Broken Sinner: Sick (Part 2)






Drama, Family, Hurt
(AU - Alternate Universe)


.
.
.
.
.


Satu hari itu Chaerin tidak bisa fokus dengan sekolahnya. Kepalanya pusing tubuhnya juga lemas. Namun ia tidak berniat untuk mengatakannya pada siapa pun, termaksud kedua temannya yang terus menanyakan kondisinya. Ia selalu menghindar atau memilih untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut.

 

 

 

Kondisinya pun tidak berubah saat ia menghadiri kelas tambahan di sekolah maupun di tempat kursus. Kepalanya masih setia berputar ditambah dengan telinganya ikut berdengung pelan. Tubuhnya pun mulai merasakan nyeri di seluruh persendiannya. Chaerin tahu dan sadar dengan keadaan tubuhnya saat itu. Semua yang dirinya rasakan di hari itu adalah pertanda jika ia akan demam. Terlalu banyak beban yang dipikiran membuat stamina Chaerin mudah sekali menurun. Dan Chaerin sangat membenci kenyataan itu –tapi tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegah sakit di tubuhnya.

 

 

 

Karena Chaerin pikir menjadi sakit sama saja dengan menjadi lemah.

 

 

 

Chaerin mengembuskan napas. Jadwal kursusnya baru saja selesai dan dirinya bisa sedikit bernapas lega. Setidaknya ia hanya perlu mengerjakan sedikit lagi pekerjaan rumah dan setelah itu beristirahat agar esok hari tubuhnya bisa lebih membaik.

 

 

 

Dengan rasa pusing yang semakin menjadi, ia merapihkan buku dan alat tulisnya. Memasukkan semuanya ke dalam tas dan mengenyampirkan talinya di pundak. Ia segera meninggalkan ruang kursus tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada teman atau tutor yang telah mengajarnya. Ia tidak peduli pada mereka semua, seperti mereka peduli saja pada hidupnya. Jadi tidak perlu ada basa-basi di antara mereka.

 

 

 

Kepala Chaerin masih setia berputar. Membuat rasa pusing mengganggu konsentrasinya dalam berjalan menuju rumahnya. Chaerin selalu memilih berjalan dibandingkan menggunakan transportasi umum. Entah itu dari rumah ke sekolah, sekolah ke tempat kursus, atau saat dia akan kembali ke rumah. Dia merasa memiliki hidupnya saat bisa menghabiskan waktunya sendiri dalam ketenangan di tengah banyaknya orang yang berlalu lalang. Ia merasa lebih hidup saat tengah berjalan sendiri dibandingkan saat dirinya berada di rumah bersama orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai keluarga.

 

 

 

Sialnya pusing yang tengah Chaerin rasakan membuat ia harus berhenti berjalan dan bersandar pada salah satu dinding toko –karena pandangan yangmengabur. Chaerin tahu bahwa malam itu kondisi tubuhnya semakin memburuk terlebih dengan embusan angin malam yang menerpa tubuh berbalut seragam berlapis jaket hitam tipisnya. Namun selemah apa pun keadaannya, Chaerin tetap memutuskan untuk melanjutkan sisa perjalanannya dengan berjalan seorang diri. Tidak ada niatan untuk menghubungi siapa pun termaksud Taehyung untuk menjemputnya. Ia harus mulai membiasakan dirinya hidup sendiri tanpa ada siapa pun di sisinya sebelum hatinya mengalami kesakitan karena harus kembali ditinggalkan.

 

 

 

Bukankah takdir telah menuliskan bahwa ia harus hidup sendiri tanpa siapa pun?

 

 

 

Chaerin membuka pagar rumahnya dengan rasa ngilu yang semakin menjadi. Perjalanan dari tempat kursus ke rumahnya harus ia lalui lebih lama karena langkahnya yang cenderung memelan dengan beberapa kali berhenti untuk menguatkan diri. Ia menarik napasnya saat menunggu seseorang untuk membukakan pintu utama. Semakin lama berdiri kepalanya terasa semakin pusing dan ia tidak bisa menahannya. Ia butuh kasur untuk membaringkan tubuhnya di sana.

 

 

 

Sayangnya keiinginan untuk menyapa kenyamanan kasurnya harus ditunda dengan panggilan sang Ayah yang menggema dari dapur. Chaerin menghentikan langkahnya saat akan menaiki tangga. Ia berbalik kemudian menemukan sang Ayah berdiri dengan memegang sebuah kotak yang ia yakini adalah miliknya dan telah menjadi bensin kemarahan sang Ayah.

 

 

 

“Apa ini?!” Tanya sang Ayah yang tidak dijawab olehnya.

 

 

 

“Kenapa kau masih melakukannya? Bukankah Ayah sudah katakan untuk berhenti melukis dan fokus ke sekolahmu Lim Chaerin!” Hardiknya dengan membanting kotak berisi peralatan melukis yang baru saja dipesannya.

 

 

 

“Ayah tidak butuh apa pun darimu. Yang Ayah inginkan hanya berhenti melakukan hal tidak berguna, apakah itu sulit?! Mengapa kau selalu menjadi pembangkang dan tidak pernah menuruti ucapan Ayah? Kenapa kau tidak bisa meniru Kakakmu? Chani berhasil menjadi mahasiswa di kampus yang sama dengan Ayah dan Ibumu, Chani juga akan menjadi pengacara sama seperti Ayah. Lalu kau? Apa yang mau kau lakukan di masa depan? Menjadi pelukis, HA?! Omong kosong!”

 

 

 

Chaerin masih diam tak menanggapi kemarahan besar itu. Bibirnya masih setia tertutup rapat. Membiarkan pria di hadapannya kembali menyuarakan ketidaksukaan pada dirinya. Membiarkan dirinya kembali dipenuhi rasa sakit karena mendengar ucapan sangat tidak mengenakkan dari sang Ayah. Dirinya hanya berdiri dengan tatapan dingin yang tidak pernah berubah.

 

 

 

“Kau itu sungguh memalukan, Chaerin! Ayah malu memberikan nama Ayah di depan namamu.”

 

 

 

Cukup!

 

 

 

Tidak ada lagi diam setelah mendengar ucapan sang Ayah. Hatinya tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang semakin menjadi. Terlebih saat pria di hadapannya dengan gamblang mengatakan jika ia menyesal memberikan namanya kepada Chaerin.

 

 

 

“Jika Ayah malu maka tidak usah pedulikan aku lagi. Pikirkan dan perhatikan saja Chani karena selama ini memang Chani kan yang Ayah anggap sebagai anak. Sementara aku hanya sosok asing yang tiba-tiba hadir di tengah keluarga kecil kalian!”

 

 

 

Chaerin mengalihkan matanya pada sosok Chani yang hanya bisa bungkam dengan mata berkaca di ruang makan. Mungkin Kakaknya itu tidak menyangka jika adik satu-satunya akan mengatakan hal semenyakitkan itu pada sang Ayah. Tapi bukankah Kakaknya yang lebih dulu mengatakan sesuatu hingga merubah dirinya seperti sekarang ini.

 

 

 

“KAU??!” Desis pria itu. Rahangnya mengeras dan matanya tertutup kabut amarah. Tidak lama setelahnya suara pukulan menggema ke seluruh rumah.

 

 

 

Saat suara itu terdengar disaat yang bersamaan pandangannya Chaerin mengabur. Tangannya yang bebas lantas bergerak memegangi bagian wajah yang baru saja mendapatkan tamparan untuk yang kesekian kalinya. Sedang tangan yang lain mengepal kuat untuk memfokuskan dirinya agar tubuhnya tidak limbung akibat rasa pusing yang semakin terasa menyakitkan, terlebih setelah tamparan yang ia dapatkan.

 

 

 

Ia tergelak –masih dengan memegang pipinya– pandangannya kembali mengarah pada sang Ayah yang masih terselimuti emosi.

 

 

 

“Tampar saja lagi jika itu membuat Ayah puas! Tampar! Aku tidak akan melawan. Karena setiap tamparan yang Ayah berikan, menyadarkanku bahwa memang aku tidak diharapkan untuk hidup.”

 

 

 

“Jika kau tidak diharapkan untuk hidup, maka kenapa Ayah susah-susah membiayai hidupmu. Ayah bekerja untuk dirimu dan Chani!”

 

 

 

Chaerin tersenyum sinis. Ia hanya memutar tubuhnya berniat untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun suara lantang sang Ayah kembali terdengar dan membuat dirinya berhenti walau tetap tidak berbalik.

 

 

 

“Ayah telah memberikan semua yang kau inginkan. Ayah membiayai sekolah dan mendaftarkanmu kursus untuk menjamin masa depanmu. Lalu kau bilang kau tidak diharapkan?! Persetan Lim Chaerin! Kau memang anak tidak tahu diri! Kenapa kau bisa mengatakan itu disaat hidupmu selama ini Ayah yang menanggung! Apakah kau pikir-”

 

 

 

“Cukup!” Chaerin menarik napasnya dalam dan mengembuskannya cepat.

 

 

 

“Ayah memang telah membiayai kehidupanku, tapi Ayah lupa jika dalam menghidupkan sebuah kehidupan ada hal yang lebih penting dari sekedar uang!” Itu adalah kalimat terakhir yang ia ucapkan sebelum tubuhnya benar-benar beranjak pergi meninggalkan sang Ayah yang terdiam.

 

 

 

Dengan cepat Chaerin membawa kakinya melangkah pergi menuju kamar. Menutup dan mengunci pintunya sebelum melemparkan diri ke atas kasur dan menangis. Untuk kesekian kalinya, Chaerin melanggar sendiri janji dan sumpah yang telah ia ucapkan setelah malam menyeramkan itu terjadi. Sebuah janji untuk tidak menangis sesakit apa pun dirinya dan sumpahnya untuk tidak menjadi seorang yang lemah.

 

 

 

Namun malam itu saat mendengar bagaimana sang Ayah menunjukkan dengan jelas penyesalan akan eksistensi dirinya, membuat perisai yang ia bangung langsung runtuh seketika. Anak panah tajam langsung menyerang hatinya tanpa ampun. Membuat luka yang belum mengering semakin terluka. Menimbulkan kesesakan yang sulit untuk diurai. Membuat kepalanya berputar hebat setiap kali kalimat menyakitkan itu terngiang di telinganya.

 

 

 

Tubuhnya bahkan semakin bertambah lemas. Harapan untuk bertahan hidup yang coba dirinya tumbuhkan seketika menghilang bagai ditelan bumi. Tidak menyisakan apa pun selain kesedihan dan kesakitan yang membuat dirinya menyerah. Membawa tubuh rapuhnya ke dasar jurang beralaskan kerikil tajam yang menusuk seluruh tubuhnya.

 

 

 

Malam itu, gelapnya langit tanpa bintang kembali menjadi saksi bisu kesedihan dan kesendirian Chaerin. Mendengarkan dengan setia tangis pilu yang keluar dari bibirnya. Melihat bagaimana rapuhnya seorang gadis yang selalu menunjukkan sisi kuatnya di hadapan semua orang. Tidak peduli jika wajahnya beberapa kali mendapatkan tamparan. Tubuhnya akan kembali berdiri tegak dan menatap lurus ke depan, sekali pun tubuh dalamnya malah hancur berkeping-keping.

 

 

 

*  *  *  *

 

 

 

Matanya perlahan mulai mengerjap dengan tubuh yang bergerak kecil di atas kasur. Erangan pelan lolos begitu saja dari dua bilah bibirnya saat merasakan rasa sakit yang menyerang seluruh tubuh ketika coba digerakkan. Kelopak matanya mulai bergerak dan terbuka perlahan. Berkedip cepat hingga akhirnya obsidan coklat itu bisa memproyeksikan cahaya masuk dengan baik.

 

 

 

Tidak mengindahkan rasa sakit yang bersarang di seluruh bagian tubuhnya, Chaerin mulai memposisikan badannya untuk bersandar pada kepala ranjang. Namun rasa pusing yang sejak kemarin dirasakan belum juga hilang. Membuat matanya kembali terpejam dan dahinya mengerut saat merasakan sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya dengan tajam. Tangannya pun ikut bergerak menekan bagian kepala yang terasa sakit hingga membuat ia mengerang untuk kedua kalinya.

 

 

 

Napasnya ditarik dalam dan diembuskan berkala. Ia mengulangi hingga rasa sakitnya sedikit berkurang. Dirinya tidak mungkin berada di rumah hanya karena demam sialan yang belum ingin beranjak pergi dari tubuhnya. Ia yakin dan sangat yakin jika Ayahnya tahu maka akan terjadi keributan lagi di antara mereka. Walaupun ia mengatakan dirinya sakit, tetap saja dirinya tahu betul jika sang Ayah tidak akan memedulikan dirinya. Mungkin saja omongannya hanya dianggap bualan, sama seperti sebelumnya.

 

 

 

Dengan mengandalkan tenaga yang tidak seberapa, Chaerin memaksakan diri untuk segera beranjak meninggalkan kenyamanan kasur kesayangannya. Melangkah dengan tertatih memasuki kamar mandi setelah mengambil handuk dan seragam sekolah yang tergantung di lemari pakaian. Sekali lagi, ia memaksakan dirinya untuk tampil kuat di hadapan orang lain. Melupakan tubuhnya yang sudah meronta karena terlalu sering diajak bekerja keras tanpa dibiarkan beristirahat.

 

 

 

Lagi, semua itu dilakukan hanya untuk membuat sang Ayah setidaknya berhenti menganggap dirinya hanya bisa mempermalukan pria itu. Walau Chaerin tahu, hingga akhir pun, apa pun yang dirinya lakukan, seberhasil apa pun dirinya dalam menjalankan perintah sang Ayah, pria itu akan tetap berpikir bahwa dirinya gagal dan memalukan.

 

 

 

Chaerin keluar dari kamar mandi tidak lama setelah suara gemercik air terdengar. Tidak perlu waktu yang lama untuk gadis berambut sebahu itu mempersiapkan dirinya untuk pergi ke sekolah. Ia hanya perlu sepuluh menit untuk mandi kemudian sepuluh menit selanjutnya untuk bersiap-siap dengan perlengkapan sekolahnya, setelah itu dirinya telah siap untuk berangkat. Tidak lupa di pagi itu, sebuah hoodie abu-abu melengkapi penampilannya demi menghalau angin menerjang tubuh ringkihnya.

 

 

 

Tangannya terulur meraih tali tas kemudian menyampirkan ke atas pundak setelah menutup rapat tas hitamnya itu. Lantas kakinya melangkah meninggalkan tempat terbaik yang ia miliki di rumah. Berjalan melewati pembatas satu-satunya yang memisahkan antara kedamaian dan kesakitan di rumahnya. Menuruni tangga setelah menutup kembali daun pintu coklat di belakangnya dan dengan menatap lurus ke depan ia berjalan menuju pintu utama. Melupakan ruang makan yang seharusnya ia datangi untuk mengisi perut. Setelah kejadian malam kemarin tidak ada lagi alasan dirinya untuk menghabiskan banyak waktu di rumah yang penghuninya bahkan tidak menerima kehadirannya.

 

 

 

Ia membuka lemari sepatu yang berada di dekat pintu utama. Mengambil sepatu sekolahnya dan membawanya ke kursi yang tidak jauh di sana. Tangannya sudah sangat lincah saat mengenakan sepatu hitam bertali itu. Tanpa perlu banyak berpikir setiap gerakan untuk memasangkan benda itu di kakinya dapat ia kerjakan dengan baik.

 

 

 

Di tengah kegiatan mengikat tali panjang berwarna senada dengan sepatunya, suara bel rumahnya terdengar. Seorang asisten langsung datang dan membukakan pintu tersebut. Chaerin tidak peduli. Fokusnya hanya ada pada sepatu yang hampir selesai ia pasang. Saat sang asisten kembali masuk, dirinya telah selesai dan bersiap dengan tas yang kembali disampirkan di pundak. Tubuhnya beranjak dari kursi dan kaki berbalut sepatu itu lantas melangkah dengan bibir yang tidak bersuara menyampaikan pamitnya.

 

 

 

“Chaerin..” Panggilan itu mengalihkan atensi Chaerin dari ponsel di tangannya. Ia menatap sang pemilik suara dan seketika tatapan dinginnya berubah menjadi penuh benci.

 

 

 

Tidak ingin berlama-lama di sana, ia bergegas pergi. Namun baru beberapa langkah, pemilik suara itu menahan pergelangan tangannya. Membuat tubuhnya memutar hingga mereka kembali berhadapan.

 

 

 

“Kamu ingin berangkat sekolah? Berangkat bersama saja, kebetulan aku juga akan pergi ke kampus.”

 

 

 

Chaerin diam. Dia sama sekali tidak berniat menanggapi lawan bicaranya.

 

 

 

“Chae..” Panggilnya lagi, tapi kali ini dengan meraih kedua tangan Chaerin dan menggenggamnya. Saat tangan kokohnya menangkup tangan mungil Chaerin, hawa hangat langsung menjalar padanya. Matanya mengernyit. Menatap tangan dalam genggamannya sebelum memerhatikan wajah dingin gadis di depannya.

 

 

 

“Tanganmu panas. Kamu sakit?”

 

 

 

Suaranya terdengar panik. Ia bahkan hampir menempelkan punggung tangannya di kening Chaerin jika saja gadis itu tidak menarik paksa tangannya dan menepis tangan yang hampir menyentuh wajahnya.

 

 

 

“Bukan urusanmu dan jangan sok peduli padaku!” Tekannya.

 

 

 

Kakinya akan kembali melangkah tapi lagi-lagi tangan sang lawan bicara menghalaunya. Membawa tubuh mungilnya ke dalam dekapan hangat yang sejujurnya telah lama ia rindukan.

 

 

 

“Maafkan aku Chae.. tolong jangan hukum aku seperti ini. Aku sayang dan peduli padamu, Chaerin.”

 

 

 

 

Chaerin memberontak dan berusaha melepaskan dirinya –saat sang lawan bicara terus meracau kalimat yang memuakkan di telinganya. Tangannya dengan sekuat tenaga berusaha mendorong tubuh itu menjauh. Melepaskan rangkulan hangat yang kembali menghancurkan perisai pelindung yang belum sepenuhnya terbangun. Chaerin sangat berusaha untuk melepaskan dan menjauhkan diri dari sosok tersebut sebelum pelupuk matanya berkhianat dan mengalirkan sesuatu yang tidak pantas mengalir.

 

 

 

Bullshit!” Desisnya tertahan.

 

 

 

Matanya menatap sengit sang lawan bicara saat ia berhasil melepaskan diri dari kungkungan hangat itu.

 

 

 

“Chaerin, aku mohon padamu. Tolong izinkan aku dan kamu kembali seperti dulu. Tolong jangan berubah seperti sekarang ini. Kembalilah menjadi Chaerin-ku yang dulu.”

 

 

 

Chaerin hanya mendengus sebagai jawaban ketika tubuhnya bergerak mundur karena sosok di depannya berusaha menggapai dirinya lagi.

 

 

 

“Chae...”

 

 

 

Bersamaan dengan namanya yang kembali dilafalkan oleh sosok di depannya, seseorang datang dengan memanggil sosok itu. Membuat atensi dan pandangannya teralih pada sang pemanggil.

 

 

 

“Jimin, kamu sudah datang?”

 

 

 

“Berengsek!” Umpatnya.

 

 

 

Suara riang itu mengalun ke dalam telinganya. Ia tahu siapa pemilik suara tersebut. Lim Chani, sang Kakak perempuan. Karena itulah rasa muaknya semakin meningkat hingga akhirnya ia memutar tubuh dan bergegas pergi meninggalkan Chani dan Jimin di sana. Saat melewati pagar, ia menendengnya dengan keras. Menimbulkan suara hantaman yang membuat keduanya menyadari bahwa Chaerin sudah pergi. Menyalurkan kebenciannya pada dua insan yang hanya mampu menatap kepergiannya dalam bisu.



T . B . C



Selamat bulan agustus semuanya!
Maaf ya baru bisa update part 2-nya sekarang. Soalnya kemarin mau fokus neyelsain FM dulu.
Dan karena FM udah selesai, jadi aku akan menemani kalian dengan kisah Chaerin bersama keluarganya serta sahabatnya Taehyung dan laki-laki yang dia suka Jimin.
So, stay tuned ya..
감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts