#18 Smile Again - Produce 45




Cast: Nam Chaerin – Lee Minhyuk (Monsta X)


Bisik-bisik simpati masih terdengar dan tatapan penuh rasa iba juga masih diarahkan kepadaku. Aku sadar aku menjadi bahan perbincangan selama seminggu belakangan ini. Orang-orang di sekolah yang tahu betapa dekatnya hubunganku dengan Hanbin pasti akan berhenti sejenak dan menghampiriku. Mereka akan mengucapkan kalimat hiburan yang kurang lebih senada.



“Kamu pasti kuat. Kamu bisa melewati semua ini. Dia tidak pantas untuk ditangisi terus, kamu akan bertemu dengan orang yang jauh lebih baik.”


Aku sendiri tidak tahu kapan akan merasa lebih baik. Hatiku benar-benar hancur dan aku merasa dikhianati. Kalau itu belum cukup untuk membuatku lebih buruk, aku merasa sangat bodoh.


Aku berharap banyak pada Hanbin, kukira kedekatan kami memiliki arti yang lebih untuk dirinya. Namun tanpa sepengetahuanku dia justru pacaran dengan Jennie, teman sekelasku. Entah bagaimana dia tega melakukan hal itu kepadaku. Pasti aku kelihatan sangat bodoh setiap kali menyambut kedatangannya ke kelasku dengan gembira.



Namun hari ini aku tidak gembira melihat kedatangannya. Alih-alih rasa sesak kembali mendera dan air mata mulai menumpuk di pelupuk mata begitu sosok Hanbin melewati pintu kelasku. Ia mengulas senyum malu saat disambut oleh gurauan dari beberapa orang teman sekelasku.



“Duh, yang mau bertemu pacar!”
“Pasangan baru kita masih kasmaran nih!”


Sorakan itu membuat senyum Hanbin semakin lebar bahkan wajahnya tersipu. Ekspresi wajahnya berubah seketika saat ia mengangkat pandangan dan melihatku sedang menatapnya. Aku diliputi ketegangan dan amarah, namun tidak mengalihkan pandangan darinya. Aku berhak menatapnya dengan penuh kebencian setelah apa yang dia lakukan padaku.



Dia mengangguk sambil mengulas senyum kaku kepadaku.
“Hai, Chaerin.”


Aku tahu semua orang di kelas menatap ke arahku yang sekarang sudah berdiri dengan ekspresi wajah penuh amarah. Tanpa menyapanya aku melangkah cepat keluar dari kelas. Aku harus segera keluar dari sana sebelum air mataku tumpah dan membuat kelihatan semakin bodoh.



Aku berjalan semakin cepat dengan perasaan kalut. Saking kalutnya aku menabrak seseorang di depanku cukup keras.
“Hati-hati dong!” protesnya jengkel.
“Aduh, kamu lumayan kuat ya Chaerin.”



Orang yang bertubrukan denganku adalah Minhyuk, Lee Minhyuk. Dia adalah teman sekelas Hanbin. Selain itu Lee Minhyuk merupakan salah satu anggota tim breakdance Hanbin. Aku lumayan akrab dengannya apalagi MinHyuk termasuk siswa populer yang pandai bergaul.



Aku tahu tubuh kami bertubrukan lumayan keras karena lenganku terasa nyeri. “Maaf  ya, aku sedang buru-buru jadi tidak melihatmu.” Tanpa bisa kukendalikan suaraku bergetar dan air mata yang sudah kutahan sejak tadi akhirnya menetes.


“Kamu baik-baik saja?”



Aku menunduk menghindari tatapannya. Aku tidak ingin kelihatan lebih menyedihkan. Tentu saja Minhyuk tahu soal Hanbin dan aku. Kalau dia sampai melihatku menangis pasti aku bakal kelihatan jauh lebih menyedihkan dari sebelumnya.


“Aku enggak apa-apa kok. Aku..” suaraku bergetar lagi kemudian sisanya aku terisak pelan.
“Chaerin… Kamu kenapa?



Aku hendak mengatakan sesuatu namun Minhyuk langsuung menyelak. “Ada Hanbin dan Jennie di belakangmu. Ini karena mereka ya?” katanya berbisik.



Kepalaku langsung mendongak dan sekujur tubuhku langsung siaga. Aku tidak mau berhadapan dengan mereka dalam kondisi semenyedihkan ini.


“Ikut denganku yuk!” Minhyuk menarik tanganku dan aku mengikutinya dengan pasrah.



Minhyuk menuntunku melewati beberapa ruangan. Pada saat itu aku tidak peduli kemana ia akan membawaku karena yang terpenting adalah aku bisa pergi dari sana secepatnnya. Dan aku tidak perlu menghadapi Hanbin dan Jennie, menyaksikan betapa bahagianya mereka berdua. Kemudian menyadari betapa kenyataan itu masih sangat melukai hatiku.



****




Pada hari itu dia membawaku ke taman belakang sekolah. Dia tidak memintaku untuk bercerita apapun. Dia hanya berkata akan menemaniku sampai aku merasa tenang.



“Mungkin kita bisa tetap di sini sampai waktu istirahat selesai. Aku ingin menghindari kelas Pak Kim, aku belum mengerjakan PR,” katanya lagi setelah berpikir serius.


Aku beralih menatapnya, dia mengulas cengiran lebar sampai matanya menyipit. “Aku rasa aku setuju.”

“Aku tidak bisa kembali ke kelas dengan mata merah begini.” Aku menunduk, mengamati kedua tanganku yang mengepal.

“Aku tidak ingin dikasihani lagi.”



Minhyuk tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak berusaha memberiku kalimat menghibur. Seharusnya aku merasa canggung, tapi saat itu aku merasa tenang. Seolah menangis dan termenung di taman sekolah bersama Minhyuk memang hal yang kubutuhkan.



Setelah cukup lama terdiam, dia berkata lagi dengan pandangan menerawang jauh ke depan.
“Menangis itu baik buat jiwamu. Setidaknya begitulah yang kakakku bilang.” Dia mengangkat bahunya dengan gaya cuek.



“Menangis saja sepuasmu dan luapkan semua rasa marahmu. Biarkan dirimu mengeluarkan semua emosi negatif itu. Kalau mau menyumpahi mereka pun boleh saja. Aku siap mendengarkannya,” sambungnya dengan wajah sok tahu.



Dia menunjuk dirinya sendiri dengan penuh kebanggaan. “Aku punya tiga kakak perempuan dan mereka cukup sering menangis karena laki-laki. Jadi aku cukup berpengalaman menghadapi perempuan yang sedang patah hati.”

“Terimakasih.”



Semenjak hari itu, aku semakin akrab dengan Lee Minhyuk. Dia sangat memahamiku dan berusaha untuk membuatku tersenyum. Tingkahnya yang lucu, bawel, dan terkadang terlalu aktif membuatku terhibur. Kami sering bertukar pesan setiap malam dan berkirim tautan unggahan soal patah hati yang ada di media sosial. Kami juga sering berdebat mengenai apa saja, seperti sikapnya yang suka bolos dari mata pelajaran yang tidak dia sukai atau sikapku yang terlalu mudah percaya dengan orang lain.



Dan tidak jarang kami belajar bersama sepulang sekolah. Kami akan pergi ke restoran cepat saji, memesan ayam goreng, kentang goreng, dua gelas soda, dua es krim sundae. Aku mengeluarkan buku pelajaran dan catatan yang kemudian disambut dengan protesnya. Ujian akhir semester akan segera datang dan lebih baik kalau kami mempersiapkan diri lebih awal.



Lambat laun aku menikmati kebersamaan kami. Minhyuk adalah teman yang sangat setia terlepas dari kegemarannya untuk mendebat apapun pendapatku. Bersamanya aku tidak perlu selalu bersikap manis dan hati-hati. Dia menerimaku apa adanya. Dia mendengarkan keluhanku, mengomeliku saat aku terus menangisi Hanbin, mengeluh soal diriku yang boros, tertawa bersamaku keras-keras untuk hal-hal remeh.


“Kamu sudah tidak sedih lagi?”
“Kenapa?”


“Sekarang kamu tidak menghindari Hanbin dan Jennie lagi. Jangan kira aku tidak memperhatikan ya,” katanya sebelumnya memasukkan es krim ke mulutnya.
“Ya, aku merasa lebih baik sekarang. Aku sudah kuat sekarang, walaupun harus kuakui sepertinya aku tidak bisa memperlakukan Hanbin seperti sebelumnya.”
“Itu adil. Dia tidak memberimu kepastian padahal punya perasaan dengan orang lain.”



Aku mengangguk lalu menyedot soda yang sudah tinggal setengah.

“Kalau aku jadi dirimu sih aku bakal bikin keributan dulu sebelum akhirnya move on ,” tandasnya sambil menyeringai jahil.
Aku memutar mata, “Untungnya aku bukan drama queen sepertimu. Aku sudah kelihatan bodoh tanpa melakukan hal seperti itu.”


Well, aku memang suka drama. Kehidupan di sekolah pasti bakal lebih menyenangkan kalau banyak keributan.” Kepalaku menggeleng tak habis pikir dengan cara berpikir Minhyuk yang ajaib.


“Jadi itu ya yang membuatmu melepaskan katak di dalam kelas sampai semua teman-teman sekelasmu serta Bu Mija menjerit-jerit dan berhamburan keluar kelas?”



Bukannya malu, dia justru membusungkan dadanya dengan bangga. “Aku membuat suasana kelas yang membosankan menjadi lebih hidup. Suatu kehormatan bisa melakukannya,” ujarnya sambil tersenyum puas.



Melihat senyum lebar Minhyuk yang kekanakan membuatku ikut tersenyum. Meskipun tingkahnya lebih sering tidak masuk akal dan konyol, aku merasa sangat bersama Minhyuk. Tanpa kusadari sosoknya yang semula hanya kuanggap sebagai teman mencurahkan isi hati kini bergeser menjadi sosok yang ingin kutemui, kuajak bicara soal apa saja, bertukar cerita konyol, dan menghabiskan waktu bersama.



Namun otakku langsung mengirim sinyal peringatan untuk berhati-hati. Minhyuk memang sangat baik dan membuatku bahagia, tapi sikapnya juga seperti itu pada teman-teman perempuannya yang lain. Aku tidak berani berharap terlalu banyak dengan kedekatan kami. Aku menikmatinya, tapi aku berusaha untuk tidak jatuh hati. Walau aku rasa aku mulai mengaguminya.



Sampai di situ aja. Biar bagaimanapun aku harus belajar dari pengalaman, kan?




END


Assalamualaikum semuannya!!!
Sebelumnya mau mengucapkan ‘Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin’ . Semoga kalian tetap sehat ya dimanapun kalian berada.

Oke, akhirnya aku bisa balik lagi ke sini setelah menghilang sangat lama. Sebenernya aku masih sering ngecek blog ini sih, tapi gak tau mau post apa karena aku juga enggak nulis apa-apa.

Padahal waktu pertama kali diumumkan PSBB aku udah rencana mau produktif nulis gitu. Rencananya… tapi ternyata hanya sebatas angan-angan. Aku merasa sibuk, tapi enggak tahu ngapain tiba-tiba udah malem aja. Sekalipun kepikiran mau nulis, langsung bikin excuse macem-macem hingga akhirnya aku tidak menulis. Jadinya aku sering ngerasa kesel, kecewa, dan menyesal.

Makanya aku berpikir aku harus nulis sesuatu, membulatkan tekad untuk nulis sampai selesai gak peduli sesulit apapun itu untuk menerjemahkan imajinasi di otakku ke dalam kalimat. And then here we are. Aku berhasil menyelesaikan ff ini dong!  Lumayan lega yaa…

Terimakasih untuk kalian yang sudah baca ff ini. I hope we will meet very soon. Sekian dari aku, karena stok kata di kepalaku sudah mulai habis.



See You,

GSB

Comments

Popular Posts