Businesship Part 3



Saat langit sudah gelap sepenuhnya, kurang lebih lima belas menit setelah mendapat telepon dari Sanghyeon, Jaehyun akhirnya pulang. Ia muncul begitu saja dari dalam lift. Yiren yang semula sedang duduk dengan kaki menyilang di meja langsung berdiri, menyambutnya dengan wajah cerah.


“Jae!”


Dari dalam kamar, Sanghyeon yang mendengar suara melengking Yiren langsung melompat ke daun pintu untuk menguping. Ia duduk bersandar di sana dan berkonsentrasi penuh agar bisa mendengar percakapan mereka.


“Mau apa?” tanya Jaehyun.
“Mau membantumu melepas kerinduanmu padaku.”


Sanghyeon mendecih. Ia harap Jaehyun juga mendecih.


Anjing pudel Yiren terus menyalak berisik saat mereka bicara. Sanghyeon beringsut semakin dekat dan menempelkan telinganya di pintu, namun yang terdengar hanyalah gonggongan anjing. Setelah beberapa menit, Sanghyeon pun menyerah. Lagi pula untuk apa ia menguping pembicaraan mereka begini. Bukan urusannya.


Sanghyeon merangkak kembali ke tempat tidurnya. Berbaring telungkup dengan kepala yang menoleh ke arah jendela kaca di sebelah kiri, melamun memandangi gemerlap kota Las Vegas sementara suara anjing Yiren terus merongrong tak bisa diam, kemudian tiba-tiba saja ia teringat pada teh kamomilnya yang baru disesap sedikit, yang terbengkalai di teras kolam renang, mungkin sudah penuh semut dan kemasukan lalat sekarang.


Sambil memikirkan semua hal yang secara acak muncul di kepalanya itu, kelopak mata Sanghyeon lambat laun menutup. Lalu, beberapa saat kemudian… begitu kelopak matanya terangkat lagi, tahu-tahu saja gonggongan anjing yang meredam perbincangan Jaehyun dan sang chinese doll di luar sudah tak terdengar. Sanghyeon melirik jam dindingnya dan langsung terbeliak bangkit begitu menyadari tiga jam sudah terlewat. Jarum pendek di jam dindingnya sudah hampir menunjuk angka sepuluh. Perempuan cantik tapi jahat itu—Wang Yiren—pasti sudah pulang. Seharusnya sudah pulang.


Dengan gerakan sepelan dan sehati-hati mungkin, Sanghyeon membuka pintu kamarnya untuk mengecek kondisi di luar. Ruang tengah sudah gelap gulita. Namun saat ia hendak melangkah ke luar, tiba-tiba saja gonggongan anjing Yiren terdengar lagi. Menyalak nyaring hingga membuat Sanghyeon hampir menutup pintunya kembali. Dia benar-benar tak mau bertemu Yiren lagi. Tapi melihat betapa sepinya penthouse sekarang, nampaknya memang tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan si anjing. Sanghyeon berpikir mungkin Jaehyun dan Yiren pergi ke suatu tempat, melanjutkan pembicaraan mereka dan makan malam. Meninggalkan pudelnya di sini.


Sanghyeon hendak menuju dapur saat ia melihat pintu kamar Jaehyun terbuka. Suara gonggongannya terdengar dari dalam sana. Takut anjing itu mengotori tempat tidur Jaehyun, Sanghyeon pun berinisiatif untuk mengeluarkannya. Namun saat tiba di pintu, ia malah menemukan Jaehyun tengah duduk di lantai, punggungnya bersandar di kaki ranjang sementara tangannya membelai pudel milik Yiren yang sedang menggigiti ujung karpet. Ruangan itu gelap gulita namun bahasa tubuh Jaehyun yang getir masih bisa Sanghyeon lihat. Jaehyun menyampirkan jas kerjanya di pangkuan. Dasinya sudah longgar dan sebagian besar kemejanya sudah keluar dari celana. Dia terlihat lelah dan berantakan. Namun juga domestik dan menenangkan hati. Jaehyun yang tengah mengusap-usap anjing pudel itu entah mengapa membuat Sanghyeon termangu. Sesuatu di dalam hatinya terasa hangat.


