Businesship Part 7



Sanghyeon menemukan Jaehyun di kamarnya. Dia tidur meringkuk di ujung kasur. Masih berpakaian lengkap. Sangat lengkap. Blazer, dasi bahkan sepatunya masih dipakai. Semua itu jelas pemandangan yang aneh, namun saat itu Sanghyeon tak ambil pusing. Dia menutup pintunya lagi dan langsung mengabari Sicheng.


Kau benar.
Jaehyun ada di sini.
Dia tidur. Pasti sangat kelelahan.


Balasan ‘Syukurlah’ muncul tak sampai satu menit kemudian. Setelah itu, Sanghyeon mulai menanyakan perasaan Sicheng. ‘Bagaimana rasanya diomeli seperti kemarin?’, ‘Apa kau baik-baik saja?’, ‘ Kau tidak berniat resign, kan?’ dan sebagainya. Mereka saling bertukar pesan sampai hari mulai petang. Sebelum akhirnya terpaksa berhenti karena baterai ponsel Sanghyeon tinggal lima persen.


Sanghyeon mengecas ponselnya di kamar dan mengambil mug untuk membuat teh saat ia menyadari ada yang salah. Jaehyun belum keluar juga.


Ini aneh. Semakin aneh.


Sanghyeon berusaha tak ikut campur. Ia menjalanI aktivitasnya seperti biasa. Memberi makan Waffle dan membersihkan kotorannya. Ia juga mengamati anjing itu makan sambil sesekali membelainya. Kemudian baru membawa mug berisi teh-nya ke ruang tengah dan duduk di sofa sambil memangku si pudel untuk melanjutkan dramanya semalam.


Dua puluh menit berlalu dan Sanghyeon tak bisa fokus sama sekali. Ia terus memikirkan Jaehyun. Mengapa dia belum keluar kamar juga? Setelah mengenalnya sebulan terakhir, Sanghyeon cukup hapal dengan kebiasaan pria itu. Selelah-lelahnya dia, tak mungkin sampai tidur seharian.


Sanghyeon pun menekan pause. Diliriknya kamar Jaehyun yang tertutup rapat. Sekarang sudah hampir jam tujuh. Langit sudah gelap. Sanghyeon tak bisa pura-pura tak peduli lagi.


Akhirnya, dengan banyak pertimbangan, ia pun beranjak dari duduknya dan mengetuk pintu kamar Jaehyun. Orang di dalam tidak menggubris. Waffle turut menggonggong di depan pintu. Seolah anjing itu juga sama khawatirnya dengannya.


“Bisakah setidaknya kau jawab aku kalau sudah bangun?” seru Sanghyeon setelah beberapa kali mengetuk. “Please, katakan sesuatu. Jangan membuatku khawatir!”


Masih tak ada jawaban.


“Kubuka, ya!” izin Sanghyeon, lalu mengayun kenopnya membuka.


Tidur. Jaehyun masih tidur. Masih meringkuk. Masih mengenakan setelan kerjanya. Masih memakai sepatu. Masih berdasi. Segalanya masih sama persis seperti saat Sanghyeon menemukannya tadi siang.


“Jaehyun?”


Momen hening yang menyusul panggilannya mengundang gelombang kepanikan di dada Sanghyeon. Ia menekan sakelar lampu sebelum kakinya pelan-pelan melangkah mendekati Jaehyun. Pria itu sama sekali tak bergerak. Tubuhnya tidak naik turun sebagaimana orang-orang yang sedang tidur. Dan itu membuat Sanghyeon semakin ketakutan.


Sanghyeon berusah mengontrol detak jantungnya saat mengulurkan jari telunjuknya ke bawah hidung Jaehyun. Kemudian baru bisa bernapas lega begitu merasakan napasnya.


Tangannya secara insting bergerak ke kening sang pria. Panas. Sangat panas. Jaehyun sakit. Dia demam tinggi.


“Sanghyeon~ssi.” Jaehyun tiba-tiba bergumam.
“Jaehyun! Kau panas sekali!” Sanghyeon terkesiap panik. “Sebentar. Aku akan minta tolong seseorang untuk menelepon dokter.”


“Sanghyeon.”
“Apa?”
“Jangan pergi.”
“Tidak, aku tidak pergi. Aku cuma ke ruang tengah. Telepon resepsionis,” kata Sanghyeon. Jaehyun menggenggam tangannya dengan erat dan Sanghyeon berusaha melepasnya. “Tidak sampai lima menit. Aku janji.”



**********




Jaehyun terbangun benar-benar kedinginan. Ia mengerjap dan menemukan seseorang di pintu kamarnya. Laki-laki berkulit putih, memiliki perawakan tinggi dengan kumis tipis dan kacamata kotak. Dia sedang bicara dengan seseorang. Dengan Sanghyeon. Jaehyun hendak bangkit ke posisi duduk, namun terlalu menderita untuk melakukan itu. Ia hanya bisa menunggu. Pada akhirnya, cepat atau lambat, Jaehyun tahu Sanghyeon pasti akan menghampirinya. Ia hanya harus memejamkan mata sampai itu terjadi.


Dan dia benar. Setelah selesai menanyakan beberapa hal seputar obat yang diresepkan—dosis dan waktu minumnya—Sanghyeon mengantar pria kulit putih itu, sang dokter, ke pintu lift dan kembali ke kamar Jaehyun. Ia duduk di pinggir ranjang. Mengambil kompres dingin di baskom dan mengusap keringat di kening Jaehyun dengan itu.


Jaehyun perlahan-lahan membuka mata. “Hei,” sapanya. Sanghyeon tak menjawab. “Maaf membuatmu repot begini.”


Sanghyeon masih tak menjawab. Ia cuma mendengus. Melihat Jaehyun yang tak berdaya membuatnya merasa bersalah. Dan ia benci perasaan itu. Ia harap ia menyadari kondisi Jaehyun lebih awal. Sedih rasanya membayangkan pria itu menderita sendiri sedari tadi.


“Obatnya baru bisa diminum sehabis makan. Kau mau makan apa?”
“Entahlah. Aku tak yakin aku bisa makan apa-apa. Rasanya mual.”
“Kau tetap harus makan.”
“Aku tahu. Tapi aku bahkan tak bisa memaksa tubuhku untuk duduk.”
“Kalau kita memaksanya berdua mungkin bisa.”


Jaehyun tersenyum lemas. “Okay.”


“Baiklah.” Sanghyeon meletakkan kompresnya kembali ke dalam baskom dan memangkunya. “Bagaimana dengan sup ayam?”


“Boleh.”


Sanghyeon pun berdiri. “Aku akan minta tolong chef di sini untuk membuatkan sup ayam yang paling enak. Aku juga akan buatkan teh hangat untukmu.”


“Terima kasih.”



**********



Begitu supnya datang, Sanghyeon membawakannya ke kamar Jaehyun dan membantu pria itu makan. Dia cuma sanggup menghabiskan seperempat mangkuk dan itu pun lama sekali. Jaehyun bilang tenggorokannya sakit saat menelan.


Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat akhirnya mereka berhenti mencoba menjejalkan lebih banyak sup ke mulut Jaehyun.


Seiring waktu berlalu, mulut Sanghyeon rasanya semakin gatal ingin menuntut penjelasan; semalam pulang jam berapa? Kenapa kau memaksakan diri sampai sakit begini? Kenapa tidak minta tolong padaku? Bagaimana kalau aku tidak mengecek keadaanmu sampai besok? Kenapa harus menderita sendiri! Tapi Sanghyeon tak mengatakan itu. Ia cuma menghela napas dan menyiapkan obat yang harus Jaehyun minum dalam diam.


“Kau marah padaku?” tanya Jaehyun setelah ia menelan kapsul pertama.


Sanghyeon menyodorkan segelas air padanya dan menggeleng. “Aku tidak marah,” katanya dingin. "Tapi lain kali kumohon jangan begini. Panggil aku."


Jaehyun menghela napas. “Sanghyeon~ssi…” Suara serak pria itu terdengar begitu manis saat menyebutkan namanya. “Bukannya tidak mau minta bantuanmu, tapi tadi siang aku memang tak punya tenaga sama sekali untuk keluar kamar.”


“Memang semalam pulang jam berapa?”
“Jam lima?”
“Harusnya tidak usah pulang sekalian!” Sanghyeon mencela. “Untuk apa di kantor sampai pagi begitu? Sicheng bilang padaku jam sebelas meetingnya sudah selesai.”


“Meetingnya selesai, tapi masalahnya belum.” Jaehyun membalas. Ia menghela napas lagi, lebih panjang dan lebih berat. Wajahnya mendadak semakin pucat. “Mungkin kita akan pulang lebih awal.”


“Maksudnya?”
“Kemungkinan besar proyekku di sini akan dibatalkan.”
“Huh? Kenapa?”
“Masalah di perizinan,” keluhnya. "Dan di mana-mana.” Jaehyun nampak begitu putus asa. “Permintaan partner bisnisku tiba-tiba berubah. Banyak yang harus disesuaikan dan rasanya mustahil menemukan titik temu untuk sekarang.”


“Kukira semuanya hampir selesai? Bukankah kau sudah dapat banyak investor besar?”
“Yah. Kita terlalu sibuk melobi semua orang hingga tak sadar fondasi dasarnya masih kurang kokoh. Investor saja tidak cukup. Sebesar apa pun mereka, itu tidak cukup.”


Sanghyeon tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia mengambil selimut Jaehyun dan menaikkannya sampai sebatas leher sang pria. Hanya supaya dirinya punya sesuatu untuk dilakukan.


“Jangan pikirkan itu dulu.” Setelah terdiam cukup lama, Sanghyeon akhirnya bersuara. Ia mengulum senyum berusaha menyembunyikan ketakutannya. Gadis itu tak mau pulang. Tak mau semuanya berakhir secepat ini. Tak mau berpisah dari Jaehyun. Tak mau meninggalkan penthouse ini, kota ini. “Kau harus sembuh dulu, baru kita bicarakan semuanya.”


Kalimat terakhir itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri ketimbang untuk Jaehyun. Ia ingin menunda pembicaraan soal ‘pulang’ ini lebih lama. Ia sama sekali belum siap untuk itu.


Sanghyeon pun meninggalkan kamar Jaehyun dan memutuskan untuk tidur. Namun sekeras apa pun ia mencoba, ia tetap tak bisa melakukannya. Terlalu banyak hal yang berkecamuk di kepalanya. Terlalu banyak hal yang dikhawatirkan.


Jadi, tak sampai dua puluh menit setelah menyuruh Jaehyun ‘istirahat’, Sanghyeon malah memasuki kamar pria itu lagi. Lengkap dengan baskom air es dan kompres baru.


“Sanghyeon?”


Sanghyeon terperanjat begitu Jaehyun menoleh.


“H-hei. Kenapa tidak tidur?”
“Aku sudah tidur seharian.” Jaehyun melirik baskom yang baru diletakkan di nakasnya dan mengernyit. “Harusnya aku yang tanya begitu. Kenapa kau belum tidur?”


“Tidak bisa tidur.” Sanghyeon memasukkan kain yang sudah ia lipat sedemikian rupa ke dalam baskom, memerasnya, lalu meletakkannya di kening Jaehyun. “Aku mau nonton drama sampai ngantuk.”


“Di sini?”
“Tidak.” Sanghyeon segera menggeleng. “Di luar. Aku ke sini cuma mau meletakkan kain ini di keningmu.”
“Kenapa tidak di sini?”
“Di sini tidak ada tv.”
“Kau bisa nonton lewat ponsel, kan?”
“Tidak mau. Layarnya kecil.”
“Kalau begitu aku yang akan ikut ke luar.”
“Huh? Apa-apaan, sih! Tidur saja!”
“Kubilang aku sudah tidur seharian, Sanghyeon-ssi. Kau itu mau aku cepat sembuh atau tidak?”
“Apa urusannya! Lagian di luar tidak nyaman. Lebih baik kau pura-pura tidur saja di sini sampai tidur betulan.”


“Di luar ada sofa. Aku bisa tiduran di sana. Kau itu kenapa, sih? Tadi merajuk karena aku tidak memanggilmu, sekarang giliran aku mau bersamamu kau malah bersikap jahat begini.”


“Jahat?”


Jaehyun menyibak selimutnya. “Ini. Bawakan ke depan.” Ia mengulurkan selimutnya pada Sanghyeon lalu perlahan-lahan bangkit ke posisi duduk dan menangkap kain dingin yang jatuh dari keningnya. “Bawakan bantalku juga.”


“Ya ampun! Kau serius?”
“Aku sudah duduk, Lee Sanghyeon. Masih kurang serius?”
“Ya ampun benar-benar deh!”


Di ruang tengah, Sanghyeon duduk di lantai berkarpet sementara punggungnya ia sandarkan di sofa—sofa biru gelap tempat Jaehyun kini sedang berbaring. Lampu-lampu dimatikan. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari layar. Mereka menonton episode sembilan.


