Businesship Part 4




Sanghyeon dan Sicheng menjadi pengunjung pertama di Time Square hari itu dan berbelanja di sana sampai jam makan siang. Mereka menghabiskan hampir tiga puluh menit sendiri hanya untuk menentukan akan makan di mana. Sicheng menyarankan untuk pergi ke foodcourt. Di sana lebih banyak pilihan, katanya. Tapi Sanghyeon ingin makan di restoran mahal. Supaya bayaran dari Jaehyun bisa lebih cepat habis, dia bilang.


Jadi mereka pun makan di restoran seafood mewah yang dindingnya dilapisi marmer putih. Memesan ruang VIP berkapasitas dua puluh orang namun hanya diisi oleh tiga orang—Sanghyeon, Sicheng dan Kurt—dan menghabiskan hampir 5.000 dollar begitu saja. Sicheng bilang dia tak mau ke sana lagi. Makanannya bahkan tidak enak-enak amat. Dan walaupun tak menanggapi apa-apa, Sanghyeon dalam hati sepakat. 


Kemudian mereka kembali belanja. Kali ini Sanghyeon membelikan baju dan barang-barang bermerek untuk Sicheng dan Kurt. Mereka menyambangi toko demi toko sampai jam enam sore sebelum akhirnya berhenti karena tak ada ruang lagi di tangan masing-masing untuk membawa barang. Semuanya sudah menenteng lusinan paper bag sampai jadi pusat perhatian. Setelah memasukkan semuanya ke bagasi mobil, mereka pun meninggalkan Time Square dan berencana untuk langsung kembali ke penthouse. Namun dalam perjalanan pulang, Sanghyeon melihat gerai gelato yang berwarna-warni dan meminta Kurt untuk mampir dulu di sana.


Maka di sinilah mereka sekarang. Duduk berjejer di gerai mungil di pinggiran jalan Las Vegas yang kuno, menikmati satu cup gelato.


Thank you, Kurt,” kata Sanghyeon sementara tangannya mengulur menerima cup yang disodorkan Kurt. Gadis itu memilih rasa permen karet. Sicheng rasa krim keju. Sedangkan Kurt sendiri rasa oreo. Pria itu duduk di samping Sicheng dan mendengarkan kedua orang di sampingnya bicara dalam bahasa yang sama sekali tak ia pahami.


“Lalu sekarang bagaimana caranya aku menatap Jaehyun? Cih. Benar-benar tak ada otaknya aku ini! Kenapa tiba-tiba membentaknya begitu? Kenapa aku malah tersinggung karena dia memberiku bayaran!” keluh Sanghyeon gusar.


Sicheng memasukkan sesendok gelato ke mulutnya dan membalas dengan mulut penuh, “karena kau berharap lebih dari Pak Bos, tentu saja.”


“Kau benar,” desah Sanghyeon. “Aku bahkan tak tahu apa tepatnya yang kuharapkan, tapi kau benar.”
“Itu wajar, kurasa. Aku mungkin juga akan bersikap seperti itu jika ada di posisimu, Nona.”
“Nona?” ulang Sanghyeon menyindir. “Serius? Setelah mendengar semua ceritaku seharian ini, kau masih memanggilku Nona? Sicheng, aku bukan siapa-siapa Jaehyun.”


“Kau seseorang yang Pak Bos percaya untuk tinggal bersamanya, berdua saja, selama berbulan-bulan, di negara orang,” kata Sicheng mengingatkan. “Itu tidak terdengar seperti bukan siapa-siapa bagiku.”


“Aku kerja padanya.” Sanghyeon membalas penuh penekanan. “Iya sih rasanya sama sekali tidak seperti bekerja, tapi tetap saja. Aku direkrut di hari yang sama denganmu. Aku cuma buruh. Aku, kau dan Kurt bisa membentuk serikat buruh sekarang jika mau.”


Sicheng tertawa. Kurt yang merasa namanya disebut-sebut langsung menoleh pada Sanghyeon.


Am I right, Kurt?”
What?”
“Just answer me. Am I right?”
You’re right, maam,” jawab Kurt, tersenyum, “I guess.” 


Kurt menghabiskan gelatonya duluan dan berkata akan menunggu di mobil.


Maka tinggallah mereka berdua. Seraya memandangi jalanan yang mulai padat, Sicheng meletakkan cup gelatonya yang sudah kosong di atas meja. Kendaraan-kendaaran bermotor berlalu-lalang di seberang mereka. Bising, tapi bukan jenis kebisingan yang mengganggu. Justru sebaliknya, suasana sore ini malah membuat Sicheng maupun Sanghyeon merasa damai. Matahari mulai condong ke barat, menghiasi langit dengan lembayung senja yang cantik. Rasanya seperti ada di gambar berfilter yang biasa diunggah orang-orang di instagram. Seperti di negeri dongeng. Setelah beberapa saat mengamati jalan, Sicheng baru menoleh pada Sanghyeon yang masih melamun. “Mau menghabiskan gelatomu di mobil, Nona?”


“Yeah.”
“Baiklah. Ayo.” Sicheng langsung berdiri.
“Sicheng.”
“Hm?”
“Aku akan berusaha,” kata Sanghyeon, mendongak menatap lawan bicaranya dengan penuh keyakinan. “Aku akan berusaha untuk tidak berharap lebih pada Pak Bosmu.”


Bibir Sicheng seketika meliuk membentuk cibiran. “Ah, kau ini!” katanya, mendenguskan tawa. “Justru aku sedang memikirkan cara untuk membantumu.”


