Broken Sinner: Getting Worse (Part 3)


 

Drama, Family, Hurt

(AU - Alternate Universe)

 

.

.

.

.

.

 

Chaerin menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangan di atas meja. Matanya memejam kala rasa sakit kembali menyerang kepalanya. Jujur, sebenarnya tubuhnya belum bisa dikatakan membaik. Semalam ia tidak sempat minum obat bahkan menyentuh makan malam saja tidak. Kemudian ia harus mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan gurunya. Setelah itu mencari lukisan yang ia sembunyikan dari sang Ayah. Alhasil ia baru bisa memejamkan mata saat jam dinding di kamarnya telah menunjukkan pukul satu dini hari. Tidak sampai di situ saja, pagi tadi dirinya juga tidak memasukkan apa pun ke dalam perut. Kemudian berjalan menuju sekolah saat udara dingin masih setia melingkupi bumi. Jadi sangat wajar jika kondisi tubuhnya tak kunjung membaik.

 

 

 

Ia sendiri tidak bisa menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri. Membiarkan tubuhnya diterjang bakteri hingga imunitasnya menurun. Ia yang bodoh karena tidak menguatkan stamina tubuhnya, padahal ia sadar telah mekasa tubuh yang semakin hari semakin kurus itu untuk bekerja sangat keras. Jadi tubunya yang ambruk saat itu semua karena kebodohan dan kelalain seorang Lim Chaerin sendiri.

 

 

 

Di balik wajahnya yang tertutup, napasnya terembus berat. Hawa panas dari karbondioksida yang ia keluarkan langsung merayap ke kulitnya. Membuat dirinya semakin sadar bahwa suhu tubuhnya tidak jauh berbeda dari semalam. Masih tinggi melebihi suhu normal manusia umumnya.

 

 

 

Ia berusaha memejamkan matanya. Mengistirahatkan diri saat waktu menunjukkan jam makan siang. Ia tidak memiliki selera untuk mengikuti temannya yang lain pergi ke kantin. Tidur adalah pilihan terbaik untuk dirinya selain karena tidak punya selera makan dan tubuhnya yang lemah, ucapan sang Ayah semalam membuat ia enggan untuk melakukan apa pun dengan uang pemberian pria itu.

 

 

 

Di tengah usahanya untuk terlelap, seseorang malah memanggil namanya. Membuat mata yang dipejamkan berangsur terbuka kembali walaupun kepalanya yang terasa berat sama sekali tidak bergerak dari atas tangannya. Ia tahu siapa pemilik suara itu tanpa perlu melihatnya. Sudah terlampau sering mendengar suara itu memanggil namanya dan berkata apa pun yang ingin ia katakan.

 

 

 

“Kami mencarimu, kenapa masih di sini? Kamu tidak ingin makan?”

 

 

 

“Tidak, aku tidak selera.”

 

 

 

Terdengar suara derit kursi setelah ia menjawab pertanyaan tersebut.

 

 

 

“Kamu baik-baik saja?” Suara lainnya terdengar membuat Chaerin mau tidak mau mengangkat kepalanya. Lantas mengangguk pelan.

 

 

 

“Tapi kamu pucat Chae..” Keluhnya khawatir.

 

 

 

Chaerin menarik sudut bibirnya. Tersenyum kecil sebelum kembali berkata. “Aku baik-baik saja Yoori, hanya sedikit kelelahan.”

 

 

 

“Tapi wajahmu sangat pucat. Apa kamu mau ke unit kesehatan? Kami akan mengantar dan menemanimu.”

 

 

 

Kepalanya kembali menggeleng. “Tidak perlu, aku hanya butuh tidur saja kemudian akan lebih baik.”

 

 

 

Sejenak ketiga gadis itu terlarut dalam bisu. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing hingga Chaerin mengingat sesuatu yang ia simpan di dalam tas. Tangannya segera merogoh ke dalam kemudian mengeluarkan satu folder berwarna biru langit dari sana.

 

 

 

“Bora, apakah tawaranmu waktu itu masih berlaku?”

 

 

 

Gadis yang berdiri di samping mejanya itu menautkan kedua alisnya. Pertanda tidak mengerti dengan pertanyaan Chaerin.

 

 

 

Chaerin lantas memberikan folder itu kepada Bora dan berkata, “Menjualkan lukisanku kepada orang-orang yang menyukainya. Aku berubah pikiran, aku ingin melakukannya.”

 

 

 

Bora mengangkat kepalanya dan menatap tidak percaya pada sang sahabat. Secepat itukah Chaerin berubah pikiran? Beberapa minggu yang lalu ia bersikeras untuk menyimpan karyanya karena tidak ingin Ayahnya tahu. Tapi sekarang ia malah meminta dirinya untuk menjualnya. Itu berarti dirinya telah siap jika sang Ayah tahu kalau ia masih menekuni hobinya.

 

 

 

“Kamu yakin?”

 

 

 

Chaerin hanya mengangguk. Walau ada keraguan yang terbesit di dalam benaknya tetapi ia harus tetap melakukan hal itu. Melukis kemudian menjualnya. Itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan uang, karena setelah pertengkarannya semalam ia telah bersumpah untuk tidak lagi menggunakan uang sang Ayah karena ia pikir Ayahnya bahkan tidak rela membiayai kehidupannya.

 

 

 

“Baiklah, aku akan menjadi manajer sekaligus marketer karyamu. Aku akan membuat karyamu laku terjual kemudian menjadikanmu pelukis terkenal!” Serunya bersemangat.

 

 

 

Bora adalah salah satu orang yang sangat mengagumi lukisan Chaerin. Tak jarang jika gadis itu sering meminta Chaerin untuk melukis kemudian ia akan menemani hingga lukisan itu selesai. Ia juga yang membujuk Chaerin agar mau menjual lukisannya. Namun sahabatnya itu selalu menolak. Dirinya hanya berhasil membujuk Chaerin untuk menjual lukisan bertema padang ilalang dengan sebuah mawar merah di tengahnya. Lukisan pertama yang Chaerin buat dan berhasil menambah saldo tabungannya dalam waktu kurang dari satu hari sejak sahabatnya itu mempromosikannya.

 

 

 

“Terima kasih, kita akan membagi keuntungannya berdua.”

 

 

 

Bora menggeleng cepat. “Tidak, jangan pikirkan itu sekarang. Aku senang melakukannya, selain karena lukisanmu memang layak, aku sekaligus belajar mengenai ilmu marketing dan public relation yang sangat kubutuhkan saat kuliah nanti.”

 

 

 

*  *  *  *

 

 

 

Jam yang mengikat pergelangan kirinya telah menunjukkan pukul tujuh malam. Chaerin baru saja menyelesaikan kursus tambahannya saat jam makan malam tiba. Jangan lupakan jika kepalanya masih terasa sakit dan suhu tubuhnya masih cukup tinggi akibat kondisi perutnya yang kosong dengan jadwal kegiatan yang begitu padat serta tekanan yang membuat dirinya stres. Jika biasanya ia akan meninggalkan kelas mendului tutor dan temannya yang lain, malam itu ia menjadi orang terakhir yang meninggalkan kelasnya. Apalagi kalau bukan karena tubuhnya yang semakin melemah karena kurang istirahat dan asupan makanan yang baik.

 

 

 

Di tengah rasa pusing yang seakan menusuk kepalanya, benda tipis berbentuk persegi panjang yang ia simpan di kantung hoodie berdering dan bergetar. Membuat tangan yang sibuk menutup resleting tas beralih merogoh kantung depan hoodie­-nya. Senyumnya terukir saat melihat nama penelepon pada layar benda tersebut.

 

 

 

Halo Tae..

 

 

 

“Hai adik kecil! Apakah kursusmu sudah selesai?”

 

 

 

Tanpa sadar kepalanya mengangguk padahal Taehyung tidak dapat melihatnya.

 

 

 

Hm.. baru saja. Aku tengah merapihkan bukuku saat kamu menelpon.

 

 

 

“Apakah kamu sudah makan?”

 

 

 

Lagi kepalanya menggeleng sebelum bibirnya berkata, “Belum.

 

 

 

“Bagus, kalau begitu cepat keluar. Aku ada di depan tempat kursusmu. Kemudian kita akan makan malam bersama karena aku juga belum makan.”

 

 

 

Mendengar ajakan Taehyung membuat matanya membulat. Senang.

 

 

 

Benarkah? Tapi kamu yang membayar karena aku tidak punya uang..

 

 

 

“Tentu saja. Aku yang mengajak jadi aku yang mentraktirmu. Jadi cepat keluar sebelum mobilku mendapatkan klakson dari mobil lain karena terlalu lama berhenti di depan lobi.”

 

 

 

Tanpa membalas, Chaerin segera memutus panggilan Taehyung. Menyimpan kembali ponsel hitamnya ke dalam saku hoodie dan bergegas menutup tasnya sebelum membawa langkah kakinya pergi dari ruang kelas menuju luar lobi untuk menemui Taehyung.

 

 

 

*  *  *  *

 

 

 

“Yakin hanya itu saja? Kamu tidak ingin memesan yang lain?”

 

 

 

Chaerin menggeleng pelan. “Tidak Tae, aku sedang ingin makan ayam pedas.”

 

 

 

“Baiklah, kalau begitu satu porsi ayam pedas dan sup tahu serta dua nasi.” Ujar Taehyung pada pelayan kedai yang mencatat pesanan mereka.

 

 

 

Pelayan wanita itu mengangguk setelah mencatat pesanan keduanya. Ia membungkuk dan pamit untuk membawa pesanan mereka kepada juru masak agar bisa segera dibuatkan.

 

 

 

“Wajahmu terlihat pucat, apa kamu sakit?”

 

 

 

“Tidak, aku hanya kelelahan saja. Dua hari belakangan ini sebagian besar guru selalu memberikan pekerjaan rumah yang banyak. Selain itu aku juga harus mengikuti kelas tambahan di sekolah kemudian menghadiri kursus di luar. Aku jadi kurang istirahat karena itu.”

 

 

 

Taehyung mendengus. “Kenapa kamu harus belajar terlalu keras padahal dirimu termaksud ke dalam tiga besar siswa berprestasi di sekolah?”

 

 

 

Chaerin menyunggingkan senyum kecilnya. Senyum yang diselimuti kesedihan saat kembali teringat keadaan yang membelitnya.

 

 

 

“Itu tidak cukup untuk Ayah, Tae. Aku harus melakukan apa yang Ayah inginkan agar dia setidaknya mau menganggap kehadiranku di rumah.”

 

 

 

Ha.. Paman Han.” Taehyung mendengus kasar. “Aku berani menjamin, Ayahmu akan selalu seperti itu Chae. Jadi berhenti saja memaksakan diri. Jika lelah, beristirahatlah sejenak. Setelah itu kamu bisa melanjutkannya lagi. Memberikan tubuhmu waktu istirahat bukanlah tindakan kriminal.”

 

 

 

Napasnya lantas terhela kasar sebelum vokalnya kembali terucap. “Aku tidak ingin kamu sakit, Chae. Karena itu jangan terlalu memforsir dirimu sendiri hanya karena orang lain.”

 

 

 

Chaerin tidak bisa untuk tidak tersenyum saat mendengar ujaran Taehyung. Ia juga tidak bisa berbohong kalau hatinya menjadi sedikit hangat hanya karena kalimat singkat penuh perhatian yang terlontar dari bibir sahabatnya itu. Sedikit bersyukur kepada Tuhan karena menghadirkan Taehyung untuk menemani dirinya melewati kerasnya hidup yang sama sekali tidak berpihak kepadanya.

 

 

 

*  *  *  *

 

 

 

Taehyung tersenyum saat menatap Chaerin yang tertidur di kursi penumpang. Setelah kegiatan makan malam bersama di kedai langganan mereka, keduanya memutuskan untuk segera pulang. Katanya gadis itu lelah setelah seharian beraktivitas di luar. Sebenarnya Taehyung masih ingin mengajak sahabatnya itu menikmati indahnya kota saat malam –mengingat Ayah sahabatnya itu tengah pergi ke luar kota– jadi malam itu adalah waktu yang tepat untuk menghibur sang sahabat. Namun raut lelah yang terlalu terlihat di wajah Chaerin membuat Taehyung mengubur keiinginannya dan memilih menuruti permintaan gadis itu untuk pulang.

 

 

 

Mobil yang ia kendarai telah berhenti dan terparkir di depan pagar rumah Chaerin. Ia sempat melirik ke pekarangan dalam sebelum mendengus sinis dan beralih pada Chaerin yang terlihat tenang dalam tidurnya. Saat itu adalah momen langka bagi Taehyung karena dapat melihat kembali kepolosan sahabat kecilnya yang harus ditutupi dengan wajah dan tatapan dingin jika kedua mata gadis itu telah terbuka.

 

 

 

“Hei Chae bangun. Kita sudah sampai.” Kata Taehyung sembari menepuk pelan pundak Chaerin.

 

 

 

Sleepyhead ayo bangun.” Taehyung kembali bersuara karena sebelumnya tidak ada tanda-tanda Chaerin akan terbangun.

 

 

 

“Ayo bangun. Jika tidak aku akan mencubit-”

 

 

 

“ASTAGA CHAERIN TUBUHMU PANAS!” Seru Taehyung saat tangan yang baru saja mendarat di pipi Chaerin merasakan rasa panas seperti terbakar.

 

 

 

Setengah panik, Taehyung berusaha membangunkan Chaerin. Ia memukul pelan kedua pipi sahabatnya itu hingga sang sahabat mengerang pelan tapi masih setia memejamkan matanya.

 

 

 

“Chaerin bertahanlah, aku akan membawamu ke dalam.” Ucapnya cepat secepat tangannya yang langsung melepaskan seat belt dan membuka pintu. Kakinya bergerak cepat mengitari mobil untuk sampai dibagian penumpang. Membuka pintu dan segera membawa Chaerin ke dalam gendongannya.

 

 

 

Tidak ada istilah menekan bell, kepanikan yang merundungnya membuat Taehyung secara kasar menendang pintu utama rumah itu hingga berdentum kencang. Beberapa kali kakinya digunakan untuk membuat suara keributan hingga pintu putih itu terbuka dan seorang wanita yang merupakan asisten rumah tangga di sana menatap terkejut padanya.

 

 

 

“Bibi Jung, bisa kau siapkan air hangat, handuk, dan obat penurun panas kemudian tolong bawakan ke kamar Chaerin?”

 

 

 

Wanita itu mengangguk dan segera pergi menuju dapur untuk menyiapkan semua permintaan Taehyung yang dirinya yakini untuk mengobati Nona Mudanya.

 

 

 

Taehyung lantas segera berjalan masuk dan meninggalkan pintu utama terbuka. Prioritas utamanya hanya pada Chaerin dalam gendongannya yang tengah mengalami demam tinggi. Kakinya terus melangkah masuk. Ketika tungkai itu hendak menginjak anak pertama tangga rumah tersebut, matanya sempat menemukan presensi dua anak muda yang tengah menikmati film yang ditampilkan di televisi ruang keluarga. Ia menatap penuh benci pada keduanya sebelum kehadirannya disadari oleh dua insan tersebut.

 

 

 

“Taehyung, ada apa dengan Chaerin?” Suara khawatir Chani langsung menggema saat melihat sang adik berada dalam gendongan Taehyung. Gadis itu segera beranjak dari sofa, diikuti Jimin yang juga terlihat khawatir saat mendapati Chaerin pulang dalam keadaan yang tidak biasa.

 

 

 

Taehyung mendengus dan mengabaikan pertanyaan Chani. Ia memilih untuk segera membawa sahabatnya itu ke kamarnya dan membaringkan tubuh mungil itu di kasur.

 

 

 

Sesampainya di depan pintu bercat coklat itu, Taehyung segera membuka dengan menekan gagang dengan menggunakan siku dan mendorong pintu tersebut dengan kakinya. Tungkainya langsung bergerak menuju ranjang. Membaringkan tubuh ringan Chaerin di sana dan langsung menyelimutinya dengan selimut.

 

 

 

Sang asisten rumah tangga yang tadi pergi ke dapur telah datang dengan membawa semua permintaan Taehyung, termaksud segelas air yang sempat dilupakan Taehyung. Wanita itu ingin membantu tetapi Taehyung mencegahnya. Ia mengatakan bahwa dirinya yang akan mengobati Chaerin. Hingga akhrinya wanita tersebut pamit dan pergi meninggalkan kamar tersebut.

 

 

 

Baru saja pintu coklat itu tertutup, seseorang telah kembali membukanya. Membuat Taehyung yang tengah mempersiapkan obat untuk Chaerin minum langsung mengalihkan atensinya pada pelaku pembuka pintu itu.

 

 

 

“Apa yang terjadi dengan Chaerin, Tae? Kenapa ia terlihat pucat dan wajahnya dipenuhi keringat?”

 

 

 

“Dia demam. Lebih baik kalian keluar saja. Aku akan merawat Chaerin di sini.” ‘

 

 

 

“Tidak aku tidak akan keluar. Aku kakaknya, aku yang akan merawatnya.”

 

 

 

Taehyung yang sebelumnya tengah duduk di tepi ranjang berangsur berdiri. Ia menghampiri Chani dan juga Jimin dengan tergelak pelan.

 

 

 

“Kakak? Kakak mana yang mengorbankan adiknya untuk menutupi kebodohannya sendiri?” Ia menggantungkan ucapannya hanya untuk menatap Chani dan Jimin bergantian.

 

 

 

“Tidak perlu repot-repot mengurusi Chaerin, karena aku yang akan menggantikan posisi kalian. Aku akan menjadi kakanya sekaligus sandarannya. Jadi lebih baik kalian keluar karena aku tidak ingin perdebatan ini membangunkan Chaerin.”

 

 

 

Taehyung lantas berbalik. Kembali pada pekerjaannya mempersiapkan obat sebelum membangunkan Chaerin. Ia tidak peduli pada dua anak manusia di belakangnya. Persetan dengan mereka! Ambruknya Chaerin juga terjadi karena mereka. Jadi berhenti berlagak bak malaikat karena dirinya sudah muak melihatnya.

 

 

 

“Apa yang kamu lakukan hingga demam seperti ini, bodoh?” Gerutu Taehyung yang berusaha membangunkan Chaerin agar bisa meminum obatnya.

 

 

 

“Aku sudah mengatakan untuk tidak memaksakan dirimu. Sekarang lihat, kamu jadi sakit seperti ini.”

 

 

 

Taehyung tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya. Air matanya bahkan telah jatuh ketika pintu kamar Chaerin kembali ditutup.

 

 

 

“Maafkan aku Tae..”

 

 

 

“Sudah jangan banyak bicara. Kamu perlu istirahat. Aku akan menemanimu malam ini karena tidak ada yang bisa menjagamu.”

 

 

 

Chaerin yang mendengar itu langsung meraih tangan Taehyung yang tengah sibuk mengompres keningnnya. Kemudian dengan pelan ia menggelengkan kepalanya.

 

 

 

“Tidak Tae, kamu harus pulang. Aku tahu besok kamu ada jadwal kuliah, dan aku tidak ingin kamu membolos karena merawatku. Aku juga sudah meminum obat, demamku pasti akan turun dan besok aku pasti sudah membaik.”

 

 

 

“Tapi Chae, aku tidak bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. Siapa yang akan mengambilkan kebutuhanmu jika bukan aku?” Taehyung masih berusaha keras menolak pemikiran sang sahabat.

 

 

 

“Aku tidak membutuhkan apa pun. Aku hanya butuh istirahat. Jadi jangan khawatir.”

 

 

 

Taehyung menghelakan napasnya dan mengusap wajahnya kasar. Perdebatannya dengan Chaerin tidak akan pernah selesai jika dirinya tidak mengalah. Chaerin terlalu keras kepala bahkan untuk menerima masukannya.

 

 

 

“Baiklah aku akan pulang. Tapi besok pagi aku akan datang lagi untuk melihat kondisimu.”

 

 

 

Chaerin mengangguk.

 

 

 

“Hubungi aku jika kamu membutuhkan apa pun. Aku akan langsung mendatangimu saat itu juga, mengerti?” Imbuhnya yang kembali mendapatkan anggukan lemah dari Chaerin.

 

 

 

Untuk kesekian kalinya ia menghela napas dengan berat. Taehyung perlahan bangkit dari duduknya. Mengusap puncak kepala gadis yang masih mengenakan seragam dan hoodie abu-abu itu sebelum melangkah meninggalkan kamar tersebut. Mematikan saklar lampu sebelum menutup rapat pintu coklat tersebut. Walaupun berat hati, dirinya tetap pergi meninggalkan sang sahabat. Memenuhi permintaan Chaerin adalah salah satu cara untuk membuat gadis itu dapat beristirahat dengan tenang. Karena jika ia tidak melakukannya, maka sahabatnya itu akan terus terjaga kemudian merajuk padanya.

 

 

T . B . C

 


Selamat malam minggu!

Jangan lupa buat #stayathome ya walaupun udah transisi ke new normal. Jangan satnight satnight ke luar kalau ujung-ujungnya bikin tenaga medis makin berat beban kerjanya, kalau nanti malah banyak orang yang semakin kehilangan pekerjaan karena pandeminya enggak selesai-selesai.

Ayo kita jadi orang yang bijak. Jangan mengutamakan ego dan nafsu kalau pada akhirnya semakin banyak yang menderita.

Terima kasih yang udah mau baca sampai akhir.

Sampai ketemu lagi saudara semua 😊

감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts