Businesship Part 3
Saat langit sudah gelap
sepenuhnya, kurang lebih lima belas menit setelah mendapat telepon dari
Sanghyeon, Jaehyun akhirnya pulang. Ia muncul begitu saja dari dalam lift.
Yiren yang semula sedang duduk dengan kaki menyilang di meja langsung berdiri,
menyambutnya dengan wajah cerah.
“Jae!”
Dari dalam kamar, Sanghyeon yang
mendengar suara melengking Yiren langsung melompat ke daun pintu untuk
menguping. Ia duduk bersandar di sana dan berkonsentrasi penuh agar bisa
mendengar percakapan mereka.
“Mau apa?” tanya Jaehyun.
“Mau membantumu melepas
kerinduanmu padaku.”
Sanghyeon mendecih. Ia harap
Jaehyun juga mendecih.
Anjing pudel Yiren terus menyalak
berisik saat mereka bicara. Sanghyeon beringsut semakin dekat dan menempelkan
telinganya di pintu, namun yang terdengar hanyalah gonggongan anjing. Setelah
beberapa menit, Sanghyeon pun menyerah. Lagi pula untuk apa ia menguping
pembicaraan mereka begini. Bukan urusannya.
Sanghyeon merangkak
kembali ke tempat tidurnya. Berbaring telungkup dengan kepala yang menoleh ke arah jendela kaca di sebelah kiri, melamun memandangi gemerlap kota Las Vegas sementara suara anjing Yiren terus merongrong
tak bisa diam, kemudian tiba-tiba saja ia teringat pada teh kamomilnya yang baru
disesap sedikit, yang terbengkalai di teras kolam renang, mungkin sudah penuh
semut dan kemasukan lalat sekarang.
Sambil memikirkan semua hal yang
secara acak muncul di kepalanya itu, kelopak mata Sanghyeon lambat laun menutup. Lalu, beberapa saat kemudian… begitu kelopak matanya terangkat lagi,
tahu-tahu saja gonggongan anjing yang meredam perbincangan Jaehyun dan sang chinese doll di luar sudah tak
terdengar. Sanghyeon melirik jam dindingnya dan langsung terbeliak bangkit
begitu menyadari tiga jam sudah terlewat. Jarum pendek di jam dindingnya sudah
hampir menunjuk angka sepuluh. Perempuan cantik tapi jahat itu—Wang Yiren—pasti
sudah pulang. Seharusnya sudah
pulang.
Dengan gerakan sepelan dan
sehati-hati mungkin, Sanghyeon membuka pintu kamarnya untuk mengecek kondisi di
luar. Ruang tengah sudah gelap gulita. Namun saat ia hendak melangkah ke luar, tiba-tiba saja gonggongan anjing Yiren terdengar lagi. Menyalak
nyaring hingga membuat Sanghyeon hampir menutup pintunya kembali. Dia
benar-benar tak mau bertemu Yiren lagi. Tapi melihat betapa sepinya penthouse sekarang, nampaknya
memang tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan si anjing. Sanghyeon berpikir
mungkin Jaehyun dan Yiren pergi ke suatu tempat, melanjutkan pembicaraan mereka dan makan
malam. Meninggalkan pudelnya di sini.
Sanghyeon hendak menuju dapur
saat ia melihat pintu kamar Jaehyun terbuka. Suara gonggongannya terdengar dari
dalam sana. Takut anjing itu mengotori tempat tidur Jaehyun, Sanghyeon pun
berinisiatif untuk mengeluarkannya. Namun saat tiba di pintu, ia malah
menemukan Jaehyun tengah duduk di lantai, punggungnya bersandar di kaki ranjang
sementara tangannya membelai pudel milik Yiren yang sedang menggigiti ujung
karpet. Ruangan itu gelap gulita namun bahasa tubuh Jaehyun yang getir masih
bisa Sanghyeon lihat. Jaehyun menyampirkan jas kerjanya di pangkuan. Dasinya
sudah longgar dan sebagian besar kemejanya sudah keluar dari celana. Dia
terlihat lelah dan berantakan. Namun juga domestik dan menenangkan hati.
Jaehyun yang tengah mengusap-usap anjing pudel itu entah mengapa membuat Sanghyeon
termangu. Sesuatu di dalam hatinya terasa hangat.
“Kenapa Anda mengizinkannya
masuk?” Jaehyun tiba-tiba bertanya. Tanpa menoleh pada Sanghyeon sama sekali,
seolah dia punya mata lain di belakang kepalanya.
Sanghyeon tersentak. Berusaha
menjawab walau tergagap-gapap, “O-oh! I-itu… tadi….”
“Lain kali jangan begitu,” sela
Jaehyun. Suaranya lelah. “Saya mohon pada Anda jangan begitu.”
Sanghyeon membuka mulutnya untuk meminta
maaf, untuk menjelaskan, namun kalah cepat dengan Jaehyun. “Tolong tutup
pintunya selagi Anda di sana. Selamat malam.”
Dia baru saja diusir secara halus. Sanghyeon praktis menelan kembali kata-katanya. “Yeah, selamat malam,” balasnya pelan, lantas mengulurkan tangan menutup pintu.
Keesokan harinya, Sanghyeon
keluar kamar dan mengambil segelas air persis jam setengah delapan pagi. Ia
melamun di konter dapur sambil memegangi gelas kosong. Sanghyeon tidak tahu
kenapa ia tidak bertanya mengapa anjing Yiren masih di sini. Padahal hal
itu mengganggunya sampai seperti ini. Ia memikirkannya semalaman, bahkan masih
memikirkannya juga sekarang. Bagaimana jika Yiren datang lagi? Sanghyeon tak
mau Yiren datang lagi.
Saat itu, pintu kamar Jaehyun
terbuka dan pria itu berjalan menuju lift dengan setelan jasnya seperti biasa.
Mata Sanghyeon langsung tertuju pada anjing pudel di pelukannya. Lalu tanpa ia
sadari kakinya langsung melangkah mengejar.
“Anda sudah bangun rupanya.”
Jaehyun tersenyum melirik Sanghyeon seraya menurunkan anjing Yiren ke lantai.
“Ya, saya baru bangun.”
“Saya harap Anda sedang tidak
lelah hari ini, Sanghyeon-ssi.”
Sanghyeon langsung berpikir
Jaehyun akan menyuruhnya mengurus anjing. Atau malah menyuruhnya mengantar
anjing itu ke Wang Yiren. Memikirkannya saja membuat Sanghyeon bergidik.
“Malam ini akan ada acara yang
harus kita hadiri lagi. Hampir mirip dengan acara di resort minggu lalu. Perayaan ulang tahun salah satu perusahaan
mitra.”
Ternyata bukan. Syukurlah.
“Okay.”
“Warna merah anggur akan
menawan.”
“Huh?”
“Gaun Anda,” kata Jaehyun. “Biasanya selalu saya yang pilihkan tapi hari ini saya benar-benar
tidak punya waktu untuk itu.”
“Ah, gaun.” Sanghyeon mengangguk.
“Baik.”
“Tapi kalau Anda sedang ingin
pakai warna lain tidak masalah,” sambar Jaehyun segera, tak mau Sanghyeon salah paham. “Saya cuma tak mau
Anda kesulitan memilih. Bukan mengatur.”
Sanghyeon memaksakan senyum dan mengangguk
lagi. Anjing milik Yiren berjalan di antara kakinya. Bulu-bulu halusnya membuat
kulit Sanghyeon tergelitik. Ia menunduk memandang pudel yang seperti boneka itu dan
rasanya tak mungkin jika ia harus menunda lagi untuk bertanya. Jung Jaehyun, kenapa makhluk ini ada di
sini! Apa pemiliknya akan datang lagi? Tolong jangan biarkan cewek barbar itu
datang lagi!
“Jung Jaehyun-ssi,” panggil
Sanghyeon lantang saat Jaehyun hampir memasuki lift. Jaehyun menoleh padanya,
berhenti sejenak menunggu Sanghyeon bicara. “Ini.. anjing ini…”
“OH! Benar! Maaf saya lupa bilang. Namanya Waffle,” Jaehyun menyela
dengan senyum semringah. Suaranya bahkan terdengar semringah. Seolah ia sudah
menunggu untuk mengatakan itu. Mengatakan namanya Waffle. “Saya sudah minta
tolong butler di sini untuk membelikan makanannya. Mungkin sebentar lagi
datang.”
Tak mungkin Sanghyeon bilang
bukan itu yang ingin ia tanyakan, tak mungkin Sanghyeon bilang ia tak peduli siapa nama anjing itu, terlebih Jaehyun mengucapkannya dengan
tampang berseri. Jarang sekali melihat Jaehyun berseri-seri. Kenapa dia harus
berseri-seri?
“Oh, baik.” Jadi Sanghyeon
lagi-lagi hanya mengangguk, balas tersenyum. “Saya akan menunggu butlernya
datang kalau begitu.”
“Yeah, sebaiknya begitu,” kata
Jaehyun. “Sampai jumpa nanti malam, Lee Sanghyeon-ssi. Saya pergi.”
“Ya.” Sanghyeon menjauhkan
kakinya dari si anjing. “Selamat jalan.”
**********
“Apa kau menikmati kota Las
Vegas, Nona?” Sicheng menyapa dengan penuh semangat begitu melihat Sanghyeon
keluar dari pintu kaca otomatis gedung penthouse.
“Oh! Aku tak tahu kau ada di Las
Vegas juga,” kata Sanghyeon terkejut. Ia turun ke lobi beberapa menit sebelum
pukul tujuh, tepatnya setelah resepsionis menelepon mengatakan seseorang datang
menjemputnya.
“Memang seharusnya tidak. Aku
baru sampai siang ini, sekitar jam dua. Pak Bos bilang dia membutuhkanku di
sini jadi aku langsung terbang sesuai perintahnya.”
Sanghyeon mengulum senyum geli
mendengar cara Sicheng bicara. Antusias dan mengejutkan. Meledak-ledak seperti
kembang api. Dan panggilan itu. Astaga!
“Omong-omong, apa pak bosmu ada
di dalam?” tanya Sanghyeon sambil mengedikkan kepalanya ke mobil.
“Tidak ada,” balas Sicheng. “Ada
pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Pak Bos akan jalan langsung dari kantor
begitu pekerjaannya selesai. Jadi, agar Nona tidak kesepian di mobil, aku
diminta menjemput kemari.”
Sanghyeon tertawa. Ia yakin ‘agar
nona tidak kesepian di mobil’ hanyalah bualan Sicheng semata. Jaehyun tak
mungkin bilang begitu. Jaehyun tak mungkin memikirkan itu. Jaehyun
meninggalkannya sendiri di penthouse
setiap hari. Tanpa rasa bersalah sama sekali. Mana mungkin tiba-tiba pria itu
khawatir dirinya akan kesepian?
“Kita jalan sekarang, Nona?”
“Okay.”
Sicheng pun bergegas membukakan
pintu untuk Sanghyeon. Lalu setelah menutup pintunya, ia berjalan memutar dan
mengambil posisi duduk di jok depan di samping pengemudi.
**********
Setibanya di resort tempat pesta digelar, Jaehyun ternyata belum tiba. Lewat
sms, pria itu dengan entengnya menyuruh Sanghyeon menunggu di mobil. Sicheng
berusaha menyelamatkan suasana hati Sanghyeon yang mulai mendung dengan
mengajaknya ngobrol. Pria itu bertanya sudah jalan-jalan ke mana saja ia selama
di sini. Dan sembari menekan kejengkelannya, Sanghyeon merunut semua gedung
yang sempat disinggahinya untuk pertemuan bisnis bersama Jaehyun.
“Itu sih bukan jalan-jalan,”
komentar Sicheng.
“Kalau begitu aku memang tak
pernah jalan-jalan.”
“Memangnya Pak Bos melarang Nona
keluar?”
“Tidak, kok. Cuma aku tak tahu
mau ke mana,” balas Sanghyeon. “Lagian aku tak mau pergi sendiri.”
“Kalau Pak Bos mengizinkan, aku
akan dengan senang hati menemani Nona jalan-jalan.”
“Janji, ya!”
“Iya.”
Untuk beberapa menit selanjutnya,
Sicheng terus mengajaknya bicara. Ia tak henti-henti bertanya. Pertanyaan yang
memang tulus ditutur karena penasaran dan pertanyaan-pertanyaan lain yang
ditutur hanya sekadar untuk mengisi kekosongan. Sanghyeon tak bisa membedakan
keduanya, Sicheng selalu terdengar antusias dan ceria saat bertanya. Hingga
akhirnya, begitu Sanghyeon selesai menceritakan semewah apa rumah Tuan Bezos di
Mississipi, ia tahu pertanyaan itu masuk ke golongan kedua. Kurt, sopirnya
selama di Las Vegas, memberitahunya bahwa Sicheng—yang duduk di kursi
depan di sebelahnya—sudah tertidur. Sicheng baru sampai di Las Vegas pukul dua siang dan
langsung disuruh menemui Jaehyun di kantor dan menjemput Sanghyeon di penthouse, wajar pemuda itu kelelahan.
Beberapa lama Sanghyeon hanya
termenung menatap ke luar jendela. Memandangi tamu-tamu undangan berlalu-lalang
memasuki bangunan pesta. Ia benar-benar bosan. Jaehyun bilang dirinya akan
sampai dalam lima belas menit, tapi ini sudah hampir empat puluh menit.
Pukul delapan lewat seperempat, Sanghyeon
pun memutuskan untuk keluar. Ia akan menunggu di dalam saja. Minum wine dan makan kue.
Maka di sinilah Sanghyeon
sekarang. Duduk di lingkaran meja paling terpencil di sudut ruangan. Hanya
ditemani puding karamel dan kursi-kursi kosong yang menyedihkan. Ia tidak
menemukan wine atau jenis alkohol apa
pun di meja. Mungkin sudah habis karena ia terlambat datang.
“Apa aku boleh duduk di sini?”
Sanghyeon mendongak dan hampir tersedak begitu melihat Youngho.
Tanpa menunggu jawaban, pria itu
mengambil posisi duduk di hadapan Sanghyeon dan menyodorkannya segelas minuman
berwarna cokelat amber.
“Bourbon,” katanya. “Pesta yang
payah. Pelit sekali mengeluarkan alkoholnya. Aku harus mencegat pelayannya di
depan dapur supaya tidak kehabisan.”
Sanghyeon menerima gelas itu dan
melirik Youngho sambil tersenyum. “Kuhargai usahamu. Terima kasih.”
Sanghyeon menduga ia akan
menanyakan Jaehyun, tapi di luar dugaan pria itu malah membicarakan musik yang
sedang mengalun. “Bagaimana menurutmu lagu ini?”
Sanghyeon berhenti sejenak untuk
mendengarkan lagunya lebih jelas. “Yeah, lumayan. Siapa pun penyanyinya, dia
menyanyi dengan baik, penuh perasaan. Agak kuno, tapi menenangkan.”
“Agak kuno?” serunya
berlebihan, ia menggeleng dengan wajah tersinggung dibuat-buat. “Wah! Kau tak bisa
bilang begitu pada Norah Jones.”
“Siapa?”
“Yang sedang menyanyi?”
Sanghyeon terkekeh. “Maaf, Youngho-ssi,”
katanya, “tapi kau harus mengakui nadanya memang agak kuno.”
“Tunggu, kau tahu namaku?”
“Yeah, Jaehyun memberitahuku.”
“Wow. Dia memberitahumu tentang
aku. Dia mau menyebut namaku? Itu di luar dugaan.”
Sanghyeon sedang tak mau
membicarakan Jaehyun, jadi sebelum Youngho bertanya macam-macam, ia segera
mengangkat kembali topik utama mereka. “Jadi apa judulnya?”
“Lagu ini? The Nearness of You,” balas Youngho cepat, lantas menyesap
bourbonnya dengan senyum lebar. Sanghyeon memandangnya sambil mengira-ngira apa
senyum itu muncul karena girang Jaehyun membicarakannya, karena bangga sudah
mengetahui judul lagunya, karena keduanya atau karena dia memang murah senyum
saja. “Sebenarnya kau betul. Nadanya agak kuno karena ini memang lagu lama. Tahun
1940, kalau aku tak salah ingat. Glenn Miller, penyanyi aslinya.”
“Kakekku bahkan belum lahir.”
“Kakekku juga.”
Mereka berdua terkekeh. Sanghyeon
menyendok suapan terakhir pudingnya sambil berpikir kenapa ia bisa seakrab ini
dengan Youngho. Kenapa ia tak bisa begini dengan Jaehyun?
“Tahun 2001 Norah Jones
menyanyikannya lagi dalam versinya sendiri. Suaranya lembut dan khas, membuatku
merasa dicintai.”
“Manisnya.” Sanghyeon melirik
Youngho dengan senyum mengejek.
“Oh tidak tidak, kau tidak mengerti, Nona. Aku serius. Dari tadi
mereka cuma memutar musik-musik instrumental pengantar tidur. Berterimakasihlah
padaku, pesta ini jadi tidak terlalu payah.”
“Jadi kau menyabotase pemutar
musiknya?”
“Kau mau juga?”
“Yeah, mungkin suasananya akan
lebih hidup jika kita menyetel Guns N’
Roses.”
Youngho terbahak dan Sanghyeon
praktis ikut tertawa. Youngho menyanyikan beberapa bait lagu Sweet Child O’ Mine meniru-niru gaya Axl
Rose. Youngho bilang orang-orang tua di sini akan kena serangan jantung dan
lapangan parkir akan dipenuhi ambulans. Sanghyeon menutup muka dengan kedua tangannya, menyembunyikan tawanya yang makin liar. Saat ia mengangkat kepalanya lagi, matanya
bertemu dengan mata Jaehyun. Tawanya berhenti seketika. Gadis itu terbelalak
dan langsung berdiri. Jaehyun membuang muka darinya dan meneruskan obrolannya
dengan sepasang pengusaha di depannya.
“A-aku harus pergi,” katanya pada
Youngho.
“Yeah, senang bicara denganmu.
Sampaikan salamku pada Jaehyun. Kutebak dia sudah bilang padamu kalau kami
sepupu?”
“Ya, dia bilang.”
“Kalau begitu dia juga pasti sudah
bilang padamu betapa menyebalkannya aku.”
“Begitulah.”
“Pendendam sekali anak itu,”
gumam Youngho setengah tersenyum.
Sanghyeon cuma menatapnya, sama
sekali tak tahu harus menanggapi seperti apa. Berpamitan, ia menganggukkan kepala pada
Youngho, setulus hati mengapresiasi pria itu karena sudah mau menemaninya
beberapa menit ini. “Terima kasih minumannya, Youngho-ssi. Senang mengobrol
denganmu. Aku pergi.” Sanghyeon bergegas meninggalkan meja namun Youngho
menangkap tangannya.
“Kalau kau senang ngobrol denganku,
kuharap kita bisa ngobrol lagi lain waktu.”
“Aku yakin Jaehyun tak akan
menyukai itu.”
“Aku tak peduli dia suka atau
tidak,” katanya, tak lupa menyelipkan senyum, “yang penting kau suka.”
**********
Luar biasa rasanya berdiri di
sebelah orang yang sedang sangat marah padamu. Meski saat ini Jaehyun tengah menampilkan ekspresi santai dan ramah, Sanghyeon tetap bisa merasakan aura negatif yang pekat menguar dari tubuh pria itu. Rasanya panas seperti berada di sebelah perapian. Setelah
bertemu pandang dengan Jaehyun, Sanghyeon langsung menghampiri dan berdiri
sangat dekat di sebelahnya, berpikir ia akan diperkenalkan dan diajak masuk ke
dalam obrolan mereka. Tapi Jaehyun malah pura-pura tidak melihatnya. Ya,
pura-pura. Pasalnya kedua lawan bicara Jaehyun saja langsung mengalihkan pandangan
mereka pada Sanghyeon begitu gadis itu datang, namun Jaehyun malah terus bicara seolah dirinya tak kasatmata. Karena sikap Jaehyun yang seperti
itu, Sanghyeon jadi merasa dipermalukan. Ia memalingkan muka ke arah lain seraya
mengurai sedikit jarak dari sang pria, lalu berdiri di sana seperti orang bodoh.
Begitu perbincangan mereka
berakhir, Jaehyun menjabat tangan lawan bicaranya dengan senyum sopan lalu
melengos pergi tanpa melirik Sanghyeon sama sekali.
Sanghyeon praktis mengejar.
“Jung Jaehyun-ssi. Tunggu.”
“Jung Jaehyun!!”
“Ya ampun, Jaehyun!”
“Jung Jaehyun!!”
“Ya ampun, Jaehyun!”
“Saya bilang tunggu di mobil,
tapi Anda tidak mendengarkan,” kata Jaehyun dingin. Tempo langkahnya semakin
berlebihan.
Seraya mengangkat gaun merah
anggurnya, Sanghyeon setengah berlari berusaha menyamakan langkah mereka.
“Saya sudah menunggu di mobil setengah jam lebih.”
Jaehyun tak menghiraukan. Tetap
berjalan cepat entah menuju ke mana. Sanghyeon yang tak tahan pun menarik
tangannya, membuat pria itu mau tak mau berbalik.
“Anda marah pada saya karena saya
masuk ke pesta ini duluan?”
“Coba pikir lebih keras, apa
menurut Anda itu alasannya?”
“Kalau bukan itu lalu apa? Seo
Youngho?” tebak Sanghyeon, dan dari cara Jaehyun menatapnya, ia tahu tebakannya
benar. “Dia tiba-tiba duduk di depan saya, memangnya saya bisa apa?”
“Anda bisa pindah!” balas Jaehyun
sengit, nadanya hampir meninggi, hampir memancing perhatian. Pria itu
memejamkan mata berusaha menguasai diri lalu menatap tajam Sanghyeon sambil
tersenyum mencela, “Tapi Anda jelas tak mau melakukan itu karena Anda menikmati
keberadaannya. Saya melihat Anda tersenyum dan tertawa.”
Sanghyeon benar-benar tak habis
pikir. Dia balik menatap Jaehyun seolah pria itu tidak
waras. “Jadi saya dilarang tersenyum dan tertawa?”
“Anda tahu bukan itu maksudnya.”
“Saya cuma berbincang basa-basi,
kok. Saya menunggu Anda.”
“Menunggu saya bersama orang yang
paling saya benci di dunia?”
“Sudah saya bilang dia tiba-tiba
duduk di depan saya!” Susah rasanya untuk tidak memekik di situasi seperti ini,
Sanghyeon berkali-kali menahan diri untuk tidak memekik. Sanghyeon tidak mau
menjadi cewek yang berteriak di tengah keramaian. Dia tak mau kehilangan
kendali. Ditatapnya Jaehyun dan susah payah ia memaksa dirinya untuk
mengalah. “Oke, saya minta maaf kalau menurut Anda saya salah.”
Namun Jaehyun tidak mengapresiasi
keputusan bijaknya itu. Mungkin dia mau Sanghyeon menjadi cewek yang berteriak
di tengah keramaian. Mungkin dia mau Sanghyeon kehilangan kendali. “Untuk apa
minta maaf kalau menurut Anda perbuatan Anda tidak salah?”
“Oke saya salah, saya minta
maaf.”
“Anda tidak terdengar tulus sama
sekali.”
“Ya Tuhan, saya harus bagaimana?” tanya Sanghyeon frustrasi.
“Ya Tuhan, saya harus bagaimana?” tanya Sanghyeon frustrasi.
Jaehyun menghela napas dengan
ekspresi tak kalah frustrasi. Kemudian ia memejamkan matanya sejenak dan bicara dengan nada disabar-sabarkan, “Kembali ke mobil dan tunggu saya di sana. Saya hanya perlu setor muka
dengan tuan rumahnya. Biar dia tahu saya datang.”
“Kenapa saya tidak ikut? Bukankah
tugas saya…”
“Tugas Anda,” sela Jaehyun, menoleh muak pada sang lawan bicara, “adalah mengikuti perintah saya, Lee Sanghyeon-ssi.”
“Tapi…”
“Ikuti perintah saya!” Suaranya kini tak lagi tenang. Rahangnya mengeras dan ia menatap
Sanghyeon dengan tatapan yang mampu menembus kepala. “Kembali ke mobil dan
duduk manislah di sana, mengerti?”
Sikap Jaehyun barusan, ucapannya, membuat Sanghyeon
tertegun. Dia tidak menduga akan disuruh duduk manis di mobil. Entah mengapa
frasa itu terdengar menghina. Sexist.
Sanghyeon bisa merasakan sesuatu menyengat matanya, menyengat hatinya.
Jaehyun menunggu Sanghyeon mundur
dan kembali ke mobil. Sanghyeon menunggu Jaehyun meminta maaf dan menarik
ucapannya tadi. Mereka saling menunggu, sama-sama bergeming tak mau kalah.
Saling tatap seolah sedang menantang, seolah akan berperang. Tapi hal itu tidak
berlangsung lama. Sebab sang tuan rumah, sang pemilik perusahaan konstruksi
yang Jaehyun harap segera menandatangani kontrak dan menangani pembangunan cabang
hotel Jung Corp di Las Vegas, Tuan
Elliott, datang dan menyapa keduanya dengan mengejutkan.
“Mr. Jaehyun Jung!”
Jaehyun jelas tak punya pilihan. Ia tak mungkin membiarkan Sanghyeon pergi sekarang. Akan aneh jadinya.
“Mr. Elliott!” balas Jaehyun, segera menyambut jabatan tangannya, “I’m looking for you, sir. Happy 25th
anniversary for your company.”
“Oohh thank you thank you. Are you enjoying the party?”
“Of course we are!” Suaranya terdengar tulus dan ia menarik
Sanghyeon lebih dekat ke sisinya. “Great
party. We’re definitely having a good time, thanks to you.”
Awalnya Sanghyeon ingin pergi
saja. Ia yakin wajahnya sudah memerah karena menahan tangis, karena menahan emosi.
Ia yakin wajahnya sekarang tak cukup layak untuk diperlihatkan kepada siapa
pun. Terlebih pada sang tuan rumah. Namun kemudian ia menyadari itu hanya akan
memunculkan perdebatan baru. Jadi ia memeluk lengan Jaehyun dan berkata dengan
senyum paling cerah yang mampu ia tunjukkan, bersandiwara, “That’s true, Mr. Elliott. The decor, The
atmosphere, The food, everything was very good. I especially adore the music
choice, sir.”
Jaehyun mengangguk setuju dan
Tuan Elliott tertawa senang mendengar pujian itu. Dia bilang dia akan
memastikan para staf yang bertanggung jawab atas musik-musiknya mendapat tip
lebih. Sanghyeon bisa merasakan Jaehyun tersenyum ke arahnya, bukan kepadanya,
tapi pada perkataannya, pada usahanya. Namun Sanghyeon pura-pura tak melihat
Jaehyun sebagaimana Jaehyun pura-pura tak melihatnya tadi.
Mereka dan Tuan Elliott saling
bertukar beberapa gurauan dan percakapan lagi sebelum malam itu berakhir.
Jaehyun dan Sanghyeon pun kembali ke mobil, berkendara dua puluh lima menit dalam keheningan, kemudian masuk ke kamar masing-masing tanpa bertukar sepatah kata.
Jaehyun dan Sanghyeon pun kembali ke mobil, berkendara dua puluh lima menit dalam keheningan, kemudian masuk ke kamar masing-masing tanpa bertukar sepatah kata.
**********
Yang terjadi seharian kemarin
benar-benar malapetaka. Sanghyeon yakin itu akan menjadi awal di mana hubungan
mereka—yang sejak awal memang sudah berjarak—akan menjadi semakin berjarak.
Bukankah mereka sudah sepakat untuk bicara informal satu sama lain? Lalu kenapa
mendadak formal lagi? Sejak kapan itu terjadi? Atau malah, apakah mereka bahkan
pernah bicara informal selain pada saat memutuskan untuk bicara informal itu? Selain
pada saat perjalanan pulang dari jamuan makan malam Tuan Bezos di Mississipi
kemarin lusa? Selain tiga puluh menit di dalam mobil itu? Rasanya tidak pernah.
Seolah semesta tidak mengizinkan. Seolah itu tidak tepat. Percakapan-percakapan
informal tidak seharusnya digunakan dalam hubungan bisnis.
Pagi ini, persis seperti kemarin,
Sanghyeon dan Jaehyun bertemu saat Jaehyun hendak pergi bekerja. Waffle
lagi-lagi ada di pelukannya. Lagi-lagi diturunkan dalam perjalanannya menuju
pintu lift yang ada persis sebelum pintu keluar penthouse mereka—penthouse
Jaehyun. Lagi-lagi anjing itu berlari ke kaki Sanghyeon. Benar-benar
persis seperti kemarin. Hanya saja atmosfer hari itu amatlah mencekam.
Sanghyeon membungkuk untuk
membelai Waffle sekilas sebelum kembali berdiri tegak dan menatap Jaehyun.
Kalau Sanghyeon tidak berhalusinasi, ia bersumpah ia menemukan penyesalan di
mata pria itu. Detik berikutnya, ia bahkan menemukan penyesalan dalam
suaranya.
“Sicheng bilang Anda mau…,”
Jaehyun menghentikan ucapannya sendiri. Sejenak ia berpaling ke arah lain,
salah tingkah dan ragu-ragu, kemudian kembali menatap Sanghyeon. Kali ini lebih
yakin. Nampaknya sudah menemukan susunan kalimat yang bisa ia tutur dengan
lebih percaya diri.
“Sicheng bebas hari ini,”
mulainya. “Tidak ada pekerjaan urgent
di kantor. Kalau Anda membutuhkannya, saya bisa menyuruhnya ke sini.”
Sanghyeon tentu ingat akan
tawaran jalan-jalan Sicheng semalam, tapi gadis itu sedang tak ingin keluar.
Jadi ia menggeleng pelan pada Jaehyun, “tidak perlu, terima kasih.”
Jaehyun mengangguk. Ia membuka
mulutnya hendak bicara lagi sebelum memutuskan untuk tidak melakukannya.
Jaehyun menekan tombol lift, menunggu pintunya membuka dan mendadak berubah pikiran. Jaehyun akhirnya kembali bicara. “Saya sudah membuka akun
atas nama Anda. Buku tabungan dan kartu debitnya ada di meja ruang tengah.”
“Akun?”
“Ya,” kata Jaehyun. “Bayaran
Anda.”
“... oh.”
Pintu lift akhirnya terbuka dan
Jaehyun membungkuk sedikit pada Sanghyeon sebelum masuk ke dalamnya.
“Jung Jaehyun-ssi!” panggil
Sanghyeon tiba-tiba. Ia berlari menghampiri pintu lift dan memandang Jaehyun
yang sedang menahan pintunya membuka. Jaehyun balik memandangnya dengan bingung. Tubuh
Sanghyeon terasa panas. Benar-benar panas ia hampir terbakar.
“Saya mau!” kata Sanghyeon,
nyaris membentak. “Saya mau Sicheng ke sini!”
“Oh, baiklah, saya…”
“Saya mau jalan-jalan!” potong
Sanghyeon. “Saya mau menikmati bayaran saya! Saya mau menghabiskan semuanya!”
“Ba—”
“Saya mau Sicheng sudah ada di lobi
sepuluh menit lagi!”
“Sepuluh menit lagi?!”
“Tidak. Maksud saya sekarang juga!”
“Sepuluh menit lagi?!”
“Tidak. Maksud saya sekarang juga!”
TBC
Comments
Post a Comment