“Kenapa Anda mengizinkannya masuk?” Jaehyun tiba-tiba bertanya. Tanpa menoleh pada Sanghyeon sama sekali, seolah dia punya mata lain di belakang kepalanya.


Sanghyeon tersentak. Berusaha menjawab walau tergagap-gapap, “O-oh! I-itu… tadi….”


“Lain kali jangan begitu,” sela Jaehyun. Suaranya lelah. “Saya mohon pada Anda jangan begitu.”


Sanghyeon membuka mulutnya untuk meminta maaf, untuk menjelaskan, namun kalah cepat dengan Jaehyun. “Tolong tutup pintunya selagi Anda di sana. Selamat malam.”


Dia baru saja diusir secara halus. Sanghyeon praktis menelan kembali kata-katanya. “Yeah, selamat malam,” balasnya pelan, lantas mengulurkan tangan menutup pintu.


Keesokan harinya, Sanghyeon keluar kamar dan mengambil segelas air persis jam setengah delapan pagi. Ia melamun di konter dapur sambil memegangi gelas kosong. Sanghyeon tidak tahu kenapa ia tidak bertanya mengapa anjing Yiren masih di sini. Padahal hal itu mengganggunya sampai seperti ini. Ia memikirkannya semalaman, bahkan masih memikirkannya juga sekarang. Bagaimana jika Yiren datang lagi? Sanghyeon tak mau Yiren datang lagi.


Saat itu, pintu kamar Jaehyun terbuka dan pria itu berjalan menuju lift dengan setelan jasnya seperti biasa. Mata Sanghyeon langsung tertuju pada anjing pudel di pelukannya. Lalu tanpa ia sadari kakinya langsung melangkah mengejar.


“Anda sudah bangun rupanya.” Jaehyun tersenyum melirik Sanghyeon seraya menurunkan anjing Yiren ke lantai.


“Ya, saya baru bangun.”
“Saya harap Anda sedang tidak lelah hari ini, Sanghyeon-ssi.”


Sanghyeon langsung berpikir Jaehyun akan menyuruhnya mengurus anjing. Atau malah menyuruhnya mengantar anjing itu ke Wang Yiren. Memikirkannya saja membuat Sanghyeon bergidik.


“Malam ini akan ada acara yang harus kita hadiri lagi. Hampir mirip dengan acara di resort minggu lalu. Perayaan ulang tahun salah satu perusahaan mitra.”


Ternyata bukan. Syukurlah.


“Okay.”
“Warna merah anggur akan menawan.”
“Huh?”
“Gaun Anda,” kata Jaehyun. “Biasanya selalu saya yang pilihkan tapi hari ini saya benar-benar tidak punya waktu untuk itu.”


“Ah, gaun.” Sanghyeon mengangguk. “Baik.”
“Tapi kalau Anda sedang ingin pakai warna lain tidak masalah,” sambar Jaehyun segera, tak mau Sanghyeon salah paham. “Saya cuma tak mau Anda kesulitan memilih. Bukan mengatur.”


Sanghyeon memaksakan senyum dan mengangguk lagi. Anjing milik Yiren berjalan di antara kakinya. Bulu-bulu halusnya membuat kulit Sanghyeon tergelitik. Ia menunduk memandang pudel yang seperti boneka itu dan rasanya tak mungkin jika ia harus menunda lagi untuk bertanya. Jung Jaehyun, kenapa makhluk ini ada di sini! Apa pemiliknya akan datang lagi? Tolong jangan biarkan cewek barbar itu datang lagi!


“Jung Jaehyun-ssi,” panggil Sanghyeon lantang saat Jaehyun hampir memasuki lift. Jaehyun menoleh padanya, berhenti sejenak menunggu Sanghyeon bicara. “Ini.. anjing ini…”


“OH! Benar! Maaf saya lupa bilang. Namanya Waffle,” Jaehyun menyela dengan senyum semringah. Suaranya bahkan terdengar semringah. Seolah ia sudah menunggu untuk mengatakan itu. Mengatakan namanya Waffle. “Saya sudah minta tolong butler di sini untuk membelikan makanannya. Mungkin sebentar lagi datang.”


Tak mungkin Sanghyeon bilang bukan itu yang ingin ia tanyakan, tak mungkin Sanghyeon bilang ia tak peduli siapa nama anjing itu, terlebih Jaehyun mengucapkannya dengan tampang berseri. Jarang sekali melihat Jaehyun berseri-seri. Kenapa dia harus berseri-seri? 


“Oh, baik.” Jadi Sanghyeon lagi-lagi hanya mengangguk, balas tersenyum. “Saya akan menunggu butlernya datang kalau begitu.”


“Yeah, sebaiknya begitu,” kata Jaehyun. “Sampai jumpa nanti malam, Lee Sanghyeon-ssi. Saya pergi.”
“Ya.” Sanghyeon menjauhkan kakinya dari si anjing. “Selamat jalan.”



**********



“Apa kau menikmati kota Las Vegas, Nona?” Sicheng menyapa dengan penuh semangat begitu melihat Sanghyeon keluar dari pintu kaca otomatis gedung penthouse.


“Oh! Aku tak tahu kau ada di Las Vegas juga,” kata Sanghyeon terkejut. Ia turun ke lobi beberapa menit sebelum pukul tujuh, tepatnya setelah resepsionis menelepon mengatakan seseorang datang menjemputnya.


“Memang seharusnya tidak. Aku baru sampai siang ini, sekitar jam dua. Pak Bos bilang dia membutuhkanku di sini jadi aku langsung terbang sesuai perintahnya.”


Sanghyeon mengulum senyum geli mendengar cara Sicheng bicara. Antusias dan mengejutkan. Meledak-ledak seperti kembang api. Dan panggilan itu. Astaga!


“Omong-omong, apa pak bosmu ada di dalam?” tanya Sanghyeon sambil mengedikkan kepalanya ke mobil.


“Tidak ada,” balas Sicheng. “Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Pak Bos akan jalan langsung dari kantor begitu pekerjaannya selesai. Jadi, agar Nona tidak kesepian di mobil, aku diminta menjemput kemari.”


Sanghyeon tertawa. Ia yakin ‘agar nona tidak kesepian di mobil’ hanyalah bualan Sicheng semata. Jaehyun tak mungkin bilang begitu. Jaehyun tak mungkin memikirkan itu. Jaehyun meninggalkannya sendiri di penthouse setiap hari. Tanpa rasa bersalah sama sekali. Mana mungkin tiba-tiba pria itu khawatir dirinya akan kesepian?


“Kita jalan sekarang, Nona?”
“Okay.”


Sicheng pun bergegas membukakan pintu untuk Sanghyeon. Lalu setelah menutup pintunya, ia berjalan memutar dan mengambil posisi duduk di jok depan di samping pengemudi.



**********



Setibanya di resort tempat pesta digelar, Jaehyun ternyata belum tiba. Lewat sms, pria itu dengan entengnya menyuruh Sanghyeon menunggu di mobil. Sicheng berusaha menyelamatkan suasana hati Sanghyeon yang mulai mendung dengan mengajaknya ngobrol. Pria itu bertanya sudah jalan-jalan ke mana saja ia selama di sini. Dan sembari menekan kejengkelannya, Sanghyeon merunut semua gedung yang sempat disinggahinya untuk pertemuan bisnis bersama Jaehyun.


