Businesship Part 6




Apa-apaan ini!


Itulah yang dikatakan Sanghyeon kepada dirinya sendiri sepanjang hari ini.


Tepat pukul sembilan pagi, Jaehyun mengetuk pintu kamarnya yang berada di lantai lima dan langsung mengajaknya ke pantai. Sanghyeon bilang ‘ini sudah terlalu siang’ namun Jaehyun malah tersenyum dan berkata ‘tidak-apa-apa, langitnya mendung’. Menurut Sanghyeon itu justru lebih buruk lagi. Bagaimana kalau hujan? Namun sebelum sempat mendebat, Jaehyun sudah memotongnya duluan. Dia bilang ‘kutunggu di lobi. Jangan membuatku menunggu lama’.


Itu artinya Sanghyeon tidak diberi pilihan. Gadis itu meninggalkan kamarnya pukul sembilan lewat sepuluh, hanya mengenakan tanktop biru gelap dan legging, seolah ia mau lari pagi. Sanghyeon tak bawa baju untuk ke pantai. Dia tak bawa baju untuk ke mana pun. Seharusnya mereka terbang ke Las Vegas tepat jam satu siang ini. Sanghyeon tak mengerti kenapa tiba-tiba Jaehyun berubah pikiran.


Gadis itu turun ke lobi sambil menggenggam ponsel dan kacamata hitam. Melihat penampilan Jaehyun yang supersantai—celana selutut warna moka dan kaus putih lengan pendek, Sanghyeon menyimpulkan ia tidak harus membawa tas.


“Siap?”
“Yup.”


Sanghyeon membuka kaca mobil sampai penuh dan memakai kacamata hitamnya saat Jaehyun sedang menyetir. Mereka menyewa mobil sedan yang disediakan hotel dan Jaehyun memutuskan untuk mengendarainya sendiri. Karena, berdasarkan info dari pria berkulit putih yang duduk di sebelahnya di lobi tadi, rupanya kalau cuma mau ke pantai mereka bisa menghindari jalan besar. Banyak turis yang membawa mobil sendiri.


Fort Funston, itu nama pantainya. Jaraknya hanya lima lagu dari hotel. Mereka menyenandungkan lagu-lagu hits dalam playlist yang berasal dari flashdisk—entah milik siapa, tape-nya sudah menyala saat Jaehyun membuka pintu—dengan suara keras tanpa beban. Sanghyeon bertanya-tanya apa yang sedang merasuki Jaehyun. Tapi tak benar-benar menanyakannya karena takut merusak suasana.


Itu adalah enam belas menit yang menyenangkan. Sanghyeon hampir merasa kecewa saat mereka sampai.


Keduanya keluar dari mobil dan cuma memandangi laut dari kejauhan. Kemudian, setelah lima menit, Jaehyun akhirnya mengajaknya mendekat ke bibir pantai. Sanghyeon mengangguk, ia menaikkan kacamatanya ke puncak kepala dan melangkah mengekor sang pria.


“Kenapa mukamu begitu? Tidak suka laut?”


Jaehyun tiba-tiba menoleh padanya, tangannya mengulur ke belakang dan menggenggam tangan Sanghyeon begitu saja.


Sanghyeon tak menjawab pertanyaan itu karena otaknya sibuk menerka-nerka. Kenapa Jaehyun menggenggamnya?


Ya, kemarin mereka juga bergenggaman tangan—tidak lebih dari dua menit—tapi itu berbeda. Jaehyun punya alasan. Mereka sedang berada di pesta Yiren. Pria itu pasti cuma jaga-jaga. Antisipasi kalau ada seseorang yang ia kenal memergokinya tidak menggandeng ceweknya di pesta. Mungkin sebagian besar dari mereka menganggap hal itu tidak etis.


Selagi berjalan, Sanghyeon mengernyit pada belakang kepala Jaehyun. Kemudian matanya memindai pantai. Kosong. Itu adalah jam setengah sepuluh pagi di hari Senin. Langitnya mendung. Hanya Jaehyun yang mau ke pantai di waktu seperti ini.


“Apa kita akan menemui seseorang? Ada rekan bisnismu di sekitar sini?” Itu satu-satunya alasan masuk akal yang bisa dipikirkan Sanghyeon.


“Tidak, kok.”


Lalu kenapa harus berakting? Kenapa menggenggam tanganku?, batinnya.


Mereka tiba di pinggir laut. Ombaknya menggulung tipis dan menyentuh ujung sendal mereka. Keduanya bergeming. Tidak berkata apa-apa. Tidak melakukan apa-apa. Hanya memandang laut. Segalanya terlihat luar biasa cantik hari ini.


Jaehyun yang pertama kali berinisiatif duduk. Ia melepas sendalnya untuk digunakan sebagai alas duduk. Sanghyeon mengikuti. Selama berjam-jam setelahnya, yang mererka lakukan hanya berbincang sambil membenamkan kaki telanjang mereka di pasir halus. Sanghyeon tak ingat apa persisnya yang mereka perbincangkan, dia cuma ingat itu menyenangkan. Jaehyun menanyainya omong kosong; apa warna favoritmu? Apa kau percaya alien? Apa cita-cita pertamamu? Dan sebagainya.


Sanghyeon tak tahu kenapa Jaehyun menanyakan itu. Terlebih kenapa ia menanyakannya sambil memandang laut. Rasanya terlalu berlebihan. Terlalu romantis. Sanghyeon nyaris berpikir mereka sedang kencan. Entah Jaehyun menganggap agenda menatap laut ini sebagai apa, tapi jika ini memang kencan, maka bagi Sanghyeon ini adalah kencan pertama yang paling sempurna.


Pertanyaan yang Jaehyun ajukan memang terkesan tidak penting. Omong kosong. Tapi Sanghyeon tetap menjawab semua omong kosong itu dengan semangat dan balik menanyainya. Hari itu, di atas pasir pantai Fort Funston, di bawah langit California yang mendung, Sanghyeon akhirnya tahu Jaehyun suka warna hitam, tidak percaya alien dan bercita-cita menjadi polisi saat masih TK. Mereka sudah tinggal bersama selama tiga puluh dua hari dan ini pertama kalinya Sanghyoen merasa mengenal Jaehyun. Setidaknya sepuluh persen mengenalnya.


“Kau lapar?” Jaehyun masih menatap lurus ke depan saat menanyakan itu. “Kita melewatkan sarapan dan ini sudah waktunya makan siang.”


Pria itu menoleh dan melihat Sanghyeon mengangguk.


“Mau makan sekarang?”
“Boleh.”


Ada restoran Lebanon di dekat situ. Hanya butuh sepuluh menit jalan kaki. Jaehyun menggenggam tangan Sanghyeon lagi saat berjalan. Dia melirik ke awan yang semakin mendung, lalu berkata ‘sepertinya sebentar lagi hujan akan turun’ seraya meratakan telapak tangannya di telapak tangan Sanghyeon. Mengaitkannya dengan gerakan perlahan dan terus mengawasi awan seolah jika dia bersikap begitu, Sanghyeon tak akan sadar kalau tangannya sedang digenggam.


Hari ini Jaehyun benar-benar aneh. Bukan artinya Sanghyeon tidak menyukainya.


Selagi berjalan, hanya supaya suasananya tidak terlalu canggung, Sanghyeon mengungkit pertanyaan di pantai tadi dan mengkritik selera Jaehyun soal warna kesukaan. “Dari sekian banyak warna, haruskah kau menyukai warna yang paling menyedihkan?”


Kritikannya dibantah dengan suara lembut, “Hitam itu tidak menyedihkan, Sanghyeon-ssi,” Jaehyun meliriknya, mengambil dua tiga detik untuk memamerkan lesung pipitnya yang dalam, kemudian melanjutkan, “mereka puitis.”


Sanghyeon tak tahu apa yang puitis dari hitam, tapi ia tetap menyetujuinya. Mungkin karena argumen itu ditutur secara puitis. Mungkin karena argumen itu ditutur oleh Jung Jaehyun, seseorang yang selalu mengingatkannya pada puisi.


Seperti yang Jaehyun ramal, hujan benar-benar turun. Mereka berlari kurang lebih dua puluh meter—masih bergenggaman tangan—dan memasuki restoran dalam kondisi rambut setengah basah dan baju lembap.


Sanghyeon meletakkan kacamata hitamnya di meja dan menyisir rambutnya dengan jari. Ia menoleh pada Jaehyun yang juga sedang sibuk menyugar rambut. Mereka saling memandang dan tertawa. Tidak jelas menertawakan apa. Seperti orang bodoh. Tapi itu bukan masalah. Mereka adalah orang bodoh yang bahagia.


Buku menunya diletakkan di meja. Jaehyun nyaris memesan bir, namun Sanghyeon menahan pelayan yang hendak mencatat dan menggantinya dengan es limun.


“Kau benar-benar tidak tahu rasanya berurusan dengan orang mabuk, ya?”