“Membantu?”
“Iya, membantumu.”
“Jaehyun tak mungkin menyukaiku.”
“Usaha dulu.”
“Cemerlang,” ejek Sanghyeon. “Kau mau ganti rugi kalau dia memecatku?”


Sicheng terkekeh pelan. “Okay, lebih baik kita ke mobil sekarang. Kasihan Kurt.”



**********



Jaehyun sedang mengisi gelasnya dengan alkohol saat Sanghyeon keluar dari lift bersama seorang butler yang membawakan paper bag-nya. Sanghyeon memandang Jaehyun sejenak—ia duduk di lantai di ruang tengah, di depan meja kaca yang dipenuhi sekurang-kurangnya empat botol alkohol, dengan Waffle yang tertidur di sofa, serta televisi yang menyala tanpa suara—sebelum kembali menoleh pada sang butler dan mengucapkan terima kasih padanya. Mengawasinya kembali ke dalam lift sampai pintunya tertutup.


Tadinya Sanghyeon hendak langsung masuk ke kamar saja, pura-pura tidak melihat atau apalah, tapi matanya malah bertemu dengan mata Jaehyun. Jadi mau tak mau ia membungkuk padanya. “Kurt langsung mengantar Sicheng pulang ke apartemennya,” katanya memberi tahu.


Jaehyun meliriknya tanpa minat. Mengangguk.


“Kalau begitu saya permisi dulu.” Sanghyeon membungkuk sekali lagi, lantas berbalik menuju kamarnya.
“Sanghyeon-ssi,” panggil Jaehyun.


Langkah Sanghyeon terhenti. Ia menoleh pada Jaehyun sambil mengerjap, “ya?”


“Mau temani saya minum?”
“M-minum?”
“Ya, saya agak…,” Jaehyun menelan ludah. Ia hampir bilang ‘kesepian’ tapi itu terdengar terlalu menyedihkan bahkan di kepalanya sendiri. Jadi ia sedikit memodifikasi kalimatnya. “Saya tidak mau sendirian.”


Sanghyeon tak langsung menjawab. Mungkin cuma dua-tiga detik tapi rasanya terlalu lama. Jaehyun hampir berkeringat, hampir gugup. Ia menekankan kuku jarinya di botol alkohol kuat-kuat dan tersenyum pahit, “Saya mengerti Anda lelah. Maaf sudah meminta yang tidak-tidak.”


“Bukan begitu!” sergah Sanghyeon tak enak. “Saya mau, kok.”


Sanghyeon buru-buru mencopot heels-nya dan menghampiri Jaehyun di ruang tengah. Ia duduk di sisi meja yang lain, berseberangan persis dengan sang pria. Sudah ada bantal tipis di sana. Seolah sudah disiapkan. Seolah ia memang berharap Sanghyeon pulang cepat dan menemaninya.


Saat itu Sanghyeon baru dapat melihat penampilan Jaehyun dengan jelas. Dia memakai kaus katun polos berwarna abu-abu dan celana pendek. Sanghyeon sudah tinggal bersamanya hampir sebulan dan ini pertama kalinya ia melihat Jung Jaehyun berpakaian sesantai ini.


“Jalan-jalannya menyenangkan?” tanya pria itu basa-basi. Tangannya terulur ke arah nampan di tengah meja, membalik sebuah gelas kaca pendek yang entah mengapa ada di sana, mengisinya dengan alkohol dan menyodorkannya pada Sanghyeon.


“Ya, kami ke Time Square dan makan gelato.”
“Begitu.”


Sanghyeon mengangguk. “Maaf saya lupa beli apa-apa untuk Anda.”


Jaehyun hampir tertawa. “Tidak apa-apa,” katanya. “Saya juga minta maaf.”


“Untuk?”
“Maaf tidak mengajak Anda jalan-jalan sama sekali selama di sini.”


Dasar Sicheng!, batin Sanghyeon langsung. Dia pasti cerita. Mulut anak itu benar-benar.


“I-itu bukan salah Anda, kok. Anda di sini untuk bekerja, bukan mengajak saya jalan-jalan.” Sanghyeon hampir mencicit. Ia menunduk pada gelasnya, memerhatikan botol-botol alkohol di meja dan baru sadar ada yang ganjil di sini. Jaehyun biasanya pulang larut, jam sembilan atau sepuluh. Sedangkan sekarang masih jam tujuh. “Tumben Anda sudah pulang.”


“Tidak ada yang harus dilakukan di kantor, jadi saya pulang,” jawabnya santai.


Sanghyeon mengangguk. Kemudian karena tak tahu harus mengatakan apa, ia menyesap minumannya sedikit.


“Saya juga minta maaf soal sikap kekanakan saya kemarin.” Jaehyun baru bicara lagi lima menit kemudian. Suaranya agak berbeda. Nampaknya alkohol sudah mulai memengaruhinya.


“Soal Seo Youngho?” tanya Sanghyeon hati-hati.
“Soal Seo Youngho.”


Sanghyeon meletakkan gelasnya di meja dan mengawasi raut wajah Jaehyun sejenak sebelum bicara, “Mungkin, kalau Anda tidak memberi tahu saya soal betapa obsesifnya Youngho pada kehidupan Anda, saya akan menyimpulkan dia orang yang menyenangkan.”


“Menurut Anda dia menyenangkan?”
“Begitulah.” Sanghyeon mengangkat bahu. “Mudah bicara dengannya.”
“Dan tidak mudah bicara dengan saya?”
“Saya tidak bilang begitu.”


Jaehyun mengisi gelasnya lagi dan langsung meneguknya seperti orang tersinggung. Wajahnya semakin merah dan ia mengumbar senyum tak wajar. “Orang yang Anda sebut menyenangkan itu, Yiren pasti berpikir begitu juga tentangnya.”


“Kenapa tiba-tiba…”
“Dia merebut Yiren dariku,” potong Jaehyun merana, menanggalkan bahasa formalnya begitu saja. Sanghyeon tak mengira ia akan mendengar cerita semacam ini. Ia menegakkan posisi tubuhnya dan meremas ujung sundress-nya kuat-kuat. Sejujurnya Sanghyeon tak ingin mendengar apa pun soal Yiren. Tapi tak mungkin ia pergi sekarang. Dilihatnya Jaehyun membasahi bibirnya sebelum melanjutkan dengan suara tercekat. “Awalnya aku tak peduli Youngho mau mengikutiku seperti apa. Aku sadar obsesinya pada hidupku benar-benar tidak sehat, tapi aku tak peduli. Aku tak peduli dia ikut ambil kuliah bisnis di Stanford. Tak peduli dia minta diajak masuk ke dalam lingkaran pergaulanku. Tak peduli dia mau jabatan di Jung Corp. Sama sekali tak peduli. Karena aku percaya aku tak akan kalah darinya. Aku percaya di dunia ini tidak mungkin ada yang bisa lebih baik untuk menjadi aku ketimbang diriku sendiri.”


Jaehyun menatap Sanghyeon tepat di matanya. Suaranya semakin bergetar. “Tapi dia malah mengambil Yiren,” katanya mengadu. Membuat hati Sanghyeon mencelos. Remuk. “Dan saat itu rasanya segalanya luluh lantak. Dia menang. Dia berhasil mengambil satu-satunya hal yang kupedulikan. Dia berhasil membuatku peduli padanya, melihatnya. Youngho menang. Bajingan itu menang.” Mata Jaehyun berkaca-kaca. Rambutnya yang selalu tertata rapi karena diberi gel kini menjuntai kuyu di kening. 


Jaehyun bercerita lebih banyak soal Wang Yiren. Mereka bertemu di kampus. Bermula dari sekadar saling lirik di koridor loker hingga akhirnya pacaran di tahun kedua. Yiren memutuskan untuk pindah ke apartemen Jaehyun di tahun yang sama. Mereka saling mencintai. Mereka mengambil kelas-kelas yang sama agar bisa berangkat dan pulang bersama-sama. Mereka mengadopsi Waffle. Mereka bahagia. Lalu suatu hari Yiren memutuskan dia sudah tidak mencintai Jaehyun lagi. Dia pergi begitu saja, membawa serta anjing pudelnya dan tak pernah kembali. Awalnya Jaehyun mencoba menerima, tapi begitu tahu Yiren pindah ke apartemen Youngho, rasanya kepalanya hampir meledak. Youngho lagi. Dari sekian banyak manusia di dunia ini, kenapa selalu Youngho yang merecoki hidupnya. Begitu kurang lebih ceritanya.


Semakin malam, wajah Jaehyun semakin merah. Ekspresinya makin sendu dan matanya makin berkaca-kaca. Sanghyeon mendadak jadi ikut berkaca-kaca.


“Menangis saja,” kata Sanghyeon. Dan Jaehyun langsung menangis. Seolah-olah sejak tadi ia memang menunggu diberi izin.


Sanghyeon terus menatap Jaehyun yang sedang menangis. Hatinya memberat dan ia iri luar biasa pada Wang Yiren. Memiliki seseorang seperti Jaehyun menangis semenderita ini untukmu benar-benar anugrah besar.


“Maaf jika aku setidak suka itu melihatmu bicara dengan Youngho,” kata Jaehyun terbata, suaranya serak dan ia mendesahkan napas tersedu. Kepalanya terus menunduk. Rambutnya menempel di keningnya yang basah dan Sanghyeon ingin sekali mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Untuk menyingkirkan rambut-rambut itu. Untuk mengusap air matanya. Memeluknya. “Maaf jika aku membenci orang yang menurutmu menyenangkan itu sampai seperti ini. Aku benar-benar tak bisa menahan diri. Hatiku… rasanya mendidih tiap mendengar namanya.”


Semua penuturan Jaehyun dan cara pria itu menuturkannya menghasilkan kenyerian luar biasa di dada Sanghyeon. Hidungnya merah dan kepalanya jadi pening karena menahan tangis. Menahan iri.


“Jung Jaehyun-ssi,” bisik Sanghyeon. Jaehyun perlahan-lahan mengangkat wajah basahnya untuk menatap Sanghyeon. Pria itu nampak begitu tak berdaya dan Sanghyeon merasa semakin terluka.  “Bagaimana caranya…,” kata Sanghyeon lambat-lambat, tenggorokannya terasa kering dan hatinya serasa diremas saat ia melanjutkan, “…agar bisa dicintai sebesar ini olehmu?”


Sedu Jaehyun terhenti. Ia menatap Sanghyeon seolah tak dapat memercayai telinganya. Namun Sanghyeon hanya balik menatapnya penuh perasaan.


“Sanghyeon-ssi …”


Saat itu Sanghyeon baru sadar betapa kontroversial pertanyaannya barusan. Ia tercekat dan langsung berdiri. Rahangnya mengeras. “M-maaf sudah bertanya yang bukan-bukan,” serunya salah tingkah. Ia menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga dengan tangan gemetar yang ditahan-tahan. “Saya sepertinya mulai mabuk juga. Terima kasih sudah bicara dengan jujur, Jaehyun-ssi. Saya berjanji akan menghindari Youngho mulai sekarang. Maaf atas kecerobohan saya kemarin. Saya permisi.”


