Businesship Part 8



Tanpa terasa, satu minggu yang lain telah berselang.


Jaehyun yang akhir-akhir ini rutin pulang pagi—kadang bahkan tak pulang sama sekali—mengetuk pintu kamar Sanghyeon dengan amat letih. Dia memberi Sanghyeon tatapan penuh penyesalan sebelum menghela napas dalam-dalam dan berkata, “Maafkan aku. Tapi semuanya sudah berakhir.”


Sanghyeon tercenung. Ia ingin membalas perkataan letih itu. Sebab rasanya sungguh tak tega. Bukan hal menyenangkan melihat Jaehyun yang senantiasa berlagak angkuh menjadi sebegini putus asa. Sorot matanya penuh luka—efek menyalahkan diri sendiri yang terlampau keras.


Namun sayangnya saat itu Sanghyeon tak sanggup berkata-kata. Suaranya terperangkap di suatu tempat di tenggorokannya.


“Jaehyun-ssi,” Ia mencoba mengulurkan tangan, upaya lemah guna memberi penghiburan. Namun belum sempat tangannya menyentuh tangan Jaehyun, pria itu malah berbalik badan dan pergi begitu saja.


Paginya, saat memeriksa ponsel, Sanghyeon melihat pesan masuk dari Jaehyun.


Pilihannya adalah jam 11 malam ini. Atau besok lusa jam 2 siang.
Maksudku penerbangan ke Seoul.
Pulang. – Jaehyun.


Sanghyeon menghela napas gusar sebelum membalas. “Terserah padamu,” tulisnya.


Tidak. Terserah padamu. – Jaehyun.


Kalau begitu aku mau yang lusa.


Dia tak siap jika harus pergi hari ini. Pergi lusa atau bahkan bulan depan pun sebenarnya juga tak siap. Tak ingin. 



**********



Blazer hitam yang memeluk tubuh Jaehyun membuatnya tampak lebih seperti karya seni ketimbang biasanya. Simpul dasi sewarna ruby yang melingkari lehernya mengilap di bawah cahaya lampu. Di sekitar dadanya terdapat lebih banyak warna senada, menjangkau ke belakang membentuk motif-motif rumit.


Jaehyun menyukai setelan blazer itu sama seperti Sanghyeon menyukainya. Perasaan hangat menguasai hatinya saat pertama kali ia membuka kotak dari sang gadis. Itu adalah hadiah yang menawan. Awalnya Jaehyun sempat khawatir karena tak menemukan Sanghyeon di penthouse. Ia bahkan nyaris mengomel saat Sanghyeon akhirnya kembali beberapa menit sebelum jam tujuh. Menghilangnya Sanghyeon menghadirkan ribuan prasangka buruk di kepalanya; apa dia kabur karena tak mau pulang? apa dia diculik Youngho? atau diculik saingan bisnisku yang lain? Sama sekali tak terbersit di benak Jaehyun kalau gadis itu ternyata pergi membelikannya sesuatu.


“Hari ini aku sadar betapa buruknya aku sebagai rekan 'kerja'-mu. Bagaimana bisa aku membutuhkan waktu sebanyak ini sebelum memberimu sesuatu?” Sanghyeon mendecakkan lidahnya merutuki diri sendiri. “Aku cepat-cepat pergi ke mal begitu membaca pesanmu. Besok siang kita akan meninggalkan Las Vegas. Kau sudah memberiku begitu banyak, sedangkan aku cuma bisa menyusahkan.”


“Kau tidak menyusahkan.”


Sanghyeon tersenyum. “Benarkah?”


“Tentu saja. Lagi pula dalam rangka apa kau memberiku hadiah? Apa ini semacam kenang-kenangan?”
“Anggaplah begitu.” Saat mengatakannya, Sanghyeon hampir-hampir tak mampu mengangkat kepalanya untuk menatap Jaehyun. Dia berbohong. Sebenarnya dia tidak pergi ke mal setelah membaca pesan Jaehyun. Dia pergi ketika membaca pesan Sicheng.


“Jaehyun-ssi.”                                            
“Ya?”
“Apa kau menyukainya?”
“Aku suka.”
“Bagus. Kalau begitu kau harus memakainya untuk acara malam ini.” 


Jaehyun terdiam.


“Kenapa tak bilang padaku kalau ada acara perpisahan dengan staf Amerikamu?” Sanghyeon menyedekapkan tangan. “Untung saja Sicheng memberitahuku.”


“Aku tak memberitahumu karena aku memang tak akan datang.”
“Kenapa?”
“Kau masih tanya kenapa?”
“Ya.”
“Aku mengecewakan semua orang, Sanghyeon~a.” Jaehyun memejamkan mata seraya mendecakkan lidahnya. Dia sungguh tak mau menghadiri acara itu. Sudah teramat malu untuk menunjukkan batang hidungnya di depan semua orang.


“Kenapa kau berpikir itu salahmu?”
“Sanghyeon…”
“Sicheng memohon padaku. Dia bilang mereka sangat mengharapkan kedatanganmu,” sela sang gadis, kemudian menghela napas dalam-dalam. “Tolong jangan begini. Jangan berikan perpisahan yang pahit pada karyawan yang sudah bekerja keras bersamamu selama berbulan-bulan. Jangan anggap ini sebagai kegagalan, anggaplah sebagai pelajaran. Aku yakin kau bisa kembali ke sini secepat mungkin dan menyelesaikan proyeknya.”


Jaehyun tidak bisa melakukan apa pun ketika Sanghyeon menarik tangannya dan menatapnya dengan mata berpendar. “Lagi pula ini akan jadi acara terakhir kita di Las Vegas.” Suaranya memelan. “Mungkin bukan hanya di Las Vegas. Ini akan jadi kali terakhir aku bisa berpura-pura menjadi pacar CEO perusahaan besar. Jadi please, kabulkan permintaanku. Ayo kita pergi. Ayo minum-minum sampai kerongkongan kita lepas.”


Jaehyun mendenguskan tawa. “Baiklah.”


“Hebat!!” Sanghyeon berseru kegirangan. “Tunggu di sini!! Aku akan ganti baju.”



*********



“Wah! Apa yang kauperbuat hingga berhasil membuat Pak Bos berubah pikiran?” desis Sicheng, memelototi Sanghyeon penuh kekaguman sebelum mengedikkan dagunya ke arah Jaehyun, menunjuk pria yang sedang menjadi pusat perhatian itu tanpa menggunakan tangannya.


Sanghyeon yang semula sedang memilih-milih minuman pun menoleh pada Jaehyun. Dengan gaya khasnya, pria itu memberi pidato singkat berupa permintaan maaf dan terima kasih di depan meja bar.


Sanghyeon lantas menyeringai pada Sicheng sembari menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. “Ah, Dong Sicheng, pertanyaan macam apa itu!” katanya dengan nada manis dibuat-buat. “Tanpa harus berbuat macam-macam pun tentu saja Jaehyun akan menuruti permintaanku. Kami kan sedang dimabuk kepayang.”


“Kau serius?”
“Yah! Menurutmu bagaimana?” Nada manisnya seketika berganti menjadi racauan, lengkap dengan ekspresi geram yang tiba-tiba keluar. “Cih, tentu saja tidak! Aku cuma membelikannya baju.” Sanghyeon lantas menenggak minuman pilihannya—wiski Jepang—penuh emosi, membiarkan tenggorokannya terbakar sebelum mengernyit dan berbalik badan mengambil gelas yang lain.


“Benar-benar tidak waras Pak Bos itu! Bagaimana bisa tinggal serumah selama dua bulan dengan lawan jenis tanpa jatuh cinta?” gumamnya tak kalah emosi. “Apa kau mau dibuatkan rencana baru?”


“Tidak usah. Lagi pula besok semuanya berakhir. Begitu sampai di Seoul, aku akan pulang ke rumah orangtuaku dan dia akan pulang ke rumahnya. Hubungan bisnis superaneh ini akan selesai.”


“Tapi rencanaku yang sekarang tidak mungkin gagal. Begini…”
“Kubilang tidak usah. Memangnya siapa yang mau dengar rencana bodohmu!”
“Bodoh? Nona, apa kau sadar gara-gara rencanaku kemarin, membuat kalian menginap di kamar yang sama selama di California, Pak Bos jadi bertingkah manis keesokan paginya? Kau bilang dia mengajakmu kencan ke pantai dan memegang tanganmu, kan? Itu artinya rencanaku berhasil. Andai saja hari itu kau bisa lebih sabar sedikit! Andai saja kau bisa tutup mulut dan ikuti saja alurnya, mungkin kalian sudah menjadi sepasang kekasih sekarang.”


“Bagaimana mungkin itu salahku!” Suara Sanghyeon melengking tak terima.
“Tentu saja itu salahmu. Pak Bos masih ragu dengan perasaannya tapi kau malah menyerangnya minta kepastian. Aku yakin Pak Bos sebenarnya mulai melihat sesuatu dalam dirimu hari itu tapi gara-gara ketidaksabaranmu itu, dia jadi mundur lagi.”


Sanghyeon mendecak sembari mengangkat segelas wiski baru hendak menenggaknya lagi, namun Sicheng menahannya. “Berhubung sudah tak ada banyak waktu, rencana kali ini agak sedikit agresif.”


Perkataan itu membuat Sanghyeon hampir tertawa. Apa Sicheng kira membuat ia dan Jaehyun menginap di kamar yang sama belum cukup agresif?


Sambil menggelengkan kepala, ia menyentak tangan Sicheng dan menenggak minumannya.


“Malam ini, buat Pak Bos mabuk dan cium dia.”


Sanghyeon praktis tersedak. Ia terbatuk-batuk dan meletakkan wiskinya kembali ke meja. Dan bahkan ketika Sanghyeon masih berjuang meredakan batuknya, Sicheng tetap saja mengulurkan wajahnya mendekati Sanghyeon dan mengutarakan rencananya dengan yakin. “Ini pasti berhasil. Kau tahu, kan? Kontak fisik adalah jendela hati.”


Sanghyeon menatapnya dengan pandangan mencela. Sejak kapan kontak fisik adalah jendela hati? Mata adalah jendela hati.


“Bukan begitu quotes-nya.”
“Begitu, kok. Sudah kurevisi.”
“Jangan sembarangan merevisi quotes orang!”
Quotes apa?” Keduanya refleks menoleh dan terperanjat melihat Jaehyun.
“S-sejak kapan kau di sini?” tanya Sanghyeon terbata. Gara-gara ucapan Sicheng, ia jadi bersemu sendiri saat melihat wajah Jaehyun. Kepalanya secara otomatis membayangkan beragam posisi berciuman yang panas.


“Aku memanggilmu dari tadi. Tapi kau tak dengar.”
“Begitu, ya? Maaf. Aku sedang ngobrol dengan…” Sanghyeon menoleh ke sebelahnya sambil mengulurkan ibu jari, namun Sicheng sudah menghilang entah ke mana.


“Mau duduk di sana?” tawar Jaehyun, mengabaikan kebingungan Sanghyeon dan menunjuk meja bundar kosong tak jauh dari tempat mereka berdiri.


Sanghyeon menelan ludah. Masih tak mampu menatap mata Jaehyun. Namun tetap mengangguk. “Okay.”



**********



Begitu Jaehyun duduk, jamuan makan malam langsung dihidangkan tepat di hadapannya. Ia mempersilakan Sanghyeon untuk makan tapi gadis itu cuma mengangkat gelas alkoholnya—menolak. Jaehyun sendiri nampaknya sedang sama tidak berseleranya dengan Sanghyeon. Ia memanggil Mr. Andrew, kepala departemen pemasaran beserta tiga orang stafnya—yang kebetulan lewat—untuk bergabung di meja bundar mereka. Keempatnya yang memang sedang mencari tempat duduk langsung setuju dengan wajah girang. Jaehyun pun menggeser posisi duduknya lebih dekat pada Sanghyeon supaya keempat orang itu bisa muat di sofa.


Obrolan basa-basi pun dimulai. Sanghyeon terlalu bosan untuk mendengarkan. Selama mereka bercakap-cakap, gadis itu hanya melamun menatap kejauhan. Hingga akhirnya ia merasakan lututnya beradu dengan milik Jaehyun. Awalnya Sanghyeon tak bereaksi. Ia kira Jaehyun tak sengaja. Namun lututnya beradu sekali lagi. Dan sekali lagi. Sanghyeon pun meletakkan gelasnya, kemudian perlahan-lahan mendongak pada Jaehyun—yang ternyata juga tengah memerhatikannya.


Sebelah alis Sanghyeon terangkat seolah mengatakan ‘apa?’.


Bukannya menjawab, Jaehyun malah kembali mengarahkan tatapannya pada Mr. Andrew.


Sanghyeon mendengus. Berpaling dari Jaehyun dan melanjutkan lamunannya.


Bagaimana reaksi orangtuaku nanti saat aku tiba-tiba pulang? Apa lebih baik sewa flat dekat kampus saja? Tapi kalau begitu, sampai kapan aku akan memutus hubungan dengan orangtuaku begini? Harusnya masalahnya sudah selesai, kan? Harusnya orangtuaku sudah belajar.


Saat itu, Sanghyeon merasakan tangan Jaehyun mendarat di lututnya. Dengan panik, ia menoleh pada Mr. Andrew dan para bawahannya—yang untungnya tidak sadar. Semuanya masih sibuk menjejalkan makanan dan berceloteh soal ‘kerja keras yang berakhir sia-sia’ dengan tampang menyesal.


Mungkin ini karena empat gelas wine yang Jaehyun tenggak, atau mungkin karena faktor emosional yang sedang membebaninya, Jaehyun jadi lebih provokatif dan terus menatapnya dengan sorot sayu sepanjang malam. Sekali lagi Sanghyeon merasakan tubuh Jaehyun bergeser mendekatinya. Tangannya terangkat dan merentang di belakang kepala Sanghyeon secara natural saat ia bicara. Kemudian pria itu merundukkan wajahnya ke sisi Sanghyeon seolah hendak membisikkan sesuatu. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Posisi mereka sudah setengah berpelukan sekarang. Entah terlihat sedekat apa di mata orang.


Sanghyeon tahu Mr. Andrew sedang memerhatikan, tapi tentu saja pria itu tak mengatakan apa-apa. Yah, memangnya dia mau bilang apa pada bosnya? Jangan bermesraan di tempat umum?


Pada akhirnya Sanghyeon berhenti peduli pada sekitarnya dan memejamkan mata. Tangan Jaehyun bergerak mengusap tengkuknya. Kemudian menyusuri kulit punggungnya dengan sentuhan sehalus sutra. Segalanya terus berlanjut.


Sanghyeon menggeliat dalam rangkulan Jaehyun saat ujung-ujung jari pria itu mulai turun dan membelai pinggangnya. Pertemuan kulit yang samar ini membuatnya putus asa. Sanghyeon menelan ludah dan memutuskan untuk kembali mendongak guna melihat ekspresi sang pria. Dilihatnya pipi Jaehyun yang merah dan tatapannya yang sudah tak bisa fokus, namun walaupun begitu ia masih saja berusaha menjaga reputasinya dan membalas semua perkataan rekan-rekan kerjanya dengan sopan.


Ini akan jadi malam yang panjang. Sanghyeon memerhatikan Jaehyun yang sedang mengangguk-angguk menyetujui entah omong kosong apa yang dilontarkan Mr. Andrew, kemudian pandangannya turun begitu saja pada setelan yang Jaehyun kenakan. Sanghyeon menggigit rongga mulutnya menahan senyum. Ia sangat puas pada pilihannya, Jaehyun yang bersandar di sofa mewah dengan blazer hitam pas badan merupakan pemandangan yang terlalu sempurna untuk dilewatkan.


Saat itu, jemari Jaehyun tiba-tiba menelusup di antara jari-jarinya. Detik selanjutnya ia sudah ditarik berdiri, Jaehyun melempar senyum pada semua orang di meja sembari mengucapkan salam berpamitan. Tanpa penjelasan, dengan langkah tergesa, mereka berjalan menuju pintu keluar. Tapi tidak, mereka tidak ke sana. Sebelum benar-benar menjangkau pintunya, Jaehyun menuntun Sanghyeon berbelok di persimpangan yang tersembunyi dan tahu-tahu saja mereka sudah berada di lorong kosong yang entah menuju ke mana.


“Kalau mau ke parkiran, lebih baik lewat pintu utama saja,” kata Sanghyeon geram. “Apa sih tiba-tiba menyeret ke tempat begini? Badanku tadi tertabrak pot tahu tidak!”


Baru saja Sanghyeon berhenti meracau, Jaehyun membalikkan badan dalam sentakan mengejutkan dan langsung merundukkan kepala mencium bibirnya.


Itu bukan ciuman yang lama. Namun darahnya tetap saja menggelegak. Saat Jaehyun menarik diri, tubuh Sanghyeon serasa terbakar. Ia merindukan perasaan hangat yang pria itu hasilkan dan langsung menarik wajahnya lagi, mencium balik sang pria sembari mengalungkan tangan di lehernya erat-erat.


Waktu berlalu dengan cepat namun juga terasa lambat di saat yang sama. Sanghyeon bahkan tak bisa mengira-ngira berapa lama mereka berciuman. Yang ia tahu, ketika Jaehyun akhirnya kembali menarik diri dan bicara padanya, ia tak dapat mencerna satu pun perkataannya.


Sanghyeon mengatur napas dan menggigit bibirnya yang ngilu. Kemudian memejamkan mata seraya menyandarkan kepalanya di dada Jaehyun yang bergemuruh kencang, berdebar-debar hebat sama seperti miliknya.


Namun tiba-tiba saja Jaehyun mencengkeram bahu Sanghyeon dan memaksa gadis itu menatap matanya. “Kubilang jawab aku! Kau memerhatikanku sepanjang malam,” katanya kalut. Jaehyun mengguncang tubuh Sanghyeon dan menatapnya intens. “Apa yang harus kulakukan jika kau memerhatikanku sepanjang malam!”


Kening Sanghyeon berkerut-kerut. “A-aku memerhatikanmu?”


“Ya!”
“Kau yang memerhatikanku, Jaehyun.”
“Aku memerhatikanmu karena kau memerhatikanku duluan.”
“Huh?”


Jaehyun mengusap mukanya kuat-kuat sambil mengerang. Kelihatan frustrasi sekali sampai-sampai Sanghyeon merasa terhina.


“Kau menyesal?”
“Apa? Menyesal? Astaga, bukan menyesal!”
“Lalu?”
“Kau tak mengerti!”
“Tch, oke, anggaplah aku memang memerhatikanmu. Lalu apa? Apa kau mencium siapa pun yang memerhatikanmu?” Sanghyeon merasa seperti terbakar lagi. Namun kali ini bukan karena ia bergairah.


Jaehyun terlihat mencoba menenangkan diri. Ia memijit keningnya selama beberapa saat sebelum menarik napas dalam dan melembutkan suaranya. “Sanghyeon-ssi.”


“Apa!”
“Kau mengantuk?”
“Apa di matamu aku terlihat mengantuk!!!?”
“Malam ini, ketimbang pulang, mau jalan-jalan denganku?”


Sanghyeon tercenung.


Kontradiktif. Setelah menyesal sudah menciumku, sekarang dia malah mengajak jalan-jalan.


“Apa sih yang ada di kepalamu!”
“Kalau kau tidak mau…”
“Siapa bilang aku tidak mau?!” Sanghyeon menyambar panas. “Aku mau!”



**********



Beberapa kali punggung tangan mereka bersentuhan selagi berjalan. Dan hal seremeh itu berhasil membuat sekujur tubuh Sanghyeon meremang sampai langkahnya sedikit tertinggal. Akibat ciuman tadi, tubuhnya menjadi supersensitif dengan sentuhan seminim apa pun. Menggelikan.


“Jadi… aww.” Kata-kata Sanghyeon terpotong oleh erangannya sendiri.
“Kau terkilir?” Jaehyun menatapnya khawatir. Ia bahkan hampir berlutut untuk memeriksa kaki Sanghyeon, namun gadis itu langsung mencegahnya sambil meringis.


“Tidak apa-apa. Cuma tersandung. Aku tidak memerhatikan langkahku.”
“Kau pegal, ya? Maafkan aku. Harusnya kita naik mobil saja tadi.”
“Tidak, kok. Aku senang bisa jalan kaki begini. Udaranya sejuk. Pemandangannya juga cantik,” ujar Sanghyeon bersungguh-sungguh. “Sayang sekali kita baru melakukannya di hari terakhir kita di sini.”


Jaehyun bergumam setuju.


Kemudian tak ada yang bersuara lagi.


Hingga akhirnya Jaehyun berkata lima menit kemudian, “Kita sudah berjalan cukup jauh, mau duduk di sana?”


Dia benar. Mereka sudah berjalan cukup jauh, sama sekali tak punya tujuan dan belum terlibat percakapan sama sekali. Itu canggung dan Sanghyeon ingin mengakhirinya, namun dia malah tersandung. Sebenarnya bukan cuma tersandung, tumitnya sudah lecet dan kakinya berdenyut-denyut nyeri sekarang. Bagaimanapun juga, sepatu dengan hak sepuluh centi tidak diciptakan untuk berjalan-jalan di trotoar tak peduli sebagus apa pun trotoarnya.


Sanghyeon mengangguki tawaran Jaehyun dan mengekornya menuju kursi. Mereka duduk di kursi panjang bermaterial kayu yang menghadap ke taman kota. Saat itu sudah pukul setengah sebelas malam. Lampu-lampu berwarna oranye menyala terang di setiap sisi jalan. Suara alam—jangkrik dan gesekan dedaunan—serta kendaraan yang sesekali lewat menjadi latar yang menyenangkan. Sunyi dan gemerlapan. Benar-benar suasana sempurna untuk berkencan. Namun sayangnya mereka tidak sedang berkencan. Mereka sedang kebingungan. Masih kebingungan. Selalu kebingungan.


Setelah hampir sepuluh menit, Jaehyun masih saja tak mau buka mulut. Dia terus memandang ke depan dengan wajah tegang seolah sedang berpikir keras. Sanghyeon frustrasi sendiri dibuatnya. Ia kira Jaehyun mengajaknya keluar dari gedung pesta dan begitu saja melewati Kurt yang menunggu di parkiran karena ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya. Berdua saja. Empat mata. Namun nampaknya dugaannya salah. Jaehyun tak mau mengatakan apa-apa.  


“Jung Jaehyun-ssi, omong-omong, Kau harus menepati janjimu, ya.” Sanghyeon mencoba peruntungannya memancing pembicaraan.


“Janji?”
“Iya. Kau berjanji akan memberiku posisi di Jung Corp begitu aku lulus.”


Jaehyun tak menjawab.


“Aku tak minta jadi manajer, kok. Cuma staf biasa.”
“Aku akan mengatakannya pada Sicheng.”
“Kenapa harus ke Sicheng? Kau kan bosnya. Tenang saja, aku tak akan mengacaukan perusahaanmu.”


Perkataannya berhasil membuat Jaehyun tersenyum sedikit. “Baiklah,” katanya mengalah. “Tapi sebenarnya… seseorang sepertimu… bahkan tanpa bantuan siapa pun, pasti akan dapat posisi di sana, Sanghyeon-ssi.” Jaehyun menoleh padanya dan mengumbar senyum melemahkan hati. “Kau cemerlang.”


Seketika itu juga Sanghyeon merasa langit tersibak dan menyorotnya dengan cahaya yang cemerlang.


Cemerlang adalah kata favorit Sanghyeon di dunia. Pujian semacam itu, terlebih dari mulut manis Jaehyun, membuatnya—secara mental—melayang-layang di angkasa.


“Sanghyeon-ssi.” Sanghyeon berusaha menenangkan diri dari euforia konyolnya dan menoleh pada Jaehyun dengan wajah bersemangat. Pria itu melanjutkan dengan ragu-ragu. “Aku… sebenarnya ingin mengucapkan terima kasih padamu.”


Sanghyeon meremas tangannya dengan gemas. Kenapa harus jauh-jauh ke sini kalau cuma mau berterima kasih?


“Tidak, harusnya aku yang bilang terima kasih,” Sanghyeon menyahut tegas. “Kaulah yang mengubah hidupku. Benar-benar membaliknya 180 derajat. Lagi pula…”


“Apa itu di kakimu?” Jaehyun tiba-tiba memotong.
“Apa?”
“Ya ampun! Apa yang terjadi dengan kakimu?” Dengan dramatis Jaehyun melompat dari kursi dan berlutut di hadapannya. Dan untuk kali ini, Sanghyeon tak sempat mencegahnya.


“Bukan apa-apa. Cuma lecet.”


Jaehyun melepas heels yang dipakai Sanghyeon dengan hati-hati. Namun Sanghyeon tetap meringis saat bagian tumitnya tergerus.


“Lukanya harus diobati.”
“Huh? Jangan berlebihan! Sini heels-ku.”


Jaehyun menjauhkan sepatu hak tinggi itu dari jangkauan Sanghyeon dan berucap khawatir. “Aku akan menyuruh Kurt membelikan plester luka dan menjemput kita di sini.”


“Ya, terima kasih. Tapi tolong jangan memegang heels-ku begitu. Itu kotor, Jaehyun.”


Saat itu, Jaehyun sudah mengeluarkan ponselnya dan menelepon Kurt. Selama ia bicara, Sanghyeon terus mencoba mengambil heels di tangan sang pria. Namun Jaehyun kukuh menghalaunya. Mengulurkannya semakin ke belakang dan terus ke belakang setiap kali tangannya nyaris sampai.


“Kau mau sekalian dibelikan sendal?” tanya Jaehyun di sela-sela panggilannya.
“Apa-apaan! Tidak usah!”
“If it’s available, then buy a slipper too,” ujar Jaehyun pada Kurt. “Preferably the glittery one. She likes her things sparkling.”


“Astaga!”


Untuk apa bertanya dulu jika pada akhirnya memutuskan sendiri!!


Sanghyeon bangkit dari duduknya dan langsung merampas heels-nya dari tangan Jaehyun. Di saat yang sama, Jaehyun mematikan sambungannya dengan sang sopir dan ikut berdiri, menjulang di hadapan sang gadis.


“Kakimu jadi kotor.”
“Tidak apa-apa. Aku bukan putri raja,” balas Sanghyeon. “Terluka dan kotor sama sekali bukan masalah buatku.”
“Tapi itu masalah buatku.”
“Kau pikir kau siapa?” sambar Sanghyeon muak. “Jung Jaehyun! Ya Tuhan! Kalau kau terus bersikap begini, bagaimana caranya aku berhenti suka padamu? Coba jelaskan bagaimana caranya! Kau sadar tidak sih sudah membuatku berdebar berapa kali malam ini? Kenapa mengajak jalan-jalan?! Kenapa menyebutku cemerlang?! Kenapa menciumku?!!”


Alih-alih menjawab, Jaehyun malah kembali mendudukkan diri di kursi dan diam seribu bahasa. Ia bahkan mendesah penuh beban seolah habis divonis mati.


Melihat reaksinya itu, bagai sumbu yang tersulut api, dengan cepat kefrustrasian Sanghyeon mencapai puncaknya. Ia menumpahkan keluh kesahnya tanpa memedulikan apa pun lagi.


“Kau tahu apa kata Sicheng? Dia bilang semuanya salahku. Dia bilang aku tidak sabar dan menyerangmu saat kau masih ragu dengan perasaanmu. Dia bilang tidak seharusnya aku menuntut kepastian terlalu cepat. Tapi setelah memikirkannya, kukira itu bukan salahku.” Sanghyeon merasakan kepalanya bergetar saking kesalnya. “Apa yang membuatmu ragu begitu lama? Ini hari terakhir kita di Las Vegas, apa kau mau mempermainkanku sampai akhir? Kalau kau suka, nyatakan! Kalau tidak, menjauhlah! Buat batas! Jangan berdiri di tengah-tengah dan membuatku lelah!”


Jaehyun menatapnya. Dan cuma menatapnya.


Sanghyeon hampir hilang akal. Air matanya berjatuhan. “Sekarang kutanya sekali lagi,” katanya, tersedak dan menangis, “Kenapa kau menciumku?”


Tak ada jawaban. Jaehyun termenung selama beberapa saat sebelum memalingkan wajahnya dari Sanghyeon.


Sanghyeon menyerah. Ia mendesahkan senyum getir dan mengangguk. “Okay, aku mengerti.”


“Apa yang kau mengerti?”
“Aku tahu jawabannya.”
“Apa?”
“Karena kau ingin,” cela Sanghyeon.


Sewaktu di Fort Funston, saat Sanghyeon menanyainya alasan serupa—mengapa kau mengajakku jalan-jalan ke pantai, jawaban Jaehyun adalah itu. ‘Aku cuma ingin melakukannya’. Dan Sanghyeon merasa bodoh sekali karena tak memikirkannya lebih awal. Alasannya sesederhana itu.


Di waktu yang bersamaan, mobil Nissan Jaehyun berhenti di seberang taman. Jaehyun pun berdiri. “Sudah cukup. Ini…” Ia melepas pantofelnya di hadapan Sanghyeon, “Pakai sepatuku,” suruhnya, kemudian merebut heels dari tangan Sanghyeon dan bertelanjang kaki berjalan menuju mobilnya.


Sanghyeon mendengus. Ia menendang pantofel Jaehyun sekuat tenaga sebelum berjalan menyusul sang pria untuk merebut balik heels-nya. Selagi langkah mereka sejajar, Sanghyeon tak lupa menabrakkan bahunya dengan kencang ke lengan Jaehyun, kemudian mendahuluinya menuju mobil.


Emosi sudah membeludak di kepala Sanghyeon sampai ia tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Bahkan jika Jaehyun marah dan memutuskan untuk meninggalkannya menggelandang di Las Vegas pun ia tak peduli.



**********



Tak sampai sejam sejak mereka tiba di penthouse, pintu kamar Sanghyeon diketuk beberapa kali. Namun sang pemilik kamar sedang merasa amat buruk hingga enggan membukanya. Lagi pula memangnya mau apa? Jaehyun punya banyak waktu selama di taman dan mobil tapi tak mengatakan apa pun padanya. Apa yang membuatnya ingin mengatakan sesuatu sekarang?


Dalam posisi berbaring, Sanghyeon menatap pemandangan spektakuler yang tersaji di balik jendelanya. Namun tak peduli seindah apa pun pemandangan itu, ia tetap saja tak bisa menghargainya. Hatinya sudah hancur total akibat percakapan di taman tadi. Ia terus menangis dan menggerutu. Apa yang sangat rumit dari memberi jawaban? Tinggal katakan ya atu tidak. Yeah, Sanghyeon tahu diam pun merupakan jawaban. Tapi masalahnya, sikap Jaehyun padanya tidak mencerminkan jawaban yang selaras.


Apa Jaehyun menikmatinya? Apa menarik ulur perasaan orang membuatnya bahagia?


Karena terlalu lama menangis, tenggorokan Sanghyeon pun mulai kering. Saat itu sudah hampir jam empat pagi. Jaehyun tak mungkin masih terjaga di luar. Sanghyeon tak menyia-nyiakan kesempatan itu dan langsung bangkit untuk mengambil minum.


Namun baru saja membuka pintu, ia dibuat tertegun.


Persis di depan pintunya, tergeletak plester luka bergambar rilakkuma, flat mules Jimmy Cho berwarna light gold gemerlapan dan selembar kertas post-it kuning bertulis maafkan aku.


Sanghyeon terenyuh.


Gadis itu membenci dirinya yang luluh begitu mudah. Ia menarik napas dalam sementara hatinya yang keras semakin melunak. 


Tadi saat di mobil, Kurt berkata dengan aksen selatannya yang kental bahwa ia tak menemukan supermarket di sepanjang perjalanan dari gedung pesta ke taman. Alhasil ia belum bisa membelikan plester luka alih-alih sendal sebagaimana perintah Jaehyun. Dan sekarang, entah dengan kekuatan magis apa, Jaehyun berhasil mendapatkannya.


Selama beberapa saat Sanghyeon berpikir untuk meninggalkan mereka begitu saja di depan pintunya. Tak tersentuh. Supaya Jaehyun terluka. Tapi Sanghyeon tak bisa melakukannya. Jangankan mengabaikan, ia justru amat menghargainya. Tanpa bisa menahan diri, Sanghyeon langsung menempelkan plester superlucu itu di tumitnya yang lecet, memasukkan post-it kuningnya ke saku celana piamanya, bahkan memakai sendal barunya menuju dapur. Seperti orang yang tak punya pendirian. 


Benar-benar tak punya pendirian.


Bisakah aku marah dengan lebih serius?


Menyebalkan rasanya bertengkar dengan seseorang seperti Jaehyun. Dia adalah tipikal orang yang membuatmu frustrasi setengah mati tapi tetap saja tak bisa kau benci. Sedikit pun tak bisa.


TBC


Part selanjutnya bakal jadi part terakhir yey. Semuanya doain aku dong, semoga aku tau mau nulis apa~ *nangis* Nulis part ini aja butuh 3 bulan saking gak kebayangnya mau diakhirin kaya gmn~






Comments

Popular Posts