Jaehyun terkekeh sebelum membela diri. Katanya, yang semalam itu jarang sekali terjadi. Biasanya toleransi alkoholnya sangat tinggi.


Sanghyeon cuma mendelik sebal ke arahnya. Kemudian menyebutkan pesanan yang lain.


Selagi menunggu, mereka tidak banyak bicara. Sanghyeon bilang ‘kau agak berbeda hari ini’. Jaehyun yang sedang menekuri ponselnya langsung mengernyit sok bingung, dia mendongak pada Sanghyeon, mengeluarkan senyum miring seolah sedang menantangnya, ‘benarkah? apa yang beda?’.


Sanghyeon tak menjawab lagi. Seperti Jaehyun, ia juga menekuri ponselnya. Sanghyeon cuma membuka-tutup aplikasi selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk bermain Hay Day—hanya supaya ia punya sesuatu untuk dilakukan.


Setelah sup, salmon, es limun dan beberapa masakan khas Lebanonnya datang, keduanya baru meninggalkan ponsel masing-masing. Jaehyun akhirnya mengajak Sanghyeon ngobrol lagi. Hanya sekadar omong kosong yang lain. Namun Sanghyeon tetap menjawab semua pertanyaan itu sepenuh hati. Ini adalah jenis obrolan kesukaannya.


Apa hal yang kau sukai dari dirimu sendiri?

Artis favoritmu?

Lima hal yang membuatmu bahagia?


Saat ini, Sanghyeon sedang luar biasa bahagia. Ia ingin menjawab pertanyaan terakhir itu dengan; matamu, senyummu, lesung pipitmu, suaramu dan kau. Tapi Sanghyeon tak punya cukup nyali untuk mengucapkan itu. Ia malah bilang, “makanan enak, heels, lagu bagus, laut dan tidur.”


Jawabannya tidak bohong, hanya saja kurang relevan untuk sekarang. Pasalnya, detik ini, Sanghyeon sudah pasti lebih memilih mendengar suara Jaehyun dibanding lagu bagus. Lebih memilih memandang senyumnya ketimbang tidur.


Setelah hampir satu jam, makanan di meja pun habis.


Mereka bertahan di restoran itu sampai hujannya reda. Kemudian berjalan tanpa tujuan sampai tak sengaja menemukan toko souvenir. Sanghyeon memilih-milih topi pantai tanpa benar-benar berniat membelinya.


Saat Jaehyun menghampirinya—dengan keranjang berisi boneka penyu dan harness berlogo Fort Funston untuk Waffle—ia memaksa Sanghyeon membeli salah satu. Setelah berdebat beberapa kali, Sanghyeon pun menyerah dan memasukkan topi pink bermotif floral yang baru dikembalikannya ke rak ke dalam keranjang.


“Aku mungkin tak akan menggunakan topi itu lagi.”
“Aku akan mengajakmu ke pantai lagi.”


Jaehyun membawa belanjaan mereka ke kasir dan membuka kulkas di sebelahnya sambil menunggu antrean. Sanghyeon mengekor di belakangnya namun matanya terpaku pada pemandangan manis di depan kasir. Ada sepasang remaja basah kuyup di sana, sedang membeli kaus kuning terang bertulis Fort Funston, sudah pasti untuk baju ganti. Hujan barusan memang lebat sekali. Saking lebatnya, alih-alih kehujanan, mereka justru terlihat seperti baru saja menceburkan diri ke laut. Namun walaupun begitu keduanya tetap terlihat bahagia. Mereka tersenyum lebar dan saling menggoda dengan pipi merona, jelas-jelas sedang kasmaran. Sanghyeon bisa menyimpulkan kencan mereka berjalan dengan lancar—jika benar mereka sedang kencan.


Soft drink?” Suara Jaehyun membuyarkan lamunannya.


Sanghyeon menatap kaleng soda di tangan Jaehyun dan menggeleng, kemudian mengulurkan tangannya mengambil air kelapa kemasan bermerek Zico.


Pukul setengah enam, Sanghyeon dan Jaehyun sudah kembali duduk di bibir pantai. Sanghyeon memakai topi pink-nya, berpikir ini adalah waktu yang tepat. Satu-satunya. Kapan lagi ia bisa memakai topi pantai berdiameter dua kali kepalanya tanpa dihakimi?


Pantai sudah tidak sesepi siang tadi. Paling sedikit ada dua puluh orang yang turut serta menemani mereka sore itu, menunggu matahari terbenam. Ada yang main kejar-kejaran, lempar tangkap frisbee dengan anjing kesayangan atau sekadar bertelanjang kaki menyusuri garis pantai, menikmati bau pasir basah sehabis hujan.


“Kita punya dua puluh menit sebelum matahari terbenam,” kata Sanghyeon setelah mengecek ponselnya. “Seharusnya itu cukup.”


Jaehyun melonggarkan tutup botol air kelapa yang ia ambil dari paper bag, lalu mengulurkannya pada Sanghyeon sambil mengernyit. “Cukup untuk?”


“Menjelaskan padaku kenapa tiba-tiba kau bersikap manis begini?”


Jaehyun membuka kaleng sodanya sambil menahan senyum. “Kau jelaskan dulu bagian mananya dari sikapku yang manis hari ini.”


“Kau tahu.”
“Aku tidak tahu.”


Sanghyeon menghela napas malas. “Lupakan saja.”


Jaehyun jelas tidak akan melupakannya. Senyumnya memudar. Alisnya bertaut menuntut penjelasan. “Okay, biar kuperjelas, kau bertanya begini karena aku membelikanmu topi?”


“Kau tak perlu pura-pura bodoh.”
“Aku tidak pura-pura bodoh. Kalau kau menganggapnya seperti itu, maka aku mungkin memang bodoh.”
“Jaehyun.” Sanghyeon mengucapkannya dengan nada menegur. Ini bukan waktu yang tepat. Mereka akan bertengkar. Sanghyeon bisa merasakan itu.


“Jadi kalau bukan karena topi lalu karena apa, Sanghyeon-ssi?”


Sanghyeon menghabiskan lima detik penuh untuk mengusap wajahnya. Ia sedang menahan diri supaya tidak menyemburkan kata-kata jahat. Ini tidak mungkin. Dia ingat benar bagaimana ekspresi Jaehyun di restoran Lebanon tadi. Dia ingat benar bagaimana Jaehyun tersenyum miring padanya saat ia berkomentar ‘kau agak berbeda hari ini’. Jaehyun menyeringai. Dia tahu apa yang dia perbuat. Dia tahu sikapnya berbeda. Dan sekarang.. tiba-tiba saja.. dia bertanya seperti ini seolah Sanghyeon sudah berhalusinasi.


“Yah… semua yang kaulakukan hari ini,” kata Sanghyeon berusaha tenang. “Benar-benar semuanya. Mengajakku ke pantai, menanyakan hal-hal remeh tentangku, menggenggam tanganku. Apa maksudnya semua itu?”


“Kalau kau tak suka…”
“Ini bukan masalah suka atau tidak,” potong Sanghyeon, usahanya untuk tenang mulai luntur. Dia frustrasi. Jaehyun bisa melihat itu. “Aku hanya ingin tahu apa yang ada di kepalamu.”


“Tidak ada apa-apa. Aku cuma ingin melakukannya,” balas Jaehyun dengan nada yang tak bisa dibilang ramah. Kefrustrasian Sanghyeon nampaknya mulai membuatnya frustrasi juga. “Apa aku membuatmu tak nyaman?”


“Bukan itu masalahnya.”
“Kalau begitu nikmati saja. Aku juga tidak akan bersikap begini setiap hari, kok.”


Sanghyeon refleks berdecak. Ia menggeleng, kemudian tersenyum mencibir “Semudah itu, ya?” katanya. “Enak sekali. Bisa mempermainkan perasaan orang hanya karena ingin melakukannya.”


“Sanghyeon…”
“Kau orang cerdas, Jaehyun. Kau pasti paham, kan? Kau pasti mengerti efeknya jika kau memperlakukanku seperti ini. Kau pasti…”


“Ya,” sambar Jaehyun. “Kau benar. Aku mengerti efeknya. Aku tahu kau menyukaiku. Aku tidak mati rasa, Lee Sanghyeon. Aku bisa merasakannya.”


“Tentu kau bisa merasakannya. Sekarang jelaskan padaku kenapa semalam kau menanyakan siapa yang kusuka? Kau ingin aku menjawab itu kau?” Suara Sanghyeon meninggi. “Kau ingin aku bicara begitu supaya kau bisa mengingatkanku bahwa ‘aku sedang tidak mencari hubungan romantis dengan siapa pun’. Tenang saja! Aku tidak lupa ingatan! Ini cuma perasaan konyol. Lama-lama juga hilang. Aku tak akan memintamu jadi pacar sungguhanku atau apa. Aku tahu hubungan kita cuma hubungan bisnis. Aku…”  


Jaehyun tiba-tiba berdiri. “Ayo.”


