A Bad Reputation Part 3

 


Di hari berikutnya, tepatnya pukul satu siang, Sooyoung menerima e-mail dari salah satu kantor hukum yang ia kunjungi kemarin. Lamarannya diterima, dan sekarang ia dipanggil untuk interview. Sooyoung senang bukan kepalang. Ia sudah seminggu di Seoul dan uang sakunya hampir habis.

 

 

Berhubung di luar hujan, Sooyoung tak lupa memesan taksi selagi bersiap. Ia mengenakan kemeja dan rok selutut berwarna monokrom, lengkap dengan rambut yang digulung rapi serta sling bag cokelat berumbai.

 


Setelah siap, Sooyoung turun ke lobi, menarik pintu masuk dan dikejutkan dengan punggung Mingyu. Pria itu berada persis di depan pintu, sedang mengomel pada siapa-pun-manusia-malang-di-ujung-telepon.

 

 

Mendengar suara pintu di belakangnya, Mingyu pun menoleh, melirik Sooyoung sekilas dan kembali menghadap ke depan, melanjutkan omelannya.

 

 

“Kau itu bos macam apa, sih?! Mau aku menerjang hujan lagi?! Mau aku pingsan lagi?!” seru Mingyu di antara suara bising hujan.

 

 

Dia bahkan mengomeli bosnya juga? Orang gila!, pikir Sooyoung. Kepalanya ia gelengkan pelan, tak habis pikir.

 

 

Sooyoung sudah menutup pintu dan berdiri di sebelah Mingyu. Supaya tidak terciprat air, keduanya mau tak mau merapat di pintu masuk gedung (sebab kanopi di sana hanya terbuat dari terpal biru tipis yang panjangnya kurang dari satu meter).

 

 

“Kemarin itu sebenarnya aku mau kerja! Tapi ada cewek sialan yang…,” Mingyu melirik Sooyoung penuh dendam, “…membuatku tidak bisa ke mana-mana.”

 

 

Sooyoung kontan menoleh pada Mingyu. Mukanya mengerut tidak terima. Kau yang sialan, lolong Sooyoung dalam hati. Gadis itu mengepalkan tinjunya dan melontarkannya dengan geram di belakang kepala Mingyu—hanya untuk melampiaskan emosi, tak benar-benar berniat meninjunya. Namun Mingyu menangkap tinju itu dengan mudah, tanpa meliriknya sama sekali. Sooyoung terkejut.  

 

 

Pria itu memegang kepalan tangan Sooyoung dengan erat sambil bicara lewat ponsel. “Atau bagaimana kalau aku naik taksi dari sini? Nanti kau yang bayar argonya.”

 

 

Tak berselang lama, dengusan kecut dan sederet kata umpatan keluar dari mulut Mingyu. Pria itu memasukkan ponselnya ke dalam saku jins dengan ekspresi siap membunuh orang—dingin dan tajam. Dan sekarang, setelah kegiatan meneleponnya usai, tatapan dingin dan tajamnya itu beralih pada Sooyoung.

 

 

“Kau mau apa tadi?” tanya Mingyu sembari melepas tangan Sooyoung kasar.

“Harusnya aku yang tanya! Kau bilang apa tadi? Aku cewek sialan? Jadi begitu caramu berterima kasih?”

“Heh sinting, kau lupa ya kemarin aku bilang apa? Masih berani mengemis-ngemis terima kasih padaku? Tch benar ya kata orang, cewek cantik itu tak ada otaknya. Dengar, aku tidak...”

 

 

“T-tunggu,” Sooyoung mengerjap. “Menurutmu aku cantik?”

 

 

Mingyu terdiam, menyesali piilihan katanya setengah mati. Ia tak sadar sudah memuji. Bisa-bisanya ia memuji. “Dengar, aku tak peduli kau mau apa.” Mingyu berdeham dan kembali mengatur ekspresi beringasnya. “Jadi berhentilah sok baik! Berhentilah cari perhatian padaku! Tak ada gunanya. Membersihkan apartemenku, memberiku makan, mencuci bajuku, semuanya tak membuatku bersimpati. Sama sekali. Aku malah muak. Semua orang di apartemen ini saja bisa menganggapku tak ada, seharusnya kau juga bisa, kan? Dan berhentilah minta diterimakasihi. Sampai kapan pun kau tak akan mendengarnya dari mulutku.”

 

 

Saat itu, taksi yang dipesan Sooyoung datang.

