A Bad Reputation Part 2




Jadi, bagaimana cara menyiksa seseorang yang sudah tersiksa?


Mereka bilang, serang hatinya! Namun Sooyoung sangsi apa Mingyu masih punya hati. Ibaratnya, saat ini pria itu tengah terombang-ambing di dalam bahtera berisi siksaan tanpa akhir. Mungkin jika seseorang tiba-tiba datang dan menawarkan untuk membunuhnya, Mingyu akan berterima kasih. Tegasnya, membuat Mingyu mati bukanlah cara balas dendam yang tepat.

Sooyoung termenung, matanya menerawang ke luar jendela. Malam ini hujannya benar-benar dahsyat. Suara hujan yang beradu dengan genteng seng benar-benar gaduh, tapi juga menenangkan di saat yang sama; bulan yang tertutup awan, petir yang menggelegar, traffic jam di bawah sana. Sooyoung memeluk lututnya dan semakin khusyuk melamun, tenggelam semakin dalam di antara benaknya. Ini baru hari keempat dan dia sudah angkat tangan. Mingyu terlalu… mengerikan.


Saat itu, tiba-tiba teleponnya berbunyi. Sooyoung mencondongkan badan melewati nakas dan mengangkat gagang teleponnya.


“Halo?”
[Sooyoung!] Itu suara Pak Heejun. [Kau belum mengambil galon air minummu?]
“Ah? Saya harus mengambilnya sendiri?”
[Iya. Bapak bisa membantumu membawakannya kalau kau mau.]
“Tidak, Pak. Jangan repot-repot. Saya bisa sendiri. Di mana saya harus ambil?”
[Di depan kamar Nyonya Cha. Kau harus cepat, Nyonya Han suka mengambil lebih dari satu.]
“Baiklah. Saya ke sana sekarang.”
[Jangan lupa ambil gas juga jika punyamu habis. Semuanya akan masuk tagihan sewa. Oh, dan jangan pakai lift saat hujan. Listriknya sering mati.]


“Terima kasih infonya, Pak Heejun.”


Sooyoung memakai sendal jepitnya dan mengikuti arahan Pak Heejun. Benar saja. Ada dua buah galon dan beberapa gas elpiji di depan kamar Nyonya Cha di lantai satu. Sooyoung mengerahkan seluruh tenaganya dan mengangkat galon seberat sembilan belas kilogram itu ke dalam pelukannya.


Saat itu, tiba-tiba saja pintu depan terbuka. Tiupan angin dan udara dingin masuk bersamaan dengan seorang pria yang tubuhnya sudah basah kuyup. Dalam sekali lirik, Sooyoung tahu itu adalah Mingyu. Pria itu mengunci pintu dan berjalan lurus menuju tangga, tanpa menghiraukan Sooyoung yang bergeming sambil memeluk galon, menahan napas seolah-olah sedang bertemu vampir China.


Mingyu benar-benar basah, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Air merembes dari sepatunya tiap kali ia melangkah. Tapi semua itu tak membuat Mingyu rikuh, dia tetap berjalan, membuat seluruh lantai basah tanpa merasa bersalah.


Kata Pak Heejun, tidak boleh menaiki lift saat hujan, jadi Sooyoung menunggu sampai Mingyu menghilang dari pandangannya, baru kemudian beranjak menuju tangga. Ia tak mau berjalan persis di belakang Mingyu. Semenjak kejadian kemarin, nyali Sooyoung yang awalnya sebesar bulan menciut hingga seukuran kuaci.


Namun malam itu, Sooyoung tidak dalam nasib baik. Sooyoung sudah berjalan sangat lambat demi menghindari Mingyu, tapi ternyata langkah Mingyu jauh lebih lambat lagi. Sekarang Sooyoung hanya berjarak empat anak tangga di belakang si pria. Mingyu mencengkeram pegangan tangga dan berjalan seperti kakek tua. Badannya nyaris membungkuk. Air dari tubuhnya menetes-netes sampai membentuk genangan.


Otot tangan Sooyoung mulai kram, jadi ia memutuskan untuk meletakkan galonnya dulu di lantai. Dan saat itu, saat tatapannya terarah penuh ke bawah, ia baru sadar kalau yang menetes dari tubuh Mingyu bukan hanya air yang bening, tapi juga sesuatu yang merah.


Saat Sooyoung mengangkat kepala, tubuh Mingyu sudah tumbang ke arahnya. Sooyoung tak punya cukup persiapan, alih-alih tenaga untuk menopang tubuh Mingyu. Dia bahkan belum sempat berteriak. Punggung Mingyu menubruk tubuh mungil Sooyoung sampai mereka berdua ambruk bersamaan. Rasanya sakit sekali. Sooyoung langsung menggulingkan tubuh Mingyu ke sebelahnya dan berteriak meminta tolong.


Teriakan Sooyoung melengking memecah keheningan di apartemen Gonse.


Beberapa orang keluar dari apartemen masing-masing, berduyun-duyun heboh menghampiri Sooyoung.


“Dia pingsan dan berdarah. Tolong bantu dia!” kata Sooyoung panik. Begitu melihat siapa ‘dia’ yang Sooyoung maksud, semua orang yang hendak menolong membeku.


“Sooyoung-ssi, lebih baik kau masuk ke apartemenmu.” Pak Heejun mengulurkan tangannya untuk membantu Sooyoung berdiri. Namun Sooyoung menggeleng.


“Bapak menyuruh saya masuk dan meninggalkan Mingyu di sini?”


Para tetangga yang mengerubung di hadapan Sooyoung saling berpandangan dengan tatapan yang tidak Sooyoung mengerti. Mereka memandang Sooyoung seolah gadis itu sangat bodoh. Seolah Sooyoung sedang bermain-main dengan singa yang kelaparan.


“Mungkin sebaiknya kita panggil polisi saja,” usul salah satu dari mereka.
“Polisi? Ya ampun dia ini pingsan loh,” tekan Sooyoung. “Yang seharusnya dipanggil itu ambulans, bukan polisi.”
“Sooyoung-ssi, kita tidak bisa sembarangan dengan Mingyu. Biarkan dia di sini, mungkin anak itu hanya mabuk. Dia akan bangun sendiri. Masuklah ke apartemenmu!”


“Dia berdarah, Pak. Aku tak tahu darimana darahnya berasal tapi Bapak bisa lihat sendiri.” Sooyoung menunjuk genangan-genangan air di anak tangga dengan berapi-api. Namun, semua orang di sini sama sekali tak terlihat simpati pada Mingyu. Sooyoung benar-benar kesal.


“Setidaknya bantu dia masuk ke dalam apartemennya. Kalau saya bisa mengangkatnya sendiri, saya tidak akan minta tolong. Kita tidak mungkin membiarkannya tergeletak di sini. Pak Heejun, Anda bilang sendiri bahwa tetangga adalah orang yang paling dekat dengan kita. Anda bilang pada saya bahwa tetangga adalah keluarga.”


Selama Sooyoung berceloteh, sebagian besar orang yang berkerumun berbalik pergi dan kembali ke apartemen masing-masing sambil mencibir di belakang Sooyoung.


Dasar Anak baru. Tidak tahu cerita.

Bikin ribut saja malam-malam.

Dia belum kenal makanya masih bisa sok heroik begitu.


Sooyoung mendengar itu. Kesan pertama mengenai keramahan para tetangganya langsung sirna dalam sekejap. Mereka semua benar-benar tak punya hati.


Yang tersisa sekarang hanyalah Pak Heejun dan si pendiam Woohyuk. Kedua pria itu berpandangan sejenak sebelum akhirnya Woohyuk berbalik badan, memutuskan untuk kembali ke apartemennya juga, seperti yang lain.


Sooyoung yang sedang berlutut di samping Mingyu sudah benar-benar putus asa. Ia melirik Mingyu dengan tatapan khawatir bercampur iba.


“Tunggu, Woohyuk-ssi. Bisa bantu saya mengangkat Mingyu ke apartemennya?”


Sooyoung seketika mendongak dengan tatapan berseri-seri. Ia tahu pada dasarnya Pak Heejun adalah orang baik.


Dengan ragu-ragu, Woohyuk pun menuruti permintaan Pak Heejun. Sooyoung segera berdiri dan memberi jarak agar kedua pria itu dapat mengatur posisi.


Sebelum mengangkat Mingyu, Pak Heejun menoleh pada Sooyoung dan memperingatkan dengan tegas. “Kita hanya akan meletakan Mingyu di kamarnya, lalu pergi.”


Sooyoung cepat-cepat mengangguk.


Pintu apartemen Mingyu tidak dikunci. Sooyoung, Pak Heejun dan Woohyuk tercengang begitu melihat isi ruangan itu. Ini memang bukan kali pertama Sooyoung memasuki—atau ditarik masuk ke—apartemen Mingyu, namun rasa takutnya kemarin membuatnya tidak menyadari keadaan sekitar.


Bagaimana bisa dia hidup di tempat seperti ini?


“Sooyoung-ssi, buka pintu kamarnya!” suruh Pak Heejun, membuyarkan lamunan Sooyoung.


Sooyoung mengangguk cepat dan menyapu semua bungkus makanan, kaleng bir, bahkan baju yang tergeletak di lantai dengan kakinya, memberi jalan bagi Pak Heejun dan Woohyuk menuju kamar tidur Mingyu.


Sooyoung mendorong pintu kamar Mingyu dan bahunya seketika terkulai turun. Gadis itu menggigit bibirnya dan menggeleng-geleng. Woohyuk yang melihat keadaan kamar Mingyu lewat bahu Sooyoung juga ikut menggeleng-geleng. Ketiga orang itu menampilkan ekspresi frustrasi yang sama. Tidak ada sejengkal area pun yang layak huni di sini. Selimut dan seprainya sudah tergulung-gulung, semua benda termasuk handuk basah dan pakaian dalam tergeletak begitu saja di depan pintu.


Sooyoung bisa mendengar Pak Heejun menghela napas, “Siapkan saja bantalnya di atas ranjang!”


Sooyoung dengan sigap memungut bantal dan menepuk-nepuknya sebelum meletakkannya di atas ranjang. Dan akhirnya, Mingyu pun dibaringkan di sana.


“Selesai. Ayo semua keluar!” perintah Pak Heejun, dengan nada genting seolah sedang memerintahkan tentaranya mundur dari peperangan.


“Apa dia masih hidup?” Sooyoung bertanya sambil memerhatikan wajah Mingyu.
“Dia masih bernapas,” jawab Pak Heejun sekenanya.
“Tapi…”
“Sooyoung, kau berjanji kita hanya akan membawanya ke kamar,” sela Pak Heejun mulai geram. Sooyoung pun tak punya pilihan lain selain mengikuti kedua pria itu keluar.


“Mungkin sebaiknya aku menyiapkan air putih di sebelahnya,” Sooyoung berkata setelah mereka bertiga sudah menutup pintu apartemen Mingyu.


Pak Heejun menoleh pada Sooyoung tanpa bicara apa-apa. Tetapi dari wajahnya Sooyoung tahu pria itu tak mengizinkan. Ia seperti berkata ‘sudah cukup’.


“Sebentar saja,” tambah Sooyoung. “Hanya air.”


Pak Heejun memejamkan matanya dan menghela napas, lantas menatap Sooyoung. “Bapak menghargai ketulusanmu untuk berbuat baik pada Mingyu. Tapi itu bukan ide yang bagus. Masuklah ke apartemenmu dan istirahat.”


Setelah mengucapkan itu, Pak Heejun dan Woohyuk pun berlalu. Pak Heejun memasuki apartemennya, sementara Woohyuk turun ke lantai dua. Sooyoung pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk mengambilkan Mingyu segelas air dan memasuki apartemennya.


Baru saja menutup pintu, Sooyoung teringat akan galonnya yang masih tertinggal di tangga. Ia melenguh dan terpaksa membuka pintunya lagi. Sooyoung berjalan menyusuri tangga hingga akhirnya menemukan galonnya yang sudah menggelinding sampai ke belakang pot di lantai dua, lantas mengangkatnya.


Selama berjalan kembali ke unit apartemennya, Sooyoung bisa melihat bekas air bercampur darah yang menetes di sepanjang anak tangga. Sooyoung benar-benar khawatir—sekaligus penasaran—akan keadaan Mingyu.


Bagaimana kalau ternyata dia sedang sekarat dan tidak ada yang tahu?


Begitu sampai di depan pintu apartemennya, Sooyoung berbalik badan dan berjalan lurus ke apartemen Mingyu. Gadis itu mendorong pintu apartemen Mingyu sepelan yang ia bisa, sementara matanya dengan awas melirik pintu apartemen Pak Heejun, takut sang dosen berperawakan kurus tinggi itu keluar tiba-tiba. Apa jadinya jika Pak Heejun memergokinya mengendap-endap memasuki apartemen Mingyu seperti ini? Memalukan sekali.


Sooyoung menghela napas lega setelah berhasil masuk dan menutup pintu.


Kemudian untuk kedua kalinya menggeleng-geleng melihat keadaan di dalam sana. Kacau sekali. Manusia macam apa yang kuat melihat pemandangan sekacau ini tiap hari? Yang pasti bukan Sooyoung.


Sooyoung meletakkan galonnya di dekat pintu dan berjalan ke dapur. Ia masih memegang janjinya; mengambilkan Mingyu segelas air. Ia hanya akan pergi ke dapur, mengisi gelas dan meletakkannya di atas nakas di sebelah tempat tidur Mingyu, lalu keluar. Tidak lebih.


Namun ternyata semuanya tidak semudah itu. Sooyoung terus-menerus dibuat ternganga setiap kali ia memasuki satu ruangan di apartemen ini. Mingyu sama sekali tidak memiliki apa pun kecuali sampah dan baju kotor. Serius. Bayangkan saja, dia tidak punya air minum, bahkan gelas bersih. Sooyoung jadi ingin mendaftarkan Mingyu ke program bantuan orang tidak mampu di televisi, supaya dia mendapat dana sosial.


Okay, anggap saja ini program terbaru bertajuk ‘Peduli Mingyu’ dan aku adalah relawannya, batin Sooyoung, seraya menggulung lengan baju dan menyalakan keran di bak cuci piring.


Gadis itu membersihkan semua peralatan makan yang bertumpuk di sana. Tidak banyak. Hanya gelas, piring dan sendok-garpu yang berjumlah masing-masing satu. Yang membuat mereka terlihat banyak adalah sampahnya. Sepertinya membuang sampah adalah pekerjaan yang berat untuk Mingyu.


Sooyoung mengelap rak piring Mingyu dan menyusun semua peralatan makannya di sana. Panci dan wajan yang sudah berkerak pun tak luput dari jangkauan Sooyoung, ia mencuci dan menggantung semuanya. Bahkan baju dan kaus kaki kotor di seluruh penjuru dapur juga dikumpulkannya dalam satu keranjang.


Hanya dalam sepuluh menit, dapur Mingyu berubah seperti baru. Semuanya mengilap. Sampah-sampah yang tadinya tersebar di bak cuci dan lantai sekarang sudah terkumpul dalam satu kantong plastik besar yang diikat rapi, siap buang.


Sooyoung meletakkan galon yang ia bawa di dispenser Mingyu sebagai sentuhan terakhir. Ketimbang dirinya, pria itu jelas-jelas lebih membutuhkan air.


Kemudian, sesuai tujuan awalnya, Sooyoung mengambil gelas di rak dan mengisinya sampai penuh, lantas meletakkannya di nakas persis di sebelah Mingyu. Sebelum keluar kamar, Sooyoung menoleh pada Mingyu, ia melihat dada pria itu naik turun dan praktis merasa lega. Dia masih bernapas. Syukurlah.


Sooyoung menutup pintu kamar Mingyu sembari membulatkan tekad untuk keluar dari apartemen ini. Dia sudah terlalu jauh dari niat awalnya. Namun, tekadnya goyah begitu pemandangan apartemen Mingyu yang super tidak keruan itu terhampar bebas di depan matanya. Jika Sooyoung keluar sekarang, pemandangan mengerikan ini pasti akan menghantuinya sampai pagi.


Jadi tanpa menimbang lagi, Sooyoung langsung memungut benda-benda acak yang tergeletak di lantai dan meletakkannya di tempat yang menurutnya sesuai. Ada botol minyak wangi kosong, charger handphone, asbak, baterai, gantungan kunci sampai vas bunga. Semuanya ada di bawah, tergeletak sembarangan.


Sooyoung, anggap kau masih jadi relawan untuk acara ‘Peduli Mingyu’, Sooyoung menguatkan diri.


Sang gadis menyisir ruangan apartemen itu dari kanan ke kiri. Bantal-bantal kecil dijejerkan di sofa, baju kotor dikumpulkan, bungkus makanan, kaleng-kaleng bir, puntung dan abu rokok disapu bersih. Dalam sekejap beberapa helai pakaian yang tadinya mengisi keranjang sekarang sudah bertambah hingga membentuk gunung. Plastik sampah di dapur sudah beranak pinak menjadi tiga. Sooyoung benar-benar merapikan segalanya, bahkan sampai kolong-kolong lemari.


Sooyoung baru kembali ke apartemennya pukul dua pagi dan langsung ambruk di kasur.


Anak itu bahkan tidak punya makanan, batin Sooyoung, sebelum kesadarannya benar-benar hilang.


Sooyoung yang sudah luar biasa mengantuk itu memaksa badannya untuk berdiri, membuka kulkas dan memanaskan ayam tulang lunak yang ia beli kemarin siang. Lantas kembali ke apartemen Mingyu dan meletakkan semangkuk nasi beserta beberapa potong ayam di meja makannya. Sooyoung tak lupa menyematkan catatan kecil bertulis ‘aku bersumpah tidak memberimu racun’.


Sooyoung kembali ke apartemennya dan merangkak naik ke kasur.


‘Untuk apa aku melakukan ini?’ Sooyoung bertanya-tanya dalam hati. ‘Ini berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya kulakukan pada Kim Mingyu.’



**********



Seperti biasa, Mingyu terbangun saat matahari sudah tinggi. Pria itu bangkit ke posisi duduk dan terheran-heran menyadari di mana dirinya sekarang.


Mingyu tak ingat kapan ia masuk ke dalam kamar. Seingatnya, setelah berhasil menghajar komplotan musuh ayahnya, ia pingsan di tangga apartemen. Dan biasanya, jika ia pingsan, ia akan bangun di tempat yang sama. Sebab mustahil ada orang di apartemen ini yang berani menyentuhnya.


Apa aku siuman di tengah malam dan berjalan ke sini?, Mingyu berpikir. Yeah, bisa jadi, kemudian menjawab sendiri, tak mau ambil pusing.


Mingyu mengulurkan kakinya ke lantai dan baru sadar bahwa perutnya terasa perih. Dia belum makan apa pun selama dua hari—dan ia yakin seribu persen itu yang membuatnya pingsan semalam. Mingyu meremas perutnya untuk menahan rasa perih itu. Kemudian memutuskan untuk mandi. Tubuhnya lengket oleh darah. Entah darahnya sendiri atau darah para bedebah semalam.


Selepas mandi, Mingyu melilitkan handuk di pinggangnya dan keluar kamar untuk misi pencarian baju—begitulah cara Mingyu berpakaian beberapa minggu belakangan ini. Namun betapa terkejutnya pria itu saat membuka pintu dan melihat ruang tamunya benar-benar… bukan seperti ruang tamunya. Mingyu terperanjat dan bergeming di ambang pintu kamar. Matanya menyorot pemandangan asing di hadapannya heran.


Ini benar apartemenku, kan?, pikir Mingyu, takut ternyata dia mengigau dan salah masuk apartemen orang. Tapi itu tidak mungkin, jelas-jelas kamarnya masih sama persis.


Apa jangan-jangan ada yang masuk?


Segera setelah memikirkan itu, Mingyu mengedarkan pandangannya dengan awas ke seluruh penjuru ruangan. Namun nihil. Bukannya menemukan seseorang, mata Mingyu malah terpaku pada tudung saji warna biru di atas meja makan. Diam-diam berharap ada sesuatu di dalam sana.


Mingyu mendekati meja makannya dan membuka tudung saji itu dalam satu gerakan cepat. Dan tebakannya tidak meleset.


Mingyu bisa merasakan sudut bibirnya berkedut, nyaris tersenyum. Jujur saja ia bahagia melihat beberapa potong ayam dan semangkuk nasi di atas mejanya. Tapi Mingyu tak bisa memakan mereka. Okay, secara harfiah tentu saja dia bisa, tapi Mingyu akan berpikir jutaan kali sebelum melakukan itu.


Mingyu sudah terbiasa tidak menerima makanan dari siapa pun. Sudah terlalu banyak orang yang berusaha meracuninya melalui makanan. Setelah ayahnya meninggal, Mingyu diwarisi segudang musuh yang mencoba membunuhnya dengan berbagai cara.


Mingyu bersumpah tidak pernah merenggut nyawa siapa pun, namun bermacam orang yang tidak ia kenal tiba-tiba menghadangnya dan menyuruhnya bertanggung jawab. Kata mereka, nyawa dibayar dengan nyawa. Dan sepertinya, nyawa sang ayah belum cukup setimpal untuk melunasi segudang dendam di hati mereka. Mingyu harus dihabisi juga.


Soal makanan, sepertinya Mingyu akan memberi pengecualian untuk hari ini. Mingyu masih waras. Pria itu sudah mengalami berbagai macam serangan ekstrim, pundaknya pernah tertembus peluru dan tulang di pergelangan tangannya sampai retak-retak karena menahan pukulan benda tumpul, ia tak mungkin merelakan tubuhnya yang tahan banting ini teronggok mati begitu saja hanya karena sakit maag dan kelaparan.


Singkat cerita, Mingyu memakan semua yang tersedia di mejanya dengan lahap, sampai tak ada yang tersisa. Dan baru setelah itu, ia menemukan catatan kecil bertulis “aku bersumpah tidak memberimu racun” di sebelah piringnya.


“Aku tidak menerima makanan dari orang asing. Aku tidak mau mengambil risiko diracun oleh siapa pun.”


Mingyu seketika teringat dengan kata-katanya sendiri. Ia tak perlu berpikir terlalu keras untuk tahu siapa dalang di balik ini semua. Mingyu mengambil kertas itu dan menggeleng tak habis pikir. Si tetangga baru. Bagaimana bisa perempuan itu masih punya nyali untuk masuk ke apartemennya setelah kejadian minggu sore kemarin, setelah Mingyu menggertaknya sampai membuatnya hampir menangis?


Mingyu menatap keluar jendela dan berdecak begitu melihat posisi sang surya. Sepertinya ini sudah lewat jam dua belas siang. Ia harus ke tempat kerja. Ada pelanggan yang membuat janji khusus dengannya. Jika dia tidak datang, Tony akan menyerahkan pelanggan itu pada Jaehyun. Dan itu artinya Mingyu tidak akan mendapat bonus. Alih-alih bonus, gajinya pasti akan dipotong.


Mingyu lekas berdiri, dan saat itu.. ia baru sadar kalau sejak tadi dirinya belum berpakaian. Pria berpostur tinggi itu mengedarkan pandang pada ruangan apartemennya yang sudah rapi. Tidak ada setitik sampah pun di lantai, apalagi baju. Mingyu bersujud memeriksa kolong meja, kolong lemari, dan kolong-kolong yang lain. Dia merogoh selipan sofa, mengecek belakang pintu, bolak-balik dapur sampai tiga kali seperti orang bodoh. Mingyu benar-benar kalut. Di saat sedang buru-buru begini, bisa-bisanya ia malah tidak punya baju.


“Hah dasar! Di mana cewek itu menyembunyikan bajuku?”



**********



“Dia tidak bergelimang harta seperti yang kau pikir.
Kim Mingyu hidup dengan sangat buruk. Dia sudah sangat menderita.”


Saat itu pukul 4 sore. Sooyoung mengetikkan beberapa baris pesan kepada seseorang sambil menunggu pintu lift apartemen Gonse terbuka. Begitu pesannya terkirim, Sooyoung langsung memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.


Pintu lift terbuka. Pak Heejun keluar dari sana dengan wajah kaku. Sooyoung baru saja hendak menyapa saat dengan tiba-tiba penghuni apartemen nomor tujuh itu terkesiap dramatis sembari menjatuhkan tasnya melihat Sooyoung. Pak Heejun berdiri di depannya sambil tergagap dengan ekspresi panik yang berlipat-lipat.


“Aduh! Apa sih yang kau lakukan pada Mingyu?” tanya Pak Heejun sepanik-paniknya. “Kan sudah Bapak bilang, jangan cari gara-gara dengannya!”


“A-ada apa, Pak?”
“Dia sedang menggedor-gedor pintu apartemenmu sekarang. Anak itu kelihatan kesal sekali.”
“Apa? Kenapa?”
“Mana Bapak tahu. Saat Bapak tanya, dia bilang sudah berdiri di depan kamarmu dari tadi siang. Dan…” Pak Heejun menghentikan ucapannya, tatapannya mendadak berubah skeptis. “Saat membawa Mingyu ke kamarnya semalam, apa kita melakukan sesuatu yang salah pada selimutnya?”


“Selimut? Kurasa tidak. Memangnya ada apa?”
“Dia membawa selimut. Bapak sama sekali tak paham apa maunya. Yang pasti dia memintamu untuk mengembalikan sesuatu, sepertinya ada barangnya yang hilang. Tapi kenapa ya tiba-tiba dia menuduh… tunggu!” Ekspresi Pak Heejun berubah curiga. “Kau kembali lagi ke apartemen Mingyu semalam?”


Sooyoung tak sanggup menjawab. Namun sikap diamnya itu sudah merupakan jawaban bagi Pak Heejun.


“Kan sudah dibilang jangan ke sana, aduh kau ini. Sekarang lebih baik jangan ke atas dulu! Buat Mingyu, laki-laki atau perempuan itu sama saja. Dia tidak pilih-pilih lawan, semua orang dia pukul. Apa kau ada uang? Makanlah di luar, atau menginaplah dulu di rumah temanmu!”


Sooyoung tak mendengarkan. Gadis itu tenggelam dalam benaknya sendiri. Rasa panik dan penasaran berputar-putar di kepalanya sampai membuat otaknya kusut.


Apa aku menumpahkan air di selimutnya?

Apa aku salah menempatkan barang?

Apa ayam tulang lunaknya tidak enak? Kalau tidak enak pun pasti karena sudah dingin, kan? Jadi seharusnya bukan salahku, dong? Sudah bagus dikasih makan.


Sooyoung tersadar dari lamunannya saat Pak Heejun mengulurkan selembar uang bernilai 10.000 Won sambil berkata, “Kau bisa menggunakan uang Bapak dulu.”


“Ah?” Sooyoung mengerutkan kening. “Buat apa?”
“Makan di luar.”
“Tidak usah, Pak Heejun,” tolak Sooyoung halus. “Saya punya uang, kok,”


Pak Heejun pun memasukkan uangnya kembali ke dompet sambil menasihati Sooyoung untuk tidak ke atas setidaknya sampai tiga atau empat jam lagi.


“Diamkan saja. Nanti juga dia lelah sendiri.”
“Iya, Pak.”
“Aduh, terlambat kan jadinya. Bapak pergi dulu, ya. Jaga dirimu!”


Pak Heejun pun berjalan tergesa-gesa meninggalkan apartemen.


“Hati-hati di jalan!” seru Sooyoung.


Sooyoung memang mengiakan ucapan Pak Heejun, tapi bukan berarti ia akan menurutinya begitu saja. Ya, dia punya uang, tapi tidak, Sooyoung tidak akan makan di luar hanya untuk menghindari amukan Mingyu—yang entah apa sebabnya. Dia tidak akan meninggalkan apartemen Gonse. Dia akan menghadapi Mingyu, bahkan jika harus diancam lagi, bahkan jika harus dipukul sekalipun. Sooyoung sudah siap menghadapi Mingyu. Bukankah memang itu alasannya berada di sini? Untuk menghadapi Mingyu?



**********



Mingyu menggunakan selimut untuk menutupi tubuhnya yang cuma berbalut handuk. Pria itu menunggu di depan pintu apartemen Sooyoung selama berjam-jam, dari berdiri tegap sampai duduk, dari mengomel panjang lebar sampai membisu. Mingyu sudah bolak-balik ke apartemennya sendiri sampai tiga kali—untuk duduk di sofa, untuk menggunakan kamar kecil, untuk berteriak melampiaskan rasa frustrasinya—namun Sooyoung belum juga datang.


Ke mana sih dia?


Mingyu tengah bersandar di tembok pemisah antara pintu apartemennya dan Sooyoung sambil menggerutu saat tiba-tiba saja elevatornya terbuka. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.


“Heh! Ke mana saja sih!!” Mingyu sontak berdiri tegap, tak lupa mengeratkan selimutnya.
“Ada perlu apa denganku?” tanya Sooyoung, berhenti beberapa langkah di depan Mingyu. Menjaga jarak aman.


“Mana bajuku?! Kembalikan sekarang, dasar klepto!”
“Baju?” Sooyoung membisu sejenak sebelum akhirnya terkesiap seperti baru teringat sesuatu. “Oh! Baju-baju yang berserakan di lantai itu? Aku tak tahan dengan baunya jadi langsung kucuci, sekarang masih dijemur di lantai empat.”


“Kenapa kau lancang sekali! Kerjaanku jadi berantakan kan sekarang!”
“Kerja? Apa hubungannya kerja dengan…. Astaga! Jangan bilang kau tak punya baju la—”
“Berisik! Lebih baik ambil semua bajuku sekarang!”
“Wah! Jadi sekarang kau tak pakai baju?” Sooyoung berseru sembari menahan tawa.


Muka Mingyu seketika memerah. “Heh! Kau buka mulut sekali lagi langsung kutendang ya!”


“Memangnya bisa?” goda Sooyoung. “Tidak takut tersandung?”
“Kau benar mau mati, ya!!”


Mendengar ancaman Mingyu, Sooyoung malah terkikik. Gadis itu berbalik dan berjalan menuju tangga tanpa bisa berhenti terkikik. Mingyu mendecih di belakangnya, lantas masuk ke apartemennya dengan perasaan kesal—juga malu.



**********



Tok Tok Tok


Mingyu langsung membukanya. “Tak bisa lebih cepat? Padahal cuma beda satu lantai. Kau itu manusia apa siput, sih?” omel Mingyu. Tangannya dengan cepat merebut keranjang baju dari Sooyoung.


Sooyoung tak terima. “Benar-benar, ya! Kau tak lihat bajunya sudah kusetrika dulu?”


Mingyu memutar mata, lalu mendorong pintunya hendak menutup. Sooyoung segera menahannya.


“Apa lagi?” tanya Mingyu jengah.
“Kau tak mau bilang apa-apa?”
“Bilang apa?”
“Yah, coba dipikir. Baju, aku yang cuci, aku yang setrika. Apartemen, aku yang bersihkan. Makanan, aku yang siapkan. Kau tahu tidak sih di dunia ini ada kata ‘terima kasih’?” repet Sooyoung dalam satu tarikan napas.


Mingyu menatapnya datar. Dan saat itu, aura kelam khas Mingyu mendadak menyelubungi Sooyoung seperti kabut asap.


“Sekarang aku tanya, memangnya aku pernah memintamu melakukan semua itu?”
“Yah tidak sih, tapi….”
“Tidak, kan? Kalau begitu jangan sok menagih terima kasih padaku.”
“Aku tidak….”—BAM


Sooyoung sedang bergerak maju untuk mendebat saat Mingyu tanpa aba-aba membanting pintunya tepat di depan hidung Sooyoung. Gadis itu menyesal setengah mati sudah menyetrika baju-baju itu, harusnya diinjak-injak saja. Biar pria itu tahu rasa. Mingyu benar-benar pria dingin superbajingan yang tidak tahu terima kasih.


Tapi Sooyoung harus bersabar.


Demi menjalankan misinya, Sooyoung harus bisa mendekati Mingyu. “Ish! Dasar manusia berengsek menyedihkan.”



TBC


See You di tanggal 20 selanjutnya^^

Comments

Popular Posts