Apology



Main Cast : Mark Tuan, Jung Jaehyun, Hwang Ji Yeong
Genre : Friendship, Romance
Length : Oneshot (4690 words)
Author : Salsa




**********




Roda sepeda milik Mark berputar dengan kecepatan motor balap di arena F1. Ia dengan lihai memiringkan setangnya ke kanan dan kiri untuk menghindari orang-orang—serta tiang listrik dan tiang-tiang lain yang menancap di jalan.



Hari ini, Mark punya jadwal UAS pukul delapan pagi, dan alarmnya yang berengsek malah memutuskan untuk tidak berbunyi. Alhasil bangunlah ia sepuluh menit sebelum kertas ujian dibagikan. Dengan seragam putih yang belum sempat dikancing, ia melompat ke sepedanya dan mengayuh pedal kendaraan roda dua itu sampai kakinya terasa melayang.


Bangunan kampusnya sudah terlihat, dan Mark sedikit banyak merasa lega. Ia hanya berharap masih punya cukup tenaga untuk mengangkat penanya nanti.


Saat itu, karena fokusnya sedikit buyar, ia tak melihat batu seukuran genggaman tangan di depannya, dan seketika itu juga sepedanya oleng. Mark tak bisa mengendalikan setang sepedanya yang membelok tiba-tiba dan BRUUKK.


“AWWW!”


Ia menabrak sesuatu, bukan hanya sesuatu, tapi juga seseorang—sebab suara ‘Aww’ itu bukan berasal dari mulutnya. Mark terpental ke sisi trotoar, dan perlahan-lahan bangkit sambil menahan rasa sakit. Ia tak punya waktu untuk meratapi sekujur badannya yang nyeri, UAS-nya sudah dimulai. Mark menoleh ke belakang dan melihat sepedanya tumpang tindih dengan sepeda lain.


“Astaga!” pekiknya. Ia menarik sepeda miliknya hingga berdiri, lantas terbelalak dan langsung melontarkan sumpah serapah.


“Oh, bajingan! Rantainya putus. Kenapa hari ini aku sial sekali? Bagaimana nih! Dasar!” teriak Mark sepenggal-sepenggal.


Saat memutar badan, Mark baru sadar akan ‘si pengendara yang lain’, yang berteriak ‘Aww’ dan ikut terjatuh bersamanya.


“Kenapa kau menabrakku?” teriak si pengendara yang lain itu, yang ternyata seorang perempuan. Gadis dengan celana jins hitam dan bomber pastel dan rambut yang dikepang. Mungkin seumuran dengannya, mungkin sedikit lebih muda. Dia punya bulu mata yang lentik dan paras yang manis, amat-amat manis hingga wajah mengomelnya bahkan berhasil membuat Mark tersenyum.


Mark terdiam selama gadis itu merunut kejadian dari sudut pandangnya; sedang diam di pinggir jalan, hendak menyeberang menggunakan sepeda, tiba-tiba ditubruk oleh sepeda lain yang bergerak seperti kuda liar. Mark tak tahu apa ia tersenyum selama ia terdiam. Yang ia tahu, jiwanya terpukau, dan sesuatu di kepalanya berbisik, hari ini tidak seburuk yang kau kira. Dan Mark setuju akan hal itu. Di antara semua orang di jalanan, setidaknya dia bersyukur gadis inilah yang ia tabrak.


Saat Mark tersadar, gadis itu sudah terkesiap dan langsung berhambur ke belakangnya. “Oh, Ya Tuhan! Bungaku!”


Sang gadis berlutut di hadapan sepedanya sambil memeluk buket-buket bunga—yang plastik pembungkusnya sudah lecak dan kelopaknya sudah tertiban sepeda hingga pipih dan berguguran—dari dalam keranjang.


Rasa syok di hati sang gadis terlampau dalam sampai-sampai ia terdiam sangat lama. Mark menoleh pada gedung kampusnya dan kembali tersedot pada kenyataan—UASnya sudah dimulai.


Mark segera menarik sepeda gadis itu.


“A-apa yang kaulakukan?”
“Kupinjam dulu, ya,” kata Mark sambil menduduki joknya.
“Apa-apaan!”
“Rantai sepedaku putus. Aku kuliah di sana. Aku bersumpah tidak mencuri.”
“Tidak boleh.”
“Oh, ayolah. Ini hidup dan matiku. Aku seharusnya sedang ujian akhir di dalam sana, tapi aku terlambat bangun. Kumohon.”


Ekspresi gadis itu serta-merta melunak. Ia melihat bagaimana paniknya Mark saat ini dan merasa iba. “Bagaimana kau mengembalikannya padaku?”


“Hmm, aku belum memikirkan i—Hei, tunggu, aku tahu,” kata Mark, kelewat riang mengingat ia sedang terlambat UAS. “Ikutlah denganku. Kau bisa langsung membawa sepedamu setelah itu.”


“Bagaimana dengan bunga-bungaku? Kau harus menggantinya.”
“Iya iya kuganti. Naiklah. Kita bicarakan di jalan. Aku benar-benar terlambat.”
“Lalu sepedamu?” tanya gadis itu seraya berjalan menghampiri boncengan sepedanya.
“Tidak akan ada yang ambil. Ayo cepat.” Walau enggan, gadis itu pun terpaksa naik. “Pegangan!” suruh Mark.


“Tidak mau.”


