#16 How To Move On - Produce 45





Cast: Nam Chaerin - Min Yoongi
Genre: Romance


Berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk move on dari mantan pacar?



Setiap orang akan memiliki jawaban masing-masing dan tidak ada yang benar maupun salah. Sementara aku akan menjawab, relatif. Ya, itu tergantung dari besarnya rasa sayang yang kita miliki untuk orang tersebut, durasi pacaran, sampai bagaimana kenangan saat putus dulu. Bagiku lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melupakan mantan tidak begitu penting. Ada yang lebih penting, yaitu bagaimana cara melupakan mantan.



Menurut pengalamanku selama ini, cara paling sering kulakukan untuk melupakan mantan pacar adalah menyibukkan diri sendiri dengan aktivitas maupun hobi. Tentu saja itu bisa dilakukan setelah  melewati fase meratapi nasib dan menyadari bahwa sudah waktunya untuk memulai hidup baru. Hidup tanpa bayang-bayang sang mantan.


Itulah yang sedang kulakukan saat ini, melakukan hal-hal yang biasanya tidak bisa kulakukan dengan leluasa. Ketika masih berhubungan dengan Jaehwan Oppa–mantan pacarku–aku berusaha untuk menahan diri supaya tidak terlalu sering mengunggah cuitanku di media sosial. Dia tidak menyukainya, dia bilang orang yang terlalu aktif di media sosial adalah orang yang suka mencari perhatian dan merupakan orang yang belum dewasa.


Makanya setelah putus, aku semakin aktif di media sosial dan berinteraksi dengan teman-temanku di sana. Apalagi dengan adanya Jazzy Fesst yang akan ada digelar sebulan lagi, aku semakin betah berlama-lama memantau akun media sosial-ku.


Jazzy Fesst sukses membuat media sosial ramai, terutama Twitter. Banyak orang yang mengekspresikan rasa antusiasnya menyambut festival jazz yang biasa diadakan setiap musim panas, tak terkecuali aku. Selama dua minggu belakangan aku memenuhi akun Twitter pribadiku dengan cuitan rasa tidak sabarku menyambut acara itu, betapa senangnya aku begitu tahu ada tiga musisi kesukaanku yang akan tampil di sana, dan aku juga mengulas pengalamanku menghadiri Jazzy Fesst tahun lalu yang luar biasa ramai dan sukses.



Berkat cuitanku itu, akun Twitter-ku pun ramai. Banyak orang yang membalas cuitanku dengan nada semangat yang sama, berbagi informasi supaya tidak kehabisan tiket, dan ada juga yang mengajak untuk pergi bersama. Dari semua orang yang membalas cuitanku, ada satu akun yang benar-benar menyita perhatianku.


@YoongiDesu09
  

Pemilik akun itu tak lain dan tak bukan adalah Min Yoongi. Salah satu orang yang pernah kutaksir saat SMP, cowok unik yang menyita perhatianku semasa kelas 9.



GOD!!! Aku pernah menganggapnya begitu menggemaskan dengan mata super sipitnya, kulit super putihnya, seringaian jahilnya, dan kelakuan isengnya. Seolah belum cukup mengganggu, dia juga bisa bersikap jutek namun di lain waktu bisa sangat perhatian.



Dulu aku punya obsesi untuk bisa dekat dengannya, namun hal itu mesti terhalang karena entah bagaimana Hwasa–salah satu teman sekelas kami–berhasil membuat Yoongi menjaga jarak denganku. Dia tetap baik, namun interaksi kami semakin hari semakin terbatas. Dia bahkan suka mengelak dan memberi berbagai alasan saat aku mencoba meminjam MP3 player miliknya–yang sebenarnya hanya alasan supaya aku bisa ngobrol dengannya–, padahal sebelumnya dia dengan murah hati akan meminjamkannya.



Beberapa waktu kemudian aku baru menyadari Hwasa memonopoli benda kecil milik Yoongi serta mengendalikanya seolah benda itu miliknya sendiri. Aku tidak tahu kenapa Hwasa agak senewen denganku, tapi dia menjadi sangat protektif pada Yoongi begitu menyadari aku mulai tertarik dengan temannya itu.


Well, I don’t know..  Maybe she is jelly??



Mengingat kenangan itu membuatku tersenyum penuh kemenangan. Apalagi kalau melihat percakapanku dan Yoongi selama dua minggu belakagan yang semakin seru setiap harinya. Kami menjadi lebih dekat, bahkan jauh lebih dekat daripada waktu kami berada di kelas yang sama.



Bisa jadi ini tanda-tanda dari alam supaya rencana move on-ku bisa berjalan lancar. Ada satu lagi cara yang bisa dilakukan untuk move on, yaitu bertemu dengan orang baru. Dalam kasusku Min Yoongi adalah orang baru itu. Dan aku sangat bersyukur orangnya itu adalah dia dan interaksi kami berjalan amat lancar.


Obrolan kami yang sebelumnya hanya seputar Jazzy Fesst, musisi jazz favorit, sekarang menjadi tidak terbatas. Kami bisa membahas apapun semalam suntuk, kemudian saling mengucapkan ‘selamat malam’ untuk mengakhiri percakapan. Aku menjadi lebih antusias setiap pagi untuk melihat pesan ‘selamat pagi’ darinya.



Kami juga saling bertukar nomor ponsel, sehingga beberapa kali menghabiskan waktu untuk berbicara panjang lebar yang berhasil membuatku tak bisa mengendalikan senyum girang.


“Kita pergi ke festival bareng yuk?”
Senyumku semakin lebar dan rasanya pipiku mulai pegal.
“Chaerin? Kamu mau, kan?” Pasti maulah! Gila banget kalau sampai aku menolak. Setelah dua minggu bertukar pesan dan mengobrol dengannya, aku sangat ingin bertemu dengannya.


“Hmm…oke?”
“Kamu enggak keberatan kan kalau aku membelikan tiketnya?” suaranya terdengar hati-hati.
“Enggak merepotkan? Satu tiketnya saja lumayan mahal.”
“Aku enggak bakal menawarkan kalau merasa repot, Chae. Mau ya?”
“Oke, deh.”
Well, we have a deal, then. Sudah malam nih, besok kamu ada tugas presentasi, kan?”


Aku mendengus sebal karena diingatkan tugas itu.
“Huft, kenapa mesti diingatkan, sih? Aku benar-benar pusing sama tabel periodik!” Tanpa bisa mencegahnya, aku mengeluh dengan suara sok merajuk. Aku beruntung ketiga temanku tidak mendengarnya. Bisa-bisa mereka mengejekku tanpa henti.


Suara tawa kecilnya terdengar di ujung saluran, kemudian suaranya menjadi lebih lembut.
“Tenang saja. Kamu pasti bisa, kok. Kalaupun salah guru kamu enggak bakal menelan kamu hidup-hidup. You’ll be fine.”


“I wish.”
“Sekarang kamu tidur supaya besok enggak terlambat dan panik. Good night, Chae. Have a nice dream.”


Senyumku mengembang lagi, perasaan hangat merambati dadaku.
“Good night, Min Yoongi. Have a nice dream.”
“Cepat tidur biar kita bisa ketemu di alam mimpi.”



Aku hanya menggumam sebelum mengakhiri percakapan kami. Dengan perasaan berbunga-bunga dan dada yang berdebar, aku menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan. Senyumku tak kunjung lenyap, bahkan saat aku berbaring menatap langit-langit kamar aku masih tersenyum seperti orang hilang akal. Kalau begini sih aku pasti akan mimpi indah.



****   



Setelah obrolan kami yang super manis itu hubunganku dengan Yoongi menjadi lebih dekat. Kami menjadi lebih sering bertukar pesan, bahkan saat jam belajar di sekolah aku mencuri kesempatan untuk membalas pesannya. Saat malam hari kami pasti akan berbicara lewat sambungan telepon. Semua itu sudah menjadi rutinitas baru yang kutunggu dengan antusias.



Aku merasa bahagia dengan perhatian yang Yoongi berikan padaku. Dia tidak pernah lupa untuk menanyakan  kabar dan kegiatanku, sebelum akhirnya berbagi cerita mengenai kegiatannya di sekolah. Hal itu membuatku menyadari betapa berbedanya Yoongi dengan Jaehwan oppa.



Mantan pacarku itu tidak suka berkirim pesan, hanya mengirim pesan yang benar-benar penting. Dia tidak menunjukkan perhatian dengan cara yang manis, namun gemar sekali mengatur hidupku. Melarangku ini dan itu, seolah aku ini keponakannya. Aku senang Yoongi tidak seperti itu.