 

 

“Di mana tempat kerjamu? Mungkin kita searah.”

 

 

Mingyu mendengus tak percaya. Pria itu baru saja bicara panjang lebar, memperingatkannya (lagi, lagi dan lagi) untuk tidak sok baik, dan sekarang Sooyoung malah menawarkan tumpangan.

 

 

Mingyu menatap Sooyoung seolah gadis itu sangat bodoh, kemudian menaikkan tudung hoodie-nya ke kepala dan pergi begitu saja menerobos hujan.

 

 

“Mingyu!”

 

 

Sooyoung hendak mengejar, namun ia menarik langkahnya kembali begitu tetesan hujan menjatuhi kepalanya.

 

 

 

**********

 

 

 

Di antara guyuran hujan, Mingyu berjalan cepat di trotoar. Kedua tangannya diselipkan di saku jaket dan kepalanya tertunduk. Mingyu terlalu fokus pada langkah kakinya sendiri hingga tak mendengar suara apa pun selain bisingnya hujan. Membentur aspal, berdengung-dengung di telinganya.

 

 

Tanpa sengaja Mingyu menabrak seseorang. Membuat dunianya yang berdengung seketika lenyap.

 

 

Pria yang menabraknya—atau ditabraknya—sudah terlebih dulu pergi sebelum Mingyu sempat marah.

 

 

“Mingyu! Mingyu! Masuklah sebelum basah kuyup!”

 

 

Itu adalah suara melengking yang familier, yang mengusik hidup Mingyu selama seminggu ini. Suara itu punya kekuatan magis yang membuat Mingyu otomatis memejamkan mata dengan geram, terganggu. Apa sih maunya?

 

 

Mingyu terus berjalan tanpa menghiraukan Sooyoung. Dia bergeming walau air hujan sudah merembes di sepatunya. Tetap bergeming walau air hujan sudah mengalir cepat dari tengkuk ke punggungnya, seperti sedang mandi di bawah pancuran.

 

 

Setiap kali Sooyoung memanggil namanya, pria itu berjalan lebih cepat, menunduk lebih dalam. Berusaha fokus pada tempo langkah kakinya yang menginjak genangan air pada ubin beton, Mingyu berusaha membuat dunianya berdengung lagi, hanya supaya ia tidak perlu mendengar suara Sooyoung.

 

 

Namun Sooyoung malah berteriak semakin kencang. Lewat kaca taksi yang turun sebagian, ia memanggil-manggil nama Mingyu, membuat malu.

 

 

Kendaraan mulai berbaris di belakang taksi yang lelet itu, mengular sampai jauh. Namun Sooyoung sepertinya tidak terganggu, ia tetap meneriakkan nama Mingyu sekuat tenaga, diiringi dengan suara derai hujan dan klakson panjang para pengemudi yang mengamuk. Mungkin, jika saat ini tidak sedang hujan, akan ada banyak kepala yang keluar dari kaca-kaca mobil di belakang sana, berteriak memaki Sooyoung, atau memaki sang sopir taksi, atau mungkin Mingyu, menyuruh mereka untuk tidak membuat drama di jalanan.

 

 

“Mingyu!”

“Heh, bisa diam tidak?” Mingyu akhirnya menyibak tudungnya dan menoleh pada Sooyoung.

“Kau masuk dulu, baru aku diam,” balas sang gadis cepat.

“Selamanya?”

“Yang benar saja! Aku tidak boleh bicara selamanya?”

“Hanya padaku, selamanya!” tegas Mingyu. “Katakan kau berjanji, baru aku masuk.”

“Aku janji!” seru Sooyoung. Aku janji tidak akan menepatinya, lanjutnya dalam hati.

 

 

Dengan berat hati, Mingyu pun membuka pintu taksi itu dan melesakkan diri ke dalam sana.

 

 

Sooyoung bergeser ke sisi yang lain, tersenyum pada Mingyu yang basah kuyup.

 

 

Pria itu melepas hoodie-nya dan menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan tangan.

 

 

“Mingyu.”

“YAH!” Mingyu langsung mengentakkan kaki. “Belum ada semenit kau berjanji untuk diam, sekarang sudah bicara lagi!”

 

 

“Tapi aku cuma mau….”

“Kau buka mulut sekali lagi, aku akan lompat keluar,” potong Mingyu.

“Aku…”

“Diam!”

“Maaf, jadi ini tujuannya ke mana?” Sang sopir yang mulai kesal terpaksa mengintervensi.

 

 

Sooyoung melirik Mingyu dengan sewot, “Itu yang mau aku tanya!”

 

 

“Ah,” Mingyu berdeham. Wajahnya memerah. “Saya ke Seorin-dong nomor 4.”

“Tunggu, kantorku juga ada di Seorin-dong! Wah, kalau interview hari ini lancar, kita bisa pulang bersama setiap hari.” Sooyoung tersenyum.

 

 

Mingyu langsung menoleh dengan tampang seram. Sooyoung yang sedang tersenyum kontan menanggalkan senyumnya dan memalingkan wajah.

 

 

Sepuluh menit kemudian, taksi itu berhenti di tempat tindik dan tato yang temboknya dicat serba hitam. Sooyoung berpikir tempat itu sangat cocok dengan kepribadian Mingyu. Mengerikan nan suram.

 

 

“Sampai ketemu nanti sore,” kata Sooyoung saat Mingyu baru membuka pintu. Mendengar itu, gerakan tangan Mingyu langsung terhenti. Ia menoleh pada Sooyoung.

 

 

“Awas kalau berani datang ke sini! Akan kutato seluruh mukamu.”

“Siapa takut? Kau itu sadisnya cuma di mulut saja!”

 

 

Mingyu mengernyit tak senang. “Terserah,” katanya. “Semoga interview-mu kacau, jadi kita tak perlu pulang bersama.”

 

 

“Jadi kalau interview-ku tidak kacau, kita akan pulang bersama?” Sooyoung membalik ucapan Mingyu dengan cerdas, sampai pria itu tak berkutik.

 

 

Sooyoung baru membuka mulut lagi saat Mingyu tiba-tiba saja memutuskan untuk keluar dari taksi dan membanting pintunya. Sooyoung lekas bergeser ke sisi tersebut dan menurunkan kaca.

 

 

“Kupastikan interview-ku takkan gagal, Mingyu-ssi. Jadi siap-siap ketemu nanti sore, ya!” seru Sooyoung, tepat sebelum Mingyu memasuki tempat kerjanya.

 

 

Mingyu memutar mata tanpa menghentikan langkah alih-alih menoleh. Cewek aneh, pikirnya sembari mendorong pintu.

 

 

“Wow, wow, wow! Ada apa denganmu?”

 

 

Baru saja Mingyu terbebas dari Sooyoung yang berisik, sekarang dia malah dihadang oleh bosnya yang tak kalah berisik. Pria bertubuh tambun yang lengannya dipenuhi tato itu menatap Mingyu dengan ekspresi terkejut yang berlebihan.

 

 

“Apanya yang apa?” tanya Mingyu malas.

“Kau! Siapa yang membuatmu begini? Ya ampun!” Tony terlihat benar-benar terpana, wajahnya semringah. “Siapa yang membuatmu senyum-senyum seperti tadi!”

 

                                                                                                       

“Aku senyum?” Mingyu menunjuk dirinya.

“Cih. Malah pura-pura bodoh! Aku bersumpah melihatmu tersenyum, dan itu bukan senyuman jahat seperti biasa. Kelihatan tulus, buat sejuk deh. Coba senyum lagi.”

 

 

“Apa-apaan sih! Siapa yang senyum! Aku tidak senyum,” kilah Mingyu. Sama sekali tak merasa habis tersenyum. Tony pasti sudah gila karena akhir-akhir ini tokonya sepi.

 

 

“Kau harus lebih sering melakukan itu. Kudengar banyak tersenyum membuat kita tampak lebih menarik dan awet muda,” kata Tony.

 

 

“Bohong,” balas Mingyu dingin. “Kau senyum tiap hari tapi tetap jelek,” katanya, kemudian menabrak tubuh buntal Tony dan berjalan melewati tirai.

 

 

“Heh! Dasar sialan! Bilang apa tadi? Aku ini bosmu!”

 

 

Tony menggerutu dan hendak mengejar Mingyu. Namun pada akhirnya memutuskan untuk berbalik dan berjalan ke arah pintu masuk, mengintip ke luar jendela. “Apa coba yang bikin anak setan itu senyum?”

 

 

 

**********

 

 

 

Saat itu sudah pukul 4 sore. Mingyu baru saja selesai membuat tato berupa tiga buah bintang kecil beserta sepenggal kalimat berbahasa Prancis di pundak seorang wanita.

 

 

Gadis itu merapikan bajunya kembali sambil tersenyum pada Mingyu.

 

 

“Terima kasih.”

“Perbannya jangan dibuka dulu, tunggu dua sampai tiga jam. Setelah itu bersihkan dengan air hangat, jangan pakai kain, pakai tangan saja,” kata Mingyu sambil merapikan bekas pekerjaannya—salep, perban, tinta, jarum-jarum.

 

 

“Okay, aku mengerti. Omong-omong, namaku Jennie.” Jennie mengulurkan tangannya pada Mingyu. Namun Mingyu cuma melirik tangan itu tanpa berniat menyentuh, masih sibuk memasukkan alkohol dan bacitracin ke dalam tempatnya.

 

 

“Sori, apa kau mendengarku? Aku Jennie Kim.” Jennie mengulang, lebih lantang.

“Iya. Aku dengar,” jawab Mingyu dingin.

“Oh, okay.” Jennie menarik tangannya yang tak kunjung disambut. “Dan namamu?”

 

 

Mingyu pun menoleh dengan malas. “Pintunya di sebelah sana. Kau bisa keluar sendiri kan, Jennie-ssi?”

 

 

Air muka Jennie yang semula nampak malu-malu langsung berubah. Ia sama sekali tak pernah diperlakukan ketus begitu oleh cowok mana pun di muka bumi. Gadis itu memandang Mingyu panas, lalu menyambar tasnya dan segera keluar dari sana sambil menggerutu mencela di balik napasnya.

 

 

Jennie hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang merelakan tubuhnya ditusuk-tusuk jarum hanya demi Mingyu. Supaya bisa dekat dengan Mingyu, si seniman tato berpostur tinggi nan keren, yang punya alis tebal rapi, hidung tinggi, mata indah, juga kepribadian dingin yang menarik.

 

 

Namun semua itu hanyalah kesan pertama belaka. Karena pada akhirnya, kepribadian yang kata orang menarik itulah yang justru membuat mereka lelah sendiri, menyerah. Mingyu terlampau dingin untuk didekati. Dia seperti sengaja membangun tembok es supertebal di sekelilingnya hingga tak ada seorang pun yang mampu menyentuh.

 

 

Setelah selesai merapikan perlengkapan tatonya, Mingyu menyingkap tirai menuju ruang tamu, hendak merebahkan diri di sofa panjang yang biasa dihuni Tony. Namun bersamaan dengan itu, pintu masuknya terbuka. Mingyu mengangkat kepala dan langsung dibuat berang melihat siapa yang datang.

 

 

“Mau apa lagi?”

“Ada informasi penting yang harus kau tahu. Kejadian yang menimpa ayahmu, itu sungguh pembunuhan berencana. Tapi tenang saja, sebentar lagi kami akan menemukan identitas pelakunya.”

 

 

“Saya juga dari awal sudah tenang, kok. Bukannya Bapak yang tidak pernah tenang? Setiap minggu ke sini. Sebegitu bosannya ya di kantor polisi?” gerutu Mingyu.

 

 

“Terserah kau saja. Itu hakmu untuk tak peduli. Tapi dengar, pelakunya diduga kuat adalah orang dekat dari ayahmu sendiri, dan dia masih buron. Jadi lebih baik kau tetap waspada. Jangan percaya pada siapa pun di situasi seperti ini!” ujar sang penyidik polisi serius. “Dan dari investigasi kami, besar kemungkinan dia sedang mencarimu. Bukan tak mungkin kalau dia ada di sekitarmu sekarang.”

 

 

“Basi,” tukas Mingyu. “Bapak pikir selama ini saya hidup dengan damai, begitu?” Ia memutar mata dengan sok. “Saya sudah biasa kok mau dibunuh. Saya bisa mengatasinya sendiri. Tak usah repot-repot.”

 

 

“Kami akan menangkapnya sebelum kau terpaksa harus mengatasinya sendiri. Saya janji.”

“Yeah, bagus. Tapi tolong jangan datang ke sini lagi! Bahkan andai pelakunya tertangkap sekalipun, tak usah laporan ke saya. Saya bukan atasan Bapak.”

 

 

“Kau tidak mengerti, Mingyu-ssi. Nyawamu sedang terancam.” Suara sang penyidik polisi mulai meninggi.

“Bapak yang tidak mengerti. Dari dulu nyawa saya juga sudah terancam.” Mingyu balas meninggikan suara.

 

 

“Eh, ada Pak Polisi.” Tony keluar dari ruangannya saat kedua pria itu tengah bersitegang.

 

 

Tony memaksakan senyum. “Duduk dulu, Pak. Biar saya belikan minum,” katanya, dengan nada sopan yang menurut Mingyu sangat menjengkelkan, lantas buru-buru menjangkau pintu keluar dan berlalu pergi.

 

 

Selama beberapa saat, Mingyu dan sang penyidik hanya duduk berhadapan tanpa mengatakan apa-apa.

 

 

Hingga akhirnya Mingyu menarik napas jengah dan berkata, “Jadi Anda jauh-jauh ke sini hanya untuk memberi tahu saya bahwa orang yang membunuh ayah saya ada di sekitar sini, sedang berusaha membunuh saya?”

 

 

“Sebenarnya saya tidak bisa menjamin itu. Kami sudah menelusuri alamatnya—yang ternyata fiktif. Dia bisa ada di mana-mana, dengan identitas baru. Dan berhubung dugaan motivasi pembunuhan ini adalah balas dendam, maka kami berpikir kemungkinan besar dia juga mencarimu.”

 

 

“Saya tak mengerti dengan konsep itu,” ujar Mingyu mencibir. “Kenapa nyawa ayah saya saja tidak cukup? Kenapa harus nyawa saya juga?”

 

 

“Itu bukan sesuatu yang bisa dijelaskan, Mingyu-ssi. Begitulah dendam.”

“Begitulah dendam? Tidak, kau tidak bisa menyimpulkan begitu. Waktu kecil, keluarga saya difitnah dengan keji hingga semua penduduk desa ramai-ramai datang untuk membakar rumah saya. Bohong jika saya bilang saya tidak dendam. Saya sangat dendam, sangat terluka, dan sampai sekarang rasa sakitnya tidak bisa hilang. Tapi Bapak lihat saya sekarang? Saya tidak membunuh seluruh orang di desa saya, saya tidak mencari siapa anaknya, cucunya, kakeknya, saya tidak membakar mereka semua satu-satu. Saya tidak begitu.”

 

 

 

“Tapi ayahmu membunuh orang-orang, kan? Begitulah dendam. Tidak ada habisnya.”

“Dia menjadi orang jahat karena dia difitnah begitu.”

 

 

Mingyu menatap pinggiran meja dengan berat hati. Hatinya terasa sakit. Itu adalah kenangan terburuk yang telah ia pendam dalam-dalam, dan sekarang pembicaraan ini membuat kenangan yang terpendam itu muncul kembali ke permukaan. Menguasai kepalanya. Menguasai hatinya. Membuat perih.

 

 

“Saya terlalu kecil saat itu, saya tak bisa menghentikannya.” Mingyu menghela napas. “Dan saat saya dewasa, semuanya sudah terlambat.”

 

 

Saat Mingyu sedang tenggelam dalam kenangan masa lalunya yang kelam, tiba-tiba saja Tony datang dengan berisik, membuat Mingyu tersadar.

 

 

“Minumnya datang!” seru Tony penuh semangat. Ia meletakkan sebotol minuman kopi dingin di hadapan sang penyidik.

 

 

“Terima kasih,” kata si penyidik sambil mengulurkan tangan hendak mengambil botol kopinya.

 

 

Namun Mingyu menyambar botol itu duluan. Watak aslinya kembali muncul. “Sudah, kan? Urusan Anda di sini sudah selesai.” Mingyu menunjuk pintu keluar dengan dagunya.

 

 

“Mingyu! Apa-apaan, sih! Biarkan Pak Polisinya minum dulu!” Tony mencoba merebut botol itu dari Mingyu. Namun Mingyu mengangkatnya tinggi-tinggi, jauh dari jangkauan Tony.

 

 

“Tak perlu. Dia juga kelihatannya tidak haus.”

 

 

Si penyidik itu tidak punya pilihan lain selain mengangguk mendengar ucapan Mingyu, kemudian berdiri.

 

 

“Ini kartu nama saya. Seandainya kau menerima teror dari siapa pun, jangan sungkan untuk menelepon saya.”

 

 

Mingyu menatap kartu nama itu sambil menyeringai mencibir.

 

 

Tony tahu manusia keras kepala seperti Mingyu tak akan mau repot-repot mengulurkan tangan menerima kartu nama tersebut, jadi Tony yang mengambilnya.

 

 

“Komisaris Polisi Junmyeon Kim,” Tony membaca nama yang tertera di kartu nama sang penyidik.

“Panggil Suho saja.”

“Wah, boleh begitu? Baiklah, Suho-ssi. Omong-omong, jaga-jaga kalau Anda lupa, nama saya Tony, pemilik tempat ini.” Tony memperkenalkan diri dengan cengiran lebar. Tanganya yang gemuk menjabat tangan Suho antusias. Nampak girang punya kenalan seorang detektif polisi.

 

 

“Heh, siapa suruh kenal-kenalan! Cepat keluar sana!” seru Mingyu, yang kala itu sudah duduk nyaman dengan kaki di atas meja. Tony menatap anak itu gemas.

 

 

Suho melirik Mingyu sekilas sebelum akhirnya berpamitan dan keluar dari toko Tony.

 

 

“Heh anak setan, maksud dia tuh baik! Coba kau bayangkan, pangkatnya sudah tinggi begitu masih mau terjun langsung menangani kasus, repot-repot ketemu orang yang tidak kooperatif sepertimu. Kasihan, kan?”

 

 

“Justru itu.”

“Justru apa?”

“Dia baik, aku jadi takut.” Mingyu meletakkan botol minuman yang isinya tidak tersentuh itu ke atas meja. Kemudian mengambil bungkus rokok milik Tony yang juga tergeletak di sana.

 

 

“Memang aneh kau itu. Sama orang baik malah takut.”

 

 

Mingyu menghidupkan sebatang, mengisap dan mengembuskan asapnya secara perlahan.

 

 

“Orang baik itu membuat kita tidak waspada,” kata Mingyu. Orang baik itu tidak ada. Dulu yang memfitnah ayah juga orang baik, pikirnya. “Penyidik itu benar. Aku tak bisa percaya sama siapa pun di situasi seperti ini. Seharusnya dia juga sadar bahwa ucapan itu juga berlaku buat dia.”

 

 

Mingyu diam sejenak untuk mengisap rokoknya.

 

 

“Ayah menjadi pembunuh bayaran selama 12 tahun. Coba bayangkan berapa banyak nyawa yang sudah hilang di tangan ayah? Berapa banyak dendam yang harus dia tanggung?” Mingyu menggeleng, meralat ucapannya sendiri. “Yang harus kutanggung.”

 

 

Gumpalan asap membumbung tinggi dari cacahan tembakau di sela jari Mingyu. 

 

 

“Itu sebabnya aku tak mau tahu lagi soal ayah.” Mingyu bisa merasakan sesuatu di dalam dadanya bergejolak. “Karena dia juga tak pernah mau tahu soal aku. Dia egois. Tak peduli hidup anaknya jadi rusak. Tak peduli anaknya jadi ditakuti, dijauhi, dianggap monster oleh orang-orang. Karena dia tak peduli, maka buat apa aku peduli?”

 

 

Tony bergeming, memandang iba pada Mingyu. Ia merasa hatinya retak mendengar semua penuturan itu. Sebagai orang terdekat Mingyu saat ini, Tony mengerti betul perasaannya. Tony sudah mengenal Mingyu sejak anak itu berusia 17 tahun, di tempat ini, duduk menunggu ayahnya ditato sambil meminum sekaleng cola, tersenyum ragu-ragu saat Tony menyapa. Tony sudah pernah mendengar ceritanya. Ia tahu apa yang membuat keduanya pindah dari Suncheon ke Seoul. Ia tahu apa yang membuat ayah Mingyu yang dulunya hanyalah pria sederhana yang jujur tiba-tiba menjadi liar tak terkendali. Ia tahu bagaimana hidup Mingyu yang dulunya bahagia dan normal menjadi luluh lantak.

 

 

“Kenapa tiba-tiba aku malah membicarakan ini?” Mingyu menekan matanya, lalu menoleh pada Tony dengan geram. “Gara-gara kau! Kenapa kau tanya-tanya!”

 

 

Mingyu jadi enggan meneruskan kegiatan merokoknya dan menancapkan silinder kertas yang masih panjang itu begitu saja ke dalam asbak.

 

 

Saat Mingyu berdiri, tiba-tiba saja pintu masuk terbuka lagi.

 

 

“Selamat sore!”

 

 

Suara itu praktis membuat Mingyu langsung berseru seketus-ketusnya. “Mau apa, sih?!”

 

 

“Menjemputmu.”

“Keluar! Aku hitung sampai tiga.”

“Ternyata bagian dalamnya tidak segelap cat di luar, ya. Bagus.” Sooyoung melangkah ke dalam tanpa mengacuhkan perintah Mingyu.

 

 

“Berhenti di situ! Berani jalan selangkah lagi, akan kusiram kau!!” ancam sang pria, seraya menyambar botol kopi di meja dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

 

 

“Aku bawa dimsum. Mingyu-ssi pasti belum makan siang, kan?” Sooyoung malah tersenyum hangat. Tak gentar.

 

 

“Wah, aku juga belum makan.” Tony tiba-tiba menyambar.

“Bapak juga boleh makan,” ujar Sooyoung cerah. “Kenalkan, namaku Sooyoung, temannya Mingyu.”

“Mingyu... punya teman?”

“Heh mulutnya dijaga, ya! Kata siapa kita teman?!”

 

 

Sooyoung membuka dimsumnya dengan tenang seraya menawarkannya pada Tony. Tony memasukkan dua dimsum sekaligus ke dalam mulutnya dan mulai mengangguk-angguk dengan mata terpejam.

 

 

“Kau!” Mingyu yang omelannya diabaikan mengulurkan ibu jarinya menunjuk Sooyoung.

“Apa?”

 

 

Mingyu membuat isyarat agar Sooyoung mengikutinya. Pria itu menyingkap tirai dan masuk ke ruangan tato. Sooyoung berdiri dan mengikuti Mingyu.

 

 

“Duduk!” suruh sang pria ketus. Sooyoung menurut.

“Maumu apa?”

“Kan sudah kubilang, aku mau menjemputmu.”

“Kau pikir kita sedekat apa, sih? Cuma karena tadi siang kita satu taksi, kau pikir aku mau pulang satu taksi lagi denganmu, begitu?”

 

 

“Siapa bilang kita pulang naik taksi?”

“Apa aku terlihat seperti sedang bercanda!” bentak Mingyu. “Aku benci diganggu saat sedang kerja begini. Lebih baik kau pergi. Lagian aku belum mau pulang sekarang.”

 

 

“Tidak, aku tidak mau pergi.”

 

 

Mingyu berdecak malas. Ia hendak menarik tangan Sooyoung saat gadis itu tiba-tiba berkata dengan lantang, “Kau tak bisa mengusir pelanggan, Mingyu-ssi.”

 

 

“Pelanggan?”

 

 

Saat ini, Mingyu yang berdiri menjulang di hadapan Sooyoung menatapnya dengan heran. Alis Mingyu bertaut, dan beberapa detik setelahnya sudut bibir sang pria berkedut membentuk seringaian.

 

 

“Jadi kau mau ditato?” tanya Mingyu, akhirnya melepas tangan Sooyoung dan membunyikan jari-jarinya.

“Y-yeah, kurasa.” Setelah mengucapkan itu, Sooyoung langsung merasa mual. Tentu saja sebenarnya dia tidak mau ditato. Sooyoung hanya tidak mau diusir Mingyu.

 

 

Mingyu menarik sebuah kursi pendek dengan kakinya, kemudian duduk di sana, di hadapan Sooyoung. Di wajahnya tersungging seringaian jahat yang kian melebar. Pria itu sengaja berekspresi begitu untuk menakuti Sooyoung—yang tanpa ditakuti pun sudah sangat takut.

 

 

Mingyu memasang sarung tangan karet tanpa mengalihkan pandang dari Sooyoung yang saat itu tengah berpura-pura tenang.

 

 

“T-tidak sakit, kan?” tanya Sooyoung terbata.

“Sakit itu relatif.”

“Okay, kurasa aku bisa menahannya.”

“Yeah, lagi pula rasanya hanya seperti kulitmu dibor. Atau dioperasi tanpa obat bius. Mungkin seperti ditancapkan paku, kemudian dipalu sampai dalam, lalu pakunya dicongkel dan ditancap lagi, dan lagi, dan lagi. Untuk manusia bernyali besar sepertimu, kedengarannya tidak sakit, kan?”

 

 

Mingyu melebih-lebihkan, lengkap dengan visualisasi gerakan supersadis dan senyuman jahat di bibirnya. Senyumnya makin merekah begitu menyadari wajah Sooyoung yang mulai memucat.

 

 

“Kalau begitu jangan tato, deh. Gambarkan bunga atau kupu-kupu saja di sini.” Sooyoung menunjuk kuku-kuku jarinya.

 

 

“Heh, memangnya ini nail art?” Mingyu langsung membentak hingga membuat Sooyoung terkejut.

Manner-mu di mana sih ke pelanggan teriak-teriak!”

 

 

Mingyu menarik kursi Sooyoung mendekat dan menatapnya serius. “Apa yang kau mau dariku?”

 

 

Sooyoung memandangi Mingyu tak paham.

 

 

“Aku memang putus sekolah, tapi aku tidak bodoh. Dari pertama kita bertemu pun aku sadar ada yang aneh denganmu. Pasti ada sesuatu yang kau mau, kan? Sebutkanlah sekarang! Sebenarnya maumu itu apa?” Mingyu menghela napas, kemudian melanjutkan dengan nada rendah. “Kau mau nyawaku? Kau mau membunuhku juga?”

 

 

Sooyoung sejenak membisu, sampai akhirnya Mingyu kembali berkata dengan lirih, “Kau tak bisa menjawab? Berarti aku benar?”

 

 

“Apa aku terlihat seperti pembunuh?”

“Ya,” jawab Mingyu langsung. “Di mataku semua orang itu sama. Yang kelihatan baik pun bisa jadi paling busuk.”

 

 

Sooyoung berusaha tetap tenang, sementara tangannya mulai gemetar. Rasanya seperti kata-kata itu ditujukan langsung untuknya. Bukan hanya kiasan untuk menggambarkan semua orang, tetapi khusus untuknya. Yang berusaha terlihat paling baik adalah yang paling busuk.

 

 

Sooyoung tak percaya ia memikirkan ini, tapi sungguh, dia lebih senang melihat Mingyu berteriak mengancam akan menendangnya atau menyiramnya dengan kopi daripada melihat Mingyu seperti ini. Karena Mingyu yang sekarang, Mingyu yang menatapnya dengan serius sambil berkata dengan nada rendah itu, ternyata jauh lebih mengerikan dari yang biasa. Sangat mengerikan sampai Sooyoung tak mampu menatapnya.

 

 

“Sejauh ini aku tak pernah main fisik denganmu, tapi mulai sekarang aku tak bisa menjaminnya lagi. Kau sudah kelewat batas. Dari awal kau sadar kan risikonya apa jika dekat-dekat denganku? Semua orang sudah mengingatkanmu, tapi kau tetap saja keras kepala. Jadi nikmatilah apa yang sudah kau tabur. Aku…”

 

 

“Aku tidak akan lama di sini, Mingyu-ssi,” Sooyoung menyela dengan sisa keberaniannya. “Bertemanlah denganku selama satu minggu, setelah itu aku janji akan pergi dari hidupmu selamanya.”

 

 

Sooyoung mencoba menawarkan kesepakatan, namun Mingyu malah mendenguskan napas dari hidung dan tertawa konyol. “Aku sudah gila kalau sampai menerimanya.”

 

 

“Kalau begitu aku tak akan ke mana-mana selamanya. Aku akan mengikutimu ke mana pun kau pergi. Aku akan masuk ke apartemenmu, mengikutimu ke studio tato ini, pulang bersamamu, semuanya. Aku akan tetap jadi sok baik sebagaimana yang kau benci. Asal kau tahu Mingyu-ssi, aku bisa lebih mengganggu dari ini.”

 

 

“Asal kau tahu juga, aku bisa menamparmu sampai pingsan dengan tangan ini,” tukas Mingyu, sudah kepalang geram. Berani-beraninya cewek antah berantah ini mengancamnya begitu.

 

 

“Tampar saja!” Sooyoung mendekatkan wajahnya menantang. “Tinju! Pukul! Terserah. Aku tetap tak akan ke mana-mana.”

 

 

Mingyu yang sudah terbakar emosi langsung mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Sooyoung memejamkan mata.

 

 

“Kenapa kalian berisik seka—HAH YA AMPUN, MINGYU JANGAN!” Tony yang baru datang langsung terbelalak dan berhambur menahan tangan Mingyu.

 

 

Mingyu menepis Tony kasar. Membuat tubuh tambun sang bos menubruk meja hingga menjatuhkan semua botol tinta di sana. Namun Mingyu tak sedikit pun terlihat peduli akan kekacauan itu dan terus mengarahkan tatapan penuh kebencian pada Sooyoung.

 

 

“Cukup, okay?” Mingyu terdengar hampir memohon, “kubilang cukup,” tekannya untuk yang terakhir kali, kemudian merobek sarung tangan karetnya dan pergi.

 

 

 

TBC

Comments

Popular Posts