Businesship Part 6
Apa-apaan ini!
Itulah yang dikatakan Sanghyeon
kepada dirinya sendiri sepanjang hari ini.
Tepat pukul sembilan pagi, Jaehyun
mengetuk pintu kamarnya yang berada di lantai lima dan langsung mengajaknya ke
pantai. Sanghyeon bilang āini sudah terlalu siangā namun Jaehyun malah
tersenyum dan berkata ātidak-apa-apa, langitnya mendungā. Menurut Sanghyeon itu
justru lebih buruk lagi. Bagaimana kalau
hujan? Namun sebelum sempat mendebat, Jaehyun sudah memotongnya duluan. Dia
bilang ākutunggu di lobi. Jangan membuatku menunggu lamaā.
Itu artinya Sanghyeon tidak
diberi pilihan. Gadis itu meninggalkan kamarnya pukul sembilan lewat sepuluh, hanya
mengenakan tanktop biru gelap dan legging, seolah ia mau lari pagi.
Sanghyeon tak bawa baju untuk ke pantai. Dia tak bawa baju untuk ke mana pun.
Seharusnya mereka terbang ke Las Vegas tepat jam satu siang ini. Sanghyeon tak
mengerti kenapa tiba-tiba Jaehyun berubah pikiran.
Gadis itu turun ke lobi sambil
menggenggam ponsel dan kacamata hitam. Melihat penampilan Jaehyun yang supersantaiācelana selutut warna moka dan kaus putih
lengan pendek, Sanghyeon menyimpulkan ia tidak harus membawa tas.
āSiap?ā
āYup.ā
Sanghyeon membuka kaca mobil sampai
penuh dan memakai kacamata hitamnya saat Jaehyun sedang menyetir. Mereka menyewa
mobil sedan yang disediakan hotel dan Jaehyun memutuskan untuk mengendarainya
sendiri. Karena, berdasarkan info dari pria berkulit putih yang duduk di
sebelahnya di lobi tadi, rupanya kalau cuma mau ke pantai mereka bisa
menghindari jalan besar. Banyak turis yang membawa mobil sendiri.
Fort Funston, itu nama pantainya.
Jaraknya hanya lima lagu dari hotel. Mereka menyenandungkan lagu-lagu hits dalam playlist yang berasal dari flashdiskāentah
milik siapa, tape-nya sudah menyala
saat Jaehyun membuka pintuādengan suara keras tanpa beban. Sanghyeon
bertanya-tanya apa yang sedang merasuki Jaehyun. Tapi tak benar-benar
menanyakannya karena takut merusak suasana.
Itu adalah enam belas menit yang
menyenangkan. Sanghyeon hampir merasa kecewa saat mereka sampai.
Keduanya keluar dari mobil dan
cuma memandangi laut dari kejauhan. Kemudian, setelah lima menit, Jaehyun
akhirnya mengajaknya mendekat ke bibir pantai. Sanghyeon mengangguk, ia menaikkan
kacamatanya ke puncak kepala dan melangkah mengekor sang pria.
āKenapa mukamu begitu? Tidak suka
laut?ā
Jaehyun tiba-tiba menoleh
padanya, tangannya mengulur ke belakang dan menggenggam tangan Sanghyeon begitu
saja.
Sanghyeon tak menjawab pertanyaan
itu karena otaknya sibuk menerka-nerka. Kenapa Jaehyun menggenggamnya?
Ya, kemarin mereka juga
bergenggaman tanganātidak lebih dari dua menitātapi itu berbeda. Jaehyun punya
alasan. Mereka sedang berada di pesta Yiren. Pria itu pasti cuma jaga-jaga.
Antisipasi kalau ada seseorang yang ia kenal memergokinya tidak menggandeng
ceweknya di pesta. Mungkin sebagian besar dari mereka menganggap hal itu tidak
etis.
Selagi berjalan, Sanghyeon
mengernyit pada belakang kepala Jaehyun. Kemudian matanya memindai pantai.
Kosong. Itu adalah jam setengah sepuluh pagi di hari Senin. Langitnya mendung.
Hanya Jaehyun yang mau ke pantai di waktu seperti ini.
āApa kita akan menemui seseorang?
Ada rekan bisnismu di sekitar sini?ā Itu satu-satunya alasan masuk akal yang
bisa dipikirkan Sanghyeon.
āTidak, kok.ā
Lalu kenapa harus berakting? Kenapa menggenggam tanganku?,
batinnya.
Mereka tiba di pinggir laut.
Ombaknya menggulung tipis dan menyentuh ujung sendal mereka. Keduanya
bergeming. Tidak berkata apa-apa. Tidak melakukan apa-apa. Hanya memandang
laut. Segalanya terlihat luar biasa cantik hari ini.