Mark menyeringai, “Yeah, ujung-ujungnya kau pasti akan pegangan,” katanya, lantas mengayuh.


Lima kayuhan berikutnya, gadis itu sudah berteriak dan refleks mencengkeram kemeja Mark, membuat pria di depannya menyeringai senang.



*********



“Oh? Belum sampai?... Tapi kurir kami sudah berangkat sejak pagi tadi... Kami akan segera mengirimkan yang baru… Ya, tentu, sebelum jam 4... Maaf atas ketidaknyamanannya.”


Tepat saat Jaehyun menutup teleponnya, lonceng di pintu masuk berbunyi. Ji Yeong masuk dengan wajah tertekuk.


“Hei, barusan Nyonya Yoo menelepon, dia bilang….”
“Semua bunganya rusak,” sela Ji Yeong. “Ada cowok aneh yang menabrakku. Gara-gara dia, semua bunganya jadi layu ketindihan sepeda.”


“Lalu bagaimana denganmu? Kau tidak apa-apa? Sudah kubilang aku saja yang antar bunganya.” Jaehyun menghampiri Ji Yeong dengan raut khawatir. “Apa kau terluka?”


“Tidak.”
“Sungguh?”
“Ya,” katanya sambil berputar, menunjukkan dari segala sisi bahwa tubuhnya masih utuh dan pada tempatnya. “Lebih baik kita membuat karangan bunga yang baru.”


“Kau benar. Jadi berapa yang rusak?”
“Empat buket.”


Jaehyun menghela napas. “Kita tak boleh buang waktu. Aku akan ambil plastik bening dan pita,” katanya seraya melesat pergi. Sementara itu, Ji Yeong bergegas ke etalase dan mengambil beberapa keranjang berisi lusinan mawar dan lili.


Mereka duduk bersila di lantai toko dan mulai merangkai.


Berkat ketekunan dan kerja sama yang baik, Jaehyun dan Ji Yeong berhasil menyelesaikan semua buket bunga itu hanya dalam waktu satu jam. Bukan hanya cepat, tapi hasilnya pun jauh lebih baik dari bunga-bunga yang rusak tadi.


“Aku tak percaya kita bisa secepat ini,” kata Jaehyun. Ia mengangkat kedua tangannya untuk ber-high five dan Ji Yeong menyambutnya sambil mengangguk kegirangan. Ekspresi puas dan bangga terpatri di wajah keduanya. Pujian terlontar tak habis-habis dari mulut satu sama lain.


“Oke, cukup terkesimanya. Aku sudah janji akan mengantar semua ini sebelum jam empat,” kata Jaehyun seraya berdiri.


“Kau yang antar?”
“Ya, kau jagalah di sini,” suruh Jaehyun. “Tunggu, sepeda kita tidak rusak, kan?”


Ji Yeong menggeleng sambil memberikan buket-buket bunga itu pada sang pria. “Tidak rusak, tapi tutup keranjangnya copot.”


“Tidak masalah.”
“Jaehyun, tunggu.”


Jaehyun yang sudah hampir membuka pintu toko pun menoleh. “Ada apa?”


“Setelah mengantar pesanannya, bisakah kau mampir ke alamat ini?” Ji Yeong menyodorkan secarik kertas.


“Ini alamat siapa?”
“Pria yang menabrakku. Dia berjanji akan ganti rugi.”
“Oh, baiklah.” Jaehyun menyisipkan kertas itu di saku jinsnya. “Aku pergi.”
“Hati-hati di jalan.”


**********


Mark tak tahu kapan gadis yang ia tabrak itu akan datang, tapi untuk jaga-jaga, ia sengaja memakai gel rambut dan parfum.


Tadi, sesampainya di kampus, Ji Yeong yang terus berteriak sepanjang jalan sambil memeluk pinggangnya itu langsung melompat turun dan mendorong dadanya sambil mengomel. Mark sebenarnya senang sekali melihat gadis itu berteriak-teriak di depan mukanya (oh, Mark bersumpah dia makin cantik saat dilihat dari jarak dekat, apalagi saat sedang marah), tapi apalah daya, kendati masih ingin melihat gadis itu mengomel, Mark terpaksa harus menyudahi adegan rom-com klasik ala novel picisan itu karena keperluan mendesak demi masa depannya. Jadi, hanya supaya ia bisa melihat gadis itu lagi, Mark dengan cerdas memberikan alamatnya dan berjanji untuk ganti rugi.


Dan di sinilah ia sekarang, di ruang tamu rumahnya, dengan kaus abu-abu yang bagus dan rambut kelewat rapi. Ia berkali-kali menoleh ke arah pintu. Menunggu sesuatu yang tak pasti. Dalam hati menyesal tidak meminta nomor ponsel atau alamat toko bunganya saja.


Mark sedang mencoba fokus pada tayangan di televisi saat pintu rumahnya diketuk. Pria itu refleks menoleh dan berdiri. Ia menghabiskan tiga detik penuh untuk memandangi diri di cermin, sebelum akhirnya beranjak menuju pintu dan membukanya sambil tersenyum lebar.


“Selamat so….re.”


Mark tertegun. Begitu pun pria di depannya.


“Kau... Jae~hyun, kan?”


Jaehyun merasa seperti terkena serangan jantung dan langsung mundur selangkah.


“Hei, apa kabar?” tanya Mark rikuh. Ia mengulurkan tangan dan menariknya lagi karena tak kunjung disambut.


“Kau orang yang menabrak Ji Yeong?” tanya Jaehyun setelah berhasil mengendalikan diri. Ia bicara dengan lantang dan tenang, sementara sekujur tubuhnya terasa ngilu dan kepalanya melolongkan sirine bahaya, seolah memohon agar si pemilik tubuh segera melarikan diri.


“Ji Yeong? Oh, namanya Ji Yeong?”
“Aku tak punya banyak waktu,” kata Jaehyun ketus. “Langsung saja. Total semua bunga yang kau rusak adalah ₩80.000.”


“Tunggu, memangnya Ji Yeong tak bilang padamu, ya? Kita sudah sepakat. Dia harus datang sendiri jika mau dapat uangnya.”


Jaehyun mendengus. Ia sudah menduga sikap Mark yang seperti ini. Tak mau berdebat lebih lama, ia lantas berbalik pergi begitu saja.


“Hei, tunggu.” Mark segera mengejar.


Jaehyun menaiki sepedanya dan bersiap mengayuh, namun Mark menahannya.


“Kita sudah lama sekali tidak bertemu. Kau mau mampir sebentar? Kita bisa minum kopi dan...


Jaehyun menggeleng tanpa menunggu Mark selesai bicara dan langsung mengayuh pedal sepedanya sekuat tenaga sampai melindas kaki sang pria.


“Aduh! Apa-apaan, sih!” jerit Mark, namun tetap tak mau kalah. Ia menarik boncengan sepeda Jaehyun sampai berhenti lalu merangsek menghalanginya.


“Makanya awas! Kau menghalangi jalanku! Kalau tak mau ganti rugi, aku tak akan memaksa.”
“Dengar, aku minta maaf atas kesalahanku di SMA.”
“Aku tak mau membahas itu.”
“Kita harus membahasnya jika ingin masalah kita selesai.”
“Setelah menghancurkan hidupku, apa kau pikir masalah kita bisa selesai?”
“Ayolah, duduk dulu! Kita bisa membicarakan ini baik-baik. Lagi pula, bukan hanya hidupmu saja yang hancur. Setelah kau keluar dari sekolah, semua orang mengucilkanku.”


“Dan menurutmu itu salahku?”
“Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku juga korban.”


Jaehyun mendengus dan langsung melindas kaki Mark (lagi) dengan roda sepedanya.


“AWWW!” Mark menjerit.


Jaehyun mengayuh sepedanya lebih cepat hingga jaraknya tak mungkin lagi terkejar. Dan bahkan saat itu, saat ia sudah sangat jauh dari Mark, kemarahannya tetap berkobar dahsyat sampai membuat ubun-ubunnya panas.


**********


Ketika Jaehyun tiba di toko, Ji Yeong sedang melayani pembeli. Gadis itu tersenyum padanya, namun Jaehyun pura-pura tak melihat senyum itu dan langsung memasuki kamar mandi. Ia terlalu lelah untuk melakukan apa pun, bahkan tersenyum. ‘Lelah’ mungkin bukan kata yang tepat. Nyatanya ia terluka, perasaan marah menyelimuti jantungnya dan semua kenangan buruk semasa SMA berbondong-bondong naik kembali ke permukaan. Luka yang ia kira sudah sembuh ternyata masih menganga lebar dan kini rasanya perih sekali seperti ditaburi garam.


Jaehyun berusaha mengendalikan emosinya sementara tangannya menyentuh sebuah perangkat elektronik kecil yang terpasang di telinganya—hearing aid. Ya, dia memiliki gangguan pendengaran sejak lahir. Walaupun begitu, Jaehyun sejujurnya tak pernah mempermasalahkan kekurangannya itu sampai masa-masa SMA-nya yang suram pun tiba. Ia bertemu Mark. Pria itu adalah awal bencana, ia mengacaukan segalanya; cara orang-orang memandang dirinya, cara dirinya memandang dirinya, semuanya.


Ia dibully habis-habisan oleh Mark sampai pada titik ia keluar dari sekolah dan tak lagi berani melanjutkan pendidikan formal. Ia memandang gangguan pendengarannya dalam perspektif baru, sebuah aib. Aib yang luar biasa menjijikan hingga harus ditutupi. Aib yang membuatnya tertekan luar biasa sampai nyaris bunuh diri.


Tok Tok Tok


“Jae?”


Ketukan itu disusul oleh suara Ji Yeong yang khawatir. “Kau tidak apa-apa?”


“Y-ya.”


Jaehyun berusaha menguasai diri. Ia melirik sekilas ke cermin dan segera membuka pintunya dengan tampang sok bingung. “Aku hanya ke kamar mandi. Kenapa kau bertanya begitu?”


“Entahlah, kau tak membalas senyumku, dan itu bukan tipikal Jung Jaehyun-ku.”


Jaehyun langsung memberikan senyuman terlebar yang mampu ia buat, sembari mendekatkan wajahnya pada Ji Yeong meminta persetujuan. “Bagaimana? Sudah tipikal Jung Jaehyun-mu, eh?”


Ji Yeong terkekeh seraya mendorong wajahnya. “Omong-omong, bagaimana ganti ruginya?”


Ekspresi Jaehyun yang tadinya penuh canda gurau mendadak suram, “Aku tak tahu. Aku tak ke sana.”


