A Bad Reputation Part 1




Main Casts = Kim Mingyu – Ha Sooyoung
Genre = Romance
Length = Series
Author = Salsa



**********



Matahari berada tegak lurus di atas langit. Cahayanya yang terik sudah sepenuhnya menyebar di seluruh penjuru apartemen kecil milik Mingyu. Perlahan namun pasti, sang pemilik yang tertidur pulas di sofa mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ia bergerak, mengerjap, kemudian mengerang begitu merasakan betapa sakit kepalanya sekarang. Hangover karena minum-minum semalam menyerang bagian belakang kepalanya tanpa ampun. Mingyu merasa mual dan pening.

Dengan mata setengah terpejam, Mingyu melirik jam dindingnya. Baru pukul delapan. Mingyu kembali memejamkan mata. Namun tak lama ia terbelalak, baru ingat sudah seminggu ini jam dindingnya mati.


“Sial! Jam berapa sekarang?” gumam Mingyu serak, terpaksa bangkit dan mendorong semua kaleng bir beserta mangkuk mie instannya dari meja, untuk mencari ponsel.


Mingyu akhirnya menemukan ponselnya ikut terjatuh di antara puntung rokok.


Jam 11.56 AM.


Setelah melihat deretan angka itu, Mingyu mendudukkan diri dan melempar ponselnya kembali ke meja. Pria itu mengusap wajahnya beberapa kali, sebelum akhirnya berdiri dan berjalan sempoyongan menuju dapur.


Dapurnya sangat berantakan, tidak kalah dengan ruang tamu, atau ruang mana pun di apartemen ini. Tempat sampahnya sudah menggunung, bak cuci piringnya apalagi. Penggorengan, panci, bahkan kaus kaki bertumpuk-tumpuk di atas kompor.


Mingyu menyalakan keran dan mencuci muka sampai leher. Pria itu lantas membuka lemari di atas konter dan mendecak begitu tak menemukan satu gelas bersih pun di sana. Raknya kosong. Semua peralatan makannya terselip di antara gunungan sampah di bak cucian. Mingyu terlalu malas mencari, alih-alih mencuci. Tak punya pilihan, ia pun mengangkat galon airnya yang tinggal tersisa sedikit dan meminumnya langsung dari situ. Lantas galon kosong tersebut dilemparnya begitu saja ke sisi lain dapur.


Sembari berjalan kembali ke ruang tengah, Mingyu menarik kausnya melewati kepala, kemudian berkeliling untuk mencari kaus lain yang lebih layak. Nyaris seluruh bajunya tergeletak di lantai; lecak, kotor dan basah. Mingyu tak ingat kapan terakhir ia naik ke lantai empat untuk menggunakan mesin cuci. Dua minggu yang lalu? Bisa jadi—dan semua orang kabur melihatnya.


Bagi Mingyu, mencari baju sama rasanya seperti main petak umpet. Ia menemukan kaus hitam polos di atas televisi, membauinya dulu baru dipakai. Tidak bisa disebut layak, sebenarnya. Namun memakai baju apak itu lebih baik daripada tidak memakai apa-apa.


Dengan metode yang sama, Mingyu lantas mencari kaus kaki, sepatu, jaket, handphone, dompet, dan semua yang ia butuhkan, tangannya mengulur ke tembok setiap berjalan, menyangga diri.


10 menit kemudian, Mingyu pun siap menghadapi dunia.


Detik pertama ia membuka pintu, suara kesiap dramatis terdengar dari berbagai sisi. Tetangganya berbondong-bondong masuk ke dalam apartemen masing-masing. Suara pintu dikunci, bayi menangis, bahkan ibu-ibu yang mengomel melarang anaknya keluar terdengar mengiringi langkah kaki Mingyu. Seperti biasa.



**********



Mingyu mendorong pintu tempat kerjanya, sebuah bangunan gelap nan sempit yang melayani jasa tindik dan tato tubuh. Tony’s Body Art Tattoo Studio, begitu yang tercetak di kacanya.