Jaehyun yang pertama kali
berinisiatif duduk. Ia melepas sendalnya untuk digunakan sebagai alas duduk.
Sanghyeon mengikuti. Selama berjam-jam setelahnya, yang mererka lakukan hanya berbincang
sambil membenamkan kaki telanjang mereka di pasir halus. Sanghyeon tak ingat
apa persisnya yang mereka perbincangkan, dia cuma ingat itu menyenangkan.
Jaehyun menanyainya omong kosong; apa warna favoritmu? Apa kau percaya alien?
Apa cita-cita pertamamu? Dan sebagainya.
Sanghyeon tak tahu kenapa Jaehyun
menanyakan itu. Terlebih kenapa ia menanyakannya sambil memandang laut. Rasanya
terlalu berlebihan. Terlalu romantis. Sanghyeon nyaris berpikir mereka sedang
kencan. Entah Jaehyun menganggap agenda menatap laut ini sebagai apa, tapi jika
ini memang kencan, maka bagi Sanghyeon ini adalah kencan pertama yang paling
sempurna.
Pertanyaan yang Jaehyun ajukan
memang terkesan tidak penting. Omong kosong. Tapi Sanghyeon tetap menjawab semua
omong kosong itu dengan semangat dan balik menanyainya. Hari itu, di atas pasir
pantai Fort Funston, di bawah langit California yang mendung, Sanghyeon
akhirnya tahu Jaehyun suka warna hitam, tidak percaya alien dan bercita-cita
menjadi polisi saat masih TK. Mereka sudah tinggal bersama selama tiga puluh dua hari dan
ini pertama kalinya Sanghyoen merasa mengenal Jaehyun. Setidaknya sepuluh persen mengenalnya.
āKau lapar?ā Jaehyun masih
menatap lurus ke depan saat menanyakan itu. āKita melewatkan sarapan dan ini
sudah waktunya makan siang.ā
Pria itu menoleh dan melihat
Sanghyeon mengangguk.
āMau makan sekarang?ā
āBoleh.ā
Ada restoran Lebanon di dekat
situ. Hanya butuh sepuluh menit jalan kaki. Jaehyun menggenggam tangan
Sanghyeon lagi saat berjalan. Dia melirik ke awan yang semakin mendung, lalu
berkata āsepertinya sebentar lagi hujan akan turunā seraya meratakan telapak
tangannya di telapak tangan Sanghyeon. Mengaitkannya dengan gerakan perlahan
dan terus mengawasi awan seolah jika dia bersikap begitu, Sanghyeon tak akan
sadar kalau tangannya sedang digenggam.
Hari ini Jaehyun benar-benar
aneh. Bukan artinya Sanghyeon tidak menyukainya.
Selagi berjalan, hanya supaya
suasananya tidak terlalu canggung, Sanghyeon mengungkit pertanyaan di pantai
tadi dan mengkritik selera Jaehyun soal warna kesukaan. āDari sekian banyak
warna, haruskah kau menyukai warna yang paling menyedihkan?ā
Kritikannya dibantah dengan suara
lembut, āHitam itu tidak menyedihkan, Sanghyeon-ssi,ā Jaehyun meliriknya,
mengambil dua tiga detik untuk memamerkan lesung pipitnya yang dalam, kemudian
melanjutkan, āmereka puitis.ā
Sanghyeon tak tahu apa yang
puitis dari hitam, tapi ia tetap menyetujuinya. Mungkin karena argumen itu
ditutur secara puitis. Mungkin karena argumen itu ditutur oleh Jung Jaehyun,
seseorang yang selalu mengingatkannya pada puisi.
Seperti yang Jaehyun ramal, hujan
benar-benar turun. Mereka berlari kurang lebih dua puluh meterāmasih
bergenggaman tanganādan memasuki restoran dalam kondisi rambut setengah basah
dan baju lembap.
Sanghyeon meletakkan kacamata
hitamnya di meja dan menyisir rambutnya dengan jari. Ia menoleh pada Jaehyun
yang juga sedang sibuk menyugar rambut. Mereka saling memandang dan tertawa.
Tidak jelas menertawakan apa. Seperti orang bodoh. Tapi itu bukan masalah.
Mereka adalah orang bodoh yang bahagia.
Buku menunya diletakkan di meja.
Jaehyun nyaris memesan bir, namun Sanghyeon menahan pelayan yang hendak
mencatat dan menggantinya dengan es limun.