“Loh, kenapa?”
“Harganya tidak seberapa, kan?”
“Apa maksudmu? Itu lumayan.”
“Kau bisa memotongnya dari gajiku.”
“Itu bahkan bukan salahmu.”
“Tidak masalah.”
“Jaehyun, apa yang terjadi?”
“Tidak ada,” katanya, memaksakan senyum. Kemudian segera mengalihkan pembicaraan untuk menghindar. “Hei, bukankah sudah waktunya tutup? Aku akan memasukkan bunga-bunga yang ada di luar.”


Ji Yeong baru membuka mulut untuk mendebat saat Jaehyun membalik badannya dan berlalu. Begitu terburu-buru, jelas mau menghindar.



*********



Sabtu pagi, Mark terbangun dan baru sadar ia tertidur dalam posisi yang sangat menyiksa. Ia bergelung di lantai dengan kaki tertekuk. Ponselnya tergeletak beberapa centi dari telapak tangannya. Ia menghabiskan sepanjang malam untuk mencari tahu jumlah toko bunga di kota ini, lengkap dengan alamatnya satu per satu.


Rencananya, Mark akan memulai pencariannya hari ini. Ia tak tahu secara spesifik sebenarnya siapa yang memotivasinya untuk melakukan ini, apakah gadis manis tapi galak itu?—namanya Ji Yeong dan Mark bersumpah ia jatuh hati pada pandangan pertama—atau malah Jaehyun? Seseorang di masa lalu yang hidupnya tak sengaja ia hancurkan.


Setelah mandi dan sarapan, Mark mengeluarkan sepedanya (ya, sepeda yang kemarin. Ia menentengnya pulang selepas kuliah dan langsung memperbaiki rantainya). Lantas menyambangi setiap toko bunga dalam daftarnya, mulai dari yang terdekat sampai yang paling jauh.


Mark mendorong beragam model pintu kaca dari semua toko bunga di daftarnya itu dengan wajah penuh harap.


“Ada yang bisa saya bantu?”
“Aku mencari Ji Yeong, atau…  Jaehyun.”


Sang florist mengerutkan kening pada Mark, lalu pada bunga-bunganya, dan kembali lagi pada Mark. “Apa kau yakin itu nama bunga?”


“Oh, bukan. Mereka manusia.”
“Oh, kami tidak menjual manusia.”


Mark keluar dari sana dan mencoret nama toko bunga tersebut dari daftarnya. Sejauh ini, sudah enam toko bunga yang dicoret, dan hanya dua toko lagi yang tersisa. Alih-alih senang karena daftarnya makin pendek, Mark justru khawatir ia tidak bisa menemukan kedua orang itu.



*********



Aura musim panas merayap di dinding toko milik Ji Yeong. Walaupun sudah menyalakan AC, rasanya tetap saja seperti tengah berada di dalam sauna. Jaehyun berdiri di depan display penyimpanan dan menekan-nekan tuas penyemprot air dingin ke bunga-bunga dan juga ke mukanya sendiri. Sementara Ji Yeong duduk di depan kipas angin mini sembari memotong ujung tangkai bunga yang baru dipetik untuk dijadikan buket.


Saat itu…


TRINGGG


Pintu terbuka. Baik Jaehyun maupun Ji Yeong praktis menoleh dengan senyum ramah.


“Selamat datang,” sapa keduanya kompak.


Namun begitu melihat wajah ‘sang pelanggan’, mereka seketika terdiam.


Bertolak belakang dengan ekspresi wajah kedua orang itu, pria yang baru masuk—Mark—malah kegirangan bukan main.


“Ya Tuhan, akhirnya!” seru Mark. “Aku mencari kalian sejak pagi.”
“Apa maumu?”
“Kau tak ingin ganti ruginya?”
“Kalau begitu cepat berikan uangnya dan pergi dari sini.”
“Kau tak boleh mengusir pelanggan.”
“Kau bukan pelanggan.”
“Aku mau beli mawar itu.”


Ji Yeong menoleh pada bunga yang Mark tunjuk dan menghela napas. “Itu anyelir merah, bukan mawar.”


“Okay.”
“Okay?”
“Yeah.”
“Yeah apa? Kau masih menginginkannya?”
“Ya, nona galak. Aku ingin bunga itu. Maafkan si bodoh yang tak tahu jenis-jenis bunga ini. Yang aku tahu, bunga di depankulah yang paling cantik.” Mark tersenyum pada Ji Yeong.


“Berhenti main-main denganku.”
“Ji Yeong, mundurlah! Biar aku yang menghadapi dia.” Jaehyun akhirnya angkat suara. Ia benar-benar muak melihat Mark tersenyum atau bergerak, atau bernapas, atau melakukan apa pun.


“Menghadapi? Oh, ayolah, aku cuma pelanggan, bukan musuh.”


Jaehyun mengambil posisi di depan Mark dan menatapnya dengan aura mengintimidasi. Jaehyun yang sekarang sudah jauh berbeda dengan Jaehyun yang Mark ingat saat SMA; dia lebih tinggi lima-enam centi darinya, badannya lebih tegap, lebih berotot dan yang pasti lebih maskulin. Mark jadi merasa kerdil untuk beberapa alasan.


“Oke, pelanggan, apa maumu?” kata Jaehyun.
“Kau tak ingin mengatakan sesuatu dulu padaku? Permintaan maaf, mungkin?”


