A Bad Reputation Part 4

 



Langit berubah warna menjadi jingga. Semua orang telah selesai beraktivitas dan kini tumpah ruah di jalan, bergegas menuju rumah masing-masing. Trotoar padat oleh pedestrian, sementara jalanan padat oleh kendaraan.

 

 

Mingyu berjalan tanpa tujuan di tengah-tengah keramaian itu. Jaketnya tertinggal di studio tato. Tidak hanya jaket, pikirannya pun tertinggal di sana.

 

 

Kalau dia mau membunuhku juga, kenapa dia tidak melakukannya saat aku pingsan di tangga apartemen?

 

Kenapa dia tidak menambahkan racun di makananku?

 

Kenapa dia harus peduli dengan hidupku?

 

Tapi kalau dia tak mau membunuhku, lalu apa maunya?

 

 

Mingyu tak bisa berhenti memikirkan itu. Di jam sibuk seperti ini, Mingyu malah berjalan sangat pelan dengan tatapan kosong. Beberapa orang melewatinya sambil menyumpah dan mencibir sinis, semata-mata untuk menyadarkan Mingyu bahwa langkahnya yang kelewat pelan itu telah mengganggu tempo langkah semua orang. Namun bukan Mingyu namanya kalau dia peduli.

 

Mingyu masih memikirkan Sooyoung. Gadis itu membingungkan. Mingyu tak bisa langsung menghajarnya seperti musuh-musuhnya yang lain. Karena Sooyoung tidak melukainya, karena Sooyoung bisa jadi bukan musuhnya.

 

 

Saat itu, saat topik lamunan Mingyu bergeser sedikit menjadi seputar interview Sooyoung—apa berjalan lancar? Apa ia diterima kerja? Apa itu artinya dia akan datang setiap sore?—Mingyu menemukan dirinya sudah dikepung. Mingyu tanpa sadar sudah berbelok ke jalanan yang lebih sepi, lebih gelap, lebih sempit, dan tanpa sadar juga dirinya sudah diikuti oleh komplotan bersenjata berjumlah lima-enam orang. Kini mereka semua berdiri membentuk formasi, mengelilinginya dalam satu lingkaran besar.

 

 

“Kalian lagi. Astaga!” Mingyu menghela napas bosan.

“Kau.” Mingyu menunjuk salah satu di antara mereka. “Bukankah lututmu kubuat robek kemarin lusa? Sudah bisa berdiri?” tanya Mingyu dengan nada khawatir dibuat-buat.

 

 

“Dengar, sebelum kubuat babak belur lagi, lebih baik cepat beri tahu aku siapa yang membayar kalian! Suruh dia menghadapiku langsung! Pengecut.”

 

 

“Jangan tengil, ya! Kau yang akan babak belur hari ini.”

“Hanya babak belur?” Mingyu tersenyum. “Sudah menyerah untuk membunuhku?”

“Lihat betapa bodohnya anak ini!” kata sang lawan bicara, disambut oleh tawa geli dari seluruh komplotannya. “Siapa bilang kami ingin membunuhmu? Akan sangat mudah jika begitu perintahnya. Sayang sekali kami harus membawamu hidup-hidup.”

 

 

Mingyu membisu sejenak, kemudian bertanya heran. “Kalian sungguh tak akan membunuhku?”

 

 

“Tidak sampai bos kami mendapatkan apa yang ia inginkan.” Pria itu berjalan mendekati Mingyu sambil menyeringai jahat. “Kau akan sangat menyesal sudah pernah menghajarku, anak sial. Dalam waktu kurang dari lima menit, hidupmu yang sudah tak berharga itu akan kubuat semakin tak berharga. Kau akan sangat menderita sampai mengemis minta kubunuh.”

 

 

“Oh, ya? Kalau aku menang lagi, bagaimana?” sahut Mingyu tenang.

 

 

Saat itu, pria yang berdiri di belakang Mingyu tiba-tiba saja berlari ke arahnya. Mencolong start.

 

 

Mingyu menajamkan pendengarannya dan melompat di saat yang tepat. Ia melakukan tendangan berputar hingga alas sepatunya persis menghantam rahang si pria. Pria itu jatuh tersungkur. Kepala duluan.

 

 

Setelah itu, Mingyu memasang kuda-kuda dan mengangkat tinjunya. “Siapa lagi yang mau mencium aspal?”

 

 

Bak mendapat komando, mereka semua berteriak dan menyerang Mingyu.

 

 

Mingyu berjongkok dengan kaki kiri yang diluruskan, kemudian berputar dan berhasil menjegat dua orang sekaligus. Mereka terjatuh begitu saja seperti pin boling. Mingyu kembali berdiri, kali ini menyikut hidung pria di belakangnya dan melompat menendang perut pria lain di depannya dengan dua kaki. Satu per satu mereka semua berdiri, menyerang Mingyu, lalu pada akhirnya terhempas ke dinding beton.

 

 

Mingyu tak pernah mengikuti kursus bela diri apa pun. Ia hanya mempraktikkan apa yang ayahnya lakukan semasa hidup.