āKau benar-benar tidak tahu
rasanya berurusan dengan orang mabuk, ya?ā
Jaehyun terkekeh sebelum membela
diri. Katanya, yang semalam itu jarang sekali terjadi. Biasanya toleransi
alkoholnya sangat tinggi.
Sanghyeon cuma mendelik sebal ke
arahnya. Kemudian menyebutkan pesanan yang lain.
Selagi menunggu, mereka tidak
banyak bicara. Sanghyeon bilang ākau agak berbeda hari iniā. Jaehyun yang
sedang menekuri ponselnya langsung mengernyit sok bingung, dia mendongak pada
Sanghyeon, mengeluarkan senyum miring seolah sedang menantangnya, ābenarkah?
apa yang beda?ā.
Sanghyeon tak menjawab lagi.
Seperti Jaehyun, ia juga menekuri ponselnya. Sanghyeon cuma membuka-tutup
aplikasi selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk bermain Hay Dayāhanya
supaya ia punya sesuatu untuk dilakukan.
Setelah sup, salmon, es limun dan
beberapa masakan khas Lebanonnya datang, keduanya baru meninggalkan ponsel
masing-masing. Jaehyun akhirnya mengajak Sanghyeon ngobrol lagi. Hanya sekadar
omong kosong yang lain. Namun Sanghyeon tetap menjawab semua pertanyaan itu
sepenuh hati. Ini adalah jenis obrolan kesukaannya.
Apa hal yang kau sukai dari dirimu sendiri?
Artis favoritmu?
Lima hal yang membuatmu bahagia?
Saat ini, Sanghyeon sedang luar
biasa bahagia. Ia ingin menjawab pertanyaan terakhir itu dengan; matamu,
senyummu, lesung pipitmu, suaramu dan kau. Tapi Sanghyeon tak punya cukup nyali
untuk mengucapkan itu. Ia malah bilang, āmakanan enak, heels, lagu bagus, laut dan tidur.ā
Jawabannya tidak bohong, hanya
saja kurang relevan untuk sekarang. Pasalnya, detik ini, Sanghyeon sudah pasti
lebih memilih mendengar suara Jaehyun dibanding lagu bagus. Lebih memilih
memandang senyumnya ketimbang tidur.
Setelah hampir satu jam, makanan
di meja pun habis.
Mereka bertahan di restoran itu
sampai hujannya reda. Kemudian berjalan tanpa tujuan sampai tak sengaja
menemukan toko souvenir. Sanghyeon
memilih-milih topi pantai tanpa benar-benar berniat membelinya.
Saat Jaehyun
menghampirinyaādengan keranjang berisi boneka penyu dan harness berlogo Fort Funston untuk Waffleāia memaksa Sanghyeon
membeli salah satu. Setelah berdebat beberapa kali, Sanghyeon pun menyerah dan
memasukkan topi pink bermotif floral yang baru dikembalikannya ke rak ke dalam
keranjang.
āAku mungkin tak akan menggunakan
topi itu lagi.ā
āAku akan mengajakmu ke pantai
lagi.ā
Jaehyun membawa belanjaan mereka
ke kasir dan membuka kulkas di sebelahnya sambil menunggu antrean. Sanghyeon
mengekor di belakangnya namun matanya terpaku pada pemandangan manis di depan
kasir. Ada sepasang remaja basah kuyup di sana, sedang membeli kaus kuning
terang bertulis Fort Funston, sudah pasti untuk baju ganti. Hujan barusan
memang lebat sekali. Saking lebatnya, alih-alih kehujanan, mereka justru
terlihat seperti baru saja menceburkan diri ke laut. Namun walaupun begitu
keduanya tetap terlihat bahagia. Mereka tersenyum lebar dan saling menggoda
dengan pipi merona, jelas-jelas sedang kasmaran. Sanghyeon bisa menyimpulkan
kencan mereka berjalan dengan lancarājika benar mereka sedang kencan.
āSoft drink?ā Suara Jaehyun membuyarkan lamunannya.
Sanghyeon menatap kaleng soda di
tangan Jaehyun dan menggeleng, kemudian mengulurkan tangannya mengambil air
kelapa kemasan bermerek Zico.
Pukul setengah enam, Sanghyeon
dan Jaehyun sudah kembali duduk di bibir pantai. Sanghyeon memakai topi
pink-nya, berpikir ini adalah waktu yang tepat. Satu-satunya. Kapan lagi ia
bisa memakai topi pantai berdiameter dua kali kepalanya tanpa dihakimi?
Pantai sudah tidak sesepi siang tadi.
Paling sedikit ada dua puluh orang yang turut serta menemani mereka sore itu,
menunggu matahari terbenam. Ada yang main kejar-kejaran, lempar tangkap frisbee dengan anjing kesayangan atau
sekadar bertelanjang kaki menyusuri garis pantai, menikmati bau pasir basah
sehabis hujan.
āKita punya dua puluh menit
sebelum matahari terbenam,ā kata Sanghyeon setelah mengecek ponselnya.
āSeharusnya itu cukup.ā
Jaehyun melonggarkan tutup botol
air kelapa yang ia ambil dari paper bag,
lalu mengulurkannya pada Sanghyeon sambil mengernyit. āCukup untuk?ā
āMenjelaskan padaku kenapa
tiba-tiba kau bersikap manis begini?ā
Jaehyun membuka kaleng sodanya
sambil menahan senyum. āKau jelaskan dulu bagian mananya dari sikapku yang
manis hari ini.ā
āKau tahu.ā
āAku tidak tahu.ā
Sanghyeon menghela napas malas.
āLupakan saja.ā
Jaehyun jelas tidak akan
melupakannya. Senyumnya memudar. Alisnya bertaut menuntut penjelasan. āOkay, biar kuperjelas, kau
bertanya begini karena aku membelikanmu topi?ā
āKau tak perlu pura-pura bodoh.ā
āAku tidak pura-pura bodoh. Kalau
kau menganggapnya seperti itu, maka aku mungkin memang bodoh.ā
āJaehyun.ā Sanghyeon
mengucapkannya dengan nada menegur. Ini bukan waktu yang tepat. Mereka akan
bertengkar. Sanghyeon bisa merasakan itu.
āJadi kalau bukan karena topi
lalu karena apa, Sanghyeon-ssi?ā
Sanghyeon menghabiskan lima detik
penuh untuk mengusap wajahnya. Ia sedang menahan diri supaya tidak menyemburkan
kata-kata jahat. Ini tidak mungkin. Dia ingat benar bagaimana ekspresi Jaehyun
di restoran Lebanon tadi. Dia ingat benar bagaimana Jaehyun tersenyum miring
padanya saat ia berkomentar ākau agak berbeda hari iniā. Jaehyun menyeringai.
Dia tahu apa yang dia perbuat. Dia tahu sikapnya berbeda. Dan sekarang..
tiba-tiba saja.. dia bertanya seperti ini seolah Sanghyeon sudah berhalusinasi.
āYahā¦ semua yang kaulakukan hari
ini,ā kata Sanghyeon berusaha tenang. āBenar-benar semuanya. Mengajakku ke
pantai, menanyakan hal-hal remeh tentangku, menggenggam tanganku. Apa maksudnya
semua itu?ā
āKalau kau tak sukaā¦ā
āIni bukan masalah suka atau
tidak,ā potong Sanghyeon, usahanya untuk tenang mulai luntur. Dia frustrasi.
Jaehyun bisa melihat itu. āAku hanya ingin tahu apa yang ada di
kepalamu.ā
āTidak ada apa-apa. Aku cuma
ingin melakukannya,ā balas Jaehyun dengan nada yang tak bisa dibilang ramah. Kefrustrasian
Sanghyeon nampaknya mulai membuatnya frustrasi juga. āApa aku membuatmu tak
nyaman?ā
āBukan itu masalahnya.ā
āKalau begitu nikmati saja. Aku
juga tidak akan bersikap begini setiap hari, kok.ā
Sanghyeon refleks berdecak. Ia
menggeleng, kemudian tersenyum mencibir āSemudah itu, ya?ā katanya. āEnak
sekali. Bisa mempermainkan perasaan orang hanya karena ingin melakukannya.ā
āSanghyeonā¦ā
āKau orang cerdas, Jaehyun. Kau
pasti paham, kan? Kau pasti mengerti efeknya jika kau memperlakukanku seperti
ini. Kau pastiā¦ā
āYa,ā sambar Jaehyun. āKau
benar. Aku mengerti efeknya. Aku tahu kau menyukaiku. Aku tidak mati rasa, Lee
Sanghyeon. Aku bisa merasakannya.ā
āTentu kau bisa merasakannya. Sekarang jelaskan
padaku kenapa semalam kau menanyakan siapa yang kusuka? Kau ingin aku menjawab
itu kau?ā Suara Sanghyeon meninggi. āKau ingin aku bicara begitu supaya kau
bisa mengingatkanku bahwa āaku sedang
tidak mencari hubungan romantis dengan siapa punā. Tenang saja! Aku tidak lupa
ingatan! Ini cuma perasaan konyol. Lama-lama juga hilang. Aku tak akan
memintamu jadi pacar sungguhanku atau apa. Aku tahu hubungan kita cuma hubungan
bisnis. Akuā¦ā
Jaehyun tiba-tiba berdiri. āAyo.ā
āKatanya mau lihat matahari
tenggelam?ā
āSerius? Apa menurutmu aku masih
bisa melakukan itu?ā
āHarusnya bisa.ā
āTidak, Sanghyeon. Tidak bisa.ā Jaehyun sedikit membungkuk untuk menyambar paper bag-nya. āAyo. Lagian dari hotel juga kelihatan, kok.ā
Hening. Di perjalanan. Di mobil.
Bahkan di dalam lift. Mereka berdiri bersisian, memandang ke depan tanpa suara.
Sanghyeon bisa merasakan penyesalan di hatinya. Jika saja ia tidak menanyakan
pertanyaan bodoh tadi, mereka pasti masih di pinggir pantai sekarang. Duduk
beralaskan sendal sambil melihat matahari tenggelam. Minum soda, minum air
kelapa. Menanyakan ākalau kau bisa jadi hewan dalam sehari, apa yang akan kau
pilih?ā dan mungkin melakukan tingkah manis ala orang pacaran lainnya.
Kata maaf sudah ada di ujung
bibirnya, namun Sanghyeon tak mampu mengeluarkannya di atmosfer sedingin ini.
Ia beberapa kali melirik Jaehyun sambil membuka mulut, lalu mengatupkannya lagi
saat melihat betapa kerasnya ekspresi sang pria.
Namun begitu pintunya terbuka di
lantai tiga, sesuatu yang tak terduga-duga terjadi. Jaehyun keluar dan berdiri
di hadapan Sanghyeon. Sembari menahan pintu liftnya pria itu berkata, āAku
minta maaf.ā
Kening Sanghyeon berkerut.
āHarusnya aku yang bilang begitu. Maaf sudah meracau tak jelas. Aku hanya.. aku
tak mau makin..ā Sanghyeon menggeleng sendiri, menahan tangis. Ia benar-benar
menyesal. Dan terkejut. Ini jelas-jelas salahnya. Kenapa malah Jaehyun yang
minta maaf duluan? āAku tak mau mengharapkan apa-apa dan kau malah memberiku
harapan.ā Dan sekarang ia malah menyalahkan Jaehyun lagi. Dasar bodoh.
āYa, aku tahuā¦ aku tak memikirkan
itu.ā Sebelah tangan Jaehyun meremas tengkuknya, sementara sebelah yang lain
masih di sisi lift. āMaaf jika sikapku membuatmu merasa dipermainkan. Aku cuma
ingin kita bersenang-senang. Aku mengabaikanmu siang malam di Las Vegas. Aku
hanya merasa kita sesekali butuh liburan.ā
Sanghyeon tak menjawab. Sekarang ia
merasa seperti orang idiot. āApa kau akan turun untuk makan malam?ā tanya gadis
itu ragu. Tangannya terus memilin topi di tangannya. Perasaan bersalahnya sudah
mengembang di dadanya hingga membuat sesak. Jaehyun cuma ingin liburan dan dia
mengacaukannya. Dasar bodoh.
āYa.ā
Sanghyeon tersenyum. āSyukurlah.
Aku tak mau kita mengakhiri hari menyenangkan ini dengan kesalahpahaman,ā kata
Sanghyeon. āMaaf sudah merusak liburan kecil kita. Aku hanyaā¦ā benar-benar suka padamu sampai rasanya
menyakitkan. āā¦ entahlah, sepertinya suasana pantai membuatku lebih
emosional.ā
āTidak masalah. Salahku juga,ā
katanya. āKalau begitu sampai ketemu dua jam lagi?ā
āYa, tentu. Dan Jaehyun!
Sebentar, aku merasa harus mengatakan ini.ā
āApa?ā
āAku ingin meyakinkanmu sekali
lagi kalau perasaanku tak akan mengganggu hubungan profesional kita. Aku bukan
tipe cewek seperti itu. Aku akan berhenti suka padamu. Aku janji.ā
Pintu liftnya berbunyi. Mereka
bicara terlalu lama.
āKalau begitu sampai nanti.ā
Sanghyeon menganggukkan kepala.
Jaehyun menarik tangannya dari
pintu, balas mengangguk. āSampai nanti.ā
Setelah percakapan itu, segalanya
kembali seperti semula. Mereka makan malam dengan suasana yang menyenangkan.
Menu malam itu adalah steak. Jaehyun
membantu Sanghyeon memotong ribeye-nya
dan mereka berbincang sebagaimana perbincangan mereka di pantai, atau di
restoran Lebanon. Semuanya berjalan lancar. Sebagaimana remaja basah kuyup yang
dilihat Sanghyeon di toko souvenir,
mereka tertawa lebar dan saling menggoda. Siapa pun yang melihat; pelayan
restoran, pengunjung lain, orang yang sedang berlalu lalang, semuanya pasti
akan mengira kencannya berhasilājika mereka berpikir itu kencan.
Malam itu, hari itu, semuanya tak
ada yang salah.
**********
Namun keesokan harinya, ada yang
salah. Jaehyun nyaris tak bicara pada Sanghyeon selama di pesawatādan itu bukan
waktu yang sebentar.
Setibanya di bandara McCaran di
Las Vegas, Sicheng menyambut mereka di pintu kedatangan. Pria itu tersenyum
lebar sambil melambai-lambai namun senyumnya tidak dapat membodohi siapa pun.
Dia panik. Sekeras apa dia mencoba menutupi, raut wajahnya tetap terlihat ketakutan.
Dia langsung meminta maaf begitu Jaehyun melewatinya, mengadu bahwa biro mobil
sewaan di California membatalkan pesanannya di detik terakhir (ini jujur) dan
pihak hotel salah memasukkan jumlah kamar yang sudah ia booking (ini bohong).
Sicheng berpikir ia akan diomeli
habis-habisan, namun Jaehyun cuma mengangkat tangan menyuruhnya diam. Kakinya
terus melangkah menuju mobil.
Sicheng menatap Sanghyeon
penasaran, tapi gadis itu cuma mengangkat bahu. Sebab seharusnya tak ada yang salah.
Kemarin berakhir menyenangkan.
Penyebabnya baru diketahui
belakangan, tepatnya saat mereka sudah setengah jalan menuju penthouse. Ternyata masalah kerja.
Jaehyun yang sejak tadi menunduk membaca draf perjanjian tiba-tiba mendecak
keras dan langsung menyuruh Kurt mengantarnya ke kantor. Setelah itu dia
menelepon seseorang dan mengatainya tidak becus. Jaehyun mencak-mencak seperti
orang kesetanan. Ia tidak berhenti mengomel bahkan sampai mobil mereka berhenti
di lobi.
Sicheng hendak turun duluan,
namun pertanyaan Jaehyun membuat gerakannya terhenti.
āBagaimana bisa draf sampah begitu
bisa diemail ke partner, Dong Sicheng?
Lalu kenapa saya dapat info dari mereka kalau izin mendirikan bangunannya belum
diurus? Bukannya kemarin kau bilang sudah tahap akhir?ā tanya Jaehyun seraya
memasukkan kembali ponselnya ke saku di balik blazer. āSoal draf perjanjian, Nathan
bilang kau yang melaporkan pada tim legal kalau drafnya sudah saya setujui.
Sejak kapan? Saya saja baru baca sekarang.ā
āSudah kok, Pak Bos.ā Sicheng
menyerong ke jok belakang. āLewat email seminggu yang lalu.ā
Jaehyun menghela napas. āSaya
tidak pernah baca draf itu sebelumnya. Saya yakin yang saya aksep bukan yang
itu.ā
Sicheng menggeleng, kemudian
langsung membuka ponselnya. āSebentar saya cek inbox.ā
āUntuk apa cek inbox? Mau buktiin saya yang salah?
Terus ternyata kalau bukan saya yang salah, kau mau apa?ā tantang Jaehyun.
Sicheng langsung menurunkan ponselnya dengan takut. āBisa tidak sih sekali saja
fokus? Mau sampai kapan saya harus memaklumi kesalahanmu terus?ā
Sanghyeon benar-benar membatu. Ia
bahkan tidak berani menarik napas. Gadis itu melirik Sicheng penuh simpati. Ia
sama sekali tak bisa membayangkan perasaan pria itu sekarang.
Jaehyun mendengus keras-keras
sebelum membuka pintu. āIkut saya meeting,ā
katanya pada Sicheng. Kemudian melangkah keluar begitu saja.
Tanpa berucap apa-apa, Sicheng
segera turun dan mengekori Jaehyun.
Tinggallah Sanghyeon dan Kurt di
mobil.
āAre we going home now, Ma'am?ā
āDo you think the meeting will be long?ā
āIām not sure.ā
Sanghyeon mendaratkan
pandangannya pada foodcourt mini
persis setelah pintu masuk. āI think Iād
better just wait, Kurt. Iām kinda hungry anyway.ā
āOkay.ā
**********
Kata Kurt kau menungguku di kantin? Kenapa?
Sanghyeon mendapat pesan itu saat
ia sudah menghabiskan makanannya. Ia membacanya beberapa kali sambil
membayangkan bagaimana Jaehyun mengatakan kalimat itu. Pertama ia membayangkan
Jaehyun mengatakannya dengan suara lembutāmenandakan dia khawatir; kau pasti lelah, kenapa tidak istirahat
saja? Kedua, ia membayangkan kemarahanāpria itu terganggu; siapa yang menyuruhmu turun dari mobil?
Kenapa tidak langsung pulang, sih? Bikin tidak fokus kerja saja!
Gelombang emosi sudah menguasai
Jaehyun sejak tadi pagi. Jadi lebih mudah membayangkan yang kedua.
Sanghyeon baru membalasnya
setelah menganalisaāwalau ia sendiri tak tahu apa gunanya ia menganalisa.
Lapar. Lagian lumayan, kan? Kurt tidak harus bolak-balik~
Omong-omong, aku duduk di meja bagian luar
Kalau sudah selesai cepat ke sini. Kubelikan starbucks^^
Ketika Jaehyun muncul tak lama
kemudian, nama Sanghyeon dipanggil oleh barista. Sanghyeon hendak berdiri,
namun Jaehyun menahan pundaknya dan menggantikannya ke konter untuk mengambil
dua cup kopi berukuran venti.
āYang mana punyaku?ā
āTerserah. Kau mau Americano atau
Vanilla Latte?ā
Jaehyun ingat Sanghyeon memesan
Vanilla Latte saat pertemuan pertama mereka di kedai kopi dan langsung mengulurkan yang itu. Baru
kemudian ia duduk.
āMeeting-nya sudah selesai?ā Sanghyeon bertanya sembari merobek
pembungkus sedotan.
Jaehyun melakukan hal yang sama.
āSudah.ā
āJadi kita pulang sekarang?ā
āTidak bisa. Aku harus bertemu
tim legal dulu,ā katanya seraya memasukkan sedotan ke dalam cup. āKami harus mendiskusikan draf
perjanjian baru. Masalahnya ternyata lebih besar dari yang kukira. Dan perkiraanku
saja sudah cukup besar.ā
Sanghyeon menatap wajah kusut
Jaehyun dan mau tak mau merasa iba. āApa ada yang bisa kubantu?ā
Jaehyun yang sedang menyedot es Americano-nya langsung tersenyum.
āBukannya jawab malah
senyum-senyum.ā
āAku sedang minum, Lee
Sanghyeon.ā
āJadi apa yang bisa kubantu?ā
āKau sudah sangat banyak
membantu. Sekarang lebih baik kau pulang dan istirahat.ā Ia berdiri sambil menggenggam
cup-nya, lalu mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk kepala Sanghyeon. āAku tak tahu akan pulang jam berapa tapi
kuusahakan pulang. Jadi.. sampai ketemu besok.ā
Sanghyeon menyukai sekaligus
membenci seluruh gerak-gerik manis yang Jaehyun berikan padanya. Meletakkan
tangan di kepala, apalagi menepuk-nepuknya, bukan hanya tergolong sebagai
tindakan manis, melainkan supermanis!!!
Sanghyeon seharusnya menyuruh Jaehyun berhenti. Atau paling tidak mengelak dari
jangkauannya. Tapi ia tidak bisa melakukan itu. Alasannya sederhana, nyaris
konyol malah. Sanghyeon tak mau Jaehyun menganggapnya sebagai cewek yang suka
mengeluh. Dia sudah membuat drama tolol kemarin. Gadis itu tak akan membiarkan
kejadian di pantai kemarin terulang lagi. Dia tak mau jadi cewek yang gampang
terbawa perasaan.
āItu artinya kalaupun kau pulang,
kau akan pulang sangat larut?ā Sanghyeon bertanya senormal mungkin, mengabaikan
tangan Jaehyun di kepalanya, mengabaikan hatinya.
āYeah. Tak usah menungguku.ā
āKapan sih aku menunggumu?ā
Jaehyun terkekeh, lalu tangannya
bergerak begitu saja mengacak rambut Sanghyeon. Ya ampun! Sekarang dia
melakukan tindakan superdupermanis. āKau sedang menungguku, Nona.ā
Sanghyeon baru menyadari itu dan
tertawa. āBenar juga.ā Ia menangkap tangan Jaehyun. Sudah cukup, pikirnya. Ia
tak tahan lagi. Sanghyeon bisa merasakan pipinya merona. Gadis itu tak mau jadi
cewek lemah yang diusap-usap sedikit langsung merona. āJangan terlalu lelah,
ya.ā
Lesung pipit menghiasi wajah sang
pria. āOke.ā
**********
Matahari merayap turun. Langit
jingga terhampar bak permadani dan lembayung senja membentang di atasnya.