Jaehyun mengerutkan kening. Sejauh yang ia ingat, Mark-lah yang berutang sejuta maaf padanya.


“Kau melindas kakiku kemarin.” Mark mengingatkan. “Dua kali.”
“Kau sungguh menagih maafku untuk itu? Dasar tak tahu malu!”
“Tunggu, jadi kemarin kau datang ke rumahnya?” Ji Yeong menginterupsi.
“Ya.” Jaehyun menoleh pada Ji Yeong dengan raut menyesal. “Maaf aku berbohong padamu. Aku hanya benar-benar tak ingin membicarakan dia.”


“Jadi kalian saling kenal?”
“Kau ingat ceritaku tentang ‘dibully sampai keluar dari SMA’?”
“Mark Tuan?”
“Yeah, dia orangnya.”


Ji Yeong terkesiap. Mark yang mendengar semua percakapan itu melotot dan menggeleng-geleng membela diri.


“Wow, dengar, aku tak percaya kau bisa menyebut nama panjangku semudah itu. Apa saja yang sudah kau ceritakan, Jaehyun~a?”


“Keluar dari tokoku!” pekik Ji Yeong.
“Ya ampun. Dengar dulu! Aku mau minta maaf atas semua salahku, aku akan ganti rugi.”
“Berapa pun jumlah maaf yang keluar dari mulutmu, atau lembaran uang dari dompetmu, tidak akan bisa menggantikan masa-masa sekolah Jaehyun,” seru Ji Yeong murka, sembari mendorong Mark menuju pintu. Mark mencoba menjelaskan sambil menahan kakinya di lantai agar tidak terdorong terlalu jauh. Dalam hati terkejut akan betapa besarnya tenaga Ji Yeong.


“Tunggu, please, dengarkan aku. Tunggu dulu. Tunggu.”


Mark hilang kesabaran, kemudian langsung berteriak tanpa berpikir dua kali, “AKU AKAN MENYERAHKAN DIRIKU.”


Ji Yeong berhenti mendorongnya.


Mark menjatuhkan diri, bersimpuh.


“Jaehyun, aku masih terlalu muda waktu itu, terlalu bodoh, terlalu berengsek, naif, kekanakan. Maafkan aku. Sungguh, aku minta maaf. Aku sudah lebih dewasa sekarang, akhirnya aku mengerti bahwa perkataan bisa berakibat sangat fatal bagi masa depan seseorang. Aku paham luka di hati jauh lebih mengerikan dari luka fisik. Aku sudah mendapat pelajarannya. Setelah kau pergi, satu sekolah jadi memusuhiku habis-habisan. Dan aku bersumpah tahun terakhirku di SMA terasa seperti neraka. Mereka ikut menikmati sikap burukku, tapi saat itu berdampak sesuatu, mereka berbondong-bondong berlagak suci. Aku… yeah, maksudku, itu salahku. Tak seharusnya aku bercerita seakan ingin dikasihani begini. Aku tak akan membela diri lagi. Aku minta maaf. Hukum aku sepuasmu.”


Mark terdengar begitu tulus sampai Ji Yeong tertegun. Hatinya bergetar. Tapi di sini bukan hatinya yang menentukan. Bukan dia, tapi Jaehyun.


Ji Yeong menoleh pada Jaehyun seolah meyakinkannya, seolah berkata ‘ini ide bagus’, keduanya saling melempar pandang selama beberapa saat sebelum akhirnya Jaehyun bertanya, “Apa maksudmu dengan menyerahkan dirimu?”


“Aku bersedia melakukan apa pun yang kalian suruh dalam jangka waktu yang tidak ditentukan—sampai kalian bersedia memaafkanku, sampai kau merasa dosaku sudah tertebus seutuhnya. Setengahnya, paling tidak. Seperempat, barangkali. Entahlah.”


Jaehyun dan Ji Yeong bergeming.


“Aku bersedia bekerja di sini tanpa dibayar,” tambah Mark memperjelas.
“Deal,” kata Ji Yeong langsung.


Jaehyun langsung menarik tangan gadis itu. “Aku tidak mau,” bisiknya.


“Kau harus belajar memaafkannya.”
“Tidak semudah itu.”
“Memang tidak mudah. Tapi patut dicoba, kan? Lagi pula kita butuh orang untuk bantu-bantu.”
“Tidak, Ji Yeong. Please, kau tidak mengerti.”
“Percaya padaku, ini demi kebaikanmu. Beri dia kesempatan untuk membuktikan ketulusannya. Jika anak itu ternyata belum berubah juga, aku bersumpah bukan hanya memecatnya, aku juga akan mengirimnya ke neraka. Oke?”


“Hei, aku dengar itu,” kata Mark.


Ji Yeong mendelik padanya, lalu kembali menatap Jaehyun dengan pandangan memohon.


Jaehyun sejujurnya masih tidak setuju, tapi toko bunga ini milik Ji Yeong, dan dia tak membutuhkan persetujuannya untuk mengambil keputusan.


“Terserah,” kata Jaehyun pelan.


Ji Yeong tersenyum lembut pada Jaehyun. Kemudian berbalik badan pada Mark dan rautnya berubah ketus. “Kau bekerja mulai hari ini.”


