukan malaikat yang memiliki jiwa besar dan mampu menjalani kehidupan walaupun itu sulit– ia hanya seorang gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja menjajaki kehidupan baru sebagai seorang mahasiswi.



Setiap pagi –ketika kelopak matanya terbuka– helaan berat selalu lolos dari mulutnya. Rasa lelah dan tertekan selalu dirasakannya. Ia sama sekali tidak merasa senang dengan kehidupan sebagai mahasiswi yang baru saja dijalaninya, atau mungkin saja belum merasakannya. Apalagi saat kakinya melangkah memasuki kawasan fakultas, tubuhnya terasa semakin berat dan keiinginan untuk mengakhiri kegiatannya pun langsung muncul.



Seperti hari biasanya, ia tengah berada di lorong bangunan bertingkat dimana banyak orang silih berganti mendatangi bangunan tersebut. Sejak pagi tadi dirinya telah mendekam di tempat tersebut. Menghabiskan waktunya dengan mendengarkan berbagai penjelasan, mulai dari penjelasan teman sekelasnya hingga klarifikasi yang dilakukan oleh dosennya. Sampai saat yang ia nantikan pun tiba, saat dimana semua kegiatan mahasiswanya berakhir.



Tidak ingin membuang waktunya lebih banyak lagi, ia segera pergi meninggalkan kelas dimana lima fakultas berbeda berkumpul dan bersama-sama mempelajari mengenai kesehatan. Menyampirkan tas berisi buku catatan dan alat tulis di pundak kemudian berjalan menuju lobby dengan ponsel putih di tangan. Kakinya tetap melangkah hingga seseorang memanggil namanya. Ia menolehkan kepalanya dan menemukan tiga orang gadis yang tengah berjalan kearahnya.



Tsk. Sepertinya ponselmu sangat penting sampai mendengar panggilan kami.” Keluh gadis bertas biru.



Ia hanya tersenyum dan tidak berniat menanggapi keluhan tersebut.



“Kami tahu kalau ponselmu itu adalah alat yang paling ampuh untuk menghindari panggilan teman-teman barumu itu, tapi setidaknya-”



“Sudahlah Min Hyo, jangan ungkit hal itu lagi.” Selanya cepat. “Sekarang, kenapa kalian ada di sini? Apakah kalian sudah tak ada kelas?” Sambungnya.



Ketiga gadis itu refleks menggelengkan kepala. Lantas salah satu dari mereka menghampiri gadis itu dan merangkulnya.



“Kami datang menyambangi mu untuk merayakan terpilihnya seorang Hwang Jiyeong sebagai perwakilan mahasiswi untuk Rumpun Ilmu Kesehatan!” Serunya yang diikuti gadis lainnya sembari mengucapkan selamat kepada Jiyeong.



Keributan yang penuh dengan ucapan selamat itu berhasil menarik perhatian sekelompok pria muda yang ternyata sejak tadi terus memperhatikan gerak-gerik Jiyeong. Sementara Jiyeong sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ketiga sahabatnya katakan. Ia tidak mengetahui maksud perwakilan mahasiswi yang baru saja dilontarkan oleh sahabatnya, Park Eun Ra.



“Sebenarnya apa yang kalian bicarakan? Aku tidak mengerti.”



Mendengar pertanyaan Jiyeong membuat euforia ketiganya langsung lenyap. Mata mereka membulat menatap Jiyeong tidak percaya. Suara mereka seperti tertahan ketika menyadari bahwa sang sahabat benar-benar tidak mengetahui kabar mengenai dirinya. Hingga gadis dengan tas coklat berjalan mendekati Jiyeong untuk berdiri disampingnya.



“Jiyeong, kamu benar tidak tahu?” Tanyanya mencoba memastikan.



Jiyeong hanya menggelengkan kepala dan menatap sahabatnya meminta penjelasan. Melihat itu, sang sahabat mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu yang telah ia foto kepada Jiyeong.