“Katanya mau lihat matahari tenggelam?”
“Serius? Apa menurutmu aku masih bisa melakukan itu?”
“Harusnya bisa.”
“Tidak, Sanghyeon. Tidak bisa.” Jaehyun sedikit membungkuk untuk menyambar paper bag-nya. “Ayo. Lagian dari hotel juga kelihatan, kok.”


Hening. Di perjalanan. Di mobil. Bahkan di dalam lift. Mereka berdiri bersisian, memandang ke depan tanpa suara. Sanghyeon bisa merasakan penyesalan di hatinya. Jika saja ia tidak menanyakan pertanyaan bodoh tadi, mereka pasti masih di pinggir pantai sekarang. Duduk beralaskan sendal sambil melihat matahari tenggelam. Minum soda, minum air kelapa. Menanyakan ‘kalau kau bisa jadi hewan dalam sehari, apa yang akan kau pilih?’ dan mungkin melakukan tingkah manis ala orang pacaran lainnya.


Kata maaf sudah ada di ujung bibirnya, namun Sanghyeon tak mampu mengeluarkannya di atmosfer sedingin ini. Ia beberapa kali melirik Jaehyun sambil membuka mulut, lalu mengatupkannya lagi saat melihat betapa kerasnya ekspresi sang pria.


Namun begitu pintunya terbuka di lantai tiga, sesuatu yang tak terduga-duga terjadi. Jaehyun keluar dan berdiri di hadapan Sanghyeon. Sembari menahan pintu liftnya pria itu berkata, “Aku minta maaf.”


Kening Sanghyeon berkerut. “Harusnya aku yang bilang begitu. Maaf sudah meracau tak jelas. Aku hanya.. aku tak mau makin..” Sanghyeon menggeleng sendiri, menahan tangis. Ia benar-benar menyesal. Dan terkejut. Ini jelas-jelas salahnya. Kenapa malah Jaehyun yang minta maaf duluan? “Aku tak mau mengharapkan apa-apa dan kau malah memberiku harapan.” Dan sekarang ia malah menyalahkan Jaehyun lagi. Dasar bodoh.


“Ya, aku tahu… aku tak memikirkan itu.” Sebelah tangan Jaehyun meremas tengkuknya, sementara sebelah yang lain masih di sisi lift. “Maaf jika sikapku membuatmu merasa dipermainkan. Aku cuma ingin kita bersenang-senang. Aku mengabaikanmu siang malam di Las Vegas. Aku hanya merasa kita sesekali butuh liburan.”


Sanghyeon tak menjawab. Sekarang ia merasa seperti orang idiot. “Apa kau akan turun untuk makan malam?” tanya gadis itu ragu. Tangannya terus memilin topi di tangannya. Perasaan bersalahnya sudah mengembang di dadanya hingga membuat sesak. Jaehyun cuma ingin liburan dan dia mengacaukannya. Dasar bodoh. 


“Ya.”


Sanghyeon tersenyum. “Syukurlah. Aku tak mau kita mengakhiri hari menyenangkan ini dengan kesalahpahaman,” kata Sanghyeon. “Maaf sudah merusak liburan kecil kita. Aku hanya…” benar-benar suka padamu sampai rasanya menyakitkan. “… entahlah, sepertinya suasana pantai membuatku lebih emosional.”


“Tidak masalah. Salahku juga,” katanya. “Kalau begitu sampai ketemu dua jam lagi?”
“Ya, tentu. Dan Jaehyun! Sebentar, aku merasa harus mengatakan ini.”
“Apa?”
“Aku ingin meyakinkanmu sekali lagi kalau perasaanku tak akan mengganggu hubungan profesional kita. Aku bukan tipe cewek seperti itu. Aku akan berhenti suka padamu. Aku janji.”


Pintu liftnya berbunyi. Mereka bicara terlalu lama.


“Kalau begitu sampai nanti.” Sanghyeon menganggukkan kepala.


Jaehyun menarik tangannya dari pintu, balas mengangguk. “Sampai nanti.”


Setelah percakapan itu, segalanya kembali seperti semula. Mereka makan malam dengan suasana yang menyenangkan. Menu malam itu adalah steak. Jaehyun membantu Sanghyeon memotong ribeye-nya dan mereka berbincang sebagaimana perbincangan mereka di pantai, atau di restoran Lebanon. Semuanya berjalan lancar. Sebagaimana remaja basah kuyup yang dilihat Sanghyeon di toko souvenir, mereka tertawa lebar dan saling menggoda. Siapa pun yang melihat; pelayan restoran, pengunjung lain, orang yang sedang berlalu lalang, semuanya pasti akan mengira kencannya berhasil—jika mereka berpikir itu kencan.