Mungkin itu karena aku dan Yoongi seumuran, sementara Jaehwan Oppa berusia tujuh tahun lebih tua dariku. Dia selalu merasa aku terlalu kekanakan, dia juga suka mengeluh dengan kebiasaanku yang terlalu sering menanyakan kabarnya. Selama berhubungan dengannya aku terus berusaha untuk menjadi apa yang dia inginkan, menjadi lebih dewasa, pengertian, dan tidak menuntut perhatian lebih darinya.


Namun perlakuan Yoongi padaku jauh berbeda dari Jaehwan Oppa. Yoongi begitu perhatian, teman diskusi yang menyenangkan, dan tentu saja tidak egois dengan merasa hanya pendapatnya yang penting. Aku tidak hanya merasa diperhatikan, tapi juga dihargai. Hal itulah yang kudapatkan dari Jaehwan Oppa.



Maka dari itu aku merasa perlu memberi hubunganku dan Yoongi kesempatan. Pada saat Yoongi menyatakan rasa sukanya dan memintaku menjadi pacarnya, aku tidak menolak.


“Chaerin, aku tahu kita sudah lama tidak bertemu dan kita baru berhubungan lagi belakangan ini. Tapi aku sungguh-sungguh suka kamu. Aku… kamu mau jadi pacarku?”



Aku terdiam. Aku merasa terkejut, bingung, dan berdebar. Napasku menjadi tidak beraturan dan pikiranku kacau. Cowok yang menjadi obsesiku selama kelas sembilan baru saja menyatakan perasaannya dan memintaku menjadi pacarnya!


“Oke, kamu bisa pikirkan dulu. Aku akan tunggu jawaban kamu. Good night, Chae.”


Dia tidak langsung memutus sambungan, menungguku mengatakan ritual ‘selamat malam’ kami, namun aku masih belum pulih dari rasa terkejut sehingga tidak mengatakan apapun dan langsung mengakhiri panggilan.


Berulangkali aku mencoba menenangkan diri supaya bisa berpikir dengan rasional. Tapi aku tidak bisa. Maka itu aku langsung mengetik pesan untuk Hara. Kalau urusan berpikir rasional serahkan pada Lee Hara. Semoga dia masih bangun.


Setelah lima belas menit menunggu dan hampir menyerah akhirnya Hara mengirim balasan.


Kamu juga menyukainya, enggak? Itu sih yang terpenting



Aku memikirkan pertanyaan Hara dengan serius. Perasaanku pada Yoongi itu… well, aku senang bisa bicara dan bertukar pesan dengannya. Sangat jarang bisa menemukan cowok yang enak diajak berbicara dan tidak membuatku merasa digurui. Yoongi juga sangat amat perhatian padaku. Aku juga belum lupa kalau aku pernah terobsesi dengannya. Intinya aku memang senang bisa menghabiskan waktu dengannya.


Itu bisa jadi tanda-tanda menyukai orang, kan?        



Aku selalu merasa senang setiap kali bicara dengannya, jantungku berdebar setiap kali dia bilang selamat malam.



Aku selalu ingin dekat dengan Yoongi dan kini aku punya kesempatan itu. Kenapa tidak kuambil kesempatan itu. Aku tersenyum membayangkan betapa menyenangkannya menjadi sosok gadis yang menjadi pusat perhatian Min Yoongi yang terkenal cuek pada gadis lain. 



Kalau kamu memang menyukainya. Terima saja.

Ok, thank u Hara.



Tanpa membuang waktu, aku memberi jawaban pada Yoongi. Setelah menekan tombol ‘send’ aku segera mematikan ponsel dan meletakkannya di atas meja belajar.


Kalau begitu ini hari pertama kita jadian, ya? Selamat malam, boyfriend. Mimpiin aku ya^_^



Aku resmi menjadi pacar Min Yoongi!! Aku benar-benar penasaran sekaligus antusias dengan hubungan kami nantinya.



****  



Namun ternyata tidak semenyenangkan itu kawan-kawan.



“Serius? Enggak punya perasaan banget!” pekik Cheonsa. Matanya terbuka lebar dan dari ekspresi wajahnya, aku tahu dia berniat untuk menjambak rambutku.
“Kali ini kamu keterlaluan banget, Chaerin. Baru mau dua hari!” aku melirik Sora yang juga tidak setuju dengan keputusanku.