“Mingyu! Astaga! Kau sudah datang?” Suara bosnya terdengar tidak biasa. Mingyu mengalihkan tatapannya pada pria berjaket hitam dengan rambut klimis rapi. Penampilannya sangat asing, ia tidak terlihat seperti orang yang bersedia bagian tubuhnya ditindik alih-alih ditato.


Menyadari arah tatapan Mingyu, Tony (sang bos yang berusia 40 tahunan itu) segera menjelaskan. “Oh, ini… kebetulan sekali. Dia sedang mencari alamat rumahmu.”


“Apa maumu?” tanya Mingyu tanpa basa-basi.
“Duduk dulu!” suruh Tony. Mingyu tidak mendengarkan, malah bersender miring di tembok dan memandang pria klimis yang ternyata seorang penyidik kepolisian itu dengan sengit.


“Pertama-tama, aku turut berduka atas kematian ayahmu.”
“Apa maumu?” ulang Mingyu, lebih tegas. Ia benci mendengar basa-basi seperti itu. Dia benci mendengar kematian ayahnya diungkit-ungkit lagi.


“Tim penyidik sedang menyelidiki kematian ayahmu yang tidak wajar. Kami membutuhkan keteranganmu untuk melengkapi BAP.”


Mingyu menatap sang lawan bicara dengan tatapan sinis dan senyum kecut. “Kau tidak harus menyelidikinya. Bukankah itu meringankan tugasmu jika seorang buronan sudah terbunuh?”


“Begini….”
“Aku tidak mau dengar apa-apa,” potong Mingyu. “Keluar!”


Tony mendekat pada Mingyu dan berbisik. “Hei, jaga bicaramu! Dia polisi.”


“Apa kau tahu ada ancaman pidana bagi siapa pun yang menolak hadir sebagai saksi?”
“Apa kau tahu ada mesin tato yang bisa kulempar ke mukamu saat ini?” Mingyu membalik pertanyaan itu dengan santai dan dingin, sukses membuat ekspresi lawan bicaranya berubah terancam. Namun walaupun begitu, sang penyidik tetap berusaha agar tidak kehilangan wibawanya.


“Kalau kau memang mau dipenjara, silakan lempar mesin tatomu padaku!” kata penyidik polisi itu tenang.


“Kau mengancamku dengan penjara?” cibir Mingyu. “Aku tidak takut.”
“Kau meragukan kewenanganku untuk menjebloskanmu ke penjara?”
“Dengar Pak penyidik yang terhormat, hidupku saat ini sudah lebih buruk dari penjara. Aku juga tidak punya siapa pun yang akan khawatir, lakukan saja apa maumu!”


“Ya, tentu. Aku akan mengawasimu. Berdasarkan riwayat kejahatanmu, kau sudah pernah terkena tuduhan pemerkosaan, kan?” Pria berambut klimis itu tersenyum, bangkit dari duduknya dan menepuk-nepuk pundak Mingyu. “Dengar nak, kalau kau berbuat kesalahan sedikit saja, aku akan menjadi orang pertama yang menyematkan borgol di tanganmu.”


“Bagus,” Mingyu sepakat.


Tony menggeleng-geleng, merapatkan giginya dan mengumpat tanpa suara ke arah Mingyu.


“Sebelum aku keluar, biar kutanya sekali lagi. Ayahmu bisa jadi dibunuh, kau tidak ingin mencari tahu siapa pembunuhnya?”


Mingyu melirik pria itu tanpa minat, lantas menyentak tangan si penyidik dari pundaknya. Kemudian, tanpa repot-repot menjawab, ia pun beranjak pergi dan menghilang di balik tirai.


“Hehe dasar anak itu! Hmm, Pak Polisi, dia memang anaknya agak kasar jadi…,” Tony berkata sembari mengusap-usap tangannya dengan gugup. Namun saat ia berbalik, sang penyidik polisi ternyata sudah keluar dari studio tatonya. “...jangan diambil hati,” lanjut Tony, sementara yang diajak bicara sudah masuk ke dalam mobilnya di ujung jalan.



**********



“Maaf sekali Sooyoung-ssi, hanya ada satu apartemen yang tersisa, dan aku yakin kau tak akan mau tinggal di sana.”


“Aku mau, kok.”
“Tidak. Kau tidak mengerti.”


Sooyoung tersenyum dan menggeleng, “Sungguh. Aku mau.”


“Bahkan jika kau bertetangga dengan seorang pembunuh?”
“Pembunuh?”
“Lebih tepatnya anak pembunuh. Tapi kau tahu sendiri, buah itu jatuh tak jauh dari pohonnya.”


Nyonya Cha, pemilik bangunan apartemen Gonse, melirik ke arah pintu dan memperkecil volume suaranya sembari mencondongkan wajah, “Aku tidak bisa mengusirnya dari sini. Ayahnya sudah membayar uang muka yang tak ternilai harganya. Tapi sungguh dia sangat mengerikan. Jika bisa, aku ingin sekali membuat anak pembunuh itu enyah dari sini. Tapi bagaimana ya, rasanya itu tidak mungkin. Aku takut dia dendam dan… begitulah.”


“Aku mengerti.”
“Kalau boleh kusarankan, ada apartemen khusus putri tidak jauh dari sini. Memang sih tempatnya kecil, tapi….”


“Bolehkah aku tetap di sini?” potong Sooyoung.
“Kau tidak mengerti.”
“Aku mengerti,” jawabnya cepat, tak lupa menyelipkan senyum. “Aku tahu apa yang kulakukan. Aku mau apartemen itu.”



**********



Mingyu berjalan lemas menaiki tangga menuju apartemennya di lantai tiga. Tubuhnya terasa letih dan perutnya lapar. Satu-satunya makanan yang masuk ke mulutnya hari ini hanyalah tiga bungkus permen kopi dari Tony. Mingyu bahkan tidak memiliki air minum lagi di kamarnya. Mungkin jika ia tinggal di penjara, hidupnya akan jauh lebih sejahtera dari ini.


Saat Mingyu berbelok di lorong lantai tiga, langkahnya terhenti. Ada seorang perempuan dan sebuah meja, yang jelas-jelas menghalangi jalan. Sang perempuan bersandar di mejanya dengan ekspresi kelelahan. Mingyu bisa mendengar suara napas yang terengah-engah dari tempatnya berdiri.


Tak lama, perempuan itu menyadari keberadaan Mingyu dan langsung berdiri tegak.


Mingyu perlahan melanjutkan langkahnya.


“Hei, aku penghuni baru di sini.”


Mingyu berhenti persis di sebelah gadis itu, di depan mejanya.


“Namaku Sooyoung. Aku…”
“Menghalangi jalanku,” sambung Mingyu dingin.
“Y-ya.” Sooyoung melirik mejanya dengan canggung. “Ya. Aku tahu. Nyonya Cha memberikan meja ini padaku, aku baru saja mengeluarkannya dari lift. Kalau kau tidak keberatan, aku butuh sedikit bantuan untuk mendorongnya ke…”


Mingyu tiba-tiba naik ke atas meja dan melompat turun di sisi yang lain, lantas melenggang pergi begitu saja. Tanpa menunggu Sooyoung menyelesaikan ucapannya. Tanpa sopan-santun. Tanpa basa-basi.


Sooyoung terperangah dengan sikap sang tetangga baru yang sama sekali tak memiliki jiwa sosial, dan semakin terperangah lagi saat melihat pria itu memasuki apartemen nomor sembilan. Jadi dia orangnya.



**********



Pak Heejun (sesama penghuni lantai tiga), seorang dosen berperawakan kurus tinggi yang mengajar Bahasa Inggris di Universitas swasta dekat sini, hari itu kebetulan pulang larut malam. Ia melihat Sooyoung berjuang sendiri mendorong-dorong meja dan dengan baik hati langsung menawarkan bantuan. Akhirnya, dengan kebaikan hati dan tenaga Pak Heejun, meja kayu sepanjang satu meter itu berhasil masuk ke dalam apartemen Sooyoung dan tertata rapi di ruang makan.


“Kalau kau butuh apa-apa, ketuk saja pintu kamar Bapak.”
“Terima kasih banyak, Pak Heejun.”
“Jangan segan-segan minta bantuan. Di sini orangnya ramah-ramah.”


Sooyoung refleks melirik pintu apartemen di depannya.


“Kecuali yang itu,” lanjut Pak Heejun begitu menyadari arah tatapan Sooyoung. “Sebisa mungkin, tolong jauhi dia. Bapak yakin Nyonya Cha sudah memperingatkanmu.”


“Iya, Pak. Terima kasih.”
“Semoga betah.” Pak Heejun memeluk tas kerjanya dan tersenyum ramah pada Sooyoung, lantas berbalik badan hendak pergi.


“Tunggu, Pak Heejun. Bapak tahu nama pemuda itu?” Sooyoung menunjuk pintu nomor sembilan.
“Ya, tentu. Namanya Kim Mingyu.”


Sooyoung tertegun sejenak sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk.


“Kau sudah bertemu dengannya?”
“Begitulah.”
“Oh astaga. Apa kau baik-baik saja? Apa yang dia katakan? Harusnya kau lebih hati-hati!”


Sooyoung mengibaskan tangan, “Tenang saja. Tidak terjadi apa-apa, kok.”


“Tetap saja kau harus hati-hati.”
“Baik, Pak. Saya akan lebih hati-hati,” jawab Sooyoung. “Omong-omong, apa orang-orang di sini suka kimbap? Saya mau membagikan makanan besok lusa, tapi masih bingung. Dan kalau boleh tahu, berapa kira-kira yang harus saya siapkan?”


“Wahh, bagus sekali. Kau bisa sekalian memperkenalkan dirimu kepada mereka. Bagaimanapun tetangga adalah orang terdekatmu, tetangga adalah bagian dari keluarga,” kata Pak Heejun dengan nada bijak. “Kalau masalah jumlah, selain apartemenmu, dari lantai satu sampai lantai tiga totalnya ada tujuh unit. Dan Bapak yakin semuanya suka kimbap.”


“Bapak yakin hanya tujuh?”
“Ya, kecuali jika kau menghitung Mingyu.”
“Saya rasa kita tetap harus menghitungnya.”


Raut ketidaksetujuan tersirat di wajah tirus Pak Heejun. “Kita semua sudah terbiasa tidak menganggap keberadaannya di sini. Lagi pula percuma, dia tidak akan menerimanya.”


“Dia tidak suka Kimbap?”
“Dia tidak suka kita semua.”



**********




Mingyu mungkin tidak menyukai seluruh tetangganya, termasuk Sooyoung. Tapi gadis itu tetap menyiapkan delapan kotak styrofoam berisi kimbap dan acar lobak. Sooyoung meluangkan minggu paginya untuk berkeliling di bangunan empat lantai tersebut untuk membagikan makanan.


“Selamat pagi. Saya Sooyoung, tetangga baru unit nomor delapan.”


Sooyoung mengetuk semua pintu dari lantai satu sampai lantai tiga tanpa ada yang terlewat. Dengan senyum lebar ia memberi salam dan memperkenalkan diri. Pak Heejun benar. Semua tetangga di sini sangatlah ramah. Sooyoung hanya memberikan sekotak kimbap ke setiap pintu, namun balasan yang ia terima benar-benar luar biasa. Sooyoung mendapat dua botol sirup jagung dari Woohyuk (seorang karyawan perusahaan asuransi yang sudah hampir berkepala empat tapi belum menikah, pelit bicara dan benar-benar misterius), kue blackforest berdiameter dua puluh centimeter dari nenek Sunghee (tinggal bersama cucu perempuannya yang masih kelas tiga SD), juga semangkuk penuh Tom Yum dari pasangan superlucu di lantai dua (Ten dan Lisa, sepasang suami-istri asal Thailand yang baru saja dikaruniai anak. Mereka masih sangat muda, mungkin Lisa hanya dua atau tiga tahun di atas Sooyoung. Gadis itu sangat manis, mereka menggunakan baju couple berwarna merah muda, dan ya tuhan, bayi mereka menggemaskan sekali).


Sooyoung kembali ke apartemennya untuk meletakkan semua pemberian itu dan beristirahat sejenak. Berkenalan dengan para tetangga benar-benar mengasyikkan, tapi juga melelahkan di saat yang sama. Sudut bibirnya terasa pegal karena terlalu banyak tersenyum.


Sambil duduk di sofa, ia memerhatikan satu kotak terakhir. Untuk Mingyu.


“Lagi pula percuma. Dia tidak akan menerimanya.”


Sooyoung teringat kata-kata Pak Heejun dua hari yang lalu dan mulai bimbang. Namun pada akhirnya tetap berdiri dan membawa kotak terakhir itu keluar.


Tidak ada salahnya mencoba, pikir Sooyoung.



**********



Tok Tok Tok


Bukannya langsung dibuka, Mingyu malah mengernyit memandangi pintunya. Suara ketukan pintu terdengar sangat asing bagi Mingyu. Tidak ada yang mengetuk pintu apartemennya selama bertahun-tahun. Memangnya siapa yang berani? Toh semua orang sudah tahu unit nomor sembilan itu kepunyaan siapa.


Lagi pula pintunya tidak dikunci. Tak pernah dikunci.


Kebiasaan Mingyu yang tidak mengunci pintu disebabkan karena tabiat ayahnya yang kerap kali mengamuk jika tidak bisa buka pintu. Dia selalu pulang dini hari dalam keadaan mabuk, bicara sembarangan di sepanjang lorong—berteriak. Ayahnya benar-benar memalukan. Ayahnya benar-benar piawai membuat dirinya sendiri dibenci. Dan sekarang, semua kebencian yang ditujukan pada sang ayah diwariskan kepada Mingyu.


Mingyu tanpa sadar melamun, dan baru tersadar saat ketukan di pintunya sudah semakin kencang.


Siapa?, pikir Mingyu, masih enggan membuka. Seluruh tetangganya di sini takut pada Mingyu. Sementara Tony pasti akan meneleponnya dulu sebelum ke sini. Apa jangan-jangan si penyidik itu?


Mingyu terperangah karena prasangkanya sendiri. Terdengar akurat. Memangnya siapa lagi? Sebagai satu-satunya orang yang terobsesi menemui Mingyu, penyidik polisi adalah jawaban yang paling masuk akal.


Mingyu pun bangkit dari duduknya dan mendekat ke pintu. Ia meletakkan sikunya di tembok dan mendekatkan wajah seolah ingin berbisik pada pintu itu.


“Pergi dari sini atau kutembak keluar isi kepalamu!” ancam Mingyu dengan suara rendah yang berbahaya.


Ketukan di pintunya mendadak berhenti. Mingyu tersenyum tipis membayangkan wajah tak nyaman sang penyidik. Mingyu tak percaya seorang penyidik polisi mudah sekali digertak.


“A-aku cuma mau memberimu kimbap.”


Tebakannya meleset. Itu suara perempuan.


Mingyu refleks menarik wajahnya dari pintu. Kemudian langsung membukanya. Di detik pertama mereka saling pandang, Mingyu praktis teringat akan insiden meja dua hari yang lalu. Ternyata si tetangga baru. Pantas saja masih punya nyali.


“Aku Sooyoung, penghuni baru apartemen nomor delapan. Aku membagikan kimbap ke semua tetangga. Ini, untukmu.”


Sooyoung mengulurkan kotak styrofoam berisi makanan sambil menatap Mingyu takut-takut. Sang pria bergeming, hanya balik menatap datar mata Sooyoung. Kemudian setelah beberapa detik menatapnya seperti itu, tangan Mingyu bergerak menutup pintu.


“Tunggu!” Sooyoung dengan sigap mengulurkan kakinya hingga terjepit. Sakit memang, tapi tidak apa, asalkan pintunya tertahan. “Kau boleh membuangnya ke tempat sampah,” ringisnya. “Tapi kumohon, ambilah!”


Mingyu masih mempertahankan ekspresi datarnya.


“Aku tidak akan pergi sebelum kau menerima ini!” Sooyoung memaksa.


Detik itu, Mingyu tertegun. Matanya memicing tak senang. Itu adalah sikap yang terlalu berani bagi Mingyu. Hanya orang-orang bosan hidup dan orang-orang yang belum mengenalnya saja yang berani bersikap seperti itu.


“Kau mau aku menerimanya?”
“Ya.” Sooyoung menarik kakinya dari pintu dan mengangguk senang.


Mingyu tersenyum dibuat-buat dan mengulurkan tangan untuk mengambil kotak itu. Sooyoung ikut tersenyum. Namun senyumnya tak bertahan lama. Mingyu tiba-tiba menarik kasar tangan sang gadis hingga memasuki apartemennya, lantas menutup pintu. Sooyoung benar-benar terkejut. Semua itu terjadi begitu cepat. Yang Sooyoung tahu, Mingyu sudah melempar kotak pemberiannya ke tempat sampah hingga seluruh isinya tumpah ruah di sana.


Mingyu meletakkan telapak tangannya di tembok persis di sebelah kepala Sooyoung. Kemudian merendahkan kepalanya hingga posisi mereka sejajar.


“Aku yakin semua orang sudah memperingatkanmu. Tapi sepertinya kau agak keras kepala.” Mingyu mendengus mengejeknya. “Kau tahu dengan siapa kau berhadapan sekarang?”


Sooyoung tak menjawab. Tubuhnya bergetar dan matanya memandang Mingyu ngeri.


“Aku tidak menerima makanan dari orang asing. Aku tidak mau mengambil risiko diracun oleh siapa pun.”


Melihat betapa gemetarnya Sooyoung saat ini, Mingyu menyeringai dan tertawa pendek, “Bisa takut juga ternyata? Aku penasaran apa kau masih punya nyali untuk mendekatiku setelah ini.


“Nona pemberani, satu hal yang harus kau tahu,” Mingyu berkata dengan serius. “Mereka benar. Semua desas-desus yang menyatakan bahwa aku adalah anak pembunuh itu seratus persen benar. Jadi simpan nyalimu untuk acara uji nyali yang lain, oke?


“Kuharap ini akan jadi kali terakhir kita bicara. Kau tahu, sangat menjengkelkan bagiku untuk bicara sebanyak ini pada orang asing.”


Dengan tatapan itu, posisi mereka, serta suara serak Mingyu, Sooyoung bersumpah lututnya sudah berubah menjadi agar-agar.


Sebagai penutup, Mingyu mempertipis jarak di antara wajah mereka dan membelokkan mulutnya di inci terakhir, berbisik di telinga Sooyoung. “Saranku, jangan persulit dirimu sendiri. Jangan sok peduli, aku tak butuh apa pun dari siapa pun.


“Bahkan jika kita berhadapan, anggap saja kau tidak bisa melihatku.” Sooyoung bisa merasakan bulu kuduknya berdiri. “Aku juga tidak akan menganggap kehadiranmu. Mengerti?”



**********



Sooyoung kembali ke apartemennya dengan wajah pucat pasi. Bahkan saat ini, Sooyoung masih kesulitan menarik napas. Rasanya seperti dicekik oleh aura Mingyu yang kelam. Sangat mengintimidasi. Sooyoung menyambar ponselnya dan mengirimkan sebaris pesan.


‘Aku tidak bisa melakukan ini.’


TBC


A Bad Reputation bakalan update tiap tgl 20 setiap bulannya ya.. Makasih semua^^

Comments

Popular Posts