Malam itu, hari itu, semuanya tak ada yang salah.



**********



Namun keesokan harinya, ada yang salah. Jaehyun nyaris tak bicara pada Sanghyeon selama di pesawat—dan itu bukan waktu yang sebentar.


Setibanya di bandara McCaran di Las Vegas, Sicheng menyambut mereka di pintu kedatangan. Pria itu tersenyum lebar sambil melambai-lambai namun senyumnya tidak dapat membodohi siapa pun. Dia panik. Sekeras apa dia mencoba menutupi, raut wajahnya tetap terlihat ketakutan. Dia langsung meminta maaf begitu Jaehyun melewatinya, mengadu bahwa biro mobil sewaan di California membatalkan pesanannya di detik terakhir (ini jujur) dan pihak hotel salah memasukkan jumlah kamar yang sudah ia booking (ini bohong).


Sicheng berpikir ia akan diomeli habis-habisan, namun Jaehyun cuma mengangkat tangan menyuruhnya diam. Kakinya terus melangkah menuju mobil.


Sicheng menatap Sanghyeon penasaran, tapi gadis itu cuma mengangkat bahu. Sebab seharusnya tak ada yang salah. Kemarin berakhir menyenangkan.


Penyebabnya baru diketahui belakangan, tepatnya saat mereka sudah setengah jalan menuju penthouse. Ternyata masalah kerja. Jaehyun yang sejak tadi menunduk membaca draf perjanjian tiba-tiba mendecak keras dan langsung menyuruh Kurt mengantarnya ke kantor. Setelah itu dia menelepon seseorang dan mengatainya tidak becus. Jaehyun mencak-mencak seperti orang kesetanan. Ia tidak berhenti mengomel bahkan sampai mobil mereka berhenti di lobi.


Sicheng hendak turun duluan, namun pertanyaan Jaehyun membuat gerakannya terhenti.


“Bagaimana bisa draf sampah begitu bisa diemail ke partner, Dong Sicheng? Lalu kenapa saya dapat info dari mereka kalau izin mendirikan bangunannya belum diurus? Bukannya kemarin kau bilang sudah tahap akhir?” tanya Jaehyun seraya memasukkan kembali ponselnya ke saku di balik blazer. “Soal draf perjanjian, Nathan bilang kau yang melaporkan pada tim legal kalau drafnya sudah saya setujui. Sejak kapan? Saya saja baru baca sekarang.”


“Sudah kok, Pak Bos.” Sicheng menyerong ke jok belakang. “Lewat email seminggu yang lalu.”


Jaehyun menghela napas. “Saya tidak pernah baca draf itu sebelumnya. Saya yakin yang saya aksep bukan yang itu.”


Sicheng menggeleng, kemudian langsung membuka ponselnya. “Sebentar saya cek inbox.”


“Untuk apa cek inbox? Mau buktiin saya yang salah? Terus ternyata kalau bukan saya yang salah, kau mau apa?” tantang Jaehyun. Sicheng langsung menurunkan ponselnya dengan takut. “Bisa tidak sih sekali saja fokus? Mau sampai kapan saya harus memaklumi kesalahanmu terus?”


Sanghyeon benar-benar membatu. Ia bahkan tidak berani menarik napas. Gadis itu melirik Sicheng penuh simpati. Ia sama sekali tak bisa membayangkan perasaan pria itu sekarang.


Jaehyun mendengus keras-keras sebelum membuka pintu. “Ikut saya meeting,” katanya pada Sicheng. Kemudian melangkah keluar begitu saja.


Tanpa berucap apa-apa, Sicheng segera turun dan mengekori Jaehyun.


Tinggallah Sanghyeon dan Kurt di mobil.


“Are we going home now, Ma'am?”
“Do you think the meeting will be long?”
“I’m not sure.”


Sanghyeon mendaratkan pandangannya pada foodcourt mini persis setelah pintu masuk. “I think I’d better just wait, Kurt. I’m kinda hungry anyway.”


“Okay.”



**********



Kata Kurt kau menungguku di kantin? Kenapa?