“Jauh-jauh ke Las Vegas masih saja menonton film Korea. Harus ini ya tontonannya? Padahal banyak series bagus di saluran lokal.” Jaehyun menyeletuk.


“Ini drama, bukan film. Untuk apa sekolah sampai ke Stanford kalau membedakan film dan drama saja tidak bisa? Bikin malu.” Sanghyeon mengulurkan tangannya mengambil stoples keripik kentang dan meletakkannya di pangkuan. Lalu melirik Jaehyun seraya membuka tutupnya dan mengambil sejumput keripik. “Lagian aku yang nonton. Kau cuma ikut-ikut. Kalau tidak mau lihat ya pejamkan saja matamu. Atau balik saja sana ke kamar!”


Setelah bicara dengan sewot, Sanghyeon kembali menatap layar dan menyumpal mulutnya sendiri dengan keripik. Mengunyahnya keras-keras supaya tidak bisa mendengar respons Jaehyun—yang sebenarnya sedang terkikik geli sekarang.


Sepuluh menit berlalu saat tiba-tiba suara Jaehyun kembali terdengar. “Ceritanya tentang apa?”


“Kukira kau sudah tidur.”
“Ceritanya tentang apa?”
“Tonton saja.”
“Sudah episode sembilan, Sanghyeon-ssi. Bagaimana bisa aku mengerti?”
“Ya ampun, berisik Jaehyun!” Sanghyeon mendecak keras, kemudian memberi tahu inti ceritanya dengan supersingkat dan tak sabar. “Pokoknya mereka berdua menikah kontrak.”


“Alasannya?”
“Apa lagi? Jelas karena saling membutuhkan, kan? Yang cowok butuh penyewa rumah supaya dapat uang tambahan, ceweknya butuh rumah kontrakan yang murah buat tempat tinggal.”


“Kurang lebih seperti kita?”
“Apanya yang seperti kita? Mereka menikah, loh.”
“Maksudku tinggal bersama.”


Sanghyeon berdeham. “Kalau kau melihat dari sudut pandang itu.., yah.. begitulah.”


“Dan pada akhirnya mereka jatuh cinta?”
“Ya.”
“Apa ada drama lain yang punya plot seperti itu?”
“Pasti banyak,” sahut Sanghyeon tak acuh, berusaha fokus pada cerita di layar. “Nikah kontrak itu cerita populer.”


“Dan mereka semua berakhir jatuh cinta?”
“Tentu saja. Namanya juga drama.”
“Tidak realistis.”
“Ini cuma cerita, Jaehyun-ssi. Kau tak perlu sesinis itu.”
“Semuanya, Lee Sanghyeon. Semuanya jatuh cinta,” kata Jaehyun penuh penekanan. “Tidak realistis. Mereka berpikir seakan-akan mereka jatuh cinta. Mereka tidak tahu kebersamaan memberikan efek itu. Seolah kau membutuhkan satu sama lain. Padahal tidak. Kau hanya terbiasa.”


Sanghyeon memutar tubuhnya dan mengernyit memandang Jaehyun. “Apa yang sedang coba kaukatakan?”


“Kau tidak mencintaiku. Kau hanya terbiasa denganku. Dan aku tidak mencintaimu. Aku hanya terbiasa denganmu. Ini adalah efek samping dari tinggal bersama. Dan semua orang di drama-drama itu. Mereka juga tidak jatuh cinta.”


Dari semua kalimat itu, Sanghyeon cuma bisa menarik satu kesimpulan. Jaehyun juga menyimpan perasaan padanya. Entah perasaan apa. Yang pasti pria itu merasakan sesuatu. Dan itu bagus. Sanghyeon bukan satu-satunya yang  kebingungan di sini. Gadis itu yakin, jika saja Jaehyun tidak sedang sakit, jika Paracetamol tidak sedang menguasai kesadarannya, ia tak mungkin mengatakan itu. Ia tak mungkin mengakuinya.


Sanghyeon membersihkan tenggorokannya dan melirik Jaehyun salah tingkah. “Memangnya apa yang kaurasakan?” tanyanya sok santai. “Apa yang kaurasakan terhadapku?”


Sanghyeon menunggu dengan perasaan gugup. Namun alih-alih menjawab, Jaehyun malah mengulurkan tangannya yang panas untuk menggenggam tangan Sanghyeon. Kemudian menempelkan telapak tangan gadis itu di pipinya—yang bahkan lebih panas lagi. Jaehyun mengeratkan selimutnya dan memejamkan mata.


Yah, itu memang bukan jawaban. Tapi Sanghyeon tidak keberatan. Ia mengusap pipi Jaehyun, mengusap keningnya lalu membelai rambutnya dengan lembut, penuh sayang. Hatinya gemetar. Dadanya bergemuruh.


Terserah Jaehyun mau berteori seperti apa. Sanghyeon tetap yakin pada perasaannya. Dia yakin dirinya jatuh cinta. Sanghyeon tak pernah merasa begitu hancur dan begitu utuh di saat yang sama. Tak pernah merasakannya untuk siapa pun juga. Dan sekarang dia merasakan semuanya karena Jaehyun. Mustahil yang seperti ini bukan cinta.


Layarnya sudah terabaikan. Sanghyeon mendadak tak tertarik lagi dengan pasangan di drama. Toh apa pun yang terjadi, pada akhirnya mereka tetap akan bersama. Sekarang ia lebih tertarik memandangi Jaehyun yang memejamkan mata, yang wajahnya tampak biru tertimpa pantulan cahaya di layar. Bagaimana mungkin seseorang setampan ini bisa nyata dan bukan karakter fiksi belaka? Bagaimana bisa semuanya begitu sempurna? Benar-benar tidak adil.


“Aku ketakutan, Sanghyeon~a,” gumam Jaehyun setelah sekian lama. Matanya perlahan-lahan membuka. Merah dan sayu. Dia menjawab pertanyaan Sanghyeon yang tadi, yang Sanghyeon sendiri sudah lupa.


Sanghyeon terkejut karena mengira pria itu sudah tidur. “Kukira…”


“Aku takut kehilanganmu,” lanjut Jaehyun. Berbisik.


Sanghyeon bisa merasakan pipinya memanas. Ia bisa merasakan jantungnya diremas. Ia menelan kembali kata-katanya dan tersenyum sedih pada Jaehyun. “Takut kehilanganku?”


“Ya.”
“Dan semua itu karena kau terbiasa denganku?”
“Ya.”
“Lalu apa yang akan kaulakukan?”


Tangan Sanghyeon sudah tak lagi berada di kepala Jaehyun. Ia tak tahu kapan tepatnya ia menariknya dari sana. Yang Sanghyeon tahu, Jaehyun mengeluarkan tangannya kembali dari balik selimut. Ia melakukan itu hanya untuk meraih tangan Sanghyeon dan menempatkannya di kepalanya lagi. Jaehyun mengajukan gumaman protes di balik napasnya. Menyuruhnya untuk tidak berhenti.


Sanghyeon tersenyum dan kembali memilin rambut Jaehyun di jarinya, kemudian memanggil pria itu pelan. “Jaehyun.”


“Hmm?”
“Kau belum menjawabku,” Sanghyeon mengingatkan, mengulangi pertanyaannya. “Kau bilang kau takut kehilanganku. Lalu apa yang akan kaulakukan?”


“Sangat harus kujawab?”
“Ya.”


Jaehyun memejamkan mata dan menghela napas. “Yah.. memang apa lagi yang bisa kulakukan?” suaranya getir. “Aku akan menghadapi ketakutan itu,” katanya. “Aku akan kehilanganmu.”


Itu bukan jawaban yang Sanghyeon inginkan. Tapi Sanghyeon sendiri tak tahu apa tepatnya yang ia harapkan. Aku tak akan membiarkanmu pergi dariku? atau Aku akan memperjuangkanmu? Ia akan menerima jawaban apa pun yang mengandung pengharapan. Perjuangan. Bukan sesuatu sepasrah itu. Kenapa harus sepasrah itu?


“Kenapa begitu?” protesnya. “Kita bisa terbiasa saja selamanya. Toh jatuh cinta dan terbiasa, jika meminjam teorimu, bukanlah sesuatu yang sangat berbeda.”


“Itu berbeda, Sanghyeon~a. Terbiasa saja tidak cukup. Aku akan menghalangimu bertemu seseorang yang benar-benar kau cinta. Yang masih kau cinta meskipun kalian tidak tinggal bersama. Yang bisa kau cinta bukan karena terbiasa.”


“Dan aku juga akan menghalangimu?”


Jaehyun tak menjawab. Ia malah beringsut menggelungkan badannya sampai dahinya menyentuh lengan Sanghyeon. Sanghyeon ingin bilang bahwa segala teori tentang jatuh cinta dan terbiasa itu benar-benar konyol. Siapa yang bisa memastikan perasaan seseorang selain orang itu sendiri? Kenapa ia berusaha mendoktrin mereka berdua untuk mengingkari perasaan masing-masing? Sanghyeon yakin seseorang yang sedang demam tinggi seharusnya tidak perlu repot-repot membuat teori. Sebab semuanya cuma sekadar halusinasi. Jaehyun menyimpulkan hal-hal itu karena ia masih terbayang-bayang trauma masa lalu. Dikhianati Wang Yiren membuat otaknya secara insting membentuk mekanisme pertahanan diri. Membentuk pengingkaran. Yeah, itulah teori yang benar. Sanghyeon berusaha memercayai itu. Dia juga secara insting sedang membentuk pertahanan diri. Tak mau patah hati.



**********



Keesokan harinya, Jaehyun terbangun dengan wajah Sanghyeon tepat di hadapannya. Mereka masih di ruang tengah. Sanghyeon tertidur dalam posisi yang tidak nyaman. Ia duduk di lantai sementara kepalanya terkulai di sofa, persis di samping kepala Jaehyun. Menghadapnya. Rambut gadis itu terburai liar di bahu Jaehyun. Tangan mereka bertautan.


Jaehyun bisa merasakan perasaan yang familier tengah merambat di dadanya. Hangat dan menyejukkan. Seperti musim semi.


Amat hati-hati, Jaehyun mengulurkan tangannya yang bebas ke wajah Sanghyeon. Kulit gadis itu dipenuhi semburat merah muda dan bulu matanya panjang sekali. Jaehyun tak pernah menyadari itu. Perlahan-lahan ia menyelipkan rambut gadis itu di balik telinganya. Jaehyun berusaha melakukannya selembut mungkin, namun ternyata itu tidak cukup. Sanghyeon rupanya amat peka. Dia berjengit. Kelopak matanya bergerak membuka dan dia langsung terkesiap menarik diri.


“Hei,” sapa Jaehyun canggung. Tangannya membeku di udara.


Sanghyeon tak membalas sapaannya. Gadis itu terlihat panik. Ia mendorong rambutnya ke belakang dan menggigit bibir sebelum menjelaskan tanpa diminta. “Aku tidak bermaksud tidur di sini. Aku ketiduran. Aku mematikan televisi lalu bermaksud memperbaiki letak selimutmu sebelum pergi ke kamar, tapi aku tanpa sengaja malah mengulur-ulur waktu.”


Jaehyun hampir tersenyum. Ia merasa tersanjung. Ia ingin bertanya ‘apa yang membuatmu tak sengaja mengulur-ulur waktu?’ tapi takut membuat Sanghyeon semakin gugup.


“Terima kasih tidak meninggalkanku sendirian.”


Sanghyeon terdiam. Ia tidak menyangka akan mendapat ucapan terima kasih. Bukan artinya ia berharap untuk dihardik. Ia tahu Jaehyun tak sejahat itu. Hanya saja sikapnya ini terlalu baik. Dan seharusnya tidak begitu.


Semalaman Sanghyeon memandangi wajah terlelap Jaehyun sambil memainkan rambutnya. Seperti orang aneh. Ia merasa buruk. Hal terakhir yang pantas ia dapatkan adalah ucapan ‘terima kasih’.


“A-aku akan buat sandwich,” kata Sanghyeon seraya berdiri. “Kau harus sarapan dulu supaya bisa minum obat.”


Sebelum benar-benar pergi, ia memberi tahu Jaehyun bahwa ia akan kembali dalam sepuluh menit. Paling lama lima belas menit. Sanghyeon menyuruhnya untuk tidak ke mana-mana.


Jaehyun mengangguk. Namun tidak menurut. Begitu mendengar suara aktivitas di dapur, ia langsung menyibak selimutnya dan pergi ke dalam kamar. Jaehyun merasa harus membenahi penampilannya yang superlusuh. Ia bahkan masih pakai kemeja dan celana kantor. Dengan cepat, Jaehyun mencuci muka dan menyikat gigi, kemudian mengganti kemejanya dengan sweter putih tebal yang wangi. Walau masih agak lemas, pria itu sudah merasa jauh lebih baik dibanding kemarin. Ia sudah bisa berjalan tanpa terhuyung. Sudah bisa mengangkat kepalanya dari bantal tanpa merasa kepalanya itu akan terbelah dua. Badannya terasa lebih baik pagi ini.


Setelah mematut diri di cermin dan puas dengan apa yang ia lihat, Jaehyun pun keluar kamar. Awalnya ia ingin kembali ke sofa, namun berubah pikiran dan memutar langkahnya untuk bergabung dengan Sanghyeon di dapur.


Di sana ia menemukan gadis itu sedang bersandar di sebelah bak cuci, tangannya menari lincah di atas layar ponsel sementara senyumnya merekah lebar—sesekali terkikik.


“Siapa?”


Sanghyeon terkejut sampai hampir menjatuhkan ponselnya. Ia memegangi dadanya selama beberapa saat lalu mendecakkan lidahnya menatap Jaehyun. “Apa, sih? Tiba-tiba muncul!”


“Lagian kau lama.”
“Iya, sori. Tadi aku ambil ponsel dulu,” katanya, kemudian mengernyit memandang sweter Jaehyun. “Kau ganti baju?”


“Iya.”
“Sudah tidak pusing?”


Jaehyun menggeleng, tangannya mengulur mengambil gelas kosong dari dalam kabinet.


“Tunggu di ruang tengah saja.” Sanghyeon mengedikkan dagunya ke microwave. “Aku sedang memanaskan rotinya.”


Jaehyun berjalan menghampiri dispenser. “Kau belum menjawabku,” katanya seraya mengisi gelasnya dengan air dingin. Kemudian mengosongkannya dalam sekali teguk seolah-olah itu alkohol.


“Soal apa? Siapa yang ku-chat? Ya ampun, ini cuma Sicheng.”
“Cuma Sicheng tapi kau sebahagia itu?”


Sanghyeon yang semula sudah kembali sibuk mengetik pun langsung menurunkan ponselnya lagi. “Kau pernah chat selain soal kerjaan dengan Sicheng, tidak? Pasti belum pernah, kan? Cobalah sesekali. Dia anaknya lucu.”


“Apa yang kalian bicarakan?”
“Macam-macam,” sambar Sanghyeon kesal, tak mengerti kenapa ia ditanyai pertanyaan seperti ini. Ia lantas mengulurkan ponselnya pada Jaehyun seraya melontarkan tawaran sarkasme, “Mau lihat chat kami?”


Jaehyun tidak menjawab. Cuma balik memandang Sanghyeon dingin.


“Tidak apa-apa. Ambillah!” suruh Sanghyeon ketus. “Silakan lihat chat-ku kalau memang itu bisa membuatmu lebih baik.”


“Kau menyukainya?”
“Huh?” Sanghyeon membuang napas dengan kasar dan tersenyum. “Wah. Sebelumnya Youngho, sekarang Sicheng? Sampai kapan kau akan menuduhku menyukai semua orang?”


“Lagian kalau aku suka padanya, memang kenapa?” tantang Sanghyeon.


Jaehyun tersenyum tipis dan membuang muka. “Tidak apa-apa,” katanya tak acuh. Ia berjalan menghampiri bak cuci dengan gelas kosongnya, kemudian berhenti tepat di hadapan Sanghyeon. Menatap persis di bola matanya. “Bagus untukmu,” dia bilang. Suaranya arogan, penuh kecaman. Tangannya mengulur meletakkan gelasnya di dalam bak, namun matanya yang tajam tak beralih dari mata Sanghyeon sama sekali. “Aku lebih suka melihatmu dengan Sicheng ketimbang Youngho.”


Sanghyeon mendengus tak percaya. Si sialan ini benar-benar.


Saat Sanghyeon hendak menjawab, tiba-tiba saja microwave-nya berbunyi nyaring.


Jaehyun menarik diri darinya dan berbalik begitu saja.


“Mau ke mana?!”
“Bukankah tadi katamu lebih baik aku menunggu di ruang tengah?” tanyanya menyebalkan, memandang Sanghyeon sejenak sebelum benar-benar berlalu meninggalkannya.



**********



Setelah sarapan dan mengawasi Jaehyun meminum obatnya, Sanghyeon pamit ke kamarnya sendiri. Tubuhnya gerah dan lengket. Ia butuh berendam di bathup penuh busa dan merilekskan diri.


Ketika ia akhirnya keluar kamar, dilihatnya Jaehyun sudah memakai setelan kerja. Sama seperti dirinya, pria itu juga baru keluar dari kamarnya.


“Kukira kau tidur,” katanya saat Sanghyeon mendekat.
“Kau pikir aku akan mengizinkanmu pergi?” Sanghyeon menanyakannya sambil bersedekap tak senang. Yang benar saja! Ia mengerti proyek Jaehyun di kota ini sangat penting. Tapi bukankah kesehatan pria itu jauh lebih penting?


“Harusnya kau tidur, Sanghyeon-ssi,” sahut Jaehyun, sama sekali tak menggubris pertanyaannya. “Kau tidak melakukannya dengan baik semalam. Kau tidur dalam posisi duduk. Pasti punggungmu…”


“Aku baik-baik saja,” sela Sanghyeon kesal. “Kaulah yang sakit. Badanmu masih panas. Istirahatlah satu hari lagi. Kau kan bosnya! Harusnya tidak apa-apa dong kalau tidak datang hari ini!”


Tanpa aba-aba, Jaehyun mengambil satu langkah besar mendekatinya. Pria itu memegang erat kedua lengan Sanghyeon dan menempelkan dahinya di dahi sang gadis, untuk membuktikan bahwa demamnya memang sudah hilang.


Sanghyeon membatu.


“Bagaimana menurutmu?” tanyanya masih di posisi yang sama. Matanya amat dekat. Hidungnya amat dekat. Semuanya amat dekat. Sanghyeon bisa menciumnya dengan teramat mudah jika ia berusaha sedikit. “Apa masih panas, Sanghyeon-ssi?”


Sanghyeon tidak tahu. Dia tidak bisa mengecek suhu tubuh orang lain jika mukanya saja sudah sepanas ini.


Setelah sekian detik yang terasa begitu lama, Jaehyun akhirnya menjauhkan diri.


“Terima kasih banyak sudah merawatku,” katanya, menyelipkan senyum. Bisa-bisanya ia tersenyum! Setelah berbuat begitu, bisa-bisanya! “Tapi maaf, aku harus pergi. Aku harus melihat apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan proyek ini. Dan Yah, akulah bosnya. Itulah alasan utama mengapa aku harus pergi. Aku bosnya, akulah yang akan paling bersalah dan malu jika semuanya benar-benar gagal.”


Kepala Sanghyeon masih dipenuhi kabut sekarang. Ia tak bisa merespons.


“Aku bawa obatnya, kok.” Jaehyun berusaha meyakinkan. “Begitu sampai di kantor, aku akan langsung makan siang dan meminum semua obatku. Jangan khawatir.”


Sanghyeon bahkan tak ingat bahwa dirinya seharusnya sedang khawatir. Pada akhirnya gadis itu cuma bisa mengangguk.


Jaehyun pun berpamitan padanya dan melangkah menuju lift.


Masih terpaku, Sanghyeon bersandar di dinding dan memandangi pintu lift-nya tertutup. Ia bisa melihat Jaehyun tersenyum padanya, tapi masih tak sanggup membalas.


Beberapa jam yang lalu pria itu bicara dengan begitu arogannya bahwa ia ‘merestui’ Sanghyeon dengan Sicheng, dan sekarang ia malah bersikap begini. Membuat tubuhnya panas dingin begini. Benar-benar tukang bikin bingung sejati. 



TBC


Udah 7 part masih aja bingung-bingung ya allah :( kapankah series ini akan berakhir? sejujurnya kutak tofu huhu... Tapi tetep berusaha diendingin bagaimanapun caranya.. Have a nice day yah semuanya 


babay

Comments

  1. WHahahaha.... sekolah jauh-jauh tapi gak bisa bedain film dan drama hahhaa seperti halnya kasus yg fans drakor indo yang nggak bisa medain mana akting mana kenyataan sampe dibilang PELAKOR wkwkwk malu2in bangsa aja org2 seperti itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. padahal aku ga nonton dramanya, tapi parah ikutan malu :( anyway thank you komennya, nanti Jaehyun biar aku yang ajarin gaguna emang udah disekolahin duhh

      Delete
    2. wkwkwk iya sama-sama.. seneng bisa baca ceritanya.. �� lanjutkan menulis salsa (aku bacanya selasa) pardon me.. hehehe

      Delete

Post a Comment

Popular Posts