Kedua temanku itu sangat terkejut mendengar keputusanku untuk mengakhiri hubunganku dengan Yoongi, tidak ada habisnya mereka mengomeliku. Sementara Hara yang sudah lebih tahu hanya terlihat pasrah dengan tangan terlipat di depan dada. Dia sudah mencoba mengubah keputusanku semalam saat aku meminta pendapatnya mengenai keinginanku itu.


“Mau gimana lagi? Perhatiannya itu terlalu berlebihan. Awalnya memang menyenangkan, tapi lama-lama aku jadi muak.”
“Nam Chaerin! Apa sih maumu? Kemarin mengeluh karena Jaehwan tidak perhatian! Sekarang ada yang perhatian malah muak!” Cheonsa menunjuk wajahku dengan penuh emosi.


“Aku juga tidak tahu. Rasanya aneh dan tidak nyaman. Beberapa kali aku malah teringat Jaehwan Oppa. Dia memang tukang perintah, tapi dia protektif.” Aku melirik ketiga temanku bergantian, mereka memutar bola mata dengan kesal.


“Jaehwan Oppa memang kurang perhatian, tapi ada kalanya dia sangat perhatian. Dan dia bersikap dewasa. Sikap dewasanya itulah yang membuatku semakin merindukannya. Sementara Yoongi selalu perhatian, bicara dengan manis, membicarakan festival, tempat hangout yang bagus, makanan, atau lagu-lagu baru.”



Aku tahu pikiranku sangat kacau. Bahkan aku menjadi semakin tidak mengerti apa yang kuinginkan. Sebelumnya aku ingin memiliki pacar yang perhatian, kini setelah mendapatkan yang seperti itu aku justru merasa perhatiannya sangat berlebihan. Bahkan dari kemarin aku terus membandingkan Yoongi dengan Jaehwan Oppa.


Perbandingan itu justru membuatku merindukan Jaehwan Oppa.



“Yoongi dan Jaehwan itu dua orang yang berbeda. Kamu tidak bisa terus membandingkan mereka. Sifat mereka berbeda, sudah pasti cara mereka memperlakukanmu berbeda,” ujar Sora masuk akal.
“Baru dua hari, kan? Mungkin kamu hanya perlu membiasakan diri. Tidak perlu membuat keputusan buru-buru.” Akhirnya Hara bicara juga. Dengan serius dan tenang dia menatapku penuh harap.


“Aku penasaran, apa sih yang membuatmu setuju pacaran dengannya?” Aku beralih menatap Cheonsa yang menuntut penjelasan.


Aku merenung, memikirkan alasan sebenarnya. Aku merasa senang mendapatkan perhatian dari Yoongi, aku senang menjadi prioritas seseorang. Aku senang menjadi sosok yang ditunggu oleh seseorang untuk berbagi cerita.


Aku senang mendapatkan semua yang tidak kudapatkan dari Jaehwan Oppa. Dan aku senang mendapatkannya dari Min Yoongi, cowok yang pernah kutaksir dan menjadi obsesiku selama kelas sembilan.


Aku selalu merasa Yoongi orang yang sangat unik namun keren. Dia kelihatan pendiam namun bisa sangat jahil. Dia tukang tidur di kelas namun sangat bisa diandalkan pada waktunya. Dia salah satu anak populer di sekolah, namun tidak seperti yang lainnya, dia tidak sombong. Dia hanya agak menyebalkan. Semua anggapan itu membuatku berpikir akan sangat menyenangkan bisa menjadi orang yang dekat dengannya, mengenalnya dengan baik, bertengkar dan bercanda dengannya, serta menjadi orang yang dia sayangi.



Namun setelah dua hari menjadi pacarnya, aku justru merasa kewalahan dengan perhatiannya. Dia memanggilku dengan sebutan ‘babe’ atau ‘baby’ yang membuatku memutar mata dengan muak. Dia mengingatkan agar tidak lupa makan yang justru membuatku risih. Semua itu tidak menyenangkan. Tidak sesuai ekspektasiku.


“Aku tertarik pacaran dengannya. Aku sudah bilang kan waktu kelas sembilan aku sempat naksir bahkan menyukainya? Kupikir perasaan itu akan timbul lagi. Tapi ternyata enggak. Aku malah berpikir kenapa dia tidak bisa berwibawa sedikit seperti Jaehwan Oppa.” Aku menggelengkan kepala, merasa semakin pusing dengan pikiran ini.



Setelah keheningan beberapa saat, Cheonsa mengembuskan napas kasar. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan.

“Aku enggak mengerti kenapa kamu menerimanya kalau kamu enggak yakin dengan perasaanmu sendiri. Tapi balik lagi semua keputusan ada di tanganmu, aku harap kamu bisa menyelesaikan masalah ini baik-baik.”


Sora mengangguk lalu menambahkan. “Jangan lupa untuk minta maaf. Dia betulan perhatian dan sayang kamu, dia pantas dapat permohonan maaf dari kamu setulus mungkin.”


“Ya, aku tahu.”
“Kapan rencananya kamu mau bilang ke dia?” Hara menumpukan pipinya pada telapak tangannya.
“Nanti malam,” jawabku yakin. Aku memang sudah memutuskan ini dari tadi pagi.



Kemudian diskusi kami selesai. Setelah saling melirik satu sama lain dengan canggung, akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri diskusi ini dan sibuk dengan ponsel masing-masing.



Tanpa pikir panjang aku justru membuka pesanku dengan Jaehwan Oppa. Rasa rindu yang selama dua bulan belakangan kusangkal datang lagi. Aku membaca percakapan kami yang tidak selalu manis, kadang bertengkar untuk urusan yang sangat remeh, terkadang penuh canda, terkadang penuh nasihat bijaksana dari Jaehwan Oppa dan aku akan meledeknya dengan ‘dasar sok tua’ yang kemudian akan dibalas dengan ‘aku memang lebih tua darimu’.



Ponselku bergetar, lampu notifikasi pesan masuk menyala. Begitu menemukan Cheonsa yang baru saja mengirimiku pesan, aku langsung melirik ke arah mejanya. Dia sedang menunduk menatap layar ponselnya. Apa sih yang  mau dia katakan sampai harus kirim pesan segala?


Aku membuka pesannya dan merasa tertampar oleh sebuah foto berisi kalimat bijak yang Cheonsa dapat dari Instagram.



Don’t play with someone’s heart just because you are unsure of what you want
@The_Deep_Thinker


****


Yoongi, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Aku sangat menyesal. Aku mau putus.


Balasannya datang selang beberapa menit. Aku menahan napas, takut bakal mendapat balasan penuh kalimat makian.


Baiklah.

Aku harap kamu mau memaafkanku yaa..




Tidak ada balasan darinya. Dia bahkan tidak menjawab cuitanku di Twitter maupun komentar yang kutinggalkan di laman Facebook-nya. Setelah seminggu tidak mendapat balasan, aku sadar dia membenciku, mungkin benci terlalu berat. Bisa jadi dia jengkel dan tersinggung. Namun itu yang terbaik untuk semuanya, untukku dan untuknya.


Aku juga menyadari bahwa seharusnya move on itu menyembuhkan hati yang terluka bukan  malah menyakiti hati yang lain.


Seperti halnya teman-temanku, aku berharap semoga keputusanku ini tidak membuatku mendapat karma di kemudian hari. Amin.



End



Halo-halo semuanya!!! Nam Chaerin’s tale balik lagi. Hmm.. tenang cerita tentang bocah ini masih banyak.

Ini ff Chaerin yang ketiga dariku. Sebenernya aku udah bikin rencana nulis ff ini dari zaman dahulu kala enggak berapa lama setelah nulis ‘Instagram Crush’, tapi karena merasa ‘ah..bisa nanti aja’ akhirnya tertunda sampai 2020 deh wkwkwk..

Niat dan mood untuk nulis ff ini dibangkitkan oleh quotes super relevan dari @The_Deep_Thinker. Terimakasih loh miminnya akun @The_Deep_Thinker. Ini memang sudah ditakdirkan oleh Allah supaya aku nulis ff ini sesegera mungkin. Alhamdulillah.

Setelah berulang kali melewati tahap ketik-hapus, gonta-ganti detail, baca quotesnya lagi dan lagi supaya makin mengena di hati akhirnya selesai juga deh. And… I’m reaalllllyyyyyyy happpppppppyyyyyy!!!!


Dan semoga kalian yang baca juga bisa mendapatkan hikmah dan memetik amanah dari cerita di atas yaaa…
Terimakasih buat kalian yang sudah baca. Sampai ketemu lagi.



Best wishes,

GSB

Comments

Popular Posts