#21 Mr. Arrogant - Produce 45
Main Cast : Koo Junhoe, Nam
Chaerin (OC)
Genre : Romance
Length : Drabble (1018 words)
Author : Salsa
*********
Aku yakin aku sudah pernah
menyebut nama pemuda yang satu ini di salah satu ceritaku sebelumnya. Kami
sekelas di kelas tujuh. Saat itu dia merupakan cowok kurus pendek yang suka
melempar lelucon-lelucon garing di sela-sela pelajaran. Selain melempar lelucon,
dia juga suka melempar poninya ke samping seolah-olah dirinya adalah Justin
Bieber.
Di pertengahan kelas delapan, puberty hit him like a truck. Sungguh. Pertumbuhannya
mulai tak terkontrol. Dia jadi supertinggi, superkeren dan superpercaya diri.
Di mataku, pemuda yang sejak awal memang sudah menarik itu mendadak jadi makin
menarik lagi. Dia berteman dengan anak-anak populer, otomatis menjadikannya
masuk sebagai jajaran cowok-cowok populer di sekolah. Belum lagi jabatannya
sebagai anggota OSIS. Aku yakin banyak yang naksir padanya; teman seangkatan,
kakak kelas, adik kelas. Bahkan aku. Tak terkecuali aku.
Koo Junhoe. Namanya bagus, bukan?
Biasa dipanggil June, padahal dia lahir bulan Juli. Jarak rumahnya kurang lebih
4 mil dari sekolah. Dia selalu bersepada dan hebatnya tak pernah terlambat
sekali pun. Dia merupakan pejuang go
green, anti-polusi, bicycle for earth
yang tekun. Aku bahkan sering mendengarnya komplain ke guru-guru terkait absennya
fasilitas parkir sepeda yang sudah dijanjikan sekolah.
June itu unik. Mungkin dia bukan
cowok paling humoris di kelas. Tapi dia merupakan pribadi yang ceria. Dan aku
bersumpah keceriaannya menular. Aku menyadari bahwa aku menaruh hati
padanya saat dia menyanyikan jingle
Chitato dengan gaya surfing di atas
meja guru. Itu konyol, aku tahu. Dia cuma mengucapkan āLife Is Never Flatā
sambil cengengesan dan aku langsung kegirangan seperti anjing laut. Tapi saat
itu kami masih 13 tahun. Apa yang kalian harapkan dari anak umur 13 tahun?
Satu-satunya hal buruk dari June
adalah sifat sombongnya yang sama sekali tak ada obatnya. Dia sombong dan
bermulut sampah. Dia tak ragu menghina fisik orang lain sambil menyeringai sok
keren. Kemudian berlindung di balik kalimat āaku cuma bercandaā. Awalnya aku
tak peduli. Selama bukan aku yang jadi objek hinaannya, maka aku akan tetap
menyukainya.
Namun suatu hari, entah dari mana
dia mengetahui aku suka padanya. Dan seketika hidupku dijungkirbalikkan layaknya neraka. Aku tak pernah merasa sebegitu
hina dan tak berharga seumur hidupku. Koo Junhoe mendadak jadi amat sinis. Membuat komentar
jahat dan merendahkanku tiap ada kesempatan. Bukan hanya pegiat anti-polusi,
sekarang dia juga menjadi pegiat anti-Nam Chaerin. Aku tak tahu apa yang dia katakan
pada teman-temannya, tapi sekarang hampir setengah sekolah (terutama
murid-murid populer yang merupakan bagian dari gengnya) menjadi tergila-gila
untuk mempermalukanku. Hari-hariku di SMP sejak saat itu tak ubahnya mimpi buruk. Aku
benar-benar takut bertemu dengan June.
Untungnya kami melanjutkan
pendidikan di SMA dan kampus yang berbeda. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi
semenjak lulus.
Hingga akhirnya hari itu tiba.
Saat itu umurku sudah 20 tahun.
Aku yang ikut UKM fotografi di kampus dimintai tolong oleh seniorku untuk
mendokumentasikan kegiatan muralnya di suatu festival seni. Dan di sanalah
Tuhan memutuskan untuk mempertemukan aku dan June lagi. Dia merupakan salah
satu peserta lomba. Dengan baju gelap kebesaran, bando plastik yang menahan
poninya, tangan yang berlepotan cat dan selusin pilox di bawah kakinya, June
terlihat serius melukiskan mural di tembok. Aku tertegun. Sudah 5 tahun sejak terakhir aku mendengar kabarnya. Aku tak pernah tahu dia berkecimpung di
bidang seni. Aku tak pernah tahu kita akan bertemu lagi dalam situasi seperti
ini.
Aku sempat berpikir untuk
menyapa. Maksudku, kami sudah sama-sama dewasa sekarang. Bukan remaja belasan
tahun naif yang saling benci karena masalah sepele. Seharusnya segala kejadian
kelam itu sudah ditinggal di masa lalu, kan? Tapi tidak. Langkahku terhenti
beberapa meter di belakangnya. Aku tidak bisa melakukan ini. Sama sekali. Mungkin
aku bisa tersenyum ramah seolah tak terjadi apa-apa jika dia menyapaku duluan.
Tapi bagaimana jika dibalik? Apabila aku menyapa duluan, akankah dia tersenyum
padaku? Seorang Koo Junhoe? Tersenyum padaku? Mustahil.
Aku baru hendak berbalik pergi
saat June tiba-tiba menoleh padaku. Aku terpaku. Dia mengamatiku sejenak seraya
memungut salah satu botol pilox dan mengocoknya di tangan. Itu terjadi dengan
cepat. Tak sampai 3 detik. Kami bertatapan tak sampai 3 detik dan rasanya
jantungku sudah mau lompat dari dada. Dan yah, begitu saja. June lantas
menaikkan maskernya ke hidung dan kembali fokus pada dindingnya, menyemprotkan
pilox dengan telaten. Itu gila. Apa yang barusan terjadi? Apa dia tak
mengenaliku? Apa dia bertingkah seolah aku ini tak kasatmata?
Saat itu seniorku memanggil dan
aku mulai sibuk dengan kegiatan memotretku. Namun walaupun begitu raut dingin
June tetap terbayang-bayang tak mau hilang. Aku terus menerka-nerka apa yang ia
pikirkan. Apa dia benar tak mengenaliku?
Festival itu akhirnya selesai
kurang lebih pukul sebelas malam. Aku setuju untuk pulang dengan seniorku, jadi
aku menunggunya mengeluarkan mobil di gerbang depan. Acaranya dari pagi. Aku
lemas dan mengantuk. Saat sedang menunggu, seseorang tiba-tiba mengagetkanku.
āNAM CHAERIN?ā
Aku berbalik cepat dan langsung
tersenyum lebar begitu melihat wajah salah satu kenalanku. āHa Sooyoung???
Astaga!! Kau datang sendiri?ā
āTidak, aku datang dengan
temanku.ā Aku akhirnya menoleh pada teman yang dimaksud dan seketika senyumku
hilang. āJunhoe, kenalkan ini temanku, Nam Chaerin.ā
Aku dan June bertatapan untuk
yang kedua kali hari ini. Walaupun sulit, aku tetap memaksakan senyum padanya.
Tapi dia tak mau repot-repot membalas senyumku.
Sooyoung kembali mengajakku
bicara dan aku bisa melihat June membuang muka dengan bosan. Kalau sudah
begini, tak mungkin dia tak mengenaliku, kan? Sooyoung sudah menyebutkan namaku
dengan sangat jelas dan aku yakin namaku tidak sepasaran itu. Memangnya berapa
banyak Nam Chaerin yang ia kenal? Berapa banyak Nam Chaerin yang masa SMP-nya
sudah ia hancurkan?
Sekarang semuanya sudah jelas.
Koo Junhoe bukan tidak mengenaliku, dia tak mau kenal denganku. Itu berbeda.
Rupanya June masih sesombong yang kuingat. Hanya saja sekarang ia sudah bisa
mengendalikan mulut sampahnya. Aku jadi bersyukur tak menyapanya duluan.
Mobil seniorku datang bersamaan
dengan perginya mereka berdua. Aku pun pulang. Menangis. Tak adil rasanya
diperlakukan begini. Sebenarnya kesalahan besar apa yang sudah kulakukan sampai
dia sebegitu bencinya padaku? Dia memerangiku seakan-akan aku adalah penyebar
polusi nomor satu di dunia, seolah aku meledakkan satu benua dengan bom nuklir,
seolah aku adalah sumber kerusakan di muka bumi.
Aku benar-benar tak mengerti
kenapa Tuhan harus mempertemukan kami lagi.
Aku jadi tak bisa berhenti
memikirkannya sekarang. Aku tak bisa berhenti menangis sambil membayangkan
skenario-skenario gila yang kuharap terjadi padanya.
āKoo Junhoe,ā dadaku bergemuruh penuh kebencian saat menggumamkan namanya, āsemoga
kita tak pernah bertemu lagi.ā
END
Comments
Post a Comment