“Hebat.” Mark berdiri.
“Yeah.”
“Jadi apa yang harus aku lakukan? Menyiram bunga? Mengantar pesanan? Menggunting sesuatu? Wow, aku benar-benar tak sabar. Ini pasti akan menyenangkan,” kata Mark penuh semangat.


Ji Yeong mendengus sinis, kemudian berkata, “Sekarang, kau sikat kamar mandi di sebelah sana.”


“Apa?”
“Kau tidak punya gangguan pendengaran, kan?” cecar Jaehyun sarkas. “Ikuti perintah bosmu.”


Tawa Ji Yeong praktis menyembur. Mark cuma menatap mereka seraya menggeleng menjawab pertanyaan Jaehyun, lantas berjalan melewati kedua orang itu menuju kamar mandi. Berusaha tidak terpengaruh emosi.



*********



Di hari keempat sejak Mark resmi menjadi bagian dari toko bunga Ji Yeong, ia masih saja disuruh menyikat kamar mandi. Mark merasa kembali ke jaman-jaman SMA-nya—saat-saat di mana ia dihukum oleh guru piket yang kejam. Walaupun kesal, tapi ia tak punya pilihan. Jika menyikat kamar mandi bisa menebus dosa-dosanya, maka ia akan melakukannya.


“Hahaha, yang benar?” seru Ji Yeong, disertai gelak tawa. Jaehyun yang berada di depannya mengangguk-angguk sambil ikut tertawa. Kedua orang itu berada di belakang meja bar kecil yang hanya diisi oleh tumpukan majalah flona dan telepon kabel. Mereka duduk terlalu dekat dan bersentuhan terlalu banyak untuk ukuran teman.


Walaupun sudah empat hari berada di sini, Mark masih tak bisa menyimpulkan apa sebenarnya hubungan mereka. Terkadang, kedua anak itu sangat mesra dan perhatian satu sama lain, kadang biasa saja, kadang tidak bicara seharian, kadang bicara terus-terusan. Mark benar-benar bingung dan cemburu. Saking cemburunya, ia sampai tak sadar sudah menumpahkan karbolnya sampai setengah botol dan baru sadar saat aroma menyengatnya sampai ke hidungnya.



**********



Di suatu sore, saat Jaehyun hendak pulang, Mark mencegahnya untuk bicara empat mata. Kebetulan Ji Yeong sedang ada urusan lain dan sudah meninggalkan toko sejak pukul tiga. Jadi ia bisa leluasa menginterogasi Jaehyun.


“Ada apa?” tanya Jaehyun, dingin seperti biasa.
“Oke, langsung saja. Kau pasti sadar dengan sikapku selama ini. Aku menyukai Ji Yeong,” aku Mark, yang sama sekali tak direspons. Pria itu mendesah dan melanjutkan, “Yang ingin kutanyakan adalah, apa hubunganmu dengannya? Kalian tidak pacaran, kan?”


 “Tidak.”


Mark memegangi dadanya, tersenyum dan bernapas lega.


Jaehyun ikut tersenyum, kemudian melanjutkan, “Kami sudah menikah.”


“HAH? APA? K-kau bohong, kan?”
“Kau mau lihat buku nikah kami?” tanya Jaehyun retoris. “Minggir. Aku mau pulang. Jangan lupa kunci pintunya.”


“Jadi kalian tinggal bersama?”


Jaehyun tersenyum menyeringai seraya menaiki sepedanya. “Tentu saja. Kenapa? Mau mampir?”


“Tidak perlu.”
“Baguslah. Mau pun, takkan kuizinkan masuk,” kata Jaehyun mencemooh, lantas mengayuh sepedanya meninggalkan Mark.



**********



Sebagai anak kuliahan yang cerdas, Mark tak mau percaya mentah-mentah pada ucapan Jaehyun. Jadi, demi mengetahui kebenaran, ia mengikuti pria itu sampai ke rumahnya. Ia bersembunyi di sebuah kafe di seberang rumah Jaehyun dan menunggu di sana selama beberapa jam.


Hingga akhirnya, dua jam setelah ia memesan air putih ketiganya, keraguannya terbukti.


Ji Yeong datang. Jaehyun membukakan pintu. Mereka terlihat gilang-gemilang dan masuk bersama-sama bak sepasang suami istri yang bahagia, dan hal berikutnya yang Mark tahu, hatinya hancur.



**********



Keesokan harinya, saat matahari masih sembunyi, Mark sudah mengayuh sepedanya menuju toko bunga. Ia menghabiskan semalaman penuh untuk berpikir dan akhirnya membulatkan tekad untuk tetap datang kemari. Ia di sini bukan hanya untuk Ji Yeong, tapi juga sebagai rangka penebusan dosa pada Jaehyun.


Mark tahu ia datang terlalu pagi. Tapi ia tak bisa tidur dan tak ada yang bisa dikerjakan di rumah. UAS-nya sudah selesai dan hasil ujiannya masih belum keluar. Dia berada di tengah-tengah libur panjang dan waktu luang yang melimpah. Dan jika kau sedang sakit hati, memiliki waktu luang yang amat banyak benar-benar menyiksa. Ia terus-terusan mengasihani dirinya sendiri. Ia sungguh menyukai Ji Yeong sampai-sampai memikirkan nama gadis itu saja membuat hatinya perih.


