Businesship Part 9 (END)



“Jaehyun-ssi, kita berpisah di sini saja. Aku akan naik taksi ke rumah.” Sanghyeon mengacungkan tangan kirinya untuk melihat jam. Mereka dijadwalkan untuk sampai di sini (di Incheon) pukul setengah tiga sore, namun karena ada kegagalan mesin, seluruh penumpang Delta air lines pun terpaksa harus transit di Vancouver sampai tujuh jam dan pada akhirnya baru tiba di bandara tujuan hanya beberapa jam sebelum tengah malam. “Jika aku pergi sekarang, aku mungkin akan sampai di rumah jam sebelas malam. Orangtuaku seharusnya belum tidur.”


Jaehyun menyambar tangan Sanghyeon yang teracung dan turut memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangannya dengan wajah datar. “Terlalu malam,” komentarnya singkat. “Pulanglah ke apartemenku dulu.”


“Aku tidak mau membuatmu repot.”
“Dengan membantahku begini malah lebih membuatku repot,” balasnya. “Kau pikir aku bisa istirahat dengan tenang jika aku tak tahu apa kau sudah sampai di rumahmu atau belum? Sudahlah. Jangan membuatku khawatir.”


Sanghyeon kukuh menggeleng. “Kenapa kau harus khawatir? Aku bisa istirahat di rumahku sendiri. Mereka akan membukakan pintu.”


“Sekalipun dibukakan, kau yakin kau mampu meladeni interogasi orangtuamu setelah kabur berminggu-minggu?” Jaehyun setengah memohon. “Ikutlah denganku dulu. Sudah seharian kita di pesawat, berdebat begini apa tidak lelah?”


“Jaehyun…”


Tangan Jaehyun yang semula melingkar di pergelangan tangan Sanghyeon kini turun ke telapak tangannya. Ia menautkan jari-jemari mereka dan tersenyum tipis. “Besok,” katanya sabar. “Pulanglah besok.”



**********



“Aku akan pergi pagi-pagi sekali.” Untuk yang terakhir kali, Sanghyeon mencoba memancing. Ia memandang Jaehyun yang baru melepas sepatunya sambil berdoa dalam hati. Diam-diam berharap pria itu akan mengatakan sesuatu. Apa pun soal kelanjutan hubungan mereka.


Namun sayangnya hal itu tidak terjadi. Nampaknya hanya Sanghyeon yang menginginkan ‘kelanjutan’ di sini. Sebab alih-alih bicara, Jaehyun cuma menatapnya dengan murung lalu menggerakkan kepalanya dalam anggukan samar. Setelahnya, ia kembali menoleh ke depan, berjalan masuk lebih ke dalam dan menekan sakelar lampu.


“Kau bisa menggunakan kamarku. Di sebelah sana.” Ia menunjuk sebuah pintu. “Aku akan tidur di sofa. Apartemen ini cuma punya…”


“Ya, terserah.” Sanghyeon melewatinya tak peduli.
“Lee Sanghyeon-ssi.”


Sanghyeon yang sudah berdiri tepat di depan pintu kamar Jaehyun pun menoleh. Memandang sang pria dengan sengit, menunggunya bicara.


“Aku sudah transfer uangnya.” Jaehyun nyaris berbisik saat mengatakan itu. Ia bisa melihat luka di mata Sanghyeon sebelum dengan cepat berpaling, sama sekali tak mampu menatapnya lagi. Pria itu menelan ludah dan menambahkan, “Maksudku bayaranmu bulan ini.”


Otot-otot rahang Sanghyeon menegang. Tangannya terkepal di samping badan. Rasanya seperti sedang diolok-olok. Ia benar-benar tak mengerti kenapa Jaehyun bersikap begini.


“Ini kesempatan terakhirmu.” Sanghyeon merasa ia sudah terlalu banyak memberi kesempatan. Seharusnya ia berhenti sebelum membuat dirinya makin menyedihkan. Ia tahu itu. Tapi segala hal tentang Jaehyun benar-benar membutakan. Sanghyeon menatapnya penuh harap sebelum melanjutkan, “Kau hanya perlu mengatakan ‘jangan pergi’. Hanya dua kata. Kau tak perlu mengatakan perasaanmu jika memang sulit. Hanya dua kata, Jaehyun~a. Aku sudah mempermudahnya untukmu. Coba pikirkan sekali lagi, apa aku ini benar-benar tak ada artinya?”


Jaehyun tak langsung menjawab.


Ia menunduk dalam-dalam dan tak bicara untuk waktu yang terasa begitu lama. Sebelum akhirnya, dengan gerakan pelan yang menyakitkan, ia mengangkat wajahnya yang pucat dan menatap Sanghyeon tepat di mata. “Sanghyeon-ssi.”


“Y-ya?”
“Selamat malam,” katanya. Kemudian menganggukkan kepala dan berbalik badan.


Hati Sanghyeon mencelus. Ia sudah berkali-kali dibuat kecewa tapi hatinya tetap saja tak mau belajar.


“Kau benar-benar…,” Sanghyeon tersekat napasnya sendiri, “… pecundang berengsek.”


Itulah percakapan terakhir mereka sebelum Sanghyeon benar-benar pergi di keesokan hari. Ia meninggalkan seluruh baju, perhiasan, kartu ATM bahkan ponsel pemberian Jaehyun di tempat tidur sang pria.


Selesai. Semuanya sudah selesai. Jaehyun yang baru bangun pukul sepuluh pagi masuk ke dalam kamar dan memandang semua benda-benda itu dengan perasaan terganjal. Pertemuan di kedai kopi, segala apa yang terjadi di Amerika, businesship mereka, dengan ini resmi selesai.



**********



2 tahun kemudian…


Itu adalah Sabtu pagi yang cerah. Sanghyeon melintasi jembatan di Hajung dengan setelan training abu-abu dan headphone ungu yang menggemakan musik langsung di lubang telinganya. Ia sedikit kehabisan napas namun tetap berniat untuk tidak berhenti sampai lagu yang sedang terputar saat itu (Surf Mesa – ily) habis.


“NONA! NONA LEE SANGHYEON!!” Sanghyeon yang tak mendengar panggilan itu mengernyit heran melihat SUV hitam berhenti beberapa meter di hadapannya. Wajah yang familier lantas menyembul dari jendelanya dan membuat gadis itu makin terkejut lagi. Sicheng tersenyum lebar dan melambai-lambai mengajaknya masuk.


Sanghyeon terperanjat hebat, berhambur ke mobil seraya memekik, “DONG SICHENG!!!” Ia melemparkan diri ke kursi penumpang dan langsung memukul-mukul bahu Sicheng saking rindunya. “YA TUHAN! Apa kabarmu? Wah apa-apaan ini! Kau sudah bisa beli mobil sekarang!”


Sicheng mengerling bangga pada Sanghyeon sebelum kembali melajukan mobilnya. Rasanya seperti mimpi. Sanghyeon tak bisa berhenti tersenyum. Pria di sebelahnya terlihat amat berbeda. Jutaan kali lebih menawan dari sekretaris cupu yang dikenalnya dua tahun silam. Sicheng terlihat lebih segar dan dewasa dengan potongan rambut undercut dan kemeja katun hitam yang lengannya digulung sampai siku. Memamerkan otot-otot tangannya yang kencang hasil workout rutin.


“Kau memutus hubungan begitu saja setelah kembali ke Seoul. Kenapa, sih? Apa aku ini tidak dianggap teman?” Sicheng merajuk. Sanghyeon yang tak bisa membela diri hanya mampu cengengesan di sampingnya.


“Sudah sarapan belum?” tanya Sicheng lagi. Matanya sejenak teralihkan dari hiruk pikuk jalan raya kepada Sanghyeon yang menggeleng. “Kalau begitu ayo makan galbitang!” ajaknya bersemangat.


Sanghyeon mengangguk-angguk tak kalah semangat.


Setelah diam selama beberapa saat, gadis itu pun membuka mulutnya memulai obrolan, “hari Sabtu begini kau mau ke mana?”


“Kerja,” jawab Sicheng. “Ada meeting. Tadinya mau sarapan di kafetaria kantor, tapi untungnya ketemu Nona di sini.”


“Tch, aku benar-benar tak mengerti kau masih memanggilku begitu karena memang tulus atau sedang menyindir.”


Tawa Sicheng seketika berderai. Ia melirik Sanghyeon lagi dan bertanya, “Kau sendiri mau ke mana?”


“Tak lihat outfit-ku sekarang? Aku sedang olahraga.”
“Tiap pagi lari di sekitar sini?”
“Tidak, cuma akhir pekan. Senin sampai Jum’at aku kerja.”
“Sudah kerja rupanya. Hebat! Di mana?”
“Di perusahaan start up milik seniorku.” Sanghyeon kemudian balas bertanya. “Kau sendiri? Pekerjaanmu masih sama?”


“Masih.”
“Tch, aku jadi iri. Dalam 2 tahun sudah bisa beli mobil bagus begini. Kau ini benar-benar impresif.”


Yang dipuji cuma mengibaskan tangan sambil menggumamkan ‘ini masih kredit, kok’ dengan malu-malu.


Setelah percakapan itu, mereka sama-sama larut menikmati alunan musik dari radio. Sesekali bergumam mengikuti liriknya.


Namun kemudian begitu lagunya habis dan suara penyiar radionya terdengar, pertanyaan yang sejak tadi ditahan-tahan Sanghyeon akhirnya tak bisa lagi dibendung. “Sicheng-ssi, omong-omong,” Sanghyeon menelan ludah, nampak amat enggan untuk bertanya namun tetap melakukannya karena terlalu penasaran, “bagaimana kabarnya?”



“Siapa?”
“Siapa lagi?” Sanghyeon melirik Sicheng ketus. Suaranya memelan saat mengucapkan nama itu, “Jung Jaehyun,” dehamnya tak jelas.


“Wah, kalau soal dia, aku tak tahu.”
“Loh?” Sanghyeon mengernyit. “Katanya kau masih kerja di Jung Corp?”
“Aku masih kerja di sana, tapi dia tidak.”
“Hah?!”
“Atasanku bukan Jaehyun lagi. Aku ini sekretarisnya Seo Youngho.”
“Hah???”
“Lagian nama perusahaannya sudah bukan Jung Corp. Kami ganti nama.”
“Hah!!!”
“Responsmu tak bisa lebih kreatif, ya? Mau sampai kapan bilang ‘hah’?”
“Kau bercanda, ya!”
“Aku serius. Lagian sudah lama, kok,” sahut Sicheng. “Heh, sebelum bertanya lagi, coba kontrol mukamu dulu. Tutup mulutmu itu! Dagumu hampir jatuh tahu tidak.”


“Terus Jaehyun ke mana?”
“Para pemegang saham menurunkan posisinya sebagai CEO, lalu mengangkat Seo Youngho dengan suara terbanyak. Jaehyun mendapat jabatan baru sebagai wakil direktur, tapi dia menolak dan mengundurkan diri begitu saja. Aku tak tahu lagi kabarnya sejak hari itu.”


“Kenapa dia diturunkan?”
“Sejak awal reputasi Jaehyun memang tidak begitu baik. Ditambah lagi kegagalan proyek Amerika. Aku yakin sejak masih di Las Vegas pun dia sudah sadar akan diberhentikan. Gelagatnya aneh. Bahkan begitu sampai di Seoul, setiap hari saat pulang kantor dia selalu membawa pulang barang-barang pribadi di ruang kerjanya sedikit sedikit.”


Sanghyeon tak bisa menutupi keterkejutannya. Ia memandang syok Sicheng dan terus bergumam bahwa penjelasannya tidak masuk akal.


“Kalau tak percaya, ikutlah ke kantorku.”
“Tapi sejak kapan? Lalu kenapa tiba-tiba Youngho yang jadi CEO?”
“Sebulan setelah kalian kembali dari Las Vegas, RUPS-nya digelar. Pemberhentian Jaehyun menjadi salah satu agenda di sana. Dan yah… terjadilah. Untuk alasan yang tidak jelas, anak itu terus menjual sahamnya tiap tahun, dia hampir tak punya power apa-apa untuk mempertahankan posisinya di perusahaan rintisan ayahnya sendiri.” Sicheng menghela napas getir sebelum melanjutkan. “Lalu Youngho, sebagai pimpinan salah satu anak perusahaan Jung Corp, dia punya reputasi yang bagus di antara para pemegang saham. Youngho dianggap lebih kompeten dan bertanggung jawab. Belum lagi dia adalah sepupu Jaehyun. Dengan statusnya itu, Youngho dianggap masih bagian dari keluarga Pak Jung, jadi semua orang menganggap menjadikannya sebagai pemimpin adalah hal yang etis.”


Sanghyeon kehabisan kata. Setelah mendengar semua penjelasan Sicheng, ia menyandarkan punggungnya di jok dan memandangi jalan dengan ekspresi merana.


“Asal kau tahu, Seo Youngho itu sangat cerdik menarik simpati orang,” lanjut Sicheng seraya menurunkan volume radionya yang kini kembali memutar musik. “Kata rekan-rekan kerjaku di Las Vegas, proyek Amerika yang dipegang Jaehyun yang sebelumnya berjalan mulus-mulus saja bisa mendadak hancur begitu akibat ulahnya. Dulu kukira itu cuma omong kosong, maksudku… memangnya dia bisa apa?” Sicheng menjeda ucapannya dan mendesahkan tawa miris yang membuat penjelasannya semakin dramatis. “Tapi setelah bekerja dengannya hampir dua puluh bulan, aku jadi yakin kalau rumor itu benar. Dia manusia paling licik yang pernah kutemui. Dia banyak akal dan bermuka dua. Dia bisa melakukan apa saja dengan tutur katanya. Tch, kalau bukan karena gajinya, aku pasti sudah angkat kaki.”



**********



Setelah hari itu, Sanghyeon dan Sicheng bertemu satu sama lain hampir setiap hari. Apartemen mereka rupanya hanya berjarak sepuluh menit dan tempat kerja mereka bahkan lebih dekat lagi. Selama ini Sanghyeon takut melewati gedung Jung Corp karena menghindari satu persen peluang untuk bertatap muka dengan Jaehyun lagi. Perpisahan mereka dua tahun silam amat berantakan hingga membayangkan bertemu Jaehyun lagi (sekecil apa pun kemungkinannya) sudah cukup untuk membuat Sanghyeon mual. Itu akan sangat canggung.


Namun sekarang, setelah tahu Jaehyun sudah tak bekerja di Jung Corp lagi (yang sekarang sudah ganti nama menjadi OGO Group), Sanghyeon akhirnya bisa melenggang bebas di dalamnya. Di lobi, tepatnya. Selepas kerja, ia langsung berjalan kaki ke sana untuk menjemput Sicheng. Menunaikan janjinya menemani pria itu menghabiskan akhir pekan di bioskop.


Tepat pukul tujuh lewat sebelas, pintu lift terbuka. Sicheng yang muka dan kemejanya sudah kusut terlihat berjuang membawa setumpuk berkas yang hampir menutupi pandangannya. Sanghyeon berdiri dari sofa tunggu dan hendak menghampiri Sicheng begitu matanya menangkap siapa gerangan yang ada di sebelah pria itu. Kaki Sanghyeon membatu di tempat. Itu Seo Youngho. Dengan setelan serba hitam dan tangan kiri yang dibenamkan di saku celana, ia melangkah keluar dari lift. Matanya dan mata Sanghyeon beradu—Sanghyeon otomatis tersenyum untuk menyapa. Tapi senyumnya itu tak sedikit pun meluruhkan ekspresi angkuh di wajah Youngho. Dengan layar ponsel yang menempel di telinga, ia menatap dingin Sanghyeon selama setidak-tidaknya satu setengah detik sebelum membuang muka dan mengomel kasar pada Sicheng untuk mencarikannya supir baru sebelum hari Senin. Ia melewati sofa tempat Sanghyeon berdiri tanpa menoleh seinci pun dan menerima kunci mobilnya dari valet jangkung yang bersikap kelewat hormat, membungkuk amat dalam seolah sedang berhadapan dengan seorang raja.


Begitu mobilnya melaju, suara protes Sicheng baru terdengar di telinga Sanghyeon. Gadis itu tersadar dan langsung berlari membantunya. Ia mengambil sebagian map dari tangan Sicheng dan berjalan bersisian dengannya menuju parkiran.


“Dia lebih kasar dari Jaehyun.” Sanghyeon berkomentar saat Sicheng bersusah payah menekan tombol unlock di kuncinya.


“Youngho maksudmu?”
“Ya.”
“Dia memang begitu.”
“Untuk sesaat kukira dia akan menyapaku, tapi wah… tatapan matanya itu… apa dia lupa pernah membuatkanku milkshake?”


Well, dia cuma baik pada orang yang menguntungkan baginya.” Mereka sama-sama menyurukkan semua dokumen di dekapan masing-masing ke jok belakang. “Kau jelas sudah tidak menguntungkan lagi.”


Sanghyeon menutup pintu dan berdecih seolah semua itu tidak masuk akal. “Aku jadi berpikir, apa selama ini aku ada di pihak yang salah? Jadi yang berdusta adalah Youngho? Bukan Yiren?”


“Siapa Yiren?” tanya Sicheng seraya membuka pintu dan menduduki kursi kemudi.


Sanghyeon mengikuti. Duduk di kursi penumpang di sebelah Sicheng dan menjawab dengan nada tak suka. “Mantan Jaehyun.”


“Oh, cewek Tiongkok yang mengadakan pesta ulang tahun besar-besaran di Stanford?”
“Jadi anak itu tak pernah menggoda Youngho?” Sanghyeon mengabaikan Sicheng dan terus bergumam sendiri. “Youngho-lah yang menggodanya?”


Sicheng menstarter mobilnya dan mengangkat bahu tak peduli. Kepalanya sudah terlalu pusing dengan urusan kantor hingga tak sanggup memedulikan orang lain lagi.


“Ini membuatku tak nyaman, kau tahu. Setelah bertahun-tahun, aku akhirnya bisa mengerti kenapa Jaehyun begitu membenci Youngho. Selama ini kukira anak itu bersikap berlebihan. Kukira dia cuma gelap mata karena masih belum bisa melupakan mantannya.” Sanghyeon mendesah, kemudian menempelkan keningnya di kaca yang berembun dan berdecak tak habis pikir, “Lee Sanghyeon, ya ampun, betapa naifnya dirimu.”


“Omong-omong soal Jaehyun,” Sicheng berkata saat mereka sudah keluar dari area gedung. SUV-nya kini bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya, “aku melakukan pencarian kecil-kecilan dan menemukannya.”


Sanghyeon menoleh tertarik. Tapi menahan mulutnya rapat-rapat agar tak terlihat terlalu bersemangat.


“Jaehyun ada di Seocho. Dia merintis perusahaan broker sahamnya sendiri. JH Security.” Sicheng memandang lawan bicaranya dan tersenyum penuh arti. “Nanti kuberikan alamatnya.”


“Tidak perlu.”
“Bukankah kau penasaran dengan keadaannya?”
“Aku cuma mau tahu apa kabarnya. Bukan mau bertemu.”
“Yeah.” Sicheng langsung mengangkat ponselnya, menggulirkan ibu jarinya di layar selama beberapa saat kemudian meletakkannya lagi. “Sudah kukirim.”


“Kubilang aku tak mau menemuinya.”
“Tidak ada yang menyuruhmu menemuinya,” bantah Sicheng dengan nada dibuat-buat. Samar-samar kedua sudut bibirnya terangkat naik. “Kalau mau langsung dihapus pun silakan.”



*********



“Ada yang bisa saya bantu?”


Sanghyeon terlonjak kaget dan menoleh pada suara di belakangnya. Reaksi Jaehyun pun sama saja. Ia terpekur begitu mengetahui ternyata Sanghyeon-lah perempuan yang berdiri di depan pintu kantornya sejak tadi. Matanya mengerjap. Ketegangan terpeta jelas di wajahnya, tak mampu ditutupi.


Segalanya terasa kabur, lambat. Sanghyeon tak bisa berkata-kata. Dia bahkan tak tahu apa yang mau dilakukannya di sini. Tadi pagi, begitu bangun, tahu-tahu saja ia memutuskan untuk membuka pesan yang dikirim Sicheng semalam dan tanpa pikir panjang mendatangi alamatnya. Kantor baru Jaehyun. Sebuah bangunan batu bata mungil yang luasnya tak lebih dari dua ratus meter persegi. Ironis.


Mereka hanya saling menatap dengan pandangan horor. Sama-sama tak punya keberanian.


“Hei.” Pada akhirnya Jaehyun membuktikan bahwa dibanding Sanghyeon, dirinya punya lebih banyak keberanian.


“Hei.”


Rasanya salah. Suaranya terdengar parau. Sanghyeon mengusap rambutnya salah tingkah dan mengambil satu langkah menjauh dari pintu. “Seharusnya aku tidak ke sini. Maaf sudah mengganggumu. Aku pergi.”


“Tunggu, tidak,” sergah Jaehyun. “Masuklah,” pintanya. Ia mengeluarkan kunci dari saku celananya dan segera membuka pintu.


“Aku tak mau mengganggumu kerja.”
“Ini hari Sabtu. Kami libur.”
“Okay, tapi…”
“Silakan,” sela Jaehyun, menyingkir dari pintu yang terbuka lebar dan memandang Sanghyeon menunggunya masuk.


Kesunyian yang ganjil dan tak nyaman menyergap keduanya begitu mereka di dalam. Sanghyeon melangkah lambat-lambat sambil mengamati meja-meja kerja yang disusun berdesakan, kabel-kabel PC yang melintang di mana-mana dan keranjang sampah yang sudah penuh. Kemudian Jaehyun mendahuluinya menuju pantri. “Duduklah di mana pun kau suka. Akan kubuatkan espresso.”


Sanghyeon cuma tersenyum.


Ia duduk di sofa kulit berwarna marun yang bagian lengannya sudah mengelupas. Matanya mengawasi Jaehyun yang bergerak serabutan dua meter di depannya. Pria itu nampak canggung. Cangkir di tangannya terus menabrak rak hingga menghasilkan dentingan nyaring, bubuknya berserakan, mesin kopinya tak mau menyala. Jaehyun membunyikan tangannya kemudian membuka mantelnya. Kefrustrasiannya terus meningkat setiap detiknya.


“Sebenarnya kau tak perlu repot-repot.”
“Apa aku terlihat repot?”
“Ya.”
“Tidak. Aku tidak repot.”
“Bisakah kau duduk saja di sini? Aku cuma ingin tahu keadaanmu,” kata Sanghyeon memberanikan diri. “Apa kabarmu, Jaehyun-ssi?”


Jaehyun yang semula bersikukuh membuatkan kopi akhirnya menyerah. Ia berbalik badan dan menatap Sanghyeon sambil meringis memungut mantelnya. “Seperti yang kau lihat, kabarku buruk. Aku baru beli mesin kopi ini minggu lalu. Satu juta won. Dan sekarang si berengsek ini tak mau menyala.”


Gadis itu mendengus geli. Kemudian mengernyitkan hidungnya dengan raut sedih. “Aku turut prihatin.”


“Kau jelas tidak tulus mengatakan itu, tapi yah, terima kasih. Lagian tidak masalah, aku masih menyimpan kartu garansinya.” Jaehyun terlihat jauh lebih nyaman saat mengatakannya. Sanghyeon tertawa.


“Omong-omong, sudah waktunya makan siang,” kata Jaehyun lagi. “Mau makan di luar? Aku tahu restoran bagus dekat sini.”


“Okay.”



**********



Mereka sampai di restoran lima menit sebelum pukul dua belas. Duduk di bagian luar dan langsung memesan tanpa menyentuh buku menunya. Jaehyun nampaknya merupakan pelanggan tetap di sana. Ia mengenal baik sang pelayan dan terlihat akrab dengannya. Sesuatu yang mustahil dilakukan Jaehyun yang dikenal Sanghyeon dua tahun silam.


“Yuta, ini Sanghyeon. Sanghyeon, ini Yuta.”


Dua orang yang disebut namanya itu saling tersenyum dan berjabat tangan singkat.


“Jadi ini? Pacar 2 bulanmu?” bisik Yuta pada Jaehyun. Volume suaranya agak terlalu keras untuk ukuran bisikkan. Sanghyeon yang mendengar hal itu langsung berpaling canggung memandangi jalan raya.


Jaehyun menepuk punggung Yuta keras sambil mencoba tertawa. “Bicara apa kau! Sudah sana! Buatkan kami jajangmyeon yang enak!”


Yuta terkekeh jail dan balas memukul punggungnya. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat Jaehyun meringis. “Selamat bersenang-senang!”


Setelah Yuta pergi, Jaehyun menyandarkan diri di kursi alumunium dan menatap Sanghyeon tanpa berkata-kata. Semakin lama, pandangannya semakin turun hingga terpusat pada jari-jemarinya yang berada di meja.


“Apa?” tanya Sanghyeon menyadari tatapan itu.
“Belum ada cincin.”
“Yeah, aku baru lulus tahun lalu.”


Jaehyun mengangguk. Ia mengamati Sanghyeon dengan hati-hati sebelum berkata, “Kusimpulkan orangtuamu sudah berhenti mengendalikan hidupmu.”


Sanghyeon tak langsung menjawab. Gadis itu terlihat tidak setuju. Ia mengerutkan alisnya selama beberapa saat sebelum menumpangkan kedua sikunya di meja dan mulai bercerita, “Saat aku pulang dari Amerika, di luar perkiraanku, orangtuaku sama sekali tidak marah,” ungkapnya. Ia memiringkan kepala dan mengulum senyum seolah sedang membayangkan. “Mereka kelihatan gembira dan bersyukur atas kepulanganku dan memperlakukanku dengan amat baik hingga aku merasa seperti tamu di rumahku sendiri. Tapi…,” ekspresinya berubah muram, “… sayangnya itu tak berlangsung lama.”


“Kau kembali dijodoh-jodohkan?”
“Ya. Makin hari makin parah. Jadi aku memutuskan untuk menyewa apartemen di dekat kampusku demi menghindari mereka.”


“Jadi itulah yang kaulakukan 2 tahun ini?” Alis Jaehyun terangkat. “Menghindar?”
“Benar.” Sanghyeon tersenyum sok riang. “Hebat, kan? Bisa melakukannya dengan baik sampai selama ini?”


“Ya, kau luar biasa.”
Practice makes perfect,” kelakarnya, menyunggingkan senyum miring berlagak arogan. “Pokoknya aku sudah benar-benar pro sekarang. Aku bahkan tak memberi tahu alamat apartemenku dan terus mengarang alasan-alasan hebat jika mereka memaksa ingin bertemu.”


“Menakjubkan.”
“Aku tahu. Saking ahlinya aku bahkan...”
“Tapi..,” Jaehyun menyela, matanya memandang Sanghyeon dengan kelembutan yang intens, mencoba menembus semua ketegaran palsu yang berusaha ditunjukkan sang gadis, “mau sampai kapan?”


Untuk sesaat Sanghyeon tertegun. Ia tak menduga akan mendengar pertanyaan itu. Ia tak menduga seseorang akan cukup peduli untuk menanyakan hal semacam itu. Terlebih seseorang yang baru ia temui lagi hari ini.


Setelah berhasil menguasai diri, Sanghyeon pun balas memandang Jaehyun dan memilih untuk pura-pura bingung. “Apanya?”


“Menghindar?”
“Jawabannya sudah jelas.”
“Apa?”
“Sampai aku bisa menemukan seseorang, tentu saja,” ujarnya. Kemudian meringis dan memperbaiki kalimatnya. “Maksudku, aku ingin bertemu seseorang seperti takdir.” Itu tidak membantu. Setelah mengucapkannya, Sanghyeon baru menyadari betapa klisenya kalimat itu dan mendesahkan senyum, mencemooh diri sendiri. “Aku yakin menurutmu ini konyol, tapi aku percaya pasangan jiwa.”


“Menurutku itu tidak konyol. Aku juga percaya pasangan jiwa.”
“Serius?”
“Ya.”


Diam sejenak. Sanghyeon mengamati orang-orang yang berlalu lalang di trotoar persis di sebelah kanopi mereka dan menggigit bibir. Mereka tak seharusnya membicarakan ini. Sekarang hatinya terasa tak tenang dan matanya tersengat menyakitkan. “Jadi,” katanya ragu-ragu, “menurutmu aku melakukan hal yang benar?”


“Tentu saja. Kenapa kau bertanya?”
“Entahlah.” Sanghyeon menggeleng. Menggigit bibirnya lagi. Kali ini lebih kuat. Berusaha untuk berhenti bicara. Namun kemudian ia mengangkat kepalanya menatap Jaehyun—yang balik menatapnya seolah sedang menunggu—dan mendadak tak bisa mengendalikan mulutnya. Ia mulai berceloteh seperti tangki bocor. “Aku cuma merasa seperti sedang menuju arah yang salah. Sangat salah. Tapi sudah terlalu terlambat untuk putar balik.”


“Kenapa begitu?”
“Kenapa terlambat maksudmu?”
“Bukan. Kenapa kau merasa menuju arah yang salah?”
“Aku tak bisa menjelaskannya.”
“Kenapa begitu?”
“Karena rasanya begitu.”
“Bagaimana?”


Jaehyun terlalu banyak bertanya. Sanghyeon jadi merasa disudutkan. Ia memicing tak senang pada lawan bicaranya itu sebelum menjawab, “Sudah kubilang aku tak bisa menjelaskannya. Kau tak akan mengerti. Aku merasa seperti berada di dalam mobil tanpa pintu yang akan menabrak tembok beton.” Sanghyeon tak yakin mengapa, tapi ia tersekat saat mengatakan itu. Hidungnya memerah dan ia bicara dengan suara cepat yang menyedihkan.


Mata Sanghyeon semakin tersengat saat kepalanya terangkat guna memandang Jaehyun lagi. Saat itu hati kecilnya merasa mungkin tak ada salahnya untuk berbagi resah pada seseorang yang pernah membawanya kabur ke luar Asia. Mungkin tak ada salahnya untuk terlihat kebingungan di depan orang lain sesekali. Jadi, dengan pertimbangan itu, Sanghyeon pun menghela napas dalam-dalam dan menuturkan pertanyaan yang menghantuinya seperti parasit, “Akhir-akhir ini aku selalu berpikir, bagaimana jika ternyata aku menunggu sesuatu yang takkan pernah datang? Bagaimana jika ternyata merekalah yang benar dan aku yang salah? Bagaimana jika semua pemberontakan yang kulakukan ini pada akhirnya sia-sia?”


“Kau terlalu banyak berpikir, Sanghyeon~a.”
“Tapi…”
“Setidaknya kau membuat keputusanmu sendiri.” Jaehyun menyela. “Jangan pikirkan sesuatu yang belum terjadi. Apa pun hasilnya, selama itu pilihanmu maka tak ada masalah. Yang penting kau sudah menuruti hatimu. Bukankah segalanya akan terasa lebih melegakan jika kau mengendalikan pilihanmu sendiri?”


“Itu tidak masuk akal.”
“Kenapa?”
“Dua tahun ini aku tak pernah merasa lega. Satu kali pun tak pernah. Bagaimana mungkin aku merasa ‘lega’ jika aku mengecewakan seseorang yang sudah membesarkanku?”


Jaehyun tak punya jawaban untuk itu. Ia cuma menatap gadis di hadapannya dan mengangguk mengerti.


“Aku tak tahu kenapa aku mengatakan semua ini padamu. Kita baru bertemu lagi setelah sekian lama. Harusnya aku tidak merusak suasana.”


“Kau tidak merusak suasana. Aku senang kau berbagi masalah denganku.” Jaehyun tersenyum tipis dan semakin melembutkan suaranya, “Kau tahu, banyak yang bilang kau harus mengecewakan orangtuamu dulu sebelum bisa menjalani hidup yang bahagia. Katanya itu proses pendewasaan. Dialami hampir semua orang di dunia, tak peduli di mana dan kapan mereka dilahirkan. Aku tak bisa memastikan kebenarannya, tapi entah mengapa aku setuju dengan itu.


“Aku tak bermaksud mengguruimu. Tapi kau harus mulai mempertimbangkan prioritasmu. Siapa yang paling ingin kau bahagiakan di dunia? Dirimu sendiri, kah? Orangtuamu? Atau seseorang spesial yang lain? Hal itu penting. Kau tak bisa membahagiakan semua orang sekaligus jadi kau harus memilih. Setidaknya itu yang kupelajari akhir-akhir ini.” Jaehyun bisa melihat air mata mengalir di pipi Sanghyeon dan tanpa berpikir segera mengulurkan lengan mantelnya. Ia memberi isyarat bahwa Sanghyeon bisa mengelap wajahnya dengan itu. Sanghyeon menolak. Memilih untuk mengusap air matanya dengan punggung tangannya sendiri. Tapi air matanya tak mau berhenti.


Sambil menghalau air mata, Sanghyeon berulang kali mendorong lengan Jaehyun dari wajahnya. Namun Jaehyun yang keras kepala kukuh mengulurkan lengan mantelnya ke wajah Sanghyeon, membantu mengelap air mata sang gadis yang terus mengalir. “Kau akan baik-baik saja,” tambahnya, tersenyum memberi semangat. “Hanya karena orangtuamu tak menyetujui keputusanmu bukan berarti kau sudah membuat keputusan yang buruk.”


Sanghyeon makin tersedu-sedu. Gadis itu terlihat kacau namun tetap berusaha menutupinya. Ia mendorong lengan Jaehyun dari wajahnya dan menatap sang pria sambil tersenyum pahit. “Atau,” isaknya ditahan-ditahan, “mungkin bukan aku yang mengecewakan mereka? Mungkin merekalah yang mengecewakanku!”


“Yeah, aku lebih setuju yang itu.”
“Kenapa mereka harus begitu!”


Jaehyun menyelipkan anak rambut Sanghyeon ke balik telinganya. “Aku tak tahu,” gumamnya. Ia cuma terus mengusap rambut Sanghyeon selama gadis itu menangis. Tangannya terus bergerak dan bergerak tanpa mengatakan apa-apa. Dan itu amat menenangkan. Dan itulah persis yang sang gadis butuhkan. “Tapi sebaiknya jangan bersikap terlalu keras,” ucap Jaehyun beberapa saat kemudian. “Ini pertama kalinya mereka menjadi orangtua. Tidak ada buku panduan. Tidak ada rambu-rambu. Mungkin orangtuamu sendiri tak sadar sudah mengecewakanmu. Kau tidak menyimpan dendam, kan?” Jaehyun mengulas senyum penuh canda sambil menurunkan kepalanya sedikit supaya bisa menatap wajah Sanghyeon yang menunduk, “Jangan dendam, okay? Maklumi saja.”


Saat itu Yuta akhirnya datang. Ia baru saja meletakkan nampan berisi dua gelas lemon smoothie dan dua mangkuk jajangmyeon saat menyadari Sanghyeon sedang menangis. “Ya ampun! Anda menangis!” serunya, membelalak panik. “Kenapa Anda menangis!”


“Karenamu!” Jaehyun mengompori. “Makanannya terlalu lama datang!”
“Aku menangis karena makanannya terlalu lama datang!” Sanghyeon ikut membenarkan alasan konyol Jaehyun sambil tersenyum terisak. Membuat Yuta makin kebingungan.


“Itu tak sampai 10 menit!!”
“Sangat lama.”
“Kalian bercanda, kan?!! Astaga! Sebentar, kuambilkan tisu.”
“Tch, restoran macam apa ini di mejanya tidak ada tisu!” Dengan nada mencela dibuat-buat, Jaehyun berteriak pada pria yang sudah berlari ke dalam restoran itu sambil membuka mantelnya.


“Sini. Berikan padaku. Aku akan mencucinya dan memberikannya padamu.”


Jaehyun tak melawan saat Sanghyeon yang terlihat sudah bisa mengendalikan diri itu mengambil mantelnya.


“Aku tak sadar sudah menangis sebanyak ini,” ujarnya, meringis melihat hasil perbuatannya. Bagian lengan mantel Jaehyun benar-benar lembap dan lengket. Memalukan.


“Omong-omong,” seraya mengaduk smoothie-nya dengan sedotan, Jaehyun bercerita, “aku juga baru mengecewakan orangtuaku, jika itu membuatmu merasa lebih baik.”


“Oh ya?”
“Ya.”
“Apa yang kaulakukan?”
“Mengundurkan diri dari Jung Corp.” Jaehyun berucap ringan. “Saat itu ayahku sedang sakit keras dan dia hampir mati mendengarnya.”


“Itu pasti berat.”
“Sangat berat.”
“Aku mengerti.”
“Tapi mereka tidak,” katanya, nyaris tanpa beban. “Saat kubilang aku mengundurkan diri karena tak mau bekerja di bawah pimpinan Youngho, mereka mengataiku tolol dan kekanakan. Kami tak bicara selama satu setengah tahun sebelum akhirnya berdamai.”


“Setidaknya kalian berdamai.”
“Yeah,” gumamnya. Namun kemudian ia nampak ragu. Jaehyun menimbang-nimbang selama beberapa saat hingga akhirnya berubah pikiran. Ia menggeleng, mendekatkan mangkuk jajangmyeon-nya dan mengambil sumpit, kemudian berkata, “tapi tidak juga,” katanya. “Secara fisik kami memang berdamai, tapi secara batin tidak. Segalanya sudah berubah, sulit untuk kembali seperti semula. Kami kehilangan satu sama lain di hari pertengkaran itu dan rasanya tak ada yang bisa kami lakukan untuk memperbaikinya.”


Sanghyeon mengerti perasaan itu. Dan walaupun sadar dirinya bukanlah satu-satunya manusia di bumi yang sedang mengalami konflik semacam ini, namun nyatanya ia memang merasa lebih baik saat mendengar Jaehyun menceritakan pengalamannya sendiri. Rasanya seperti sedang melaju ke arah beton bersama-sama. Walaupun berada di mobil yang berbeda, tapi mereka akan menghadapinya bersama-sama. Mereka akan saling menguatkan dan sekeras apa pun benturannya nanti, Sanghyeon merasa ia lebih siap untuk menghadapinya.


“Mantelku,” Jaehyun menyadari sudah waktunya mereka mengganti topik, “kapan akan kau kembalikan?”
“Entahlah. Mungkin lusa? Setelah aku pulang kerja?”
“Kau sudah kerja?”
“Ya.”
“Apa kau bekerja di..”
“Tidak, aku tidak kerja di Jung Corp.”
“Tentu saja. Mereka sudah ganti nama, kan? Apa namanya sekarang? OGO Group?”
“Tidak, aku kerja di perusahaan start up milik seniorku. Masih di area kampus. Aku sengaja kerja di situ agar tak perlu ganti apartemen. Walaupun superkecil, tapi aku sudah nyaman di sana.”


“Mungkin kalau kau tidak meninggalkan kartu ATM-mu di apartemenku, kau bisa menyewa satu yang lebih besar.”


Sanghyeon praktis tertawa. Ia hampir menyemburkan smoothie-nya. “Lebih baik jangan ingatkan aku soal itu.”


“Kenapa?  Akhirnya kau menyesal?”
“Sedikit.”
“Tenang saja, aku masih menyimpan baju-bajumu. Kau bisa mengambilnya kapan pun kau mau.”
“Tidak, terima kasih. Aku masih punya harga diri.”


Kali ini giliran Jaehyun yang tertawa.


Siang itu, topik-topik pembicaraan baru terus berdatangan. Mereka mengobrol sampai lupa waktu. Saat sudah menjelang sore, keduanya memutuskan untuk bertukar kontak dan menjanjikan pertemuan lain secepatnya. Itu reuni yang menyenangkan. Jaehyun membuatnya luar biasa tenteram untuk sejuta alasan. Jaehyun yang ia temui hari ini entah bagaimana terasa jauh lebih intim dan familier ketimbang Jaehyun yang tinggal bersamanya selama dua bulan di Las Vegas dulu. Mungkin ini keajaiban waktu. Sebab orang bilang waktu memperbaiki segalanya. Atau mungkin ini karena mereka tak lagi terikat hubungan ‘bisnis’. Hanya sepasang manusia yang punya masa lalu bersama. Dan segalanya terasa lebih mudah dengan status itu.


“Bukankah temanmu bilang dia akan mengambilkan kita tisu?” tanya Sanghyeon saat mereka berdiri, bersiap pergi.


Jaehyun baru menyadari hal itu dan langsung mendenguskan tawa. “Kau benar.” Ia menoleh ke dalam ke restoran yang sibuk dan menggeleng pada Sanghyeon. “Kita benar-benar tak bisa mengharapkan apa pun darinya. Sekadar tisu pun tak bisa. Ayo.”



**********



Setelah percakapan emosional di restoran itu, mereka memutuskan untuk bertemu hampir tiap minggu; mendatangi tempat kerja satu sama lain atau joging bersama di akhir pekan. Jaehyun memperkenalkan Sanghyeon dengan para karyawan dan teman-temannya yang luar biasa. Selain Yuta, ia juga berteman dengan seorang ilmuwan muda bernama Mark dan mantan narapidana paling dikagumi seantero negeri, Kim Doyoung. Lingkaran pertemanan Jaehyun benar-benar sinting. Sanghyeon tak menyangka ia akan mengenal orang-orang keren itu.


Saat mereka semua sedang hangout bersama, Sanghyeon tak pernah absen mengajak Sicheng. Walau awalnya canggung, namun pada akhirnya semuanya berjalan baik. Mereka merasa nyaman. Sanghyeon mulai yakin bahwa hubungannya dengan Jaehyun memang tak bisa lebih dari teman.


Sampai akhirnya hari itu tiba. Hari di mana bunga-bunga yang sudah sekian lama layu kembali bermekaran di hatinya.


Sungguh asing rasanya melihat Jaehyun mengenakan setelan itu. Ya, setelan ‘itu’. Sebuah setelan hitam beraksen merah gelap yang memeluk tubuhnya seperti mahakarya. Selama berbulan-bulan, Sanghyeon tak pernah menatap Jaehyun sebagai seseorang yang pernah ia taksir sampai detik itu tiba, sampai ia melihat Jaehyun mengenakan jas pemberiannya ke kantor.


Itu merupakan Selasa petang yang sunyi. Saat Sanghyeon masuk, Jaehyun sendirian di ruang kerjanya karena semua karyawannya (yang cuma berjumlah 3 orang) sudah pulang. Pria itu tak menyadari keberadaan Sanghyeon, terlalu sibuk mencari-cari sesuatu yang nampaknya terjatuh di sekitaran meja kerjanya. Sanghyeon tak bersuara, ia hanya berdiri di ambang pintu, menunggu dalam diam hingga presensinya disadari.


Sanghyeon menggunakan waktunya itu untuk memperhatikan Jaehyun. Benar-benar memperhatikannya untuk pertama kali setelah mereka bertemu lagi selama hampir 4 bulan ini. Sanghyeon mau tak mau mengakui betapa briliannya Jaehyun dalam menjaga penampilan; rambut hitam berkilau, tubuh atletis, wajah putih bersih dan jangan lupakan pesona alami yang ia miliki di lesung pipinya.


Semakin diperhatikan, Jaehyun terasa semakin sempurna dan tak nyata. Sanghyeon berusaha mati-matian untuk menjauhkan pikirannya dari peluang sakit hati lagi. Menyukai Jung Jaehyun hanya akan mengorek luka lama dan membuat dirinya kecewa kembali. Jadi, untuk menghindari pikirannya yang semakin tak terkontrol, ia pun mengakhiri semua pengamatan diam-diamnya dan berdeham.


Jaehyun yang sedang berlutut di bawah meja terkejut. Kepalanya terantuk keras dan membuat Sanghyeon terkesiap.


“Astaga! Sori. Aku mengejutkanmu, ya?”


Jaehyun segera berdiri, setengah meringis mengusap-usap kepalanya. “Sejak kapan kau di situ? Duduklah.”


Sanghyeon turut meringis, mengucapkan maaf berkali-kali.


“Aku baik-baik saja, sungguh. Silakan duduk. Apa kau sudah lama berdiri di sana?”
“Aku yakin tidak sampai lima menit,” kata Sanghyeon, berjalan ke sofa dan duduk di sana. Matanya masih setia mengawasi Jaehyun yang kini tengah melepas jasnya kegerahan. Aksi sederhana itu gilanya mampu membuat hati Sanghyeon bergetar. Perlahan namun pasti, perasaan sukanya pada Jaehyun nampaknya telah menemukan jalan kembali. Sesuatu yang berbahaya dan tak diharapkan.


“Apa kita ada janji keluar malam ini? Tolong katakan tidak.” Jaehyun tertawa kelelahan. “Aku baru pulang meeting dan benar-benar capek jika harus pergi lagi.”


“Sebenarnya…” Sanghyeon mengulum senyum, tak mau terlihat terlalu kecewa, “ya, kita ada janji,” ucapnya, setengah hati mengangguk, “kau minta ditemani beli kado untuk pacarnya Doyoung. Tapi tidak masalah jika tak bisa hari ini. Kita masih punya waktu. Ulang tahunnya 4 hari lagi, kan?”


“Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa.” Sanghyeon membenarkan posisi tasnya dan berdiri. “Kalau begitu lebih baik aku pulang saja.”


“Tidak, tunggu. Aku juga mau pulang. Ayo ke halte bersama.”
“Baiklah.”
“Tapi bisakah kau memberiku 5 menit? Hanya 5 menit. Aku akan mencari 5 menit lagi sebelum menyerah.”
“Apa yang kau cari?”
“Klip dasiku. Tadi jatuh di sekitar sini.” Jaehyun mengedikkan kepala ke bawah meja sementara tangannya bergerak kasar di lehernya, berusaha meregangkan dasinya yang mencekik. “Ah, kenapa simpul ini jadi kuat sekali?”


“Mau kubantu?” Sanghyeon terkejut sendiri dengan tawaran anehnya. Mereka bertatapan canggung selama beberapa saat sebelum Sanghyeon memecah kesunyian dengan tawa keras. Untungnya Jaehyun juga ikut tertawa. Kalau tidak, Sanghyeon pasti sudah menggali kuburannya sendiri persis di tempat itu karena malu.


Masih tersipu, Jaehyun berbalik badan dan kembali merunduk di bawah mejanya. Sanghyeon turut mengedarkan pandangannya ke lantai untuk membantu. Namun nihil. Mereka tak bisa menemukan klip dasi itu.


“Baiklah. Sepertinya aku harus merelakannya,” kata Jaehyun pasrah. Tanpa sadar kembali menarik-narik dasinya.


“Apa kau sengaja?”
“Huh?”
“Kau sengaja membuatku jengkel.”
“Apa maksudmu?”
“Berhentilah menariknya begitu!” tukas Sanghyeon geregetan. “Kau membuat simpulnya makin kuat.”


Tangan Jaehyun praktis berhenti. “Oh.” Ia terkekeh. Bahunya turun dengan santai dan pinggulnya bersandar di ujung meja. “Benar. Aku sudah lama sekali tidak pakai dasi.” Ia membuka laci mejanya dan mengeluarkan gunting.


Kehadiran benda tajam itu membuat Sanghyeon segera melesat menghampirinya. “Apa yang mau kaulakukan!” Sanghyeon merebut gunting itu dan melemparnya ke meja. Lantas memosisikan tangannya di kerah kemeja Jaehyun, berkutat dengan ikatan dasi sang pria yang luar biasa ketat sehingga menyerupai ikatan mati.


“Siapa yang memasangkan dasimu? Apa kau pergi meeting dengan dasi begini?”
“A-aku..,” Jaehyun hampir kehilangan suaranya karena terkejut, “.. memakainya sendiri.”


Kegugupan Jaehyun kental menguasai atmosfer di ruangan sempit itu. Ia mengamati Sanghyeon yang berjarak amat dekat di hadapannya dan menelan ludah.


“Sanghyeon-ssi.”
“Hmm?” balas Sanghyeon bergumam, kelihatan tak acuh karena sedang berkonsentrasi.
“Waktu itu,” Jaehyun bicara lambat-lambat, “aku tak bermaksud mempermalukanmu,” ia mengamati ekspresi Sanghyeon yang masih tak berubah sebelum melanjutkan, “aku cuma terus bertanya-tanya pada diriku sendiri… aku bertanya-tanya apa nantinya kau masih tetap suka padaku jika aku bukan CEO perusahaan besar lagi? Apa kau akan memandangku dengan cara yang sama jika aku keluar dari Jung Corp, jika aku jadi pengangguran…”


“Jaehyun-ssi!” Sanghyeon menyela dengan nada menegur.
“Y-ya?”
“Intinya kau menyukaiku atau tidak?”


Jaehyun tercenung. Ia berdeham membersihkan tenggorokannya dan mengambil waktu sebelum menjawab. “A-aku menyukaimu.”


“Sekarang pun masih?”
“Y-ya,” jawabnya parau, “Kau?”


Tangan Sanghyeon berhenti. Rasanya ia ingin berlari pulang dan melompat ke bawah pancuran yang membeku. Kalimat yang ditunggu-tunggunya selama ini akhirnya keluar dari mulut Jaehyun. Tapi kenapa rasanya begini? Perasaannya sekarang lebih didominasi kemarahan ketimbang kebahagiaan.


Selagi Sanghyeon sibuk merenung, Jaehyun kembali bicara dengan nada gugup yang semakin menjadi-jadi. Sama sekali tak sesuai dengan imej tangguhnya. “Sejak aku menyadari perasaanku, aku sudah berpikir untuk mengajakmu kencan sungguhan. Aku berpikir untuk melakukannya begitu proyekku rampung. Tapi sayangnya proyekku tak pernah rampung dan…”


“Sejak kapan?” Sanghyeon lagi-lagi menyela, nadanya lelah, “sejak kapan kau menyadari perasaanmu?”
“Sejak…” Jaehyun bisa merasakan tangannya berkeringat dan lidahnya terpelintir ke dalam, “… sejak aku melihatmu masuk ke dapur kelab bersama Youngho,” jawabnya pelan, nyalinya semakin ciut di bawah tatapan Sanghyeon. “Saat itu aku langsung minum-minum seperti orang gila. Melihatmu dengannya, bukan pengalaman yang menyenangkan untuk diingat. Sekujur tubuhku serasa terbakar. Tanganku seperti bergerak sendiri, menenggak sepuluh gelas scotch tanpa bisa kutahan. Yiren menertawaiku saat itu, dia bilang dia lega melihatku cemburu.” Jaehyun menghela napas dan berusaha menatap mata Sanghyeon dengan segenap keberaniannya. “Ya, kuakui agak sulit mengakuinya kala itu. Tapi lama-lama aku tahu Yiren benar. Aku memang cemburu.”


Lupakan soal pancuran yang membeku. Pada titik itu Sanghyeon benar-benar ingin menyikut muka Jaehyun dan memakinya dengan semua umpatan paling kotor di dunia. Ia tak bisa memikirkan respons yang lebih layak dari itu.


Dengan perasaan campur aduk, Sanghyeon menarik dasi yang sudah terurai dari kerah kemeja Jaehyun, menggenggamnya di antara mereka. Mata keduanya masih tak lepas dari satu sama lain. Berusaha saling membaca, mencari tahu bagaimana cara menangani situasi ini dengan tepat.


Kemudian, setelah beberapa lama, Sanghyeon-lah yang pertama mengambil keputusan. Ia menghela napas. Meletakkan dasi dalam genggamannya di meja, lalu dengan cepat berbalik.


“Sampai ketemu besok, Jaehyun-ssi,” pamitnya melangkah pergi.


Namun Jaehyun meraih sikunya dengan cekatan. Membalik tubuh gadis itu dan menariknya ke hadapannya. Ujung-ujung jarinya memeluk pinggang Sanghyeon dan bibirnya menyentuh bibir gadis itu. Menciumnya seolah tak ada hari esok. Semua itu terjadi dengan cepat. Yang Sanghyeon tahu, ia sudah memejamkan mata dan balas mencium Jaehyun sedalam yang ia bisa. Tas kerjanya jatuh ke lantai. Jari-jarinya mencengkeram kemeja Jaehyun, menariknya semakin dekat dan mendorongnya mundur sampai ke meja. Saat akhirnya ciuman itu berakhir, mereka saling menatap lagi. Keheningan yang menyusul terasa menghancurkan.


“Maa—“
“Jangan minta maaf!” sela Sanghyeon cepat. “Aku akan mencekikmu dengan dasi itu jika kau minta maaf.”
“Lalu apa yang…”
“Minta aku jadi pacarmu!”
“Kau mau?”
“Aku membalas ciumanmu, Jaehyun-ssi,” kata Sanghyeon, “sungguh, dengan apa biasanya kau berpikir?”
“Itu artinya iya?”
“Itu artinya kau bodoh.”


Jaehyun menatapnya tanpa berkedip. Secercah kelegaan terbias di wajahnya. “Jadi kita pacaran? Sungguh? Semudah ini?”


“Ya, semudah ini.” Sanghyeon meraih kerah kemeja Jaehyun dan mendekatinya gemas. “Dan andai saja kau tak menuduhku menyukaimu hanya demi uang, maka kita bisa pacaran lebih cepat. Aku bisa ada di sisimu saat masa-masa tersulitmu dan kita bisa merayakan anniversary kedua kita sekarang. Dan masalah keluargaku, ya ampun, seharusnya masalah bodoh itu sudah terselesaikan sejak lama. Seharusnya aku tak harus hidup di bawah stres selama bertahun-tahun dan bisa berfoto dengan pacarku saat kelulusan. Sadar tidak sih sudah menyia-nyiakan sebegitu banyak kesempatan dan waktu? Kau benar-benar berengsek.”


“Sudah selesai? Sekarang giliranku?” tanyanya menyebalkan. Jaehyun kemudian berdeham dan mulai memberi pembelaan, “Well, bukankah kau menerima tawaran sebagai pacar pura-puraku waktu itu demi uang?” ujarnya, tak mau sepenuhnya disalahkan. “Belum lagi mayoritas perempuan yang mendekatiku sejak ayahku pensiun hanya melihatku sebagai mesin uang. Jadi saat aku jatuh cinta sungguhan, wajar sikapku jadi lebih sedikit defensif, kan?”


“Kau mendorongku menjauh karena takut ditolak,” simpul Sanghyeon, memutar matanya mencela.
“Aku mendorongmu menjauh karena kau berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik.”
“Yeah, pengertian sekali.”
“Lee Sanghyeon.”
“Sudahlah. Katakan saja kau insecure, dasar pengecut. Akui saja ini memang salahmu.”
“Baiklah.”
“Kau mengalah semudah itu?”
“Ya.” Jaehyun mengacak rambut Sanghyeon sambil tersenyum selega-leganya. “Aku insecure, berengsek, pengecut. Terserah kau saja.”


“Apa kau mencoba menarik simpatiku sekarang? Kau ingin aku jadi tak tega dan menarik kembali kata-kataku?”


“Bisakah kau berhenti berpikiran negatif tentangku?”
“Lalu kenapa kau tiba-tiba mengalah?”
“Salah satu harus mengalah supaya kita bisa cepat-cepat makan, kan? Aku agak lapar.”


Sanghyeon praktis mendenguskan tawa. “Okay. Terima kasih sudah mengalah.”


“Ayo makan pangsit untuk merayakan hari pertama kita.”
“Siapa bilang aku mau pangsit!” Sanghyeon memeluk Jaehyun sambil tersenyum. “Aku mau dimasakkan sesuatu olehmu. Lagian aku berubah pikiran. Aku mau ketemu Waffle dan mengambil gaun-gaun mahalku. Jadi ayo ke apartemenmu saja. Boleh?”


Jaehyun balas tersenyum manis padanya. “Boleh.”


“Dan kau sungguh akan memasak untukku?”
“Tentu!” Jaehyun mengulurkan tangannya yang bebas untuk mengambil jas dan tas kerjanya, serta memungut tas kerja Sanghyeon di lantai.


“Apa yang akan kau masak untukku?” tanya Sanghyeon selagi mereka berjalan berangkulan keluar kantor.


“Apa pun yang kau mau.”
“Aku akan memakan apa pun yang kau masak.”
“Janji?”
“Janji.”
“Kalau begitu aku akan masak pangsit.”
“Jaehyun!”



END






Comments

Popular Posts