Setelah mengucapkan itu, Sanghyeon langsung membalik badan dan berjalan cepat menuju kamarnya.


“Sanghyeon-ssi.”


Dan semakin cepat lagi.


“Tunggu. Saya masih mau bicara.”


BRUKK!! Lalu membanting pintu kamarnya dengan dada bertalu-talu. Apa-apaan yang tadi itu!



*********



Jaehyun mengirimkan pesan.


Saat Sanghyeon sudah membersihkan diri dan bersiap tidur, barulah ia sadar Jaehyun mengiriminya pesan.


Tolong telepon aku.


Sanghyeon sedikit bingung, sedikit panik. Ia mematikan lampu kamarnya sebelum berbaring dan menyelimuti seluruh tubuh. Layar ponselnya amat menyilaukan di ruangan yang gelap, terlebih di balik selimut. Untuk beberapa saat yang ia lakukan hanya memandangi kontak Jaehyun, mengumpulkan keberanian hampir sepuluh menit sebelum akhirnya berhasil menekan tombol panggil dan menghubunginya.


Jaehyun mengangkat panggilannya di dering kedua.


[Sanghyeon-ssi.] Suara Jaehyun hanya setingkat lebih keras dari bisikkan. Sanghyeon membayangkan Jaehyun sedang berada di posisi yang sama dengannya. Mungkin tidak di balik selimut, tapi ia yakin Jaehyun sudah berbaring di tempat tidurnya. Menunggu Sanghyeon menelepon sejak tiga puluh menit yang lalu.


“Ya.”
[Maaf jika semua ceritaku tadi membuatmu tak nyaman.] Sanghyeon terkejut pria itu masih mempertahankan bahasa informalnya. Apa dia masih mabuk?


Sebelum membalas, Sanghyeon sesaat menimbang-nimbang apa ia harus bicara informal juga. “Kau tidak membuatku tak nyaman. Aku hanya sangat lelah.”


[Kalau begitu mungkin kau tak akan suka mendengar apa yang akan kukatakan.]
“Apa?”
[Yiren ke sini bukan cuma untuk memberikan Waffle padaku.] Sanghyeon baru tahu Waffle ternyata ‘diberikan’ pada Jaehyun. Mungkin ini semacam hak asuh. [Dia juga mengundangku ke acara ulang tahunnya di California.]


Sanghyeon tak menjawab. Apa hubungannya denganku?, pikirnya.


[Acaranya besok. Kalau kau sedang sangat lelah…]
“Kalau kau mau pergi, pergi saja. Aku tidak apa-apa di sini sendiri.”
[Aku hanya akan pergi denganmu.]
“Kenapa?”


Jaehyun bergeming. Sanghyeon bisa mendengar pria itu menghela napas dan praktis memejamkan mata merutuki dirinya sendiri. Tentu saja Jaehyun harus mengajaknya. Mereka ‘ceritanya’ sedang pacaran. Jaehyun harus terlihat baik-baik saja; punya cewek baru dan mampu mendatangi pesta mantannya dengan santai. Dia pasti ingin terlihat dengan imej begitu di hadapan semua orang.


“Kalau besok, aku pasti sudah tidak lelah,” sahut Sanghyeon.
[Kau yakin?]
“Ya.”
[Aku akan beli tiket pesawatnya kalau begitu.]
“Tapi tunggu dulu.” Alis Sanghyeon bertaut, mendadak teringat sesuatu. “Kalau itu pesta ulang tahun Yiren, bukankah Youngho akan ada di sana juga? Mereka ‘pernah’ pacaran, kan? Atau masih? Intinya, apa kau yakin kau tidak apa-apa?”


[Ya, Youngho seharusnya ada di sana. Tapi itu bukan masalah. Kita hanya perlu menghindarinya. Dan soal mereka pernah pacaran, sejujurnya aku tak tahu. Aku hanya tahu mereka pernah tinggal bersama. Tapi yeah, apa pun statusnya dulu, aku yakin mereka sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi sekarang.] Jaehyun mencibir. [Youngho hanya menyukai orang yang sedang dekat denganku.] Dia menekankan kalimat terakhirnya itu, berharap Sanghyeon mengerti bahwa ia sedang memperingatkannya. Youngho sedang mengincarmu.


“Okay.”
[Dan soal pertanyaanmu di ruang tengah tadi, jawabannya adalah aku tak tahu,] kata Jaehyun, sekarang suaranya semakin pelan lagi. Setara dengan bisikkan. Jaehyun berbisik di telinganya dan Sanghyeon hampir tersenyum. [Aku bertemu dengannya begitu saja. Mencintainya begitu saja. Seperti takdir.]


Detik berikutnya ia baru sadar pertanyaan mana yang Jaehyun maksud. Suaranya yang menanyakan ‘bagaimana caranya agar bisa dicintai olehmu?’ berputar di kepalanya sampai membuatnya tersipu.


“Oh.” Sanghyeon tercekat malu. “K-kau tak perlu menjawab itu.”
[Aku sudah menjawabnya.]
“Yeah, tapi kau.. seharusnya.. tak perlu.”
[Okay.]
“Ya.”