Sanghyeon baru sampai di penthouse
dan langsung duduk di pinggir kolam renang sambil memangku Waffleāyang dua
hari ini dititipkan di petshop persis
di sebelah gedung. Sanghyeon membelai bulu halus anjing itu dan menghirup udara
dalam-dalam. Pikirannya mengelana ke mana-mana.
Tahun ini benar-benar tahun
tergilanya. Fakta bahwa dia belum menikahi siapa pun dan bisa menyaksikan
matahari tenggelam dari pinggir kolam renang pribadi di sebuah penthouse mewah, terlebih di benua yang
sama sekali tak pernah terbersit akan disinggahinya, seharusnya merupakan
kenikmatan yang tak ternilai di hidup Sanghyeon, namun gadis itu tak bisa
menghargainya. Sanghyeon bisa merasakan keserakahan mulai menggerogotinya.
Dulu ia menyetujui penawaran
Jaehyun hanya karena alasan sederhana. Ia membutuhkan uang dan tempat tinggal,
tapi sekarang Sanghyeon malah menemukan dirinya tak menginginkan kehidupan fana
ini berakhir. Ia malah berharap tetap di sini. Ia malah jatuh cinta pada
Jaehyun. Tak tahu diri.
Sanghyeon ingin membentengi
hatinya dari bosnya yang memesona, tapi ia sadar betapa payah dirinya
akhir-akhir ini. Segala hal tentang pria itu selalu berhasil membuat dunianya
berbunga-bunga. Dan itu salah. Itu berbahaya. Pasalnya, setelah semua
kepura-puraan ini berakhir, setelah meninggalkan Las Vegas, setelah kembali ke
kehidupan sesungguhnya, hatinyalah yang akan terluka. Hanya hatinya.
Begitu langit semakin gelap,
Sanghyeon akhirnya beranjak dari duduknya dan kembali ke dalam. Ia mandi air
hangat, memakai piama favoritnya lalu memasak mie instan untuk menemaninya
nonton drama. Bersama Waffleāyang juga disuguhkan semangkuk makanan anjing
kering, Sanghyeon menyelesaikan hampir tujuh setengah episode sebelum akhirnya
ketiduran di sofa ruang tengah. Televisinya tetap menyala.
Pukul setengah dua siang, Sanghyeon
terbangun dan terkejut bukan main begitu menemukan selimut wol abu-abu tebal tersampir di
tubuhnya. Layar televisinya mati. Mangkuk bekas mie dan mug cokelatnya yang semalam bertumpuk di meja kini malah bertengger
di rak piring. Sudah dicuci bersih dan dalam keadaan kering.
Sanghyeon segera berdiri. Dia
benar-benar tidak enakā¦ dan malu. Ini
pasti ulah Jaehyun, kan? Memangnya siapa lagi? Kenapa sih dia harus
menyelimutiku? Bukan hanya itu, kenapa dia mencuci alat makanku segala? Ya
ampun!
Sanghyeon melirik pintu kamar
Jaehyun yang tertutup, kemudian meringis. Apa
dia masih di dalam? Tapi ini sudah
sangat siang. Harusnya sudah berangkat kerja, kan? Ya, seharusnya begitu.
Untuk meyakinkan dugaannya,
Sanghyeon mengecek rak sepatu di dekat pintu lift dan langsung bernapas lega
begitu tak menemukan sepatu pantofel Jaehyun di sana. Memalukan sekali. Kenapa
sih bisa-bisanya ketiduran di sofa? Tak terbayang betapa berantakan wajahnya tadi.
Apa Pak Bos ada di penthouse? āSicheng
Sanghyeon tertegun membaca pesan dari
Sicheng. Pesan itu sudah masuk sejak pukul sebelas siang namun ia baru
menemukannya sekarang, hampir tiga jam setelahnya.
Apa maksudmu?
Kukira dia sudah ke kantor?
Hanya ada aku dan Waffle di sini
Balasannya masuk dua menit
kemudian.
Dia tidak ada di kantor. Aku
sudah mencoba menghubunginya tapi ponselnya mati.
Aku juga menelepon Kurt. Dia
bilang Pak Bos tidak turun ke lobi hari ini.
Jadi kukira dia masih di
penthouse?-Sicheng
Okay, itu aneh. Apa jangan-jangan
Jaehyun memang masih di sini? Satu-satunya cara untuk mencari tahu hanyalah
melihat langsung ke dalam kamarnya.
Aku akan coba cek ke kamarnya.
Please, segera hubungi aku kalau
terjadi apa-apa-Sicheng
Jangan bikin takut, dong!
Cepat lihat kamarnya. Kutunggu-Sicheng
TBC
Comments
Post a Comment