“Jadi bagaimana? Kamu sama sekali tak mengetahui hal ini?” Tanya gadis itu lagi yang kembali hanya mendapatkan gelengan kepala.



“Sungguh aku tidak tahu! Bahkan saat juri datang menghampiri ku, aku menjawabnya dengan tidak tertarik.” Ungkap Jiyeong yang masih terus memerhatikan apa yang disimpan oleh sang sahabat di  ponsel.



Ok, apa pun itu yang jelas kini kamu sudah terpilih. Jaddi bagaimana kalau kita rayakan kemenangan mu?” Ujar Eun Ra yang berhasil membuat semangat dari kedua sahabatnya yang lain kembali membara. Mereka kembali bersorak dan melompat dengan Jiyeong yang tetap diam memerhatikan dengan bingung.



“Permisi..”



Suara seorang pria berhasil menginterupsi ketiga gadis tersebut. Membuat sorak-sorai mereka menghilang dan kepala ketiganya ditambah Jiyeong bergerak pada sumber suara. Empat pasang mata itu menemukan sekumpulan pria muda yang berdiri tidak jauh dari mereka.



“Kalau kami tidak salah dengar, tadi di antara kalian ada yang mengucapkan selamat karena telah menjadi perwakilan mahasiswi. Kalau boleh tahu siapa di antara kalian yang menjadi perwakilannya?”



“Jiyeong, Hwang Jiyeong.” Jawab Min Hyo.



Mendengar jawaban yang baru saja dilontarkan Min Hyo, sekelompok pria muda itu saling melempar pandang dan menganggukkan kepala. Sedengakan Jiyeong hanya bisa menatap kesal Min Hyo dan berencana untuk pergi andai saja Eun Ra tidak menahan tangannya.



“Kamu mau kemana JI-YEONG-IE??” Tanya Eun Ra dengan sengaja menekankan nama Jiyeong begitu ia menyebutkannya.



Tsk! Kenapa memanggilku seperti itu?” Sungutnya pelan tepat di telinga Eun Ra.



“Kenapa dengan mu? Apakah ad-”



“Shin Seul Bin, bisakah kau diam?! Ah.. aku harus pergi. Permisi.” Jiyeong kembali akan melangkahkan jika saja seorang pria tidak menghalani jalannya untuk menghentikan dirinya.



“Hai aku Mark Tuan, senang bertemu dengan mu Hwang Jiyeong.” Ujar pria itu sembari mengulurkan tangannya.



Sedikit ragu karena rasa canggungnya yang besar tapi tidak membuat Jiyeong menelantarkan uluran tangan Mark, mengingat sebanyak apa pelajaran mengenai etika yang ia dapatkan dari keluarganya dan jangan lupakan rasa tidak enak hati pada orang lain yang selalu menghantuinya.



“Hwa-ng Ji-Yeo-ng..”



*   *   *   *



Jiyeong menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Meregangkan otot-ototnya dan menghela nafas begitu saja. Ia memeluk lengannya sembari menatap langit-langit kamar yang bercatkan light blue. Sedang pikirannya penuh dengan kejadian mengejutkan yang baru saja dialaminya.



“Kenapa mereka mengajak pria itu dan teman-temannya?” Gerutunya.



Wajahnya kesal dan napasnya terhela dengan kasar. Ia beranjak dari ranjang dan bergegas memasuki kamar mandi dengan membawa handuk putih yang tergantung di samping pintu.



Selama beberapa saat berada di dalam dengan ditemani air yang cukup menyejukkan pikiran, akhirnya Jiyeong keluar dengan berbalutkan dress bergaris selutut. Gadis itu sembari berjalan menuju meja riasnya, ia mengusapkan handuk putih yang dibawanya tadi ke atas kepala. Ia keringkan rambutnya itu sebelum merias wajah dengan make up tipis yang selalu menjadi andalannya.



Setelah selesai ia mengambil tas berwarna coklat muda yang tersimpan di dalam lemari kaca. Menyampirkan tali tas tersebut pada pundaknya dan bergegas keluar dari kamar dengan sebuah kunci yang dalam genggaman.