Canggung. Jaehyun berdeham membersihkan tenggorokannya sebelum kembali bicara. Sudah waktunya mengakhiri pembicaraan ini. Sudah waktunya mengakhiri kecanggungan ini. [Aku akan memberitahumu jadwal penerbangan kita secepatnya.]


“Oke.”
[Kalau begitu selamat malam, Sanghyeon-ssi.]
“Selamat malam.”



*********



Penerbangannya pukul empat sore.


Mereka akan tiba di bandara San Fransicso, California pukul enam, check in hotel dan pergi ke pesta Yiren pukul sembilan malam. Begitu rencananya.


Saat Jaehyun memberitahunya acara ulang tahun Yiren akan digelar di kelab malam, Sanghyeon tak bisa menahan kepalanya yang langsung membayangkan pesta huru hara liar dengan dekorasi disko, beer pong, orang-orang setengah telanjang yang bermesraan di setiap sudut serta narkoba di mana-mana. Dia membayangkan pesta akhir pekan ala remaja Amerika yang biasa ia tonton di chick flick. Mungkin tidak akan persis seperti itu. Tapi ia sudah senang setengah mati karena tak harus pakai gaun panjang lagi.


Sanghyeon mengemas mini dress sequin berwarna rose gold dengan senang hati. Sanghyeon sudah ingin memakainya sejak hari di mana ia membelinya, tapi tak pernah punya kesempatan untuk itu. Semua acara Jaehyun adalah acara formal. Elegan dan membosankan. Rasanya ia masih tak bisa memercayai bahwa hari ini benar-benar datang. Ia tak percaya ia akan menghadiri acara yang tujuannya murni untuk bersenang-senang, bukan untuk melobi pengusaha atau kontraktor demi keperluan bisnis yang tak ada habisnya. Satu-satunya hal yang Sanghyeon benci dari pesta nanti malam adalah akan ada Yiren di sana. Yeah, tentu saja akan ada dia. Itu pesta ulang tahunnya.


Jaehyun dan Sanghyeon tiba di bandara tepat waktu. Namun cuaca yang buruk membuat semua penerbangan ditunda. Termasuk penerbangan mereka.


Setelah menunggu hampir dua jam, akhirnya pusat informasi bandara mengumumkan kabar baik. Penerbangan kembali dilanjutkan. Cuaca sudah lebih bersahabat sekarang.


Pesawat mereka baru lepas landas beberapa menit sebelum jam enam, dan baru sampai di tujuan pukul delapan malam.


“Jadi bagaimana?” tanya Sanghyeon selagi mereka menggeret koper menuju antrean taksi.


Jaehyun mengabaikannya. Ia masih mencoba menghubungi Sicheng dengan otot-otot wajah yang tertarik tegang, sudah teramat siap untuk meneriakkan ‘di mana mobil yang seharusnya menjemputku!’ begitu panggilannya diangkat. Suasana hatinya sudah kacau balau karena pesawat yang delay, dan sekarang makin kacau lagi karena mobil sewaannya tak kunjung datang. Padahal mereka harus segera bersiap-siap di hotel. Pesta Yiren berlokasi di Stanford dan itu artinya mereka harus berkendara sekurang-kurangnya empat puluh menit dari San Fransisco ke sana. Entah jam berapa mereka akan sampai.


“Bukankah sebaiknya kita ganti baju di toilet?” Sanghyeon menyarankan, mengingat sekarang sudah jam setengah sembilan malam. Rasanya tak mungkin jika harus ke hotel dulu.


“Yeah, kau benar.” Jaehyun nampaknya sudah menyerah menghubungi Sicheng dan menyimpan ponselnya di saku. “Kau duluan saja. Aku akan ambil nomor antrean untuk taksinya dulu.”


“Okay.”


Mini dress-nya ternyata lebih kecil dan lebih sulit dipakai dari yang Sanghyeon kira. Ia menghabiskan sebagian besar energinya hanya untuk menentukan di mana untaian tali yang rumit itu seharusnya berada. Lehernya tercekik dan lengannya terbelit berkali-kali sebelum—terima kasih Tuhan—ia berhasil memakainya.


Sanghyeon keluar dari bilik toilet dan menyeret tubuhnya yang kelelahan menuju wastafel—untuk melakukan sesuatu pada rambutnya, untuk merias wajahnya. Ia mengeluarkan catokan portable dan tas makeupnya dari koper, lalu mulai membagi rambutnya menjadi beberapa bagian. Saat sedang menarik bagian atas rambutnya untuk mencatok, ponselnya tiba-tiba berdering nyaring dan nama Jaehyun muncul di layar.


“Halo?”
[Kau itu sedang apa sih di sana? Tidur? Cepat keluar!] raungnya, lalu mematikan telepon begitu saja. Wah! Lihat orang ini! Sanghyeon mendengus tak percaya. Perlahan-lahan dia mulai mengeluarkan sifat aslinya.


Sanghyeon meringis membayangkan akan serepot apa berdandan di dalam taksi. Kemudian ia mendongak menatap pantulannya di cermin dan makin meringis lagi. Orang-orang yang baru masuk ke kamar mandi pun turut memandanginya dengan aneh. Mereka memandangnya dari atas ke bawah seolah sedang menghakimi. Dia masih pakai sepatu kets merah muda. Rambut ikalnya terjuntai berantakan di sekitar bahu. Belum lagi bajunya sekarang. Ketat, mengilap dan penuh tali. Ya Tuhan. Sanghyeon tak mungkin keluar begini.