Jadi di sinilah Mark sekarang, menata bunga-bunga anyelir merah di etalase seperti seorang florist sejati. Ia menyemprot bunga-bunga itu dengan air dingin dan menyapu lantai di dalam ruangan. Mengelap meja, menggeser sofa, menata ulang ensiklopedi bunga. Mark melakukan segala hal yang bisa ia lakukan untuk mengalihkan rasa sakit di dadanya. Mark tak bisa mengatakan hal itu berhasil, tapi setidaknya melakukan sesuatu membuat rasa sakitnya sedikit berkurang.


Mark sedang menggunting ujung tangkai bunga—seperti yang dicontohkan Ji Yeong—saat ia menyadari sesuatu. Ini sudah lewat jam sembilan dan kedua orang itu tak kunjung datang. Pelanggan sudah bermunculan namun Mark masih saja sendirian. Mark mencoba untuk tidak khawatir, tapi lama-lama ia jadi gelisah sendiri. Dan semakin lama ia menunggu, semakin tak tenteram hatinya.


Ia mencari nomor ponsel Ji Yeong pada memo di meja, lantas meneleponnya. Namun Ji Yeong tak mengangkat. Begitu pula Jaehyun.


Mark akhirnya memutuskan untuk mengunci toko dan bersepeda ke rumah mereka.


Rumah itu terlihat tenang dan damai. Mark jadi enggan untuk mengetuk pintunya, takut kehadirannya akan mengusik ketenangan itu. Lagi pula kemarin Jaehyun bilang ia tak ingin Mark datang. Namun Mark tak bisa diam saja. Ia akhirnya memberanikan diri untuk naik ke undakan tangga dan mengetuk.


Satu kali

Dua kali

Sepuluh kali


“Hei, kalian di dalam?” seru Mark. Ia mengintip lewat kaca dan menemukan sekelebat bayangan orang-orang asing berpakaian gelap. Mark bisa merasakan dadanya bergemuruh. Setelah mondar-mandir gelisah, Mark akhirnya memutuskan untuk mengambil kesimpulan terburuk saja. Toh itu yang terbaik. Setidaknya, jika ternyata tidak terjadi apa-apa di dalam, ia cuma akan membuat malu dirinya sendiri. Dan ia sudah biasa. Mark pun mencari nomor polisi di ponselnya, lantas menendang pintu itu sampai terbuka.


Dalam sekejap, keributan dahsyat terjadi.


Sekelompok orang yang ia lihat lewat kaca jendela tadi merupakan komplotan pencuri berbadan kekar dan seram. Mereka langsung menarik Mark masuk dan menutup pintunya dalam satu entakan keras. Badannya dihimpit ke dinding dan keningnya ditekan dengan pisau lipat. Mereka mengancam akan merobek mulutnya jika ia berteriak.


Meskipun begitu, Mark tak lantas pasrah. Ia menendang pria di depannya dan langsung melompat ke tangga, kemudian berayun dengan anggun dan menendang lebih banyak orang. Itu adalah hari di mana Mark sangat bersyukur telah mempelajari ilmu bela diri. Mark menyikut, meninju dan mengelak dengan amat mudah. Terima kasih pada pelatih wushunya.


Dari tempatnya berpijak, ia melompat ke bahu salah satu pencuri dan membuatnya jatuh bebas dengan posisi kepala duluan. Mark membasmi enam orang sendirian, dengan tangan kosong, dan setelah ia selesai, para polisi baru bermunculan.


Mark langsung bergegas memeriksa seluruh ruangan. Suara pijakan kakinya di lantai kayu yang berderit, disertai pintu yang menjeblak terbuka terdengar nyaring memenuhi bangunan dua lantai tersebut. Ia berputar di seluruh lantai sebelum akhirnya berhasil menemukan Ji Yeong dan Jaehyun disekap di ruangan kotor yang nampaknya adalah gudang. Mulut dilakban dan tangan mereka diikat membelakangi satu sama lain. Wajah Ji Yeong sudah merah dan basah karena air mata.


Mark membuka ikatan mereka dan tubuhnya langsung diterjang oleh Ji Yeong. Gadis itu memeluknya sangat erat dan menangis terisak-isak sampai bahunya basah. Jaehyun bersandar di dinding dan mengucapkan terima kasih dengan lelah. Melihat dari darah di pelipisnya, ia pasti sudah mencoba melawan. Mark bersyukur karena mengikuti instingnya dan datang ke sini.


Satu jam kemudian, Ji Yeong berada di ruang tengah dengan secangkir teh dan juga selimut tebal. Beberapa polisi menanyakan kesaksiannya soal kronologis kejadian dan apa saja yang para pencuri itu lakukan.


Mark dan Jaehyun, yang sedang menunggu giliran untuk dimintai keterangan, duduk di ruang tamu.


“Terima kasih banyak,” kata Jaehyun.
“Itu bukan apa-apa.”
“…”
“Kubilang itu bukan apa-apa. Aku juga ingin bilang terima kasih karena sudah mengizinkanku bekerja di toko kalian.” Mark berucap dengan intonasi dan gerak mulut yang jelas. Hearing aid milik Jaehyun hancur saat mukanya ditinju oleh salah satu pencuri tadi.


“Aku sudah memaafkanmu.”
“Sungguh?”
“Ya.”
“Serius?  Tidak ada dendam lagi?”
“Tidak.”


Mark tersenyum lega. Rasanya seperti beban di pundaknya baru saja diangkat. Ia menghela napas penuh syukur. Tubuhnya mendadak terasa ringan seperti kapas.