Gadis itu memutar kunci yang dibawanya hingga mesin kendaraannya berbunyi. Ia mulai memutar kemudi mobilnya dan segera melaju pergi. Selama perjalanan menuju tempat dimana ia dan sahabatnya telah membuat janji, Jiyeong terus saja membayangkan hal yang nanti akan membuatnya merasa tidak nyaman.



*   *   *   *



Meja itu telah ramai dengan obrolan yang diselingi canda tawa. Sayangnya keseruan yang terjadi di sana tidak membuat Eun Ra melupakan salah satu sahabatnya yang belum juga terlihat batang hidungnya. Melirik sekilas pada jam yang terikat di pergelangan tangannya dan bergumam. “Kemana gadis itu tidak biasanya ia telat seperti ini?”



“Sabarlah, Jiyeong tidak seperti diri mu Park Eun Ra. Pasti ada hal yang membuatnya belum sampai.”



“Shin Seul Bin.” Desis Eun Ra. Gadis itu hendak memberikan sedikit pelajaran pada sang lawan bicara. Namun urung karena kemunculan seseorang yang berhasil membuat bola matanya ingin melompat ke luar.



“ASTAGA!”



“Hei Park Eun Ra, ada apa? Kenapa kamu-”



“Maaf aku terlambat.”



*   *   *   *



Sekumpulan pria muda tengah berkumpul memenuhi ranjang serta karpet besar dengan dua dari mereka memegang stick sembari memerhatikan layar didepannya. Kedua pria itu saling beradu mulut begitu pun dengan yang lainnya yang ikut menyuarakan dukungan mereka atas pertandingan sepak bola yang tengah mereka saksikan. Namun di tengah keramaian akan permainan yang mereka mainkan, salah seorang dari mereka malah terpaku memandangi ponselnya.



“Hei Mark. Aku lihat sejak kita sampai kau terus saja diam. Memangnya apa yang kau pikirkan?”


“Park Jinyoung, kenapa kau masih bertanya pada Mark? Sudah jelas jika dia tengah memikirkan HWA-NG-JI-YEONG, gadis yang akan menjadi pasangannya untuk pesta perayaan hari jadi universitas kita!”



“Benarkah itu Mark? Kau memikirkan gadis itu?”


Helaan napas terhembus kencang. “Ternyata benar dugaanku. Pasti seorang Mark Tuan telah jatuh hati pada gadis itu.”



Keributan mulai kembali muncul seiring dengan Mark yang masih setia menutup mulutnya rapat-rapat. Pia muda itu masih diam sembari menatap ponselnya yang ternyata tengah menampilkan foto seorang gadis. Hingga setelah beberapa saat diam, Mark membuka suaranya begitu sahabatnya terus saja membicarakan hal-hal yang membuat dirinya merasa tak nyaman.



“Bisa tidak kalian berhenti? Aku pusing mendengar ocehan kalian!”



Mark menatap jengkel para sahabatnya. Tatapan tidak mengenakan itu membuat sahabatnya seketika menghentikan ocehan mereka dan disusul dengan Mark yang menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut.



*   *   *   *



“Hwang Jiyeong, ada apa denganmu?”



“Apakah kamu benar Hwang Jiyeong?”



“Hei aku Hwang Jiyeong! Jadi berhenti menatap ku seperti itu?!” Kesal Jiyeong yang baru saja tiba.



“K..Ka-mu a-da ap-p..a de-ng.... ah, maksud ku, kenap-”



“Sejak kapan kamu menjadi terbata seperti itu, Eun Ra? Apakah kamu salah mak-”



Saat Jiyeong belum dapat menyelesaikan kalimatnya, sosok gadis yang sebelumnya tengah beradu mulut dengan Eun Ra menyelaknya cepat dengan melontarkan kalimat yang terdengar seperti sindiran untuk Jiyeong.