Sanghyeon mendapat pesan itu saat ia sudah menghabiskan makanannya. Ia membacanya beberapa kali sambil membayangkan bagaimana Jaehyun mengatakan kalimat itu. Pertama ia membayangkan Jaehyun mengatakannya dengan suara lembut—menandakan dia khawatir; kau pasti lelah, kenapa tidak istirahat saja? Kedua, ia membayangkan kemarahan—pria itu terganggu; siapa yang menyuruhmu turun dari mobil? Kenapa tidak langsung pulang, sih? Bikin tidak fokus kerja saja!


Gelombang emosi sudah menguasai Jaehyun sejak tadi pagi. Jadi lebih mudah membayangkan yang kedua.


Sanghyeon baru membalasnya setelah menganalisa—walau ia sendiri tak tahu apa gunanya ia menganalisa.


Lapar. Lagian lumayan, kan? Kurt tidak harus bolak-balik~
Omong-omong, aku duduk di meja bagian luar
Kalau sudah selesai cepat ke sini. Kubelikan starbucks^^


Ketika Jaehyun muncul tak lama kemudian, nama Sanghyeon dipanggil oleh barista. Sanghyeon hendak berdiri, namun Jaehyun menahan pundaknya dan menggantikannya ke konter untuk mengambil dua cup kopi berukuran venti.


“Yang mana punyaku?”
“Terserah. Kau mau Americano atau Vanilla Latte?”


Jaehyun ingat Sanghyeon memesan Vanilla Latte saat pertemuan pertama mereka di kedai kopi  dan langsung mengulurkan yang itu. Baru kemudian ia duduk.


Meeting-nya sudah selesai?” Sanghyeon bertanya sembari merobek pembungkus sedotan.


Jaehyun melakukan hal yang sama. “Sudah.”


“Jadi kita pulang sekarang?”
“Tidak bisa. Aku harus bertemu tim legal dulu,” katanya seraya memasukkan sedotan ke dalam cup. “Kami harus mendiskusikan draf perjanjian baru. Masalahnya ternyata lebih besar dari yang kukira. Dan perkiraanku saja sudah cukup besar.”


Sanghyeon menatap wajah kusut Jaehyun dan mau tak mau merasa iba. “Apa ada yang bisa kubantu?”


Jaehyun yang sedang menyedot es Americano-nya langsung tersenyum.


“Bukannya jawab malah senyum-senyum.”
“Aku sedang minum, Lee Sanghyeon.”
“Jadi apa yang bisa kubantu?”
“Kau sudah sangat banyak membantu. Sekarang lebih baik kau pulang dan istirahat.” Ia berdiri sambil menggenggam cup-nya, lalu mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk kepala Sanghyeon. “Aku tak tahu akan pulang jam berapa tapi kuusahakan pulang. Jadi.. sampai ketemu besok.”


Sanghyeon menyukai sekaligus membenci seluruh gerak-gerik manis yang Jaehyun berikan padanya. Meletakkan tangan di kepala, apalagi menepuk-nepuknya, bukan hanya tergolong sebagai tindakan manis, melainkan supermanis!!! Sanghyeon seharusnya menyuruh Jaehyun berhenti. Atau paling tidak mengelak dari jangkauannya. Tapi ia tidak bisa melakukan itu. Alasannya sederhana, nyaris konyol malah. Sanghyeon tak mau Jaehyun menganggapnya sebagai cewek yang suka mengeluh. Dia sudah membuat drama tolol kemarin. Gadis itu tak akan membiarkan kejadian di pantai kemarin terulang lagi. Dia tak mau jadi cewek yang gampang terbawa perasaan.


“Itu artinya kalaupun kau pulang, kau akan pulang sangat larut?” Sanghyeon bertanya senormal mungkin, mengabaikan tangan Jaehyun di kepalanya, mengabaikan hatinya.


“Yeah. Tak usah menungguku.”
“Kapan sih aku menunggumu?”


Jaehyun terkekeh, lalu tangannya bergerak begitu saja mengacak rambut Sanghyeon. Ya ampun! Sekarang dia melakukan tindakan superdupermanis. “Kau sedang menungguku, Nona.”


Sanghyeon baru menyadari itu dan tertawa. “Benar juga.” Ia menangkap tangan Jaehyun. Sudah cukup, pikirnya. Ia tak tahan lagi. Sanghyeon bisa merasakan pipinya merona. Gadis itu tak mau jadi cewek lemah yang diusap-usap sedikit langsung merona. “Jangan terlalu lelah, ya.”


Lesung pipit menghiasi wajah sang pria. “Oke.”