Ia segera berlutut di depan kopernya, mengobrak-abrik isinya mencari mantel, lantas memakainya erat-erat. Saat itu Jaehyun meneleponnya lagi. Sanghyeon cuma mendecih pada layarnya, enggan menjawab. Ia pasti hanya akan diteriakki lagi. Demi menghindari amuk Jaehyun, Sanghyeon menyurukkan tas makeup dan catokannya ke koper. Meritsletingnya asal dan menggeretnya keluar dengan tergesa-gesa.


Jaehyun sudah berdiri di samping taksi. Pria itu langsung menggeram saat melihatnya. “Lama banget!”


Namun Sanghyeon mengabaikan omelannya itu dan malah terbeliak melihat pakaian sang pria. Dia cuma pakai jins gelap dan kemeja bermotif. Simpel. Terlalu simpel jika dibandingkan dengannya.


“Apa-apaan yang kau pakai itu!” hardik Sanghyeon.


Alis Jaehyun bertaut bingung.


Sanghyeon melepaskan pegangannya dari koper dan membuka bagian depan mantelnya, memperlihatkan bajunya. Dia benar-benar terlihat overdressed sekarang. Jaehyun memandangnya dan tertawa. 


“Jangan tertawa! Aku tidak bawa baju lain.”
“Aku tidak menyuruhmu ganti. Paling cewek-cewek di sana juga berpakaian begitu.”
“Kalau tidak bagaimana?”
“Yah, mau bagaimana lagi? Percaya diri saja.”
“Kau harus mengimbangiku!” seru Sanghyeon panik. “Mana kopermu?”
“Sudah di bagasi.”


Sanghyeon langsung berlari menuju taksi. Sementara Jaehyun menarik koper Sanghyeon yang terbengkalai dan menggeretnya mengikuti langkah sang gadis.


“Nah, pakai ini.” Sanghyeon mengeluarkan blazer abu-abu dan mengenyakkannya ke dada Jaehyun. Jaehyun tak berkomentar. Ia memakainya begitu saja lalu mengangkat koper Sanghyeon dan meletakkannya di samping kopernya di bagasi.


“Sudah, kan? Ayo berangkat. Kita sudah sangat terlambat.”
“Sebentar.”


Kini Sanghyeon membuka koper miliknya, mengambil high heels, tas makeup dan catokan. “Ah dasar!” gerutunya sendiri. “Aku tak pernah membayangkan harus bersiap-siap seperti ini. Toilet bandaranya sempit bukan main. Aku berjuang setengah mati hanya untuk pakai baju.”


“Kau yang menyarankan kita ganti baju di sini.”
“Tak usah mengingatkanku.”


Rupanya, kepanikan Sanghyeon membuat suasana hati Jaehyun membaik. Ia tak henti terkekeh selama perjalanan menuju Stanford. Jaehyun memerhatikan Sanghyeon yang sedang kewalahan merias diri dengan pandangan terhibur. Gadis itu berulang kali mengeluarkan sumpah serapah saat matanya hampir tercolok eyeliner, atau saat lip cream-nya melenceng ke pipi. Bukannya membantu, Jaehyun malah tertawa dan menggodanya, ‘Halloween masih sembilan bulan lagi’.


Malam itu, entah bagaimana perjalanan 35 mil jadi tak terasa. Berdasarkan GPS, mereka akan tiba di tujuan sembilan menit lagi. Sanghyeon sudah mencatok lurus rambutnya dan sekarang sedang tekun membuat gelombang di ujung-ujungnya. Delapan menit. Sanghyeon berusaha tetap fokus pada rambutnya sementara kakinya bergerak menanggalkan sepatu ketsnya. Susah payah ia menyelipkan kakinya yang polos ke dalam sepasang high heels bertali yang cukup tinggi.


“Sini kubantu,” kata Jaehyun, mengangkat satu kaki Sanghyeon dan meletakkannya di pangkuannya sebelum Sanghyeon bisa menjawab. Gadis itu terkesiap, mengerjapkan bulu matanya dengan kaget.


“A-aku bisa sendiri, kok.”
“Fokus saja pada rambutmu.” Sanghyeon tersadar ia hampir membakar rambutnya dan langsung menarik catokannya. Jaehyun mendongak memandang wajah tersipu Sanghyeon dan mengumbar seulas senyum. Manis. Memikat hati. Sanghyeon merasakan wajahnya memanas dan segera berpaling ke arah lain.


Jaehyun memandang tali-tali panjang di sepatu Sanghyeon dengan kening berkerut. Walau nampak bingung, ia tetap melakukan segalanya tanpa kata. Jari-jarinya bergerak dengan cepat, dingin di mana kulitnya bersentuhan dengan kulit Sanghyeon. Menelusur naik hingga tali-tali itu terikat sempurna memutari betis sang gadis. Sanghyeon menelan ludah tiap kali jari Jaehyun bergerak semakin ke atas. Tenggorokannya terasa kering dan jantungnya berdentum tak keruan di dalam dada. Jaehyun masih tidak mengatakan apa-apa, menaruh kaki Sanghyeon kembali ke lantai mobil dan meraih yang lain, menariknya cukup tinggi sehingga cahaya dari jendela menerangi pergelangan kakinya, lalu memasang tali pada yang itu juga.


“Selesai,” kata Jaehyun dengan nada bangga.


Sanghyeon berdeham membersihkan tenggorokannya, berusaha terdengar biasa saja saat membalas, namun suara yang keluar dari mulutnya malah memalukan. “Terima kasih,” katanya, terdengar seperti orang yang sedang tersedak.


