Businesship Part 4
Sanghyeon dan Sicheng menjadi
pengunjung pertama di Time Square hari
itu dan berbelanja di sana sampai jam makan siang. Mereka menghabiskan hampir tiga
puluh menit sendiri hanya untuk menentukan akan makan di mana. Sicheng
menyarankan untuk pergi ke foodcourt. Di
sana lebih banyak pilihan, katanya. Tapi Sanghyeon ingin makan di restoran
mahal. Supaya bayaran dari Jaehyun bisa
lebih cepat habis, dia bilang.
Jadi mereka pun makan di restoran
seafood mewah yang dindingnya
dilapisi marmer putih. Memesan ruang VIP berkapasitas dua puluh orang namun
hanya diisi oleh tiga orang—Sanghyeon, Sicheng dan Kurt—dan menghabiskan hampir
5.000 dollar begitu saja. Sicheng bilang dia tak mau ke sana lagi. Makanannya
bahkan tidak enak-enak amat. Dan walaupun tak menanggapi apa-apa, Sanghyeon
dalam hati sepakat.
Kemudian mereka kembali belanja.
Kali ini Sanghyeon membelikan baju dan barang-barang bermerek untuk Sicheng dan
Kurt. Mereka menyambangi toko demi toko sampai jam enam sore sebelum akhirnya
berhenti karena tak ada ruang lagi di tangan masing-masing untuk membawa barang.
Semuanya sudah menenteng lusinan paper
bag sampai jadi pusat perhatian. Setelah memasukkan semuanya ke bagasi mobil,
mereka pun meninggalkan Time Square
dan berencana untuk langsung kembali ke penthouse.
Namun dalam perjalanan pulang, Sanghyeon melihat gerai gelato yang
berwarna-warni dan meminta Kurt untuk mampir dulu di sana.
Maka di sinilah mereka sekarang.
Duduk berjejer di gerai mungil di pinggiran jalan Las Vegas yang kuno, menikmati
satu cup gelato.
“Thank you, Kurt,” kata Sanghyeon sementara tangannya mengulur
menerima cup yang disodorkan Kurt.
Gadis itu memilih rasa permen karet. Sicheng rasa krim keju. Sedangkan Kurt sendiri
rasa oreo. Pria itu duduk di samping Sicheng dan mendengarkan kedua orang di
sampingnya bicara dalam bahasa yang sama sekali tak ia pahami.
“Lalu sekarang bagaimana caranya
aku menatap Jaehyun? Cih. Benar-benar tak ada otaknya aku ini! Kenapa tiba-tiba
membentaknya begitu? Kenapa aku malah tersinggung karena dia memberiku
bayaran!” keluh Sanghyeon gusar.
Sicheng memasukkan sesendok
gelato ke mulutnya dan membalas dengan mulut penuh, “karena kau berharap lebih
dari Pak Bos, tentu saja.”
“Kau benar,” desah Sanghyeon.
“Aku bahkan tak tahu apa tepatnya yang kuharapkan, tapi kau benar.”
“Itu wajar, kurasa. Aku mungkin juga akan bersikap seperti itu jika ada di posisimu, Nona.”
“Nona?” ulang Sanghyeon
menyindir. “Serius? Setelah mendengar semua ceritaku seharian ini, kau masih
memanggilku Nona? Sicheng, aku bukan siapa-siapa Jaehyun.”
“Kau seseorang yang Pak Bos
percaya untuk tinggal bersamanya, berdua saja, selama berbulan-bulan, di negara
orang,” kata Sicheng mengingatkan. “Itu tidak terdengar seperti bukan
siapa-siapa bagiku.”
“Aku kerja padanya.” Sanghyeon membalas penuh penekanan. “Iya sih rasanya sama sekali tidak seperti bekerja, tapi tetap
saja. Aku direkrut di hari yang sama denganmu. Aku cuma buruh. Aku, kau dan
Kurt bisa membentuk serikat buruh sekarang jika mau.”
Sicheng tertawa. Kurt yang merasa
namanya disebut-sebut langsung menoleh pada Sanghyeon.
“Am I right, Kurt?”
“What?”
“Just answer me. Am I right?”
“You’re right, maam,” jawab Kurt, tersenyum, “I guess.”
Kurt menghabiskan gelatonya
duluan dan berkata akan menunggu di mobil.
Maka tinggallah mereka berdua. Seraya
memandangi jalanan yang mulai padat, Sicheng meletakkan cup gelatonya yang sudah kosong di atas meja. Kendaraan-kendaaran
bermotor berlalu-lalang di seberang mereka. Bising, tapi bukan jenis kebisingan
yang mengganggu. Justru sebaliknya, suasana sore ini malah membuat Sicheng
maupun Sanghyeon merasa damai. Matahari mulai condong ke barat, menghiasi
langit dengan lembayung senja yang cantik. Rasanya seperti ada di gambar
berfilter yang biasa diunggah orang-orang di instagram. Seperti di negeri dongeng.
Setelah beberapa saat mengamati jalan, Sicheng baru menoleh pada Sanghyeon yang
masih melamun. “Mau menghabiskan gelatomu di mobil, Nona?”
“Yeah.”
“Baiklah. Ayo.” Sicheng langsung
berdiri.
“Sicheng.”
“Hm?”
“Aku akan berusaha,” kata
Sanghyeon, mendongak menatap lawan bicaranya dengan penuh keyakinan. “Aku akan
berusaha untuk tidak berharap lebih pada Pak Bosmu.”
Bibir Sicheng seketika meliuk
membentuk cibiran. “Ah, kau ini!” katanya, mendenguskan tawa. “Justru aku sedang
memikirkan cara untuk membantumu.”
“Membantu?”
“Iya, membantumu.”
“Jaehyun tak mungkin menyukaiku.”
“Usaha dulu.”
“Cemerlang,” ejek Sanghyeon. “Kau mau ganti rugi kalau dia memecatku?”
Sicheng terkekeh pelan. “Okay, lebih
baik kita ke mobil sekarang. Kasihan Kurt.”
**********
Jaehyun sedang mengisi gelasnya
dengan alkohol saat Sanghyeon keluar dari lift bersama seorang butler yang membawakan paper
bag-nya. Sanghyeon memandang Jaehyun sejenak—ia duduk di lantai di ruang
tengah, di depan meja kaca yang dipenuhi sekurang-kurangnya empat botol
alkohol, dengan Waffle yang tertidur di sofa, serta televisi yang menyala tanpa
suara—sebelum kembali menoleh pada sang butler
dan mengucapkan terima kasih padanya. Mengawasinya kembali ke dalam lift sampai
pintunya tertutup.
Tadinya Sanghyeon hendak langsung
masuk ke kamar saja, pura-pura tidak melihat atau apalah, tapi matanya malah
bertemu dengan mata Jaehyun. Jadi mau tak mau ia membungkuk padanya. “Kurt
langsung mengantar Sicheng pulang ke apartemennya,” katanya memberi tahu.
Jaehyun meliriknya tanpa minat. Mengangguk.
“Kalau begitu saya permisi dulu.”
Sanghyeon membungkuk sekali lagi, lantas berbalik menuju kamarnya.
“Sanghyeon-ssi,” panggil Jaehyun.
Langkah Sanghyeon terhenti. Ia
menoleh pada Jaehyun sambil mengerjap, “ya?”
“Mau temani saya minum?”
“M-minum?”
“Ya, saya agak…,” Jaehyun menelan
ludah. Ia hampir bilang ‘kesepian’ tapi itu terdengar terlalu menyedihkan bahkan di
kepalanya sendiri. Jadi ia sedikit memodifikasi kalimatnya. “Saya tidak mau
sendirian.”
Sanghyeon tak langsung menjawab.
Mungkin cuma dua-tiga detik tapi rasanya terlalu lama. Jaehyun hampir
berkeringat, hampir gugup. Ia menekankan kuku jarinya di botol alkohol
kuat-kuat dan tersenyum pahit, “Saya mengerti Anda lelah. Maaf sudah meminta
yang tidak-tidak.”
“Bukan begitu!” sergah Sanghyeon
tak enak. “Saya mau, kok.”
Sanghyeon buru-buru mencopot heels-nya dan menghampiri Jaehyun di
ruang tengah. Ia duduk di sisi meja yang lain, berseberangan persis dengan sang
pria. Sudah ada bantal tipis di sana. Seolah sudah disiapkan. Seolah ia memang berharap Sanghyeon pulang cepat dan menemaninya.
Saat itu Sanghyeon baru dapat
melihat penampilan Jaehyun dengan jelas. Dia memakai kaus katun polos berwarna
abu-abu dan celana pendek. Sanghyeon sudah tinggal bersamanya hampir sebulan
dan ini pertama kalinya ia melihat Jung Jaehyun berpakaian sesantai ini.
“Jalan-jalannya menyenangkan?”
tanya pria itu basa-basi. Tangannya terulur ke arah nampan di tengah meja,
membalik sebuah gelas kaca pendek yang entah mengapa ada di sana, mengisinya dengan
alkohol dan menyodorkannya pada Sanghyeon.
“Ya, kami ke Time Square dan makan gelato.”
“Begitu.”
Sanghyeon mengangguk. “Maaf saya
lupa beli apa-apa untuk Anda.”
Jaehyun hampir tertawa. “Tidak
apa-apa,” katanya. “Saya juga minta maaf.”
“Untuk?”
“Maaf tidak mengajak Anda
jalan-jalan sama sekali selama di sini.”
Dasar Sicheng!, batin Sanghyeon langsung. Dia pasti cerita. Mulut
anak itu benar-benar.
“I-itu bukan salah Anda, kok.
Anda di sini untuk bekerja, bukan mengajak saya jalan-jalan.” Sanghyeon hampir
mencicit. Ia menunduk pada gelasnya, memerhatikan botol-botol alkohol di meja
dan baru sadar ada yang ganjil di sini. Jaehyun biasanya pulang larut, jam
sembilan atau sepuluh. Sedangkan sekarang masih jam tujuh. “Tumben Anda sudah
pulang.”
“Tidak ada yang harus dilakukan
di kantor, jadi saya pulang,” jawabnya santai.
Sanghyeon mengangguk. Kemudian
karena tak tahu harus mengatakan apa, ia menyesap minumannya sedikit.
“Saya juga minta maaf soal sikap
kekanakan saya kemarin.” Jaehyun baru bicara lagi lima menit kemudian. Suaranya agak
berbeda. Nampaknya alkohol sudah mulai memengaruhinya.
“Soal Seo Youngho?” tanya
Sanghyeon hati-hati.
“Soal Seo Youngho.”
Sanghyeon meletakkan gelasnya di
meja dan mengawasi raut wajah Jaehyun sejenak sebelum bicara, “Mungkin, kalau
Anda tidak memberi tahu saya soal betapa obsesifnya Youngho pada kehidupan
Anda, saya akan menyimpulkan dia orang yang menyenangkan.”
“Menurut Anda dia menyenangkan?”
“Begitulah.” Sanghyeon mengangkat bahu. “Mudah bicara dengannya.”
“Dan tidak mudah bicara dengan saya?”
“Saya tidak bilang begitu.”
Jaehyun mengisi gelasnya lagi dan
langsung meneguknya seperti orang tersinggung. Wajahnya semakin merah dan ia
mengumbar senyum tak wajar. “Orang yang Anda sebut menyenangkan itu, Yiren
pasti berpikir begitu juga tentangnya.”
“Kenapa tiba-tiba…”
“Dia merebut Yiren dariku,”
potong Jaehyun merana, menanggalkan bahasa formalnya begitu saja. Sanghyeon tak
mengira ia akan mendengar cerita semacam ini. Ia menegakkan posisi tubuhnya dan
meremas ujung sundress-nya kuat-kuat.
Sejujurnya Sanghyeon tak ingin mendengar apa pun soal Yiren. Tapi tak mungkin
ia pergi sekarang. Dilihatnya Jaehyun membasahi bibirnya sebelum melanjutkan
dengan suara tercekat. “Awalnya aku tak peduli Youngho mau mengikutiku seperti
apa. Aku sadar obsesinya pada hidupku benar-benar tidak sehat, tapi aku tak
peduli. Aku tak peduli dia ikut ambil kuliah bisnis di Stanford. Tak peduli dia
minta diajak masuk ke dalam lingkaran pergaulanku. Tak peduli dia mau jabatan
di Jung Corp. Sama sekali tak peduli. Karena aku percaya aku tak akan kalah
darinya. Aku percaya di dunia ini tidak mungkin ada yang bisa lebih baik untuk
menjadi aku ketimbang diriku sendiri.”
Jaehyun menatap Sanghyeon tepat
di matanya. Suaranya semakin bergetar. “Tapi dia malah mengambil Yiren,”
katanya mengadu. Membuat hati Sanghyeon mencelos. Remuk. “Dan saat itu rasanya segalanya luluh lantak. Dia menang. Dia berhasil mengambil satu-satunya
hal yang kupedulikan. Dia berhasil membuatku peduli padanya, melihatnya. Youngho menang. Bajingan
itu menang.” Mata Jaehyun berkaca-kaca. Rambutnya yang selalu tertata rapi
karena diberi gel kini menjuntai kuyu di kening.
Jaehyun bercerita lebih banyak
soal Wang Yiren. Mereka bertemu di kampus. Bermula dari sekadar saling lirik di
koridor loker hingga akhirnya pacaran di tahun kedua. Yiren memutuskan untuk
pindah ke apartemen Jaehyun di tahun yang sama. Mereka saling mencintai. Mereka
mengambil kelas-kelas yang sama agar bisa berangkat dan pulang bersama-sama.
Mereka mengadopsi Waffle. Mereka bahagia. Lalu suatu hari Yiren memutuskan dia
sudah tidak mencintai Jaehyun lagi. Dia pergi begitu saja, membawa serta anjing
pudelnya dan tak pernah kembali. Awalnya Jaehyun mencoba menerima, tapi begitu
tahu Yiren pindah ke apartemen Youngho, rasanya kepalanya hampir meledak.
Youngho lagi. Dari sekian banyak manusia di dunia ini, kenapa selalu Youngho
yang merecoki hidupnya. Begitu kurang lebih ceritanya.
Semakin malam, wajah Jaehyun
semakin merah. Ekspresinya makin sendu dan matanya makin berkaca-kaca.
Sanghyeon mendadak jadi ikut berkaca-kaca.
“Menangis saja,” kata Sanghyeon.
Dan Jaehyun langsung menangis. Seolah-olah sejak tadi ia memang menunggu diberi
izin.
Sanghyeon terus menatap Jaehyun
yang sedang menangis. Hatinya memberat dan ia iri luar biasa pada Wang Yiren.
Memiliki seseorang seperti Jaehyun menangis semenderita ini untukmu
benar-benar anugrah besar.
“Maaf jika aku setidak suka itu
melihatmu bicara dengan Youngho,” kata Jaehyun terbata, suaranya serak dan ia
mendesahkan napas tersedu. Kepalanya terus menunduk. Rambutnya menempel di
keningnya yang basah dan Sanghyeon ingin sekali mengulurkan tangan untuk
menyentuhnya. Untuk menyingkirkan rambut-rambut itu. Untuk mengusap air
matanya. Memeluknya. “Maaf jika aku membenci orang yang menurutmu menyenangkan
itu sampai seperti ini. Aku benar-benar tak bisa menahan diri. Hatiku… rasanya mendidih tiap mendengar namanya.”
Semua penuturan Jaehyun dan cara pria itu menuturkannya menghasilkan kenyerian luar biasa di dada Sanghyeon. Hidungnya merah dan kepalanya jadi pening karena menahan tangis. Menahan iri.
Semua penuturan Jaehyun dan cara pria itu menuturkannya menghasilkan kenyerian luar biasa di dada Sanghyeon. Hidungnya merah dan kepalanya jadi pening karena menahan tangis. Menahan iri.
“Jung Jaehyun-ssi,” bisik
Sanghyeon. Jaehyun perlahan-lahan mengangkat wajah basahnya untuk menatap
Sanghyeon. Pria itu nampak begitu tak berdaya dan Sanghyeon merasa semakin
terluka. “Bagaimana caranya…,” kata
Sanghyeon lambat-lambat, tenggorokannya terasa kering dan hatinya serasa
diremas saat ia melanjutkan, “…agar bisa dicintai sebesar ini olehmu?”
Sedu Jaehyun terhenti. Ia menatap
Sanghyeon seolah tak dapat memercayai telinganya. Namun Sanghyeon hanya balik menatapnya penuh perasaan.
“Sanghyeon-ssi …”
Saat itu Sanghyeon baru sadar betapa kontroversial pertanyaannya barusan. Ia tercekat dan langsung berdiri. Rahangnya
mengeras. “M-maaf sudah bertanya yang bukan-bukan,” serunya salah tingkah. Ia
menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga dengan tangan gemetar yang
ditahan-tahan. “Saya sepertinya mulai mabuk juga. Terima kasih sudah bicara
dengan jujur, Jaehyun-ssi. Saya berjanji akan menghindari Youngho mulai
sekarang. Maaf atas kecerobohan saya kemarin. Saya permisi.”
Setelah mengucapkan itu, Sanghyeon
langsung membalik badan dan berjalan cepat menuju kamarnya.
“Sanghyeon-ssi.”
Dan semakin cepat lagi.
“Tunggu. Saya masih mau bicara.”
BRUKK!! Lalu membanting pintu
kamarnya dengan dada bertalu-talu. Apa-apaan
yang tadi itu!
*********
Jaehyun mengirimkan pesan.
Saat Sanghyeon sudah membersihkan
diri dan bersiap tidur, barulah ia sadar Jaehyun mengiriminya pesan.
Tolong telepon aku.
Sanghyeon sedikit bingung,
sedikit panik. Ia mematikan lampu kamarnya sebelum berbaring dan menyelimuti
seluruh tubuh. Layar ponselnya amat menyilaukan di ruangan yang gelap, terlebih
di balik selimut. Untuk beberapa saat yang ia lakukan hanya memandangi kontak
Jaehyun, mengumpulkan keberanian hampir sepuluh menit sebelum akhirnya berhasil
menekan tombol panggil dan menghubunginya.
Jaehyun mengangkat panggilannya
di dering kedua.
[Sanghyeon-ssi.] Suara Jaehyun
hanya setingkat lebih keras dari bisikkan. Sanghyeon membayangkan Jaehyun
sedang berada di posisi yang sama dengannya. Mungkin tidak di balik selimut,
tapi ia yakin Jaehyun sudah berbaring di tempat tidurnya. Menunggu Sanghyeon
menelepon sejak tiga puluh menit yang lalu.
“Ya.”
[Maaf jika semua ceritaku tadi
membuatmu tak nyaman.] Sanghyeon terkejut pria itu masih mempertahankan bahasa
informalnya. Apa dia masih mabuk?
Sebelum membalas, Sanghyeon sesaat
menimbang-nimbang apa ia harus bicara informal juga. “Kau tidak membuatku tak
nyaman. Aku hanya sangat lelah.”
[Kalau begitu mungkin kau tak
akan suka mendengar apa yang akan kukatakan.]
“Apa?”
[Yiren ke sini bukan cuma untuk
memberikan Waffle padaku.] Sanghyeon baru tahu Waffle ternyata ‘diberikan’ pada
Jaehyun. Mungkin ini semacam hak asuh. [Dia juga mengundangku ke acara ulang
tahunnya di California.]
Sanghyeon tak menjawab. Apa hubungannya denganku?, pikirnya.
[Acaranya besok. Kalau kau sedang
sangat lelah…]
“Kalau kau mau pergi, pergi saja.
Aku tidak apa-apa di sini sendiri.”
[Aku hanya akan pergi denganmu.]
“Kenapa?”
Jaehyun bergeming. Sanghyeon bisa
mendengar pria itu menghela napas dan praktis memejamkan mata merutuki dirinya
sendiri. Tentu saja Jaehyun harus mengajaknya. Mereka ‘ceritanya’ sedang
pacaran. Jaehyun harus terlihat baik-baik saja; punya cewek baru dan mampu
mendatangi pesta mantannya dengan santai. Dia pasti ingin terlihat dengan imej
begitu di hadapan semua orang.
“Kalau besok, aku pasti sudah
tidak lelah,” sahut Sanghyeon.
[Kau yakin?]
“Ya.”
[Aku akan beli tiket pesawatnya
kalau begitu.]
“Tapi tunggu dulu.” Alis Sanghyeon
bertaut, mendadak teringat sesuatu. “Kalau itu pesta ulang tahun Yiren,
bukankah Youngho akan ada di sana juga? Mereka ‘pernah’ pacaran, kan? Atau
masih? Intinya, apa kau yakin kau tidak apa-apa?”
[Ya, Youngho seharusnya ada di
sana. Tapi itu bukan masalah. Kita hanya perlu menghindarinya. Dan soal mereka
pernah pacaran, sejujurnya aku tak tahu. Aku hanya tahu mereka pernah tinggal
bersama. Tapi yeah, apa pun statusnya dulu, aku yakin mereka sudah tidak punya
hubungan apa-apa lagi sekarang.] Jaehyun mencibir. [Youngho hanya menyukai orang
yang sedang dekat denganku.] Dia menekankan kalimat terakhirnya itu, berharap
Sanghyeon mengerti bahwa ia sedang memperingatkannya. Youngho sedang mengincarmu.
“Okay.”
[Dan soal pertanyaanmu di ruang
tengah tadi, jawabannya adalah aku tak tahu,] kata Jaehyun, sekarang suaranya
semakin pelan lagi. Setara dengan bisikkan. Jaehyun berbisik di telinganya dan
Sanghyeon hampir tersenyum. [Aku bertemu dengannya begitu saja. Mencintainya
begitu saja. Seperti takdir.]
Detik berikutnya ia baru sadar
pertanyaan mana yang Jaehyun maksud. Suaranya yang menanyakan ‘bagaimana caranya agar bisa dicintai
olehmu?’ berputar di kepalanya sampai membuatnya tersipu.
“Oh.” Sanghyeon tercekat malu.
“K-kau tak perlu menjawab itu.”
[Aku sudah menjawabnya.]
“Yeah, tapi kau.. seharusnya.. tak perlu.”
[Okay.]
“Ya.”
Canggung. Jaehyun berdeham
membersihkan tenggorokannya sebelum kembali bicara. Sudah waktunya mengakhiri
pembicaraan ini. Sudah waktunya mengakhiri kecanggungan ini. [Aku akan
memberitahumu jadwal penerbangan kita secepatnya.]
“Oke.”
[Kalau begitu selamat malam,
Sanghyeon-ssi.]
“Selamat malam.”
*********
Penerbangannya pukul empat sore.
Mereka akan tiba di bandara San Fransicso, California pukul enam, check
in hotel dan pergi ke pesta Yiren pukul sembilan malam. Begitu rencananya.
Saat Jaehyun memberitahunya acara
ulang tahun Yiren akan digelar di kelab malam, Sanghyeon tak bisa menahan
kepalanya yang langsung membayangkan pesta huru hara liar dengan dekorasi
disko, beer pong, orang-orang
setengah telanjang yang bermesraan di setiap sudut serta narkoba di mana-mana.
Dia membayangkan pesta akhir pekan ala remaja Amerika yang biasa ia tonton di chick flick. Mungkin tidak akan persis
seperti itu. Tapi ia sudah senang setengah mati karena tak harus pakai gaun
panjang lagi.
Sanghyeon mengemas mini dress sequin berwarna rose gold dengan senang hati. Sanghyeon
sudah ingin memakainya sejak hari di mana ia membelinya, tapi tak pernah punya
kesempatan untuk itu. Semua acara Jaehyun adalah acara formal. Elegan dan
membosankan. Rasanya ia masih tak bisa memercayai bahwa hari ini benar-benar
datang. Ia tak percaya ia akan menghadiri acara yang tujuannya murni untuk
bersenang-senang, bukan untuk melobi pengusaha atau kontraktor demi keperluan
bisnis yang tak ada habisnya. Satu-satunya hal yang Sanghyeon benci dari pesta
nanti malam adalah akan ada Yiren di sana. Yeah,
tentu saja akan ada dia. Itu pesta ulang tahunnya.
Jaehyun dan Sanghyeon tiba di
bandara tepat waktu. Namun cuaca yang buruk membuat semua penerbangan ditunda.
Termasuk penerbangan mereka.
Setelah menunggu hampir dua jam,
akhirnya pusat informasi bandara mengumumkan kabar baik. Penerbangan kembali
dilanjutkan. Cuaca sudah lebih bersahabat sekarang.
Pesawat mereka baru lepas landas
beberapa menit sebelum jam enam, dan baru sampai di tujuan pukul delapan malam.
“Jadi bagaimana?” tanya Sanghyeon
selagi mereka menggeret koper menuju antrean taksi.
Jaehyun mengabaikannya. Ia masih
mencoba menghubungi Sicheng dengan otot-otot wajah yang tertarik tegang, sudah
teramat siap untuk meneriakkan ‘di mana mobil yang seharusnya menjemputku!’
begitu panggilannya diangkat. Suasana hatinya sudah kacau balau karena pesawat
yang delay, dan sekarang makin kacau
lagi karena mobil sewaannya tak kunjung datang. Padahal mereka harus segera
bersiap-siap di hotel. Pesta Yiren berlokasi di Stanford dan itu artinya mereka
harus berkendara sekurang-kurangnya empat puluh menit dari San Fransisco ke
sana. Entah jam berapa mereka akan sampai.
“Bukankah sebaiknya kita ganti
baju di toilet?” Sanghyeon menyarankan, mengingat sekarang sudah jam setengah
sembilan malam. Rasanya tak mungkin jika harus ke hotel dulu.
“Yeah, kau benar.” Jaehyun
nampaknya sudah menyerah menghubungi Sicheng dan menyimpan ponselnya di saku. “Kau duluan saja. Aku akan ambil nomor antrean untuk taksinya dulu.”
“Okay.”
Mini dress-nya ternyata lebih kecil dan lebih sulit dipakai dari
yang Sanghyeon kira. Ia menghabiskan sebagian besar energinya hanya untuk
menentukan di mana untaian tali yang rumit itu seharusnya berada. Lehernya
tercekik dan lengannya terbelit berkali-kali sebelum—terima kasih Tuhan—ia berhasil
memakainya.
Sanghyeon keluar dari bilik
toilet dan menyeret tubuhnya yang kelelahan menuju wastafel—untuk melakukan
sesuatu pada rambutnya, untuk merias wajahnya. Ia mengeluarkan catokan portable dan tas makeupnya dari koper,
lalu mulai membagi rambutnya menjadi beberapa bagian. Saat sedang menarik bagian
atas rambutnya untuk mencatok, ponselnya tiba-tiba berdering nyaring dan nama
Jaehyun muncul di layar.
“Halo?”
[Kau itu sedang apa sih di sana?
Tidur? Cepat keluar!] raungnya, lalu mematikan telepon begitu saja. Wah! Lihat orang ini! Sanghyeon mendengus
tak percaya. Perlahan-lahan dia mulai mengeluarkan sifat aslinya.
Sanghyeon meringis membayangkan akan serepot apa berdandan di dalam taksi. Kemudian ia mendongak menatap pantulannya di cermin dan makin meringis lagi.
Orang-orang yang baru masuk ke kamar mandi pun turut memandanginya dengan aneh. Mereka memandangnya dari atas ke bawah seolah sedang menghakimi. Dia masih pakai sepatu kets merah muda. Rambut ikalnya terjuntai berantakan di sekitar bahu. Belum
lagi bajunya sekarang. Ketat, mengilap dan penuh tali. Ya Tuhan. Sanghyeon tak
mungkin keluar begini.
Ia segera berlutut di depan
kopernya, mengobrak-abrik isinya mencari mantel, lantas memakainya erat-erat.
Saat itu Jaehyun meneleponnya lagi. Sanghyeon cuma mendecih pada layarnya,
enggan menjawab. Ia pasti hanya akan diteriakki lagi. Demi menghindari amuk
Jaehyun, Sanghyeon menyurukkan tas makeup dan catokannya ke koper.
Meritsletingnya asal dan menggeretnya keluar dengan tergesa-gesa.
Jaehyun sudah berdiri di samping
taksi. Pria itu langsung menggeram saat melihatnya. “Lama banget!”
Namun Sanghyeon mengabaikan
omelannya itu dan malah terbeliak melihat pakaian sang pria. Dia cuma pakai
jins gelap dan kemeja bermotif. Simpel. Terlalu simpel jika dibandingkan
dengannya.
“Apa-apaan yang kau pakai itu!”
hardik Sanghyeon.
Alis Jaehyun bertaut bingung.
Sanghyeon melepaskan pegangannya
dari koper dan membuka bagian depan mantelnya, memperlihatkan bajunya. Dia
benar-benar terlihat overdressed
sekarang. Jaehyun memandangnya dan tertawa.
“Jangan tertawa! Aku tidak bawa
baju lain.”
“Aku tidak menyuruhmu ganti. Paling
cewek-cewek di sana juga berpakaian begitu.”
“Kalau tidak bagaimana?”
“Yah, mau bagaimana lagi? Percaya
diri saja.”
“Kau harus mengimbangiku!” seru Sanghyeon panik. “Mana kopermu?”
“Sudah di bagasi.”
“Sudah di bagasi.”
Sanghyeon langsung berlari menuju taksi. Sementara Jaehyun menarik koper Sanghyeon yang terbengkalai
dan menggeretnya mengikuti langkah sang gadis.
“Nah, pakai ini.” Sanghyeon
mengeluarkan blazer abu-abu dan mengenyakkannya ke dada Jaehyun. Jaehyun tak
berkomentar. Ia memakainya begitu saja lalu mengangkat koper Sanghyeon dan meletakkannya di samping kopernya di bagasi.
“Sudah, kan? Ayo berangkat. Kita sudah sangat
terlambat.”
“Sebentar.”
Kini Sanghyeon membuka koper
miliknya, mengambil high heels, tas
makeup dan catokan. “Ah dasar!” gerutunya sendiri. “Aku tak pernah membayangkan
harus bersiap-siap seperti ini. Toilet bandaranya sempit bukan main. Aku berjuang setengah mati hanya untuk pakai baju.”
“Kau yang menyarankan kita ganti
baju di sini.”
“Tak usah mengingatkanku.”
Rupanya, kepanikan Sanghyeon
membuat suasana hati Jaehyun membaik. Ia tak henti terkekeh selama perjalanan
menuju Stanford. Jaehyun memerhatikan Sanghyeon yang sedang kewalahan merias
diri dengan pandangan terhibur. Gadis itu berulang kali mengeluarkan sumpah
serapah saat matanya hampir tercolok eyeliner,
atau saat lip cream-nya melenceng ke
pipi. Bukannya membantu, Jaehyun malah tertawa dan menggodanya, ‘Halloween
masih sembilan bulan lagi’.
Malam itu, entah bagaimana perjalanan
35 mil jadi tak terasa. Berdasarkan GPS, mereka akan tiba di tujuan sembilan
menit lagi. Sanghyeon sudah mencatok lurus rambutnya dan sekarang sedang tekun
membuat gelombang di ujung-ujungnya. Delapan menit. Sanghyeon berusaha tetap
fokus pada rambutnya sementara kakinya bergerak menanggalkan sepatu ketsnya.
Susah payah ia menyelipkan kakinya yang polos ke dalam sepasang high heels bertali yang cukup tinggi.
“Sini kubantu,” kata Jaehyun,
mengangkat satu kaki Sanghyeon dan meletakkannya di pangkuannya sebelum
Sanghyeon bisa menjawab. Gadis itu terkesiap, mengerjapkan bulu matanya dengan kaget.
“A-aku bisa sendiri, kok.”
“Fokus saja pada rambutmu.”
Sanghyeon tersadar ia hampir membakar rambutnya dan langsung menarik
catokannya. Jaehyun mendongak memandang wajah tersipu Sanghyeon dan mengumbar
seulas senyum. Manis. Memikat hati. Sanghyeon merasakan wajahnya memanas dan segera berpaling ke arah lain.
Jaehyun memandang tali-tali
panjang di sepatu Sanghyeon dengan kening berkerut. Walau nampak bingung, ia
tetap melakukan segalanya tanpa kata. Jari-jarinya bergerak dengan cepat,
dingin di mana kulitnya bersentuhan dengan kulit Sanghyeon. Menelusur naik hingga
tali-tali itu terikat sempurna memutari betis sang gadis. Sanghyeon menelan ludah tiap
kali jari Jaehyun bergerak semakin ke atas. Tenggorokannya terasa kering dan jantungnya berdentum tak keruan di dalam dada. Jaehyun masih tidak mengatakan apa-apa, menaruh kaki
Sanghyeon kembali ke lantai mobil dan meraih yang lain, menariknya cukup tinggi
sehingga cahaya dari jendela menerangi pergelangan kakinya, lalu memasang tali
pada yang itu juga.
“Selesai,” kata Jaehyun dengan
nada bangga.
Sanghyeon berdeham membersihkan
tenggorokannya, berusaha terdengar biasa saja saat membalas, namun suara yang
keluar dari mulutnya malah memalukan. “Terima kasih,” katanya, terdengar
seperti orang yang sedang tersedak.
Kelab malam Yiren diselimuti
semacam kabut dan cahaya merah pekat seolah-olah di dalamnya sedang terjadi
kebakaran. Taksi mereka merayap di sepanjang jalan utama sebelum akhirnya
berhenti di tangga pintu masuk. Dari balik kaca mobil, mereka dapat melihat orang-orang berkeliaran di tangga itu, bercanda heboh dan memantik rokok. Jaehyun mendorong pintu mobil di sebelahnya
hingga terbuka dan lampu neon dari lampu sorot di dinding jatuh tepat di kepalanya.
Membuat rambutnya terlihat ungu. Sanghyeon menerima uluran tangan Jaehyun dan
mendorong tubuhnya keluar sambil memeluk semua barang-barangnya; sepatu kets,
tas makeup, catokan. Saat itu juga, ia bisa mendengar bass
musik techno berdentum begitu
hebatnya hingga tanah di bawah kakinya bergetar.
Setelah menutup pintu, Jaehyun
membayar taksi dan mengeluarkan koper mereka dari bagasi.
“Mantelmu,” kata Jaehyun.
Sanghyeon tersadar dan membiarkan Jaehyun membantunya melepasnya.
“Sekalian ini, terima kasih.”
Jaehyun memberikan mantel dan semua barang-barang di pelukan Sanghyeon pada penjaga kelab berwajah ramah di sebelahnya. Pria itu lantas menggeret koper mereka menuju bagian samping gedung.
“Kutitip di bilik jaga,” katanya
memberi tahu, lantas mengulurkan sikunya pada Sanghyeon. “Ayo.”
Mereka berjalan masuk ke dalam
kelab dan Sanghyeon hampir tak berkedip begitu mereka melewati pintunya. Ya,
ini seperti pesta akhir pekan ala remaja Amerika, tapi seratus kali lebih
mewah. Kelab itu rupanya amat luas, semua lampunya berwarna merah rubi dan
dekorasinya dipenuhi kepingan permata yang menyerupai bunga es. Menghasilkan atmosfer yang elegan dan liar di saat yang sama.
Sanghyeon tak sadar ia sudah
berhenti memeluk lengan Jaehyun. Tak sadar pria itu sudah berjalan hampir tiga
meter di depannya.
“Sanghyeon,” panggilnya. Jaehyun kembali
menghampirinya dan mengulurkan tangan, “Jangan jauh-jauh dariku. Tempat ini
luas.”
Sanghyeon ragu-ragu untuk
menyelipkan jari-jarinya di antara jari Jaehyun, sebab ini bukan hal biasa bagi
mereka, biasanya ia hanya memeluk siku Jaehyun, kontak fisik dari kulit ke
kulit benar-benar membuat rongga dadanya sesak. Sanghyeon baru menyentuhkan
ujung jarinya di jari Jaehyun saat pria itu menyambut tangannya dengan mantap.
Menggenggamnya erat dan berjalan selangkah di depannya, menggiringnya melewati
lautan manusia menuju bar. Saat itu Sanghyeon sadar—dan bersyukur—bahwa dirinya
tidak overdressed. Semua orang
memakai baju seksi yang berkilau berlebihan. Tapi walaupun begitu, di mata
Sanghyeon, Jaehyun yang cuma pakai kemeja, blazer dan jins itu entah
bagaimana tetap yang paling berkilau.
“Kau mau apa?” tanya Jaehyun
begitu mereka tiba di depan bar.
“Apa saja asal bukan alkohol.”
Jawabannya tenggelam dalam
kekacauan pesta yang mengaum. Lampu semakin redup di sana, di tempat mereka
berdiri. Sementara cahaya membanjiri lantai dansa dengan warna secara berkala
sebelum kembali menjadi merah. Ada orang di mana-mana, bahkan di atas meja
biliar, membentuk lautan yang tebal, bergoyang liar mengikuti irama musik.
Udara di sana berbau keringat, beer dan Chanel no. 5.
Sanghyeon menarik napas
dalam-dalam dan mengulangi jawabannya. Di saat yang sama Jaehyun mendekatkan wajahnya untuk
mendengarkan. Sangat dekat sampai deru napasnya hangat menerpa wajah Sanghyeon. Sangat dekat sampai otak Sanghyeon korslet.
“Kubilang aku mau apa saja asal bukan alkohol.”
“Di sini semuanya alkohol.”
“Ya sudah aku tak mau minum,”
putus Sanghyeon. Ia memerhatikan Jaehyun mengirimkan tanda kepada bartender di
belakangnya, memesan sesuatu, dan langsung mengingatkan. “Harusnya kau juga
tidak minum-minum. Kemarin kau sudah mabuk berat sampai menangis tersedu-sedu.”
“Siapa sih yang tersedu-sedu,”
bantah Jaehyun tak masuk akal. “Lagian kemarin aku tidak mabuk.”
Sanghyeon memutar mata. Jaehyun
berjalan ke bar dan mengambil Sampanye pesanannya dari bartender, lalu kembali
berdiri di hadapan Sanghyeon. “Mau dansa?” tanyanya seraya mendekatkan bibir
gelas ke mulutnya, menyesapnya sedikit.
Mata Sanghyeon melebar. “Dansa?”
“Ya. Mau apa lagi memangnya? Kita
tak mungkin jauh-jauh ke sini hanya untuk berdiri begini saja, kan?”
Sanghyeon rasanya belum siap jika
harus berdansa sekarang. Jantungnya belum siap.
“Aku mau dansa denganmu tapi aku
mau makan sesuatu dulu.”
“Tadi katanya tidak mau.”
“Aku tidak mau minum alkohol
bukan makan.”
“Jadi kalau makan alkohol mau?”
“Jaehyun!”
“Hahaha. Bercanda.” Itu gurauan paling tidak lucu yang pernah Sanghyeon dengar. Namun Jaehyun
terkekeh dan matanya membentuk bulan sabit yang lucu. Dan rasanya Sanghyeon langsung memaafkannya. Rasanya Sanghyeon jadi
sulit bernapas. Rasanya Sanghyeon jadi ingin menarik kemeja Jaehyun dan mencium
matanya sampai kehabisan napas. Setelah berpikir begitu, Sanghyeon tercenung
sendiri. Tidak mabuk saja sudah berpikir macam-macam
apalagi kalau mabuk! Pokoknya malam ini tidak boleh mabuk.
“Mau makan apa?”
“Ini pesta ulang tahun, kan?
Harusnya ada kue.”
“Harusnya begitu.”
“Ayo cari kue.”
“Kau tunggu di sini saja biar
kucarikan,” katanya, kemudian berbalik dan melengos pergi begitu saja.
Sanghyeon awalnya hendak mengejar, tapi Jaehyun cepat sekali menghilangnya.
Tubuhnya tenggelam ditelan lautan manusia yang bergerak-gerak bagaikan binatang
buas. Jadi gadis itu terpaksa menarik diri dan meletakkan sikunya di meja bar. Hanya
melamun memandang sekeliling, sebelum akhirnya mulai senyum-senyum sendiri.
Masih sulit dipercaya tapi Jaehyun sungguh mengajaknya berdansa.
Sanghyeon benar-benar ingin teriak sekarang. Saking senangnya. Ya ampun.
“Mau minum?”
Itu suara yang familier.
Sanghyeon menoleh dan terkejut melihat Youngho berada persis di depan wajahnya.
“Aku tahu kau akan ada di sini.”
“Yeah, aku juga tahu kau akan ada
di sini,” katanya. Matanya melirik tangan Sanghyeon. “Belum pegang minuman,
kan? Mau minum apa?”
“Aku tak mau alkohol.”
“Kau tak harus minum alkohol.”
“Jaehyun bilang semua yang ada di
sini beralkohol.”
“Dia sok tahu,” ejek Youngho.
“Sebutkan saja kau mau apa.”
“Tidak usah. Aku menunggu Jaehyun
membawakan kue.”
“Jaehyun tak akan kemari.”
Sanghyeon memicing tak senang mendengar perkataan asalnya itu. Melihat reaksi
Sanghyeon, Youngho mendengus bosan dan menggeser arah pandang sang gadis
menuju ke sebuah meja di sudut ruangan. Jaehyun sedang duduk berhadapan dengan
Yiren yang mengenakan gaun bulu off-shoulder
berwarna merah. Rambutnya dikeriting dan dia terlihat luar biasa seksi.
“Dia terlihat seperti istri muda
Santa Claus,” komentar Sanghyeon sinis.
Youngho menyemburkan tawa. “Aku
bisa melihatnya,” katanya, kemudian lagi-lagi mengajukan tawaran yang sama.
“Jadi mau minum apa?”
“Berhenti menanyaiku mau minum
apa! Pergilah. Jaehyun tak akan suka melihatmu denganku.”
“Aku akan pergi setelah melihatmu
minum.”
“Tidak bisa. Minuman yang kumau
tak mungkin ada di sini.”
“Kalau sampai ada?”
“Yah, akan kuminum.” Sanghyeon
mengangkat bahunya tak acuh. Matanya melirik ke segala arah kecuali ke arah Yiren
dan Jaehyun. Ia berusaha melakukan itu, namun susah sekali. Matanya selalu
ingin berlabuh ke sana.
“Kalau begitu sebutkan.”
“Aku mau milkshake cokelat,” cetusnya begitu saja. Dengan keyakinan penuh ia
tak akan mendapatkannya.
Namun Youngho malah tertawa.
“Apa, sih! Kukira kau akan minta darah naga atau apa.”
“Mana mungkin aku minum darah
naga!”
“Lagian! Kalau cuma milkshake sih gampang. Ayo.” Youngho
berjalan ke ujung bar dan mengangkat papan mejanya begitu saja. Mengedikkan
kepala mengajak Sanghyeon masuk. Apa-apaan
dia! Memangnya boleh asal masuk begitu?
Sanghyeon melirik bartender di
seberangnya seolah ingin mengadukan Youngho padanya, kemudian memutar kepalanya
pada Jaehyun lagi, berharap pria itu berhenti bicara pada Yiren dan segera ke
sini. Persetan dengan kue, ayo berdansa
saja!
Namun yang dilihatnya malah
malapetaka. Yiren mengulurkan tangannya untuk membelai pipi Jaehyun, gadis itu
tersenyum, mereka nampaknya bertukar gurauan beberapa kali sebelum Yiren
memajukan wajahnya melewati meja dan detik selanjutnya Sanghyeon langsung
berpaling pada Youngho. Jantungnya berdebar. Rasanya seperti ada yang menyentak
dadanya. Yiren sialan. Dia mencium Jaehyun? Jaehyun juga sialan. Kenapa anak
itu tidak menghindar?
Sanghyeon bernapas keras-keras
dan memandang Youngho sambil menahan tangis. Youngho masih ada di papan bar,
menunggu Sanghyeon mengikutinya. Sanghyeon melirik bartender yang nampak tak
peduli dengan ulah Youngho—yang mengajaknya masuk ke dapur—dan memutuskan
mungkin tak apa mengikutinya.
Sanghyeon menatap Jaehyun lagi.
Dia masih di sana. Di meja itu.
Lalu ia pun berbalik pada
Youngho. Mendengus keras dan mengikutinya.
TBC
Comments
Post a Comment