“Itu sih bukan jalan-jalan,” komentar Sicheng.
“Kalau begitu aku memang tak pernah jalan-jalan.”
“Memangnya Pak Bos melarang Nona keluar?”
“Tidak, kok. Cuma aku tak tahu mau ke mana,” balas Sanghyeon. “Lagian aku tak mau pergi sendiri.”
“Kalau Pak Bos mengizinkan, aku akan dengan senang hati menemani Nona jalan-jalan.”
“Janji, ya!”
“Iya.”


Untuk beberapa menit selanjutnya, Sicheng terus mengajaknya bicara. Ia tak henti-henti bertanya. Pertanyaan yang memang tulus ditutur karena penasaran dan pertanyaan-pertanyaan lain yang ditutur hanya sekadar untuk mengisi kekosongan. Sanghyeon tak bisa membedakan keduanya, Sicheng selalu terdengar antusias dan ceria saat bertanya. Hingga akhirnya, begitu Sanghyeon selesai menceritakan semewah apa rumah Tuan Bezos di Mississipi, ia tahu pertanyaan itu masuk ke golongan kedua. Kurt, sopirnya selama di Las Vegas, memberitahunya bahwa Sicheng—yang duduk di kursi depan di sebelahnya—sudah tertidur. Sicheng baru sampai di Las Vegas pukul dua siang dan langsung disuruh menemui Jaehyun di kantor dan menjemput Sanghyeon di penthouse, wajar pemuda itu kelelahan.


Beberapa lama Sanghyeon hanya termenung menatap ke luar jendela. Memandangi tamu-tamu undangan berlalu-lalang memasuki bangunan pesta. Ia benar-benar bosan. Jaehyun bilang dirinya akan sampai dalam lima belas menit, tapi ini sudah hampir empat puluh menit.


Pukul delapan lewat seperempat, Sanghyeon pun memutuskan untuk keluar. Ia akan menunggu di dalam saja. Minum wine dan makan kue.


Maka di sinilah Sanghyeon sekarang. Duduk di lingkaran meja paling terpencil di sudut ruangan. Hanya ditemani puding karamel dan kursi-kursi kosong yang menyedihkan. Ia tidak menemukan wine atau jenis alkohol apa pun di meja. Mungkin sudah habis karena ia terlambat datang.


“Apa aku boleh duduk di sini?” Sanghyeon mendongak dan hampir tersedak begitu melihat Youngho.


Tanpa menunggu jawaban, pria itu mengambil posisi duduk di hadapan Sanghyeon dan menyodorkannya segelas minuman berwarna cokelat amber.


“Bourbon,” katanya. “Pesta yang payah. Pelit sekali mengeluarkan alkoholnya. Aku harus mencegat pelayannya di depan dapur supaya tidak kehabisan.”


Sanghyeon menerima gelas itu dan melirik Youngho sambil tersenyum. “Kuhargai usahamu. Terima kasih.”


Sanghyeon menduga ia akan menanyakan Jaehyun, tapi di luar dugaan pria itu malah membicarakan musik yang sedang mengalun. “Bagaimana menurutmu lagu ini?”


Sanghyeon berhenti sejenak untuk mendengarkan lagunya lebih jelas. “Yeah, lumayan. Siapa pun penyanyinya, dia menyanyi dengan baik, penuh perasaan. Agak kuno, tapi menenangkan.”


“Agak kuno?” serunya berlebihan, ia menggeleng dengan wajah tersinggung dibuat-buat. “Wah! Kau tak bisa bilang begitu pada Norah Jones.”


“Siapa?”
“Yang sedang menyanyi?”


Sanghyeon terkekeh. “Maaf, Youngho-ssi,” katanya, “tapi kau harus mengakui nadanya memang agak kuno.”


“Tunggu, kau tahu namaku?”
“Yeah, Jaehyun memberitahuku.”
“Wow. Dia memberitahumu tentang aku. Dia mau menyebut namaku? Itu di luar dugaan.”