Kelab malam Yiren diselimuti semacam kabut dan cahaya merah pekat seolah-olah di dalamnya sedang terjadi kebakaran. Taksi mereka merayap di sepanjang jalan utama sebelum akhirnya berhenti di tangga pintu masuk. Dari balik kaca mobil, mereka dapat melihat orang-orang berkeliaran di tangga itu, bercanda heboh dan memantik rokok. Jaehyun mendorong pintu mobil di sebelahnya hingga terbuka dan lampu neon dari lampu sorot di dinding jatuh tepat di kepalanya. Membuat rambutnya terlihat ungu. Sanghyeon menerima uluran tangan Jaehyun dan mendorong tubuhnya keluar sambil memeluk semua barang-barangnya; sepatu kets, tas makeup, catokan. Saat itu juga, ia bisa mendengar bass musik techno berdentum begitu hebatnya hingga tanah di bawah kakinya bergetar. 


Setelah menutup pintu, Jaehyun membayar taksi dan mengeluarkan koper mereka dari bagasi.


“Mantelmu,” kata Jaehyun. Sanghyeon tersadar dan membiarkan Jaehyun membantunya melepasnya.
“Sekalian ini, terima kasih.” Jaehyun memberikan mantel dan semua barang-barang di pelukan Sanghyeon pada penjaga kelab berwajah ramah di sebelahnya. Pria itu lantas menggeret koper mereka menuju bagian samping gedung.


“Kutitip di bilik jaga,” katanya memberi tahu, lantas mengulurkan sikunya pada Sanghyeon. “Ayo.”


Mereka berjalan masuk ke dalam kelab dan Sanghyeon hampir tak berkedip begitu mereka melewati pintunya. Ya, ini seperti pesta akhir pekan ala remaja Amerika, tapi seratus kali lebih mewah. Kelab itu rupanya amat luas, semua lampunya berwarna merah rubi dan dekorasinya dipenuhi kepingan permata yang menyerupai bunga es. Menghasilkan atmosfer yang elegan dan liar di saat yang sama.


Sanghyeon tak sadar ia sudah berhenti memeluk lengan Jaehyun. Tak sadar pria itu sudah berjalan hampir tiga meter di depannya.


“Sanghyeon,” panggilnya. Jaehyun kembali menghampirinya dan mengulurkan tangan, “Jangan jauh-jauh dariku. Tempat ini luas.”


Sanghyeon ragu-ragu untuk menyelipkan jari-jarinya di antara jari Jaehyun, sebab ini bukan hal biasa bagi mereka, biasanya ia hanya memeluk siku Jaehyun, kontak fisik dari kulit ke kulit benar-benar membuat rongga dadanya sesak. Sanghyeon baru menyentuhkan ujung jarinya di jari Jaehyun saat pria itu menyambut tangannya dengan mantap. Menggenggamnya erat dan berjalan selangkah di depannya, menggiringnya melewati lautan manusia menuju bar. Saat itu Sanghyeon sadar—dan bersyukur—bahwa dirinya tidak overdressed. Semua orang memakai baju seksi yang berkilau berlebihan. Tapi walaupun begitu, di mata Sanghyeon, Jaehyun yang cuma pakai kemeja, blazer dan jins itu entah bagaimana tetap yang paling berkilau.


“Kau mau apa?” tanya Jaehyun begitu mereka tiba di depan bar.
“Apa saja asal bukan alkohol.”


Jawabannya tenggelam dalam kekacauan pesta yang mengaum. Lampu semakin redup di sana, di tempat mereka berdiri. Sementara cahaya membanjiri lantai dansa dengan warna secara berkala sebelum kembali menjadi merah. Ada orang di mana-mana, bahkan di atas meja biliar, membentuk lautan yang tebal, bergoyang liar mengikuti irama musik. Udara di sana berbau keringat, beer dan Chanel no. 5.


Sanghyeon menarik napas dalam-dalam dan mengulangi jawabannya. Di saat yang sama Jaehyun mendekatkan wajahnya untuk mendengarkan. Sangat dekat sampai deru napasnya hangat menerpa wajah Sanghyeon. Sangat dekat sampai otak Sanghyeon korslet. “Kubilang aku mau apa saja asal bukan alkohol.”


“Di sini semuanya alkohol.”
“Ya sudah aku tak mau minum,” putus Sanghyeon. Ia memerhatikan Jaehyun mengirimkan tanda kepada bartender di belakangnya, memesan sesuatu, dan langsung mengingatkan. “Harusnya kau juga tidak minum-minum. Kemarin kau sudah mabuk berat sampai menangis tersedu-sedu.”


“Siapa sih yang tersedu-sedu,” bantah Jaehyun tak masuk akal. “Lagian kemarin aku tidak mabuk.”


Sanghyeon memutar mata. Jaehyun berjalan ke bar dan mengambil Sampanye pesanannya dari bartender, lalu kembali berdiri di hadapan Sanghyeon. “Mau dansa?” tanyanya seraya mendekatkan bibir gelas ke mulutnya, menyesapnya sedikit.


Mata Sanghyeon melebar. “Dansa?”


“Ya. Mau apa lagi memangnya? Kita tak mungkin jauh-jauh ke sini hanya untuk berdiri begini saja, kan?”


Sanghyeon rasanya belum siap jika harus berdansa sekarang. Jantungnya belum siap.  


“Aku mau dansa denganmu tapi aku mau makan sesuatu dulu.”
“Tadi katanya tidak mau.”
“Aku tidak mau minum alkohol bukan makan.”
“Jadi kalau makan alkohol mau?”
“Jaehyun!”
“Hahaha. Bercanda.” Itu gurauan paling tidak lucu yang pernah Sanghyeon dengar. Namun Jaehyun terkekeh dan matanya membentuk bulan sabit yang lucu. Dan rasanya Sanghyeon langsung memaafkannya. Rasanya Sanghyeon jadi sulit bernapas. Rasanya Sanghyeon jadi ingin menarik kemeja Jaehyun dan mencium matanya sampai kehabisan napas. Setelah berpikir begitu, Sanghyeon tercenung sendiri. Tidak mabuk saja sudah berpikir macam-macam apalagi kalau mabuk! Pokoknya malam ini tidak boleh mabuk.


“Mau makan apa?”
“Ini pesta ulang tahun, kan? Harusnya ada kue.”
“Harusnya begitu.”
“Ayo cari kue.”
“Kau tunggu di sini saja biar kucarikan,” katanya, kemudian berbalik dan melengos pergi begitu saja. Sanghyeon awalnya hendak mengejar, tapi Jaehyun cepat sekali menghilangnya. Tubuhnya tenggelam ditelan lautan manusia yang bergerak-gerak bagaikan binatang buas. Jadi gadis itu terpaksa menarik diri dan meletakkan sikunya di meja bar. Hanya melamun memandang sekeliling, sebelum akhirnya mulai senyum-senyum sendiri. Masih sulit dipercaya tapi Jaehyun sungguh mengajaknya berdansa. Sanghyeon benar-benar ingin teriak sekarang. Saking senangnya. Ya ampun.


“Mau minum?”


Itu suara yang familier. Sanghyeon menoleh dan terkejut melihat Youngho berada persis di depan wajahnya.


“Aku tahu kau akan ada di sini.”
“Yeah, aku juga tahu kau akan ada di sini,” katanya. Matanya melirik tangan Sanghyeon. “Belum pegang minuman, kan? Mau minum apa?”


“Aku tak mau alkohol.”
“Kau tak harus minum alkohol.”
“Jaehyun bilang semua yang ada di sini beralkohol.”
“Dia sok tahu,” ejek Youngho. “Sebutkan saja kau mau apa.”
“Tidak usah. Aku menunggu Jaehyun membawakan kue.”
“Jaehyun tak akan kemari.” Sanghyeon memicing tak senang mendengar perkataan asalnya itu. Melihat reaksi Sanghyeon, Youngho mendengus bosan dan menggeser arah pandang sang gadis menuju ke sebuah meja di sudut ruangan. Jaehyun sedang duduk berhadapan dengan Yiren yang mengenakan gaun bulu off-shoulder berwarna merah. Rambutnya dikeriting dan dia terlihat luar biasa seksi.


“Dia terlihat seperti istri muda Santa Claus,” komentar Sanghyeon sinis.


Youngho menyemburkan tawa. “Aku bisa melihatnya,” katanya, kemudian lagi-lagi mengajukan tawaran yang sama. “Jadi mau minum apa?”


“Berhenti menanyaiku mau minum apa! Pergilah. Jaehyun tak akan suka melihatmu denganku.”
“Aku akan pergi setelah melihatmu minum.”
“Tidak bisa. Minuman yang kumau tak mungkin ada di sini.”
“Kalau sampai ada?”
“Yah, akan kuminum.” Sanghyeon mengangkat bahunya tak acuh. Matanya melirik ke segala arah kecuali ke arah Yiren dan Jaehyun. Ia berusaha melakukan itu, namun susah sekali. Matanya selalu ingin berlabuh ke sana.


“Kalau begitu sebutkan.”
“Aku mau milkshake cokelat,” cetusnya begitu saja. Dengan keyakinan penuh ia tak akan mendapatkannya.


Namun Youngho malah tertawa. “Apa, sih! Kukira kau akan minta darah naga atau apa.”


“Mana mungkin aku minum darah naga!”
“Lagian! Kalau cuma milkshake sih gampang. Ayo.” Youngho berjalan ke ujung bar dan mengangkat papan mejanya begitu saja. Mengedikkan kepala mengajak Sanghyeon masuk. Apa-apaan dia! Memangnya boleh asal masuk begitu?


Sanghyeon melirik bartender di seberangnya seolah ingin mengadukan Youngho padanya, kemudian memutar kepalanya pada Jaehyun lagi, berharap pria itu berhenti bicara pada Yiren dan segera ke sini. Persetan dengan kue, ayo berdansa saja!


Namun yang dilihatnya malah malapetaka. Yiren mengulurkan tangannya untuk membelai pipi Jaehyun, gadis itu tersenyum, mereka nampaknya bertukar gurauan beberapa kali sebelum Yiren memajukan wajahnya melewati meja dan detik selanjutnya Sanghyeon langsung berpaling pada Youngho. Jantungnya berdebar. Rasanya seperti ada yang menyentak dadanya. Yiren sialan. Dia mencium Jaehyun? Jaehyun juga sialan. Kenapa anak itu tidak menghindar?


Sanghyeon bernapas keras-keras dan memandang Youngho sambil menahan tangis. Youngho masih ada di papan bar, menunggu Sanghyeon mengikutinya. Sanghyeon melirik bartender yang nampak tak peduli dengan ulah Youngho—yang mengajaknya masuk ke dapur—dan memutuskan mungkin tak apa mengikutinya.


Sanghyeon menatap Jaehyun lagi. Dia masih di sana. Di meja itu.


Lalu ia pun berbalik pada Youngho. Mendengus keras dan mengikutinya.



TBC



 





Comments

Popular Posts