Saat sedang berbincang dengan Jaehyun, Mark tak sengaja memandang ke ruang tengah dan menemukan Ji Yeong. Gadis itu tengah berbicara dengan tampang lesu, bola matanya memancarkan ketakutan. Ji Yeong jauh dari kata baik hari ini, rambutnya berantakan dan tak ada riasan apa pun di wajahnya, tapi dia masih sangat cantik. Dan Mark merasa amat bersalah karena memikirkan itu.


Jaehyun mengikuti arah pandang Mark dan mulai terkekeh.


“Sepertinya candaanku kelewatan.”


Mark menoleh pada Jaehyun, “Apa maksudmu?”


“Dia bukan istriku.”
“Apa?”
“Kami bahkan tidak pacaran.”


Ekspresi wajah Mark seketika berubah. Ia mengubah posisi duduknya dan memandang Jaehyun menuntut penjelasan. “Lalu kenapa kalian tinggal serumah?”


“Dia tinggal di atas. Semuanya terkunci.”
“Kalian pacaran?”
“Sudah kubilang tidak.”
“Lalu? Kenapa bisa serumah?”
“Ayahku dan ayahnya bersahabat baik, Ji Yeong baru pindah ke sini lima bulan lalu. Kedua orangtuanya punya bisnis hotel di Jeju. Mereka mempercayakan Ji Yeong untuk tinggal bersamaku.”


“Sungguh?”
“Ya. Lalu berhubung ada kesempatan, dia memutuskan untuk membuat toko bunga di sini. Aku hanya membantunya. Lagian, kami tidak cuma tinggal berdua. Ada orangtuaku juga. Kebetulan mereka sedang ada di luar kota seminggu ini.”


Jaehyun melanjutkan, “Omong-omong, aku melihatmu mengikutiku kemarin sore. Mukamu terlihat sedih sekali.” Jaehyun cekikikan. “Aku jadi tidak enak.”


“Kau tahu, harusnya aku kesal mendengar ini semua, tapi nyatanya aku sangat bahagia sekarang sampai-sampai ingin memelukmu.”


“Uh, aku akan lapor polisi jika kau lakukan itu,” gurau Jaehyun.
“Tapi kau benar tidak suka padanya, kan?”
“Sama sekali.”


Mark tersenyum semringah. “Trims.”


Tak lama kemudian, Jaehyun dipanggil. Ditemani teh hangat dan selimut tebalnya, Ji Yeong duduk di samping Mark. Mark praktis salah tingkah. Ia bergeser menjauh kemudian mendekat lagi, dan lebih dekat lagi.


“Terima kasih banyak, Mark. Sungguh, terima kasih. Kalau tidak ada kau.. entah apa yang terjadi.”
“Sama-sama,” jawab Mark, kehabisan kata. Ia menekan buku-buku jarinya dengan canggung sebelum memberanikan diri untuk membuka mulut lagi, “Sebenarnya… ada yang ingin kubicarakan denganmu.”


“Katakan saja,” kata sang gadis. Kepalanya disenderkan ke sofa dan ia kelihatan lelah sekali. Mark menimbang-nimbang selama beberapa saat sebelum akhirnya mengurungkan niatnya.


Serangan rasa gugup memenuhi dada Mark sampai tubuhnya terasa kaku. Mungkin bukan hari ini, tapi besok, lusa, atau besoknya lagi,… yah pokoknya suatu hari, ia akan merebut simpati Ji Yeong dan mengatakan dengan lantang bahwa ia menyukainya. Hari ini Ji Yeong terlihat terlalu syok untuk mendengar pernyataan cinta yang aneh-aneh. Dan Mark sendiri terlalu gugup untuk berkata demikian. 


“Jaehyun…. Dia bilang sudah memaafkanku. Jadi…”
“Kau mau berhenti datang ke toko bunga?”
“Aku mau tetap datang.”
“Sungguh?”
“Ya, tapi kali ini aku minta bayaran.”
“Hahaha. Oke.”
“Dan aku akan mogok kerja kalau kau menyuruhku menyikat kamar mandi lagi.”


Ji Yeong terkikik. Senyumnya merekah cantik walau rasa syoknya masih belum pergi. Dan saat itu Mark terenyuh sendiri. Fakta bahwa Ji Yeong belum menjadi milik siapa-siapa saja sudah lebih dari cukup baginya untuk saat ini. Fakta bahwa Ji Yeong terlihat bahagia dan masih bisa tersenyum seperti ini sudah bisa membuat hatinya tenteram. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia akan menyatakan cintanya lain kali, ia akan memastikan perasaan tulusnya itu bersambut baik. Yeah, ia harap begitu.




END



Aku lagi bersihin folder di laptop dan ga sengaja nemuin ini. FF ini tuh kado ultah buat Kim Dhira, ultah yang keberapa juga aku lupa~ Intinya aku lagi pengen upload banyak tapi ga mau nulis *Dasar aku!* jadi pas nemu ini langsung girang trus buru-buru bikin poster~



Btw untuk series businesship aku lagi stuck di part 3:( lelah bgt dari kemaren cuma selembar g maju2



yg lagi g sibuk kirim doa dong biar besok bisa maju :(



Anyway, makasih banyak udah mampir~ sampe ketemu lagi babay



Comments

Popular Posts