“Jangan mengalihkan pembicaraan Jiyeong, itu bukan dirimu.”



Jiyeong terhenyak begitu mendengar kalimat Seul Bin. Gadis itu terlihat akan membulatkan matanya lebar-lebar. Namun segera menormalkan kondisinya begitu ia tersadar dari rasa terkejutnya.



“Kenapa kamu memotong rambutmu?” Kembali, Seul Bin membuka suaranya. Gadis itu seakan tengah mencoba menelusuri bagian terdalam dari pikiran Jiyeong dengan menatap matanya tajam.



“A..Ak-u me-mo-tong ram-but-ku karena....”



Karena apa?” Kini giliran Minhyo yang bertanya karena terlalu penasaran akan alasan Jiyeong.



“Mm ka-re-na.. ka.... Ah! Karena aku ingin. Iya, lagi pula aku juga telah bosan dengan rambut panjangku. Aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda.” Terang Jiyeong yakin dengan menorehkan senyum manisnya.



Gadis itu segera menempati kursi yang tersisa dan meletakkan tasnya di atas meja begitu pun dengan tangannya.



“Iya tapi tidak harus kamu potong sependek itu bukan. Kamu kan bisa memotongnya sepundakmu, atau dua senti diatasnya sedikit, tidak usah kamu potong sependek itu Jiyeong. Dengan rambutmu seperti itu, kamu terlihat seperti seorang laki-laki!”




“Minhyo, aku me-”



“Tapi kamu terlihat lebih manis dengan rambut pendekmu itu. Aku suka.” Aku Mark yang berhasil membuat Jiyeong tersedak dengan kalimat yang akan ia katakan sekaligus membuat seluruh fokus beralih menatap keduanya bergantian.



*   *   *   *



Jiyeong mengacak rambutnya. Apa yang dikatakan oleh Mark di kafe tadi benar-benar membuatnya tidak percaya. Ia memotong rambutnya layaknya seorang pria hanya untuk membuat Mark berhenti melihatnya dengan pandangan yang membuat ia merasa tidak nyaman. Selain itu juga untuk menghindari dirinya dari hal-hal yang tidak diinginkan.



Namun apa? Kenyataannya, usaha yang ia lakukan sama sekali tak berpengaruh apa pun. Malah ia semakin tertarik ke dalam pusaran antara dirinya dan juga Mark. Pusaran yang mungkin akan membawanya ke suatu gurun yang sangat tandus.



Jiyeong kembali mengacak rambutnya ketika ia terbayang kemungkinan buruk yang akan menimpanya setelah ini. Gadis itu menghempaskan begitu saja tubuhnya ke atas ranjang dan menenggelamkan wajahnya di bawah bantal.


Argh!!



*   *   *   *



Jiyeong berjalan pada jalan setapak menuju fakultasnya. Hari itu ia tidak mengendarai mobil dikarenakan Eun Ra dan Minhyo memaksanya untuk berangkat bersama. Dan alhasil, pagi itu harus dilalui dirinya dengan bersusah payah menuju ruang kelas di lantai empat.



Sesampainya dirinya segera menempati tempat dimana pendingin ruangan mengarah. Seharusnya hal seperti ini tidak terjadi andai saja kedua sahabatnya itu tidak merengek kepadanya. Seharusnya pula tidak ada peluh didahinya jika saja ia berkendara sendiri. Namun nasi sudah menjadi bubur, telur telah menetas menjadi ayam, dan anak pangeran William pun telah lahir, jadi tidak ada gunanya lagi untuk Jiyeong menyesal.



Tidak lama setelah kedatangannya, seorang pria dengan usia berkisar empat puluh tahun datang dengan membawa satu map coklat yang merupakan lembar soal serta lembar jawaban untuk ujian hari itu. Jiyeong yang melihat sang pria hanya menghela napas dan segera mengeluarkan alat tulisnya dari dalam tas.



