No. 7
Genre : Angst
Length : Oneshot (2495 words)
Author : Salsa
TRIGGER WARNING : RAPE/SUICIDE
**********
Tak ada yang tahu.
Kecuali aku.
Ketika kami berbaring di halaman,
beralas rumput yang basah bekas hujan, Janice menceritakan semua mimpi-mimpinya
padaku, merunutnya satu per satu. Astronaut,
katanya penuh gairah. Tapi aku juga mau
jadi pembalap, apa menurutmu astronaut bisa balapan di atas sana?, jarinya
menunjuk ke langit.
Aku hendak berkata, āmungkin
saja,ā saat suara mobil menderu di depan pagar. Ayah Janice pulang. Wajahnya
tertekuk dan keras seperti biasa. Dia melangkah cepat dan lebar sambil mengerut
kejam.
Janice melonjak berdiri dan
berlari menghampirinya, mulutnya memanggil-manggil āpapaā sebanyak yang
dibutuhkan untuk membuat pria itu menoleh.
Dan dia berhasil.
Pria itu menoleh.
Janice sudah membuka mulut, ingin
bertanya apa astronaut bisa balapan di ruang angkasa, tapi sang ayah malah memotongnya
dengan tampang lesu dan gelengan kepala. āJangan
sekarang, Sayang. Papa lelah.ā
Janice mengangguk, ayahnya
mengusap kepalanya pelan sebelum masuk.
Gadis itu lantas menoleh padaku,
mengangkat bahu.
**********
Tak ada yang tahu.
Kecuali aku.
Bagaimana mengerikannya
detik-detik saat Janice memutuskan untuk terjun bebas dari papan loncat
setinggi tiga meter. Bagaimana kencang bunyi jatuhnya, bagaimana tangannya
menggelepar di atas permukaan air, bagaimana bisingnya, bagaimana tangan itu
berhenti, bagaimana segalanya menjadi hening.
Sepuluh menit sebelumnya, ia masih
berjalan tenang melewati koridor sekolah yang sepi, sebab semua murid lain
sedang berada di dalam kelas, belajar, karena memang seharusnya begitu. Masih
tersisa dua setengah jam sebelum bel makan siang berbunyi.
Janice akan memasuki ruang kolam
renang dalam waktu tak kurang dari sepuluh detik, ia sudah bisa melihat
pintunya yang kokoh dan kelabu, yang nampak seperti sedang memanggil-manggil,
tapi air matanya tak bisa menunggu. Mereka berkumpul di pelupuk mata Janice dan
berjatuhan seperti kristal.
Didorongnya pintu itu, lantas
dikuncinya dari dalam. Tangisnya makin riuh. Janice terisak keras sampai
dadanya terasa sakit. Ia berjalan menuju papan loncat, tapi kakinya gemetar
hingga badannya rubuh begitu saja di tengah jalan. Gadis itu menghabiskan
hampir lima menit, duduk tersungkur sepuluh meter dari tangga, menangis dan
meraung tertahan, menyapu rambutnya yang dikuncir tinggi dengan gerakan kalut,
membuat sebagiannya keluar dari ikatan.
Janice merasa sudah membuang
banyak waktu, tak ada gunanya lagi menangis. Dia sudah merencanakan ini semua
sejak sebulan yang laluābahkan lebih. Walau rencananya sedikit melenceng, tapi
tetap saja intinya dia tidak mau bernapas lagi.
Saat kaki-kakinya yang kurus dan
gemetar melangkah di tangga pertama, Janice menyentak sepatunya sampai lepas
dan berjalan lebih yakin menaiki tangga-tangga menuju papan loncat. Ia tak lagi
menangis, tapi wajahnya masih sembap dan kelihatan merana, rambutnya semrawut
dan seragam cokelatnya berkerut-kerut.
Ketika Janice melewati papan
loncat satu meter dan naik menuju papan yang lebih tinggi, aku berseru padanya.
Jangan.. Jangan lompat! Semuanya akan
membaik setelah ini.
Tapi dia tak mendengarku.
Janice sampai di papan tertinggi.
Ia berdiri di atas kaus kakinya yang basah nan licin, lalu berjalan pelan-pelan
hingga ke ujung, beberapa kali nyaris terpeleset dan membuatku memekik. Janice
tak bisa berenang, sekalipun bisa, ia tahu apa yang harus dilakukanādan tidak
dilakukanāsupaya bisa mati.
Janice, jangan! Jangan!
Suara degukannya terdengar
nyaring. Janice terisak tertahan tanpa air mata.
Jangan, kumohon!
Tapi tekadnya sudah bulat. Janice
memutar badannya membelakangi kolam. Tumitnya sudah tidak lagi memijak di
papan, menjorok menyongsong kematian.
Hiduplah untukku!
Detik berikutnya, Janice
menjatuhkan diri ke dalam kolam sedalam lima meter.
Dan aku hanya bisa menonton.
**********
Di umur enam tahun, cita-cita
astronaut pembalap Janice mulai memudar. Ayahnya pulang kerja pukul empat sore
dan terus-menerus tak menggubris panggilan antusiasnya karena terlalu lelah.
Awalnya pria itu berkata, āJangan sekarang, Sayang. Papa lelah.ā
Lalu lama-kelamaan, ucapannya
semakin singkat.
āJangan sekarang. Papa lelah.ā
Besoknya, lebih singkat lagi. āJangan sekarang.ā
Kemudian, āJangan.ā
Janice menyadari perubahan
kata-kata itu. Ia menyadari bagaimana kalimat penolakan sang ayah terpangkas
mengerikan di tiap-tiap hari.
Jadi, Janice tak lagi berlari
sambil berseru āpapaā setiap mobil ayahnya tiba. Sebaliknya ia justru meraih
tanganku dan berlari menjauh.
**********
Pintu ruang kolam renang didobrak
satu jam kemudian, saat guru olahraga mereka, Demian tak bisa membukanya dengan
kunci. Dia mengomel selama beberapa saat, mengeluhkan bahunya yang sakit dan
mengecam siapa pun yang sudah menguncinya dari dalamāAkan kuhabisi dia! Akan kuhabisi!
Sementara itu, di waktu yang
sama, anak-anak kelas 11 masuk di belakangnya. Aku berteriak pada mereka. Lihat ke dalam kolamnya! Janice sudah di
sana lebih dari lima menit.
Kebanyakan dari mereka melewati
kolam begitu saja. Sibuk bercengkerama dengan teman masing-masing menuju ruang
ganti. Tapi untunglah salah satu murid pria melihat. Ia sedang memainkan yoyo.
Mata bosannya mengikuti arah mainannya yang menukik ke arah kolam. Keningnya
seketika berkerut. Apa yang dia lakukan? Suara
anak itu berat dan besar. Mengundang perhatian. Dalam sekejap hampir semua
orang menoleh mengikuti arah pandangnya.
Detik berikutnya Demian yang masih memakai kaus dan celana
olahraga melompat ke dalam air.
Semua murid berkerumun di
sekeliling kolam. Terkejut. Penasaran. Panik. Dengung kekhawatiran menggema di ruangan.
Tubuh Janice muncul di permukaan.
Didorong keluar dari air. Dia sudah hilang kesadaran entah sejak kapan.
Kulitnya pucat. Bibir dan ujung kukunya membiru.
Aku melihatnya dan berpikir tak
mungkin dia bisa selamat.
Aku berlari mengejar Demian yang
sedang membopong Janice. Mata guru olahraga itu membelalak dan walau tak ada
yang menghalangi jalannya, dia tetap berteriak menyuruh semua orang minggir.
Kesiap dramatis terdengar dari
mulut semua orang yang berpapasan dengannya.
Beberapa guru ikut berlari menyusul
Demian.
Aku mengikuti mereka semua dengan
kaki lemas. Tolong selamatkan dia.
Tolong. Tolong.
*********
Tak ada yang tahu.
Kecuali aku.
Saat Janice berusia sebelas
tahun, ayahnya membelikan boneka Barbie sebagai ganti dari dibatalkannya
perjalanan liburan keluarga kecil mereka ke Disneyland. Janice yang sudah terlalu
sering mendengar pria itu berkata ākau
sudah besar, tidak boleh menangisā kini menjadi sangat pandai untuk tidak
menangis. Dia bahkan juga pandai untuk tidak bertanya. Tidak mengeluh.
Bibirnya mengembang seraya
memeluk boneka itu. Matanya mengerjap manis kala mengucapkan terima kasih.
Aku memandangnya dengan miris.
Janice semakin pandai
berbohong.
Begitu kembali ke dalam kamar,
Janice mengunci pintunya dan duduk bersila di samping tempat tidur. Memandang
boneka barunya dengan tatapan kosong. Aku duduk berlutut di hadapannya. Mau mainkan bonekanya denganku? tanyaku.
Namun Janice tidak menyahut.
Memang begitu.
Setelah genap berusia sebelas
tahun, dia mulai sering mengabaikanku.
Aku hendak bertanya, āmau diberi
nama apa boneka ituā, saat tangan Janice tiba-tiba bergerak brutal membuka
kotaknya. Lalu semakin brutal lagi saat mencopot kepala, tangan dan kaki sang
boneka. Ia menggeram dengan napas terputus-putus. Air matanya mengalir. Dari sekadar
tetes-tetes kecil menjadi semakin deras.
Aku terkejut dan menyuruhnya
berhenti, tapi dia mengabaikanku. Aku berteriak padanya, menangis ketakutan, kubilang
aku tak suka permainan ini, tapi dia
tak mau mendengarku.
Ia berdiri untuk mengambil
bolpoin dari meja belajarnya, lalu mulai menusuk-nusuk boneka itu. Badan
bonekanya kini berlubang dan penuh coretan.
Kemudian tiba-tiba ia berhenti
menangis. Ia mengembalikan potongan Barbie itu ke kotaknya lalu memajangnya di
lemari kaca bersama mainannya yang laināyang masih utuh dan terawat baik.
Janice tak pernah seperti ini sebelumnya.
Aku masih sesenggukan saat
kuperingatkan dia untuk tidak melakukan itu lagi. Namun Janice cuma menyeka air
matanya dengan tampang datar dan keluar untuk makan malam.
Seiring berjalannya waktu,
terlepas dari peringatanku, hal itu menjadi semakin sering terjadi. Jika ayahnya
bertingkah mengecewakan; membatalkan janji atau membentak kasar, ia akan dibelikan
sesuatu (boneka, sepatu, jepitan rambut, lebih banyak boneka) sebagai bentuk
permintaan maafāsogokan supaya dimaafkan.
Dia pikir itu cukup.
Itu tidak cukup.
Jika hal itu terjadi, seperti
biasa, Janice akan berterima kasih dan mengunci kamar. Lalu berbuat kerusakan
dengan mata membelalak mengerikan. Pipinya basah dan ia berkali-kali menggulung
tubuhnya ke depan untuk menahan teriakkan, kemudian kembali menghancurkan.
Terus menghancurkan sampai ia dipanggil untuk makan malam.
Saat itu, aku sudah tidak
menyuruhnya berhenti. Aku bergeser menjauh darinya dan menonton kekacauan itu.
Tanpa kusadari, aku mulai
menyukai permainan ini.
**********
Janice dibawa ke rumah sakit.
Mereka bilang dia koma.
Aku tak mengerti apa itu koma. Tapi
aku mengerti dia di ambang kematian.
**********
Delapan bulan lalu, di umurnya
yang ke-15, Janice mengalami kejadian supertraumatis.
Aku melihat segalanya dan tak bisa
apa-apa.
Aku melihat tubuh ringkihnya
digotong oleh tiga orang, dibanting di meja kayu kotor yang terbengkalai di
gudang sekolah. Aku melihat seragamnya berguguran di lantai. Aku melihat betapa
merah mukanya, betapa takut dan sakitnya ia.
Aku tak tahan.
Aku benar-benar membenci semua
ini.
Kubalik badanku membelakanginya,
menekan kedua telingaku keras-keras dengan telapak tangan. Berharap segalanya
cepat berakhir.
Janice tidak menceritakan itu
pada siapa-siapa. Ia menyeka darah yang mengalir melewati roknya dengan telapak tangan, lalu pulang ke rumah seperti tak terjadi apa-apa.
Hubungannya dengan orangtuanya
sudah terlampau jauh. Mengadu pada mereka sama sekali tak terbersit di
benaknya.
Aku pun sudah berhenti mengajak Janice
bicara sejak bertahun-tahun lalu. Toh dia sudah tak pernah menjawabku lagi.
Jadi dalam diam, kami sama-sama
masuk ke kamar.
Janice duduk di meja belajarnya
dan aku di ujung ranjang. Dia menatap nanar pada pantulan wajahnya. Sepuluh
menit. Lima belas menit. Tangannya kemudian bergerak mengambil bolpoin. Seraya
bersiul merdu, ia membuat beberapa coretan di telapak tangannya, kemudian tanpa
aba-aba mulai menusukkannya di sana.
Janice tak menggeram. Tak
menangis. Ia berusaha membolongi tangannya sebagaimana ia membolongi tubuh
Barbie-nya. Dan aku cuma menontonnya melakukan itu. Bercak-bercak darah mulai
terlihat dan Janice mulai terkikik.
Aku tak bisa melakukan apa-apa. Tak
pernah bisa. Jadi aku berusaha menjadi teman yang baik dan tertawa bersamanya.
Supaya dia tidak merasa terlalu sendiri. Aku mengerti Janice hanya ingin merasakan sesuatu. Apa pun, termasuk kesakitan. Bukankah merasa sakit lebih baik ketimbang tidak merasakan apa pun?
Pada akhirnya ini mulai lucu.
Ini lucu karena hari ini, detik
ini, kami masih bisa merasa.
Minggu depan? Lusa? Besok? Belum
tentu.
*********
Orangtua Janice muncul di bangsal
rumah sakit tak lama kemudian. Dan tepat saat itu, paru-paru Janice berhenti
bekerja. Seolah ia memang sengaja menunggu mereka datang dulu sebelum mati.
Supaya mereka merasa sakit.
Dan ya, Janice berhasil.
Mereka berpelukan dan menangis.
Itu lucu sekali. Kesedihan mereka membuatku terpingkal-pingkal.
Ibu Janice menutupi mukanya yang
peot dengan telapak tangan. Sesenggukan keras.
Aku tak pernah membicarakan ibu
Janice karena wanita itu tidak berguna. Sehari-harinya ia hanya duduk termenung
memandangi jendela. Meratapi kematian putri bungsunya sebelas tahun silam.
Sikapnya begitu angkuh pada Janice. Seakan menyalahkan anak sulungnya itu bisa
membuatnya merasa lebih baik.
Ayah Janice menangis dengan gaya
yang lebih tegar. Aku menatapnya dan mendengus. Aku tahu dia sedang memikirkan
kejadian pagi ini.
Ya. Cepat atau lambat Janice
memang akan bunuh diri. Tapi apa yang terjadi pagi ini membuat rencananya
mendadak dimajukan secara signifikan.
*********
3 jam sebelum lompatā¦
Aku berjalan bersisian dengan
Janice. Kami menuju halte bus. Menuju sekolah.
Saat itu segalanya baik-baik
saja. Janice murung seperti biasa tapi ia tak memikirkan apa-apa. Ia tak
memikirkan akan loncat ke kolam renang.
Hingga ayahnya berteriak dan
mengejarnya dari jauh. Kemudian langsung menamparnya dengan buku.
Aku terkejut.
Janice bahkan lebih terkejut.
āAPA YANG KAU PIKIR KAU LAKUKAN!ā
ayahnya meraung.
Aku melirik buku yang kini
tergeletak di aspal. Buku catatan milik Janice. Isinya adalah rencana bunuh diri
yang grafik.
No. 1. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mati jika aku menelan 2
lusin nembutol? 4 jam.
No. 2 Peluang mati tertabrak mobil? Bisa 95% jika aku berdiri di
jalan tol (jalan tol terdekat ā RIDGELAND!!!)
Note: pergilah saat malam!! Mobil-mobil
di atas jam 11 berkecepatan mematikan!
No.
3 Seberapa cepat aku mati dengan gantung diri? Tali apa yang harus
kugunakan?
No.
4 Tusuk jantung dengan pisau? Tidak. Jangan! Terlalu berantakan.
No. 5 Silet nadi?
No. 6 Minum pembersih lantai?
No. 7 Tenggelam? Pantai terdekat ā Fort Funston (pilihan lain
untuk tenggelam ā bathtub? Kolam renang sekolah?)
Dan belasan cara lainnya.
Janice memikirkannya
matang-matang. Ia bahkan melakukan riset juga. Tapi sekarang itu tidak penting
lagi. Bukunya hancur. Hampir sebagian dari kertasnya sudah keluar dari spiral,
menandakan sekeras apa sang ayah memukulnya barusan.
āAku pernah muda. Aku tahu kau
melakukan ini untuk mendapat pengakuan,ā katanya, masih membelalak. āKumohon
carilah cara lain untuk mendapatkan itu. Menulis rencana bunuh diri tidak
membuat siapa pun jadi keren.ā
āAku menulis itu bukan untuk jadi
keren.ā
āUntuk apa pun itu, aku tak
peduli. Kalau aku sampai mendapat telepon dari sekolahmu lagi, aku bersumpah
akan mengeluarkanmu dari tempat itu dan tak menyekolahkanmu lagi selamanya.ā
āKau tak akan mendapatkannya
lagi. Aku akan menemui Joanna secepatnya.ā
Joanna adalah nama adiknya yang
meninggal.
Ayahnya semakin murka. āKenapa kau mengatakan itu!ā
Ayahnya semakin murka. āKenapa kau mengatakan itu!ā
āKenapa aku tak boleh menyebut
nama adikku!ā
āApa membunuhnya tidak cukup?
Sekarang kau ingin mengganggunya juga?ā
āApa maksudmu?ā
āKalau kau tak mengajaknya
bermain di luar waktu itu, dia tak mungkin ditabrak truk. Ibumu tak akan
depresi dan kita berempat mungkin bisa bahagia.ā
Aku tak percaya ayahnya
mengatakan itu. Dan nampaknya dia sendiri pun tak percaya sudah mengatakan itu.
Mukanya seketika melunak dan ia menyentuh tangan Janice memohon pengampunan.
āAku tak bermaksud mengatakan
itu.ā
āKau mengatakannya.ā
āAku tak bermaksud.ā
āKenapa baru bilang? Jadi akulah
yang membunuh Joanna? Ya Tuhan, kenapa tak pernah bilang!ā
Janice menepis tangan sang ayah
dan berlari pergi. Dia tak berhenti saat melewati halte. Aku terus mengejarnya.
Itu bukan salahmu, teriakku padanya. Kau masih 5 tahun. Hanya orang gila yang menyalahkan anak 5 tahun! Aku
ada di sana waktu semuanya terjadi. Posisinya tidak tepat. Itu bukan salahmu!
Entah bagaimana Janice dituduh
mendorong adiknya ke jalan raya. Itu tidak benar. Aku ada di sana. Namun
sayangnya satu-satunya saksi selain aku hanyalah tetangga mereka yang sudah
tua, yang pandangannya sudah kabur dan menderita alzheimer. Itu tidak adil.
Selama ini Janice tahu ia punya
adik perempuan yang meninggal karena kecelakaan. Ia tahu. Tapi ia terlalu kecil
untuk mengingat hal lain selain itu. Dan kedua orangtuanya pun tak pernah mau
membicarakan Joanna karena terlalu menyakitkan. Sampai akhirnya hari ini pun tiba. Ayah
Janice memuntahkan aib itu begitu saja, menghakimi Janice dengan kejam.
Bermandi peluh, Janice tiba di
sekolah.
Gurunya sudah ada di kelas.
Janice duduk dan memandangi wanita itu. Kemarin buku catatannya terjatuh di
bawah meja dan dibuka olehnya. Janice yakin dialah yang menelepon ayahnya. Dialah
biang keladinya. Guru sejarahnya, Vivian.
Kepala Janice rasanya sedang
dipenuhi kembang api yang semrawut. Berterbangan dan meledak di tiap ruang di
sana. Aku melirik bukunya yang terbuka. Janice menulis angka
7 di mana-mana.
Saat pikirannya kembali ke dalam
kelas. Vivian sudah menyuruh mereka semua untuk mengeluarkan secarik kertas.
Kuis dadakan.
Janice tak punya waktu untuk itu.
Dia sudah keringat dingin dan tangannya mulai gemetar. Janice perlu menangis
meraung di ruang kosong. Ia perlu berbuat kerusakan.
Kerusakan yang besar.
Janice meratapi angka 7 di buku
tulisnya, lalu menghela napas.
Ini saatnya.
Tidak! Jeritku.
Ia berdiri dan izin pada sang
guru untuk membeli bolpoin.
Aku berharap Vivian akan
melarangnya. Namun itu tidak terjadi. Dia malah mengangguk dan menyuruh Janice
untuk memperbaiki seragamnya sekalian.
Vivian memandang jam dinding
sebelum berseru ke arah Janice, āKalau kau tak kembali dalam 7 menit. Kuis ini
akan dimulai tanpamu.ā
Kenapa harus 7!
āOkay.ā
Dan itulah terakhir kali Janice
melihat semua orang. Dan semua orang melihat Janice. Dalam keadaan hidup.
**********
Tak ada yang tahu.
Kecuali aku.
Soal cita-cita pertama Janice,
menjadi pembalap astronaut.
Soal boneka-boneka Barbie yang
dimutilasi.
Soal telapak tangannya yang
ditusuk bolpoin.
Soal darah yang mengalir di
antara kakinya.
Soal perbuatan 3 senior bejat kepadanya
delapan bulan lalu.
Tunggu. Aku bahkan bukan apa pun.
Aku hanya khayalan Janice.
Yang pada akhirnya akan
menghilang saat ia menghilang.
Dan itu artinya tidak lama lagi.
Janice akan dikremasi dalam 2
jam.
Semuanya akan menghilang
bersamaku. Bersama kami. Dalam 2 jam.
Dan setelah ituā¦ tidak ada yang
tahu lagi.
Tak seorang pun.
Yang tersisa hanyalah orang-orang asing yang akan menangisinya di pemakaman. Mengumbar kebaikan Janice seolah mereka mengenal gadis itu lebih dari siapa pun.
Janice akan membenci itu. Aku tahu.
Namun tak apa. Toh kenangan Janice di benak mereka tak akan bertahan lebih dari sehari.
Sebab semuanya sudah berakhir. Untuknya. Untukku. Untuk kami. Semuanya selesai.
END
Comments
Post a Comment