Love Scenario





Sudah menjadi naluri dasar manusia untuk mencintai dan dicintai. Hal itu juga yang menjadi alasan sebagian besar  orang memutuskan untuk menikah maupun menjalin hubungan dengan orang terkasih. Menurut kebanyakan orang cinta merupakan penentu kebahagiaan dalam suatu hubungan. Namun sangat bodoh jika menjadikan cinta sebagai alasan untuk bertahan bersama pasangan yang gemar main tangan.



Cheonsa berulangkali mengangguk, menyetujui setiap omongan yang keluar dari mulut ibunya. Sudah hampir sejam dan air teh di cangkirnya sudah mendingin, namun topik obrolan mereka belum beranjak dari hubungan abnormal antara paman dan bibi Cheonsa.


Sebulan yang lalu bibi Cheonsa–Geum Ran–memutuskan untuk meninggalkan suaminya–Sae Ho–yang kerap memukul dan melakukan kekerasan fisik. Namun wanita itu akhirnya kembali ke sisi suaminya yang datang menjemputnya di bandara dengan wajah penuh penyesalan dan sejumlah janji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.


Kenyataannya janji itu hanya omong kosong belaka. Kekerasan fisik terus diterima Geum Ran setiap kali Sae Ho pulang ke rumah dalam kondisi penuh amarah. Sae Ho  sering menyumpal mulut Geum Ran setiap wanita itu berteriak meminta pertolongan kepada orang sekitar. Pernah beberapa kali Sae Ho mengurung Geum Ran di rumahnya serta memastikan telah memutus akses komunikasi  ke dunia luar sehingga istrinya tidak bisa menghubungi siapapun selagi ia meninggalkan rumah.


Kehidupan seperti itu jelas bukan hal yang menyenangkan, namun Geum Ran mengaku pada Ibu Cheonsa bahwa dirinya berat meninggalkan sang suami karena begitu mencintainya.


“Padahal pekerjaan suaminya serabutan, suka main tangan tapi masih saja mengagungkan cinta.” Ibu Cheonsa menggelengkan kepala, mengembuskan napas kasar.

“Katanya meski suka memukul, Saeho bisa menjadi suami yang sangat penyayang. Itu yang membuat Geum Ran agak ragu meninggalkan pria itu,” sambung Ibu Cheonsa–Nyonya Jung–dengan nada mengkritik yang sama.


Cheonsa teringat salah satu video wawancara dengan korban abuse relationship yang pernah ia tonton di  Youtube. Dari video tersebut Cheonsa menyimpulkan bahwa sangat sulit untuk keluar dari hubungan disfungsional seperti itu. Pelaku kekerasan sepertinya memiliki kemampuan khusus untuk membujuk pasanganya agar tidak pergi meninggalkannya.



Persis seperti yang Bibi Geum Ran katakan, pelaku kekerasan bisa berlaku sangat manis dan penuh kasih sayang sehingga membuat korbannya luluh. Mereka tak segan mengakui kesalahan yang mereka lakukan, selain itu pelaku kekerasan juga membuat pasanganya takut untuk pergi meninggalkannya dengan mengancam akan membunuh dirinya sendiri.


Maka tidak heran banyak orang menyebut hubungan seperti itu sebagai lingkaran setan.


Nyonya Jung masih belum puas dengan penjelasan Cheonsa. Menurutnya seseorang harus bisa mengambil keputusan tegas demi keselamatan dan kesejahteraannya. Seseorang harus kuat dan berani untuk melindungi dirinya sendiri.


“Logikanya sih seharusnya perempuan itu pergi meninggalkan suaminya. Itusih kalau memang dia pintar,” kecamnya penuh emosi.
“Perempuan bodoh.”


*** 



Cheonsa menekan kombinasi angka untuk membuka pintu di depannya. Ia melintasi ruang tamu menuju dapur, meletakkan plastik belanjaan di meja counter. Sebelum mampir ke apartemen Kris, ia tadi membeli beberapa bahan makanan karena ia sudah menduga Kris tidak begitu peduli apakah dirinya memiliki persediaan makanan atau tidak. Biasalah, pria itu lebih memilih untuk memesan makanan siap saji.



Saking asyiknya menyusun makanan ke dalam kulkas, Cheonsa tidak menyadari sosok Kris yang berdiri di belakangnya. Ia terkesiap saat merasakan sepasang lengan kokoh melingkari perutnya.


“Aku merindukanmu,” gumam Kris sambil mengecup puncak kepala Cheonsa.


Kehangatan menyelimuti Cheonsa yang setengah jam lalu melawan hawa dingin di luar. Ia menjauhkan diri untuk berhadapan dengan Kris. Tangannya terulur untuk mengusap wajah pria di hadapannya. Rindu yang sama juga memenuhi dadanya, hingga ia nyaris ingin melompat ke dalam pelukan pria itu.


“Sudah makan?” tawarnya dengan riang.


Kris membawanya ke dalam pelukan hangat. Pria itu menumpukan dagunya di puncak kepala Cheonsa, menghidu aroma pear bercampur keringat.


“Belum, tapi aku sama sekali tidak keberatan kalau kau mau memasakkan sesuatu.” Kris menatap Cheonsa dengan penuh harap.


Sebenarnya Kris tidak merasa lapar maupun berselera makan, namun jika dengan memakan masakan Cheonsa bisa membuatnya menghabiskan waktu lebih bersama perempuan itu, ia akan melakukannya. Ia benar-benar serius dengan ucapannya. Ia memang sangat merindukan Cheonsa. Sudah dua minggu lebih mereka tidak bertemu dan selama itu pula Cheonsa sulit dihubungi.


 “Aku sebenarnya mau, tapi aku harus segera pulang. Maaf,” ucap Cheonsa menyesal.
“Kenapa buru-buru? Kau juga baru sampai di sini.”


Kris mengeratkan pelukannya, menegaskan keinginannya untuk mempertahankan keberadaan gadis itu dala pelukannya. “Kita baru bertemu setelah dua minggu Cheonsa.” Ucapan Kris terdengar begitu kecewa, sedikit menggoyahkan keteguhan Cheonsa.



Cheonsa segera melepaskan diri. Ia sadar jika tidak melakukannya, ia pasti akan dengan mudah luluh dan menuruti keinginan Kris untuk tinggal lebih lama di apartemen pria itu. Karena jika menuruti egonya, Cheonsa pasti akan tinggal lebih lama di sana.

 
“Besok pagi aku harus menemui narasumber. Aku tidak boleh terlambat.” Cheonsa berjalan menjauhi Kris, ia menghampiri meja counter untuk mengeluarkan beberapa makanan instan dalam plastik belanja yang ia bawa.


“Makanya aku butuh tidur yang cukup. Lagipula besok aku berangkat bersama Hanseol. Kau tahu kan dia sangat cerewet kalau aku terlambat sebentar saja.” Cheonsa memberi penjelasan lebih lanjut sembari menata mi instan, roti, dan  sebotol selai ke dalam kitchen set di atas kepalanya.


Cheonsa tak menyadari perubahan raut wajah Kris. Pria itu terlihat tegang dengan tatapan mata menusuk ke arahnya. Suasana pun menjadi hening. Barulah Cheonsa menyadari arti dari keheningan di antara mereka. Ini adalah keheningan sebelum ledakan menakutkan itu terjadi.


“Hanseol?” suara Kris nyaris menggeram dan menimbulkan kengerian yang akrab dalam benak Cheonsa.



Meski rasa takut sudah menjalari sekujur tubuhnya, hawa dingin menyentuh tengkuknya, Cheonsa mengembuskan napas, berusaha untuk menenangkan diri. Ia harus meraih ketenangan itu dan menunjukkan keberaniannya.


Ia menelan ludah yang terasa agak kental. “Iya, Hwang Hanseol. Teman satu divisiku.” Tangannya mencengkeram botol selai erat-erat, seolah keberaniannya bergantung pada benda kecil itu.


“Aku ingat siapa dia.” Suara Kris terdengar lebih pelan dari sebelumnya. Pria itu melangkah lebih dekat ke belakangnya sehingga Cheonsa bisa merasakan deru napas berat di puncak kepalanya.
“Dan aku ingat sudah memintamu untuk tidak berhubungan dengannya.”


Cheonsa merasakan lengannya dicengkeram  kemudian ditarik kuat sehingga ia berbalik menghadap pria itu. Napasnya tersekat dan keberanian yang awalnya ia miliki langsung terkoyak. Jantungnya berdebar  semakin kencang saat Kris dengan cepat mengguncang tubuhnya hingga pinggangnya menabrak meja counter dengan keras.


Ia meringis, merasakan ngilu mendera pinggangnya. Dalam sekejap suasana menjadi mencekam. Cheonsa merasa dirinya semakin tidak berdaya. Kris melangkah sekali hingga menghimpit tubuhnya.


Embusan napas Kris menerpa tepat di bawah Cheonsa. “Aku sudah bilang tidak menyukai pria itu.” Nada suara Kris meninggi, memekakkan telinga.

Cheonsa berusaha mengendalikan rasa takutnya, ia mendongak menatap Kris. “Dia hanya teman kerjaku, tidak lebih,” kata Cheonsa bergetar.



Dialog yang sama, skenario yang sama kembali terputar. Cheonsa sudah berulangkali menjelaskan pada kekasihnya bahwa ia dapat dipercaya dan Hanseol hanya teman kerjanya. Namun Kris tetap tak mau mengerti, malah amarahnya semakin tersulut.


“Hanya teman?” desis Kris. Matanya berkilat dengan penuh kecemburuan.
Ia mencengkeram dagu Cheonsa, erat dan kasar. “Teman yang kemana-mana bersama. Bahkan menginap di hotel yang sama.”


“Saat itu kami dinas ke luar kota. Asal kau tahu kami tidur di kamar yang berbeda. Kenapa sih kau tidak mau mengerti?” Cheonsa mengeluarkan pembelaannya susah payah. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah begitu saja.


Ia harus berani, ia harus menghadapi monster ini.



“Lalu kenapa kau juga tidak mengerti?” Satu tangan Kris yang dari tadi mencengkeram lengan Cheonsa terangkat, mengusap wajah Cheonsa.

“Aku bilang kau tidak boleh bertemu pria itu lagi,” kecam Kris tak mau dibantah. Untuk mengukuhkan ucapannya, ia menjambak rambut Cheonsa.
“Kau tidak bisa seenaknya memerintahku seperti itu!” tantangnya.


Cheonsa tak menyerah, kali ini mendorong tubuh Kris lebih keras supaya bisa membebaskan diri. Usahanya untuk melepaskan diri membuat Kris semakin berang. Pria itu menarik rambutnya lebih keras, Cheonsa bisa merasakan perih begitu beberapa helai rambutnya rontok.

“Aku bisa.”
“Kau menyakitiku!” Cheonsa menjerit, dengan sigap ia membenturkan lututnya pada selangkangan Kris.

Begitu Kris meringis kesakitan, ia menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. Napasnya memburu, tangannya bergetar ketika meraih tasnya yang tergeletak di atas meja makan. Namun meski sudh bergerak cukup cepat, Kris masih mampu meraih tangannya.


“Lepaskan!”
“Kita belum selesai bicara!”

Cheonsa memberontak, mendorong pundak Kris dengan sekuat tenaga hingga pria itu jatuh terjungkal.

“Kita sudah selesai! Seharusnya aku tidak datang ke sini.”

“Kumohon Cheonsa jangan pergi. Aku tahu selama dua minggu ini kau sengaja menghindariku. Kumohon,” pinta Kris. Kali ini nada suara merendah, dalam hitungan detik pria itu berubah menjadi sosok rapuh menyedihkan.


“Aku tahu aku salah. Lagi-lagi aku menyakitimu. Tapi kumohon Cheonsa jangan pergi lagi. Aku benar-benar merindukanmu.” Kris menyentuh tangan Cheonsa, kemudian menggenggam tangan mungil itu dengan kedua tangannya.

“Aku tidak bisa mengendalikan diri. Aku cemburu dengan temanmu itu. Aku cemburu karena ia bisa menghabiskan waktu denganmu lebih banyak daripada aku. Aku..aku..” Kris mendongak, menatap Cheonsa dengan tatapan permohonan ampun.


“Beri aku kesempatan. Beri kita kesempatan untuk memperbaiki semuanya,” Kris memohon, suaranya bergetar kemudian pria itu terisak.


Cheonsa memejamkan mata, mencoba mengabaikan perasaannya. Ia tidak boleh luluh untuk memeluk Kris yang bersimpuh di depannya. Ia mengingatkan dirinya bahwa baru sebulan yang lalu Kris menampar wajahnya serta memukul dirinya.


Saat itu Kris marah besar mengetahui Cheonsa tidak menyetujui keputusannya. Kris tidak mau bantah, jika membantahnya maka pria itu akan kehilangan akal sehat dan melakukan kekerasan fisik.


Butuh waktu dua minggu bagi Cheonsa untuk menghindari pria itu. Ia sengaja tidak menemuinya dengan alasan sibuk bekerja. Pada kenyataannya Cheonsa sedang mengumpulkan keberaniannya untuk melindungi sendiri, untuk berhenti dan keluar dari hubungan tidak sehat ini.


Namun hanya dengan sebuah pesan berisi foto tangan Kris dengan beberapa bekas sayatan, ia memutuskan untuk menemui pria itu. Bukan hal baru lagi ia menemukan Kris menyayat dirinya sendiri. Pria itu kerap menyakiti diri sendiri untuk menghilangkan rasa sakit atau kecewa.



Awalnya Cheonsa pikir kehadirannya bisa membantu Kris menghilangkan kebiasaan mengerikan itu. Namun kenyataannya tidak semudah itu. Pernah suatu kali Kris menusuk telapak tangannya sendiri menggunakan pulpen ketika Cheonsa memutuskan hubungan dengannya.


Menyaksikan secara langsung seseorang menyakiti dirinya sendiri adalah hal yang sangat mengerikan. Ia ketakutan dan dengan mudahnya Kris mengendalikan rasa takutnya untuk terus berada di sisi pria itu. Cheonsa merasakan air mata mebanjiri wajahnya.


“Aku mencintaimu Cheonsa,” ungkap Kris pelan.


Seperti biasanya ungkapan itu membuat hati Cheonsa teremas. Ia kembali teringat dengan perjalanan  hubungan mereka selama hampir dua tahun. Mereka bahagia, mereka saling mencintai, Kris merupakan pasangan yang sangat penuh kasih dan teman bicara yang menyenangkan. Mereka baik-baik saja hingga datang waktunya monster itu muncul untuk menyakitinya.


“Aku janji akan berubah.”

Cheonsa menarik tangannya, ia harus kuat dan teguh dengan pendiriannya. “Aku harus pergi, Kris.” Ia berbalik meninggalkan Kris yang masih bersimpuh di tempatnya.


“Besok kujemput, ya?” Kris sudah berdiri dan kini berjalan menghampirinya.
“Setidaknya kita bisa bicara besok, kan?” Pria itu melingkarkan kedua lengannya untuk memeluk Cheonsa dari belakang.


Cheonsa memejamkan mata, menarik napas berat. “Kris, aku mau pulang. Kumohon lepaskan aku,” katanya tegas. Ia menarik lepas kedua tangan Kris yang memeluk tubuhnya.


Namun Kris masih belum mau menyerah, pria itu kembali menghampirinya. Pria itu berhenti di hadapanya. Tatapan matanya sendu. “Aku tahu. Aku tidak akan menghentikanmu. Aku cuma mau memastikan kalau besok kita bisa bertemu, kan?” suaranya kini terdengar lembut, nyaris penuh pengertian.


Kris maju selangkah, menangkup wajah Cheonsa dan mengusapnya pelan. “Setidaknya beri aku kesempatan Cheonsa. Jangan menghindariku lagi. Ya?” Tatapan mata Kris tertuju lurus menembus pertahanan Cheonsa.


“Aku sangat merindukanmu,” kata Kris sebelum menarik Cheonsa ke dalam pelukannya. Pria itu mengecup pelipis Cheonsa, mengucap kata-kata manis yang tak sanggup Cheonsa hindari.
“Jangan tinggalkan aku lagi. Aku membutuhkanmu. Aku mencintaimu.”


Dan seperti biasanya, Cheonsa pun luluh dalam pelukan Kris. Lagi-lagi ia membiarkan monster itu menguasai hatinya. Dan lagi-lagi cinta menjadi alasannya untuk bertindak. Dan lagi-lagi ia kembali ke dalam lingkaran setan itu.


Sekali lagi ia menjadi perempuan bodoh seperti yang ibunya katakan.

Skenario lama itu terulang lagi.



End


Wohoo.. akhirnya aku kembali lagi!!!
Kangen banget nulis, kangen banget ngehalu nih guys..  belakangan ini aku lebih sering ngehalu yang gak produktif. Jadi enggak berbuah apa-apa deh.
Alhamdulillah setelah memaksa otak yang mulai karatan dan hati yang sudah beku ini, aku berhasil merampungkan cerita ini. It’s not a great comeback, but it’s still a comeback.
Yaah… semoga ini menjadi awal yang baik supaya aku bisa lebih produktif lagi tahun ini.

Okelah kalau begitu. Sampai jumpa lagi teman-teman^_^


Cheers,

GSB

Comments

Popular Posts