**********



Matahari merayap turun. Langit jingga terhampar bak permadani dan lembayung senja membentang di atasnya. Sanghyeon baru sampai di penthouse dan langsung duduk di pinggir kolam renang sambil memangku Waffle—yang dua hari ini dititipkan di petshop persis di sebelah gedung. Sanghyeon membelai bulu halus anjing itu dan menghirup udara dalam-dalam. Pikirannya mengelana ke mana-mana.


Tahun ini benar-benar tahun tergilanya. Fakta bahwa dia belum menikahi siapa pun dan bisa menyaksikan matahari tenggelam dari pinggir kolam renang pribadi di sebuah penthouse mewah, terlebih di benua yang sama sekali tak pernah terbersit akan disinggahinya, seharusnya merupakan kenikmatan yang tak ternilai di hidup Sanghyeon, namun gadis itu tak bisa menghargainya. Sanghyeon bisa merasakan keserakahan mulai menggerogotinya.


Dulu ia menyetujui penawaran Jaehyun hanya karena alasan sederhana. Ia membutuhkan uang dan tempat tinggal, tapi sekarang Sanghyeon malah menemukan dirinya tak menginginkan kehidupan fana ini berakhir. Ia malah berharap tetap di sini. Ia malah jatuh cinta pada Jaehyun. Tak tahu diri.


Sanghyeon ingin membentengi hatinya dari bosnya yang memesona, tapi ia sadar betapa payah dirinya akhir-akhir ini. Segala hal tentang pria itu selalu berhasil membuat dunianya berbunga-bunga. Dan itu salah. Itu berbahaya. Pasalnya, setelah semua kepura-puraan ini berakhir, setelah meninggalkan Las Vegas, setelah kembali ke kehidupan sesungguhnya, hatinyalah yang akan terluka. Hanya hatinya.


Begitu langit semakin gelap, Sanghyeon akhirnya beranjak dari duduknya dan kembali ke dalam. Ia mandi air hangat, memakai piama favoritnya lalu memasak mie instan untuk menemaninya nonton drama. Bersama Waffle—yang juga disuguhkan semangkuk makanan anjing kering, Sanghyeon menyelesaikan hampir tujuh setengah episode sebelum akhirnya ketiduran di sofa ruang tengah. Televisinya tetap menyala.


Pukul setengah dua siang, Sanghyeon terbangun dan terkejut bukan main begitu menemukan selimut wol abu-abu tebal tersampir di tubuhnya. Layar televisinya mati. Mangkuk bekas mie dan mug cokelatnya yang semalam bertumpuk di meja kini malah bertengger di rak piring. Sudah dicuci bersih dan dalam keadaan kering.


Sanghyeon segera berdiri. Dia benar-benar tidak enak… dan malu. Ini pasti ulah Jaehyun, kan? Memangnya siapa lagi? Kenapa sih dia harus menyelimutiku? Bukan hanya itu, kenapa dia mencuci alat makanku segala? Ya ampun!


Sanghyeon melirik pintu kamar Jaehyun yang tertutup, kemudian meringis. Apa dia masih di dalam? Tapi ini sudah sangat siang. Harusnya sudah berangkat kerja, kan? Ya, seharusnya begitu.


Untuk meyakinkan dugaannya, Sanghyeon mengecek rak sepatu di dekat pintu lift dan langsung bernapas lega begitu tak menemukan sepatu pantofel Jaehyun di sana. Memalukan sekali. Kenapa sih bisa-bisanya ketiduran di sofa? Tak terbayang betapa berantakan wajahnya tadi.


Apa Pak Bos ada di penthouse? –Sicheng


Sanghyeon tertegun membaca pesan dari Sicheng. Pesan itu sudah masuk sejak pukul sebelas siang namun ia baru menemukannya sekarang, hampir tiga jam setelahnya.


Apa maksudmu?
Kukira dia sudah ke kantor?
Hanya ada aku dan Waffle di sini


Balasannya masuk dua menit kemudian.


Dia tidak ada di kantor. Aku sudah mencoba menghubunginya tapi ponselnya mati.
Aku juga menelepon Kurt. Dia bilang Pak Bos tidak turun ke lobi hari ini.
Jadi kukira dia masih di penthouse?-Sicheng


Okay, itu aneh. Apa jangan-jangan Jaehyun memang masih di sini? Satu-satunya cara untuk mencari tahu hanyalah melihat langsung ke dalam kamarnya.


Aku akan coba cek ke kamarnya.


Please, segera hubungi aku kalau terjadi apa-apa-Sicheng


Jangan bikin takut, dong!


Cepat lihat kamarnya. Kutunggu-Sicheng



TBC

Comments

Popular Posts