Pria tersebut sempat berbicara singkat di depan kelas, kemudian membagikan lembar soal dan jawaban kepada para mahasiswa termaksud dirinya. Jiyeong yang melihat lembaran-lembaran itu segera membaliknya dan mulai membaca soal-soal yang tertulis di sana. Entah apa yang ada di pikirannya saat membaca satu per satu soal-soal tersebut, yang jelas kini ia telah mulai menuliskan jawaban yang menurutnya benar untuk pertanyaan tersebut.



Jiyeong menghela napasnya. Kepalanya juga berdenyut –akibat ujian yang diikuti serta pembahasan yang baru saja berakhir– hingga membuat ia merasakan lelah yang berlebih. Jantungnya terus memompa darah dengan begitu cepat hingga membuat ia dapat merasakan desiran darahnya. Gadis itu memejamkan matanya dan setelahnya ia segera melangkah pergi meninggalkan ruang dekanat.



Jiyeong terus melangkah tanpa memerdulikan orang-orang yang tengah menatapnnya bingung. Saat itu ia seperti tengah mengenakan kacamata kuda serta sepasang headset yang membuatnya tidak dapat melihat selain ke arah depan dan mendengar ucapan orang lain. Saat itu perasaannya begitu kacau dan rasa lelah juga telah menggelayutinya. Ia tidak sanggup jika harus mendengarkan ucapan orang lain yang mungkin hanya membuat perasaannya semakin kacau.



Setelah melangkah jauh, akhirnya gadis itu memutuskan untuk menghentikan sebuah taksi  untuk mengantarnya pulang. Ia sedang tak ingin bertemu dengan siapa pun, apalagi dengan ketiga sahabatnya yang telah membuat ia harus pulang dengan menggunakan kendaraan umum.



*   *   *   *



“Jadi apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya salah satu dari mereka dengan cepat begitu ia mendudukkan tubuhnya pada salah satu kursi.



“Iya apa yang terjadi?”



Tiga orang gadis yang baru saja datang itu terlihat begitu penasaran dengan apa yang telah terjadi. Terlebih yang menjadi inti pembicaraannya adalah sahabat mereka yang telah menghilang bagai ditelan bumi. Bagaimana tidak, ketiga gadis itu terus saja menghubungi sahabatnya tapi tidak satu pun yang mendapatkan balasan.



“Hei Mark, cepat ceritakan. Kami juga ingin tahu.”



Mark menghela napas terlebih dulu sebelum memulai ceritanya.



“APA? Jadi kau dan Jiyeong harus menghabiskan waktu bersama di asrama yang telah disiapkan?”



“Wang Jackson bisakah kau tak berteriak?!” Peringat Mark yang merasa tidak nyaman dengan Jackson.



“Baiklah maaf. Aku hanya terkejut.”



“Sekarang kami tahu kenapa gadis itu tiba-tiba menghilang. Kalau begitu kami pergi dulu.” Ketiganya pamit dari sana.



Setelah kepergian ketiga gadis itu, tinggallah Mark dan ketiga sahabatnya. Mereka untuk beberapa saat hanya diam dan tidak melakukan apa pun. Keempatnya larut dalam pikiran masing-masing. Sampai pada akhirnya, Jaebum –salah satu  dari ketiga teman Mark– melipat kedua tangannya dan menghela napas.



“Lalu bagaimana dengan Stefany? Ketika kau dan Jiyeong terus bersama, tidak mungkin tidak ada sesuatu yang akan terjadi. Terlebih karantina ini akan dilaksanakan selama satu bulan penuh dengan kalian yang harus menempati asrama tersebut. Aku mengatakan ini bukan karena aku tidak mempercayaimu, tetapi aku mengatakannya sebagai seorang pria normal pada umumnya. jadi kuharap, kau dapat memikirkann ini Mark. Seorang perempuan akan sangat hancur jika perasaannya juga hancur dan itu disebabkan oleh seorang pria.”



To be continued



Wow.. another September 16th.
Happy 8th Anniversary guys!
Thank you so much for the 8 years and love you :)

감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts