#20 F.R.I.E.N.D.S - Produce 45
Main Cast : Kim Donghyuk, Nam
Chaerin (OC)
Genre : Friendship, Romance
Length : Drabble (1230 words)
Author : Salsa
**********
Kim Donghyuk.
Sejujurnya tak banyak yang bisa
kuceritakan dari pria nomor 20 ini.
Aku mengenalnya saat usiaku masih
13 tahun. Dia adalah senior satu tahun di atasku. Dia juga adalah adik dari Kim
Seokjin, manusia paling tampan se-Korea. Orangtua mereka berjualan hotteok di
depan sekolah dan aku merupakan pelanggan tetap di sana. Bukan hanya karena
sering dibonusi beberapa potong, tapi juga karena rasanya yang tak ada duanya.
“Terus bagaimana lanjutannya dengan
Junhoe?”
“Lanjutan apa? Aku bahkan tak
pernah mengaku suka padanya.” Ibu Donghyuk memasukkan dua potong hotteok gratis
ke kantong kertasku. “Wahh, terima kasih, Tante.”
“Ibuuuuuu… dia kan cuma beli lima,”
rajuk Donghyuk usil. “Berhenti ditambah-tambah. Nanti kita bangkrut.”
Sambil berlalu, ibu Donghyuk
melambaikan tangannya menyuruh si berisik di sampingku ini diam. Setelah ibunya
menghilang di balik tirai, Donghyuk kembali mengarahkan fokusnya padaku. “Kalau
ke Lucas sudah bilang?” tanyanya santai. Ia bersender miring di konter hotteok,
mencomot satu dan membawanya ke mulutnya.
Aku malas menjawabnya karena tahu
dia cuma ingin menggodaku. Memutar mata, aku mengambil satu hotteok dari kantongku
dan meniup-niupnya.
“Kalau ke kakakku? Belum bilang
juga?”
Kegiatan meniupku langsung
terhenti. Hotteok yang sudah kujepit di ujung kini terlepas dan jatuh lagi ke
dasar kantong. Aku memelototi Donghyuk dan menyikut perutnya. “Sudah gila, ya?
Mengucapkan itu di sini? Bagaimana jika ibumu dengar?”
“Seokjin hyung sedang bertengkar
dengan Seul Ra noona, loh.”
“Kubilang diam, dasar sialan!
Nanti ibumu…”
“Ibuku di dapur!” potongnya.
Sambil cengengesan Donghyuk memeluk perutnya yang baru kusikut dengan sebelah
tangan. “Lagian apa gunanya memendam perasaan begitu? Lama-lama kau bisa kena
liver!”
Saat itu ibu Donghyuk kembali
dari balik tirai dan langsung membuat wajah terkejut berlebihan melihat kami
masih di sini. “Kenapa tidak kembali ke sekolah? Ayo cepat pergi. Kalian akan
terlambat kelas malam.”
“Aku menjaga kontermu, Bu. Aku
takut Chaerin diam-diam mengambil lebih banyak hotteok lagi. Kita bisa
bangkrut.”
Aku refleks menyikut perutnya
lagi. Donghyuk sok sok meringis sambil setengah membungkuk memeluk perutnya.
Anak ini hobi sekali membuatku malu.
“Tante, kami permisi dulu,”
kataku sambil menarik kemeja Donghyuk.
Ibu Donghyuk mengangguk-angguk.
Tangannya bergerak-gerak cepat seakan sedang mengusir. Dan yah, begitulah
rutinitas kami berdua hampir tiap sore. Kami istirahat di luar. Jajan di kedai-kedai
kecil di sekitar sekolah—kebanyakan cuma di konter hotteok milik ibu Donghyuk.
Lalu berjalan kembali ke sekolah, memakan jajanan sambil mengobrol tentang
cowok yang kutaksir atau cewek yang dia taksir. Berpisah di lorong perpustakaan
untuk mengikuti kelas malam. Donghyuk naik ke kelasnya di lantai dua sementara
aku lurus ke kelasku di lantai satu.
Aku ingat kami dekat tahun lalu,
saat kelasku dipasangkan dengan kelasnya selama ujian tengah semester. Tapi aku
tak ingat percakapan apa tepatnya yang membuat kami sepakat untuk terus
melakukannya. Tahu-tahu saja sudah begini. Tahu-tahu saja kami merasa
supercocok hingga terus menghabiskan waktu istirahat sore bersama-sama begini.
“Heh Kacamata! Nanti pulang
sekolah temani aku ke rental VCD!” Donghyuk tiba-tiba berteriak dari lantai dua
sampai membuat kaget murid-murid lain. Aku mendongak dan mendelik sebal
padanya. Kemudian menutupi mukaku dengan kantong hotteok dan berlari ke kelas.
*********
Donghyuk buru-buru berlari begitu
kakinya menginjak karpet tempat rental. Bak balita dikasih permen, pria itu
kelihatan luar biasa bahagia. Mengacungkan 2 VCD anime padaku dengan tampang
berseri-seri. Aku tak tahu anime apa itu. Aku bahkan tak suka anime. Yang aku
tahu, dia sudah menunggu-nunggunya sejak lama.
Usai menunaikan kewajibannya
dengan si petugas rental, Donghyuk menghampiriku yang sejak tadi berdiri di
dekat pintu. Lagi-lagi mengacungkan VCD-nya kelewat gembira. “VCD-nya baru ada
hari ini. Aku orang pertama yang pinjam.”
“Hebat. Ayo pulang.”
“Begitu saja reaksimu?”
Donghyuk berseru tak terima
sambil mengikutiku keluar. Dia terus mengoceh, menyanjung sehebat apa anime itu
dan betapa aku harus menontonnya. Aku cuma memutar mata tak peduli.
Kemudian saat kami melewati kedai
tteokpoki, seseorang memanggilnya.
“Oppa!”
Donghyuk yang semula sedang
bersemangat mendadak kehilangan seluruh serotoninnya. Ia memandang perempuan
itu dengan wajah kaget. Kemudian otot-otot wajahnya yang tengah menegang itu
berangsur-angsur gembira. Itu adalah ekspresi yang dipaksakan. Dia terlihat
seperti sedang terjepit. Aku segera mengambil langkah menjauh. Merapat ke kedai
tteokpoki di belakang mereka dan memutuskan untuk membeli saja.
Aku sudah sering berada di
situasi ini. Walaupun wajahnya pas-pasan, Donghyuk adalah tipikal f-boy yang punya gebetan di tiap
persimpangan jalan. Aku tak mengerti dari mana dia mendapat rasa percaya dirinya itu. Harusnya kakaknyalah yang punya banyak pacar. Kalau disejajarkan dengan
Kim Seokjin, Donghyuk itu tak ubahnya anak pungut.
Sambil mengunyah tteokpokki
pedas, aku mendengarkan percakapan mereka.
“Kenapa kau tak membalas pesanku?
Dan kenapa kau ada di sini? Kau bilang padaku kau sedang sakit! Apa kau
berbohong?”
“I-itu, chagiya, ponselku ketinggalan di
rumah tadi dan… umm di sekolah ada ulangan harian, jadi walaupun sakit tetap
harus…”
Tiba-tiba ponsel Donghyuk
berbunyi. Aku hampir tersedak mendengar nada deringnya. Nampaknya semesta
sedang bersekongkol ingin menunjukkan kebobrokkan Donghyuk pada sang pacar. Aku
melirik wajah pucat Donghyuk sambil terkikik tanpa suara.
“Katanya ketinggalan? Kau
membohongiku?”
“Ji Eun-ssi, aku bisa jelaskan.”
“Ji Eun?”
“Maksudku Ji Yoon?”
“Ji Yoon?”
“Jinny?”
“Kau tak tahu namaku? Kita sudah
pacaran hampir 2 minggu dan kau tak tahu namaku?”
Dasar Donghyuk tolol. Namanya
Bora. Aku saja ingat, bagaimana dia bisa lupa? Sebenarnya seberapa kecil sih
kapasitas ingatannya itu?
“Chagi, astaga, tentu saja aku
tahu namamu. Aku cuma bercanda.”
“Siapa!” tuntut Bora penuh emosi.
“… Ji Soo?”
Saat itu Bora langsung meledak.
Ia berbalik ke arahku dan merebut wadah plastik yang kupegang. Lantas
melemparnya ke muka Donghyuk tanpa belas kasih. Aku terkesiap sampai ulu hatiku
sakit. Itu adalah saus pedas.
Donghyuk menjerit kencang.
“Jangan pernah meneleponku
lagi!!” teriak Bora, menendang tulang kering Donghyuk dan tersedu-sedu pergi.
Ini gila. Donghyuk berlutut dan
menjerit makin kencang. Aku ikut menjerit di sebelahnya. Orang-orang menatap
kami.
“Nam Chaerin, kurasa aku buta!!”
Aku langsung berlari membeli air
mineral. Sementara Donghyuk menjerit-jerit memanggil namaku, mengira aku kabur.
Saat aku kembali, dia meminta
maaf padaku karena sering memanggilku ‘kacamata’. Aku mengabaikan permohonan
maafnya itu dan mengguyurkan air pelan-pelan ke atas wajahnya. Donghyuk mulai
berhenti menjerit, tapi ia masih tak bisa membuka matanya. Rambut dan seragamnya
sudah basah dan dengan mata terpejam dia bilang padaku ‘sepertinya bola mataku
meleleh’.
Kami duduk di pinggir jalan. Aku
membuka jaketku dan memberikannya padanya untuk mengeringkan muka. Saat itu aku
mulai bisa tertawa. Kalau dipikir-pikir yang barusan terjadi ternyata lucu juga.
“Kau tertawa? Serius? Saat
temanmu terancam buta?”
“Yeah.” Aku menepuk-nepuk
pundaknya.
Donghyuk perlahan ikut terkikik.
Dia mulai bisa mengerjap-ngerjapkan mata.
“Namanya Bora,” kataku.
“Sial. Kau benar.” Matanya kini
membuka sedikit dan dia melihatku. “Bora, astaga. Dia tidak terlihat seperti
‘Bora’. Dia terlihat seperti seseorang yang namanya diawali huruf J. Aku
bersumpah hampir memanggilnya Jisung.”
Aku tergelak-gelak. “Dia akan
melemparkan satu panci tteokpokki ke arahmu.”
“Benar.”
Kami tertawa-tawa.
Aku menatapnya yang masih sibuk
menyeka wajah dan lehernya dengan jaketku. Kuakui aku pernah suka pada
Donghyuk. Sejujurnya dia tidak terlalu buruk. Dia manis di telepon. Dia adalah
pendengar yang baik dan selalu mengakhiri percakapan kami dengan ‘love you’.
Mungkin, kalau dia bukan f-boy payah yang punya gebetan di setiap persimpangan
dan aku bukan seorang hopeless romantic
menyedihkan yang jatuh cinta pada cowok baru tiap dua minggu sekali, hubungan
kami bisa menjadi semacam kisah friends
to lover yang sempurna.
Tapi itu tak akan terjadi.
Aku menatapnya dan tahu pasti itu
tak akan terjadi.
“Kita pulang?” Donghyuk yang
sudah bisa membuka matanya dengan sempurna kini berdiri.
“Yeah.”
“Aku benar-benar harus mandi. Aku
merasa lengket. Ini menjijikan.”
“Yeah, baumu seperti saus pedas
tteokpokki.”
Donghyuk langsung merangkulku. Dan
aku segera mendorongnya menjauh. “Kukira kau suka ttokpokki,” serunya.
“Donghyuk!” omelku. “Jangan
mendekatiku atau aku akan…”
“Akan apa?” Ia merangkulku
lagi.
“Donghyuk!”
END
Comments
Post a Comment