Sanghyeon sedang tak mau membicarakan Jaehyun, jadi sebelum Youngho bertanya macam-macam, ia segera mengangkat kembali topik utama mereka. “Jadi apa judulnya?”


“Lagu ini? The Nearness of You,” balas Youngho cepat, lantas menyesap bourbonnya dengan senyum lebar. Sanghyeon memandangnya sambil mengira-ngira apa senyum itu muncul karena girang Jaehyun membicarakannya, karena bangga sudah mengetahui judul lagunya, karena keduanya atau karena dia memang murah senyum saja. “Sebenarnya kau betul. Nadanya agak kuno karena ini memang lagu lama. Tahun 1940, kalau aku tak salah ingat. Glenn Miller, penyanyi aslinya.”


“Kakekku bahkan belum lahir.”
“Kakekku juga.”


Mereka berdua terkekeh. Sanghyeon menyendok suapan terakhir pudingnya sambil berpikir kenapa ia bisa seakrab ini dengan Youngho. Kenapa ia tak bisa begini dengan Jaehyun?


“Tahun 2001 Norah Jones menyanyikannya lagi dalam versinya sendiri. Suaranya lembut dan khas, membuatku merasa dicintai.”


“Manisnya.” Sanghyeon melirik Youngho dengan senyum mengejek.
“Oh tidak tidak, kau tidak mengerti, Nona. Aku serius. Dari tadi mereka cuma memutar musik-musik instrumental pengantar tidur. Berterimakasihlah padaku, pesta ini jadi tidak terlalu payah.”


“Jadi kau menyabotase pemutar musiknya?”
“Kau mau juga?”
“Yeah, mungkin suasananya akan lebih hidup jika kita menyetel Guns N’ Roses.”


Youngho terbahak dan Sanghyeon praktis ikut tertawa. Youngho menyanyikan beberapa bait lagu Sweet Child O’ Mine meniru-niru gaya Axl Rose. Youngho bilang orang-orang tua di sini akan kena serangan jantung dan lapangan parkir akan dipenuhi ambulans. Sanghyeon menutup muka dengan kedua tangannya, menyembunyikan tawanya yang makin liar. Saat ia mengangkat kepalanya lagi, matanya bertemu dengan mata Jaehyun. Tawanya berhenti seketika. Gadis itu terbelalak dan langsung berdiri. Jaehyun membuang muka darinya dan meneruskan obrolannya dengan sepasang pengusaha di depannya.


“A-aku harus pergi,” katanya pada Youngho.
“Yeah, senang bicara denganmu. Sampaikan salamku pada Jaehyun. Kutebak dia sudah bilang padamu kalau kami sepupu?”


“Ya, dia bilang.”
“Kalau begitu dia juga pasti sudah bilang padamu betapa menyebalkannya aku.”
“Begitulah.”
“Pendendam sekali anak itu,” gumam Youngho setengah tersenyum.


Sanghyeon cuma menatapnya, sama sekali tak tahu harus menanggapi seperti apa. Berpamitan, ia menganggukkan kepala pada Youngho, setulus hati mengapresiasi pria itu karena sudah mau menemaninya beberapa menit ini. “Terima kasih minumannya, Youngho-ssi. Senang mengobrol denganmu. Aku pergi.” Sanghyeon bergegas meninggalkan meja namun Youngho menangkap tangannya.


“Kalau kau senang ngobrol denganku, kuharap kita bisa ngobrol lagi lain waktu.”
“Aku yakin Jaehyun tak akan menyukai itu.”
“Aku tak peduli dia suka atau tidak,” katanya, tak lupa menyelipkan senyum, “yang penting kau suka.”



**********



Luar biasa rasanya berdiri di sebelah orang yang sedang sangat marah padamu. Meski saat ini Jaehyun tengah menampilkan ekspresi santai dan ramah, Sanghyeon tetap bisa merasakan aura negatif yang pekat menguar dari tubuh pria itu. Rasanya panas seperti berada di sebelah perapian. Setelah bertemu pandang dengan Jaehyun, Sanghyeon langsung menghampiri dan berdiri sangat dekat di sebelahnya, berpikir ia akan diperkenalkan dan diajak masuk ke dalam obrolan mereka. Tapi Jaehyun malah pura-pura tidak melihatnya. Ya, pura-pura. Pasalnya kedua lawan bicara Jaehyun saja langsung mengalihkan pandangan mereka pada Sanghyeon begitu gadis itu datang, namun Jaehyun malah terus bicara seolah dirinya tak kasatmata. Karena sikap Jaehyun yang seperti itu, Sanghyeon jadi merasa dipermalukan. Ia memalingkan muka ke arah lain seraya mengurai sedikit jarak dari sang pria, lalu berdiri di sana seperti orang bodoh.


Begitu perbincangan mereka berakhir, Jaehyun menjabat tangan lawan bicaranya dengan senyum sopan lalu melengos pergi tanpa melirik Sanghyeon sama sekali.


Sanghyeon praktis mengejar.


“Jung Jaehyun-ssi. Tunggu.”


“Jung Jaehyun!!”


“Ya ampun, Jaehyun!”


“Saya bilang tunggu di mobil, tapi Anda tidak mendengarkan,” kata Jaehyun dingin. Tempo langkahnya semakin berlebihan.


Seraya mengangkat gaun merah anggurnya, Sanghyeon setengah berlari berusaha menyamakan langkah mereka. “Saya sudah menunggu di mobil setengah jam lebih.”


Jaehyun tak menghiraukan. Tetap berjalan cepat entah menuju ke mana. Sanghyeon yang tak tahan pun menarik tangannya, membuat pria itu mau tak mau berbalik.


“Anda marah pada saya karena saya masuk ke pesta ini duluan?”
“Coba pikir lebih keras, apa menurut Anda itu alasannya?”
“Kalau bukan itu lalu apa? Seo Youngho?” tebak Sanghyeon, dan dari cara Jaehyun menatapnya, ia tahu tebakannya benar. “Dia tiba-tiba duduk di depan saya, memangnya saya bisa apa?”


“Anda bisa pindah!” balas Jaehyun sengit, nadanya hampir meninggi, hampir memancing perhatian. Pria itu memejamkan mata berusaha menguasai diri lalu menatap tajam Sanghyeon sambil tersenyum mencela, “Tapi Anda jelas tak mau melakukan itu karena Anda menikmati keberadaannya. Saya melihat Anda tersenyum dan tertawa.”


Sanghyeon benar-benar tak habis pikir. Dia balik menatap Jaehyun seolah pria itu tidak waras. “Jadi saya dilarang tersenyum dan tertawa?”


“Anda tahu bukan itu maksudnya.”
“Saya cuma berbincang basa-basi, kok. Saya menunggu Anda.”
“Menunggu saya bersama orang yang paling saya benci di dunia?”
“Sudah saya bilang dia tiba-tiba duduk di depan saya!” Susah rasanya untuk tidak memekik di situasi seperti ini, Sanghyeon berkali-kali menahan diri untuk tidak memekik. Sanghyeon tidak mau menjadi cewek yang berteriak di tengah keramaian. Dia tak mau kehilangan kendali. Ditatapnya Jaehyun dan susah payah ia memaksa dirinya untuk mengalah. “Oke, saya minta maaf kalau menurut Anda saya salah.”


Namun Jaehyun tidak mengapresiasi keputusan bijaknya itu. Mungkin dia mau Sanghyeon menjadi cewek yang berteriak di tengah keramaian. Mungkin dia mau Sanghyeon kehilangan kendali. “Untuk apa minta maaf kalau menurut Anda perbuatan Anda tidak salah?”


“Oke saya salah, saya minta maaf.”
“Anda tidak terdengar tulus sama sekali.”
“Ya Tuhan, saya harus bagaimana?” tanya Sanghyeon frustrasi.


Jaehyun menghela napas dengan ekspresi tak kalah frustrasi. Kemudian ia memejamkan matanya sejenak dan bicara dengan nada disabar-sabarkan, “Kembali ke mobil dan tunggu saya di sana. Saya hanya perlu setor muka dengan tuan rumahnya. Biar dia tahu saya datang.”


“Kenapa saya tidak ikut? Bukankah tugas saya…”
“Tugas Anda,” sela Jaehyun, menoleh muak pada sang lawan bicara, “adalah mengikuti perintah saya, Lee Sanghyeon-ssi.”


“Tapi…”
“Ikuti perintah saya!” Suaranya kini tak lagi tenang. Rahangnya mengeras dan ia menatap Sanghyeon dengan tatapan yang mampu menembus kepala. “Kembali ke mobil dan duduk manislah di sana, mengerti?”


Sikap Jaehyun barusan, ucapannya, membuat Sanghyeon tertegun. Dia tidak menduga akan disuruh duduk manis di mobil. Entah mengapa frasa itu terdengar menghina. Sexist. Sanghyeon bisa merasakan sesuatu menyengat matanya, menyengat hatinya.


Jaehyun menunggu Sanghyeon mundur dan kembali ke mobil. Sanghyeon menunggu Jaehyun meminta maaf dan menarik ucapannya tadi. Mereka saling menunggu, sama-sama bergeming tak mau kalah. Saling tatap seolah sedang menantang, seolah akan berperang. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Sebab sang tuan rumah, sang pemilik perusahaan konstruksi yang Jaehyun harap segera menandatangani kontrak dan menangani pembangunan cabang hotel Jung Corp di Las Vegas, Tuan Elliott, datang dan menyapa keduanya dengan mengejutkan.


Mr. Jaehyun Jung!


Jaehyun jelas tak punya pilihan. Ia tak mungkin membiarkan Sanghyeon pergi sekarang. Akan aneh jadinya.


Mr. Elliott!” balas Jaehyun, segera menyambut jabatan tangannya, “I’m looking for you, sir. Happy 25th anniversary for your company.”


Oohh thank you thank you. Are you enjoying the party?”
“Of course we are!” Suaranya terdengar tulus dan ia menarik Sanghyeon lebih dekat ke sisinya. “Great party. We’re definitely having a good time, thanks to you.”


Awalnya Sanghyeon ingin pergi saja. Ia yakin wajahnya sudah memerah karena menahan tangis, karena menahan emosi. Ia yakin wajahnya sekarang tak cukup layak untuk diperlihatkan kepada siapa pun. Terlebih pada sang tuan rumah. Namun kemudian ia menyadari itu hanya akan memunculkan perdebatan baru. Jadi ia memeluk lengan Jaehyun dan berkata dengan senyum paling cerah yang mampu ia tunjukkan, bersandiwara, “That’s true, Mr. Elliott. The decor, The atmosphere, The food, everything was very good. I especially adore the music choice, sir.”


Jaehyun mengangguk setuju dan Tuan Elliott tertawa senang mendengar pujian itu. Dia bilang dia akan memastikan para staf yang bertanggung jawab atas musik-musiknya mendapat tip lebih. Sanghyeon bisa merasakan Jaehyun tersenyum ke arahnya, bukan kepadanya, tapi pada perkataannya, pada usahanya. Namun Sanghyeon pura-pura tak melihat Jaehyun sebagaimana Jaehyun pura-pura tak melihatnya tadi.


Mereka dan Tuan Elliott saling bertukar beberapa gurauan dan percakapan lagi sebelum malam itu berakhir.


Jaehyun dan Sanghyeon pun kembali ke mobil, berkendara dua puluh lima menit dalam keheningan, kemudian masuk ke kamar masing-masing tanpa bertukar sepatah kata.



**********



Yang terjadi seharian kemarin benar-benar malapetaka. Sanghyeon yakin itu akan menjadi awal di mana hubungan mereka—yang sejak awal memang sudah berjarak—akan menjadi semakin berjarak. Bukankah mereka sudah sepakat untuk bicara informal satu sama lain? Lalu kenapa mendadak formal lagi? Sejak kapan itu terjadi? Atau malah, apakah mereka bahkan pernah bicara informal selain pada saat memutuskan untuk bicara informal itu? Selain pada saat perjalanan pulang dari jamuan makan malam Tuan Bezos di Mississipi kemarin lusa? Selain tiga puluh menit di dalam mobil itu? Rasanya tidak pernah. Seolah semesta tidak mengizinkan. Seolah itu tidak tepat. Percakapan-percakapan informal tidak seharusnya digunakan dalam hubungan bisnis.


Pagi ini, persis seperti kemarin, Sanghyeon dan Jaehyun bertemu saat Jaehyun hendak pergi bekerja. Waffle lagi-lagi ada di pelukannya. Lagi-lagi diturunkan dalam perjalanannya menuju pintu lift yang ada persis sebelum pintu keluar penthouse mereka—penthouse Jaehyun. Lagi-lagi anjing itu berlari ke kaki Sanghyeon. Benar-benar persis seperti kemarin. Hanya saja atmosfer hari itu amatlah mencekam.


Sanghyeon membungkuk untuk membelai Waffle sekilas sebelum kembali berdiri tegak dan menatap Jaehyun. Kalau Sanghyeon tidak berhalusinasi, ia bersumpah ia menemukan penyesalan di mata pria itu. Detik berikutnya, ia bahkan menemukan penyesalan dalam suaranya.


“Sicheng bilang Anda mau…,” Jaehyun menghentikan ucapannya sendiri. Sejenak ia berpaling ke arah lain, salah tingkah dan ragu-ragu, kemudian kembali menatap Sanghyeon. Kali ini lebih yakin. Nampaknya sudah menemukan susunan kalimat yang bisa ia tutur dengan lebih percaya diri.


“Sicheng bebas hari ini,” mulainya. “Tidak ada pekerjaan urgent di kantor. Kalau Anda membutuhkannya, saya bisa menyuruhnya ke sini.”


Sanghyeon tentu ingat akan tawaran jalan-jalan Sicheng semalam, tapi gadis itu sedang tak ingin keluar. Jadi ia menggeleng pelan pada Jaehyun, “tidak perlu, terima kasih.”


Jaehyun mengangguk. Ia membuka mulutnya hendak bicara lagi sebelum memutuskan untuk tidak melakukannya. Jaehyun menekan tombol lift, menunggu pintunya membuka dan mendadak berubah pikiran. Jaehyun akhirnya kembali bicara. “Saya sudah membuka akun atas nama Anda. Buku tabungan dan kartu debitnya ada di meja ruang tengah.”


“Akun?”
“Ya,” kata Jaehyun. “Bayaran Anda.”
“... oh.”


Pintu lift akhirnya terbuka dan Jaehyun membungkuk sedikit pada Sanghyeon sebelum masuk ke dalamnya.


“Jung Jaehyun-ssi!” panggil Sanghyeon tiba-tiba. Ia berlari menghampiri pintu lift dan memandang Jaehyun yang sedang menahan pintunya membuka. Jaehyun balik memandangnya dengan bingung. Tubuh Sanghyeon terasa panas. Benar-benar panas ia hampir terbakar.


“Saya mau!” kata Sanghyeon, nyaris membentak. “Saya mau Sicheng ke sini!”
“Oh, baiklah, saya…”
“Saya mau jalan-jalan!” potong Sanghyeon. “Saya mau menikmati bayaran saya! Saya mau menghabiskan semuanya!”


“Ba—”
“Saya mau Sicheng sudah ada di lobi sepuluh menit lagi!”
“Sepuluh menit lagi?!”
“Tidak. Maksud saya sekarang juga!”

   

TBC

Comments

Popular Posts