 

 

Dulu, saat masih sepuluh tahun, Mingyu selalu duduk di jok mobil selama ayahnya berkelahi. Ia menonton ayahnya dikepung oleh sekumpulan orang berwajah seram dari jendela yang gelap, sekali-kali meringis, sekali-kali berteriak memberi semangat, dalam hati berdoa. Namun sesungguhnya Mingyu kecil tak pernah benar-benar khawatir, karena ia yakin pada akhirnya sang ayah akan menang. Selalu begitu.

 

 

Walaupun dengan napas terengah-engah dan wajah bersimbah darah, tapi ayahnya selalu kembali duduk di belakang setir sambil tersenyum tulus pada Mingyu.

 

 

“Ayah hebat,” kata Mingyu. “Mingyu mau jadi jagoan seperti ayah.”

“Ya, jadilah jagoan,” kata ayahnya susah payah. “Tapi jangan seperti ayah. Hiduplah dengan baik tanpa menyakiti orang. Ayah akan berusaha untukmu, jadi hiduplah dengan baik.”

 

 

Mingyu menggeleng.

 

 

“Jika aku hidup dengan baik tanpa menyakiti orang. Bukankah orang-orang yang tidak baik akan menyakitiku?” Mingyu bertanya kritis, mendadak teringat akan kejadian naas di tahun sebelumnya. “Jika aku hidup dengan baik, bagaimana jika orang-orang akan membakar rumahku lagi?”

 

 

Hidung Mingyu langsung kembang kempis saat memori pahit itu merasuki otaknya. “Kenapa mereka membakar rumah kita? Aku tidak mau hidup dengan baik, Ayah. Aku mau jadi sepertimu saja.”

 

 

Sebagaimana Mingyu yang berumur sepuluh tahun, Mingyu yang sekarang pun tiba-tiba dirasuki oleh memori pahit yang sama. Pandangannya sesaat kabur oleh air air mata.

 

 

Pikirannya melayang ke mana-mana, dan dalam sekejap Mingyu sudah memikirkan dirinya yang masih berseragam sekolah—kelas 4 SD tepatnya. Dalam sekejap Mingyu memikirkan dirinya pulang ke rumah sambil memegang kertas ulangan matematika dengan nilai sempurna. Lalu menemukan rumahnya dilahap bulat-bulat oleh kobaran api. Semua yang Mingyu pikirkan di jalan pulang—soal betapa bangga raut ibunya nanti—mendadak sirna. Hangus terbakar bersama rumahnya, bersama raga ibunya. Mingyu mencoba menerobos pintu masuk, namun sang ayah menangkapnya sebelum Mingyu berhasil menggapai pintu. Memeluknya dengan erat. Menangis. Mingyu meronta di pelukan sang ayah, menangis lebih keras sembari berteriak, berusaha memberi tahu ibunya betapa bagus nilai matematikanya hari itu. Namun ibunya tak lagi mendengar.

 

 

Saat pikiran itu datang, Mingyu sedang mencengkeram kerah satu-satunya pria yang belum terkapar. Tinjunya sudah terangkat tinggi-tinggi tapi tiba-tiba Mingyu terdiam begitu saja, tiba-tiba napasmya terasa pendek, tiba-tiba sesuatu di dalam dadanya terasa perih. Mingyu tak tahu kenapa semua bayangan itu tiba-tiba menyerangnya di saat terakhir. Satu pukulan lagi dan dirinya akan menang. Mingyu seharusnya menang.

 

 

Pria yang kerah bajunya sedang ia cengkeram itu tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan. Keadaan pun berbalik. Mingyu ditendang sampai terhempas ke aspal dan langsung diberondong pukulan bertubi-tubi.

 

 

Darah bercucuran dari hidung, mulut dan pelipis Mingyu, sementara wajahnya bolak-balik ditinju. Muka Mingyu sudah sangat merah. Pembuluh darahnya pecah. Mingyu berusaha melawan, namun raganya tak mau lagi menuruti pikirannya. Tangannya tak mampu lagi mengepal, malah terkulai lemas di atas dinginnya jalan. Mingyu sepenuhnya tak berdaya. Pasrah. Kehabisan tenaga. Seluruh suara di sekelilingnya menjadi berdengung. Dunianya berputar. Pandangannya menggelap. Dan Mingyu pun berpikir inilah akhirnya.

 

 

Tiba-tiba saja, saat Mingyu berpikir segalanya sudah berakhir, pria yang sedang asyik meninjunya itu—yang wajahnya tak kalah babak belur dari Mingyu—membeliak kesakitan dan jatuh begitu saja. Kepala pria itu menghantam aspal di samping kepala Mingyu dengan keras. Mingyu terkejut. Susah payah ia memfokuskan pandangannya kembali ke depan, dan yang ia temukan adalah siluet seorang perempuan, tengah berdiri gemetar sambil memegang sebatang kayu. Sooyoung. Mingyu mengenali sling bag yang berumbai itu.

 

 

Gadis itu bergeming di tempatnya berdiri, kelihatan syok setengah mati. Sementara seseorang di belakang Sooyoung—yang sebelumnya sudah Mingyu hajar sampai pingsan—tiba-tiba bangkit dan ingin menyerang gadis itu.

 

 

Mingyu memaksakan diri untuk bangun. Ia menggamit tangan Sooyoung dan mengayun kayu yang ia pegang untuk memukul pria yang hendak menyerangnya. Pukulannya tepat sasaran. Pria itu roboh. Mingyu lantas menjatuhkan kayu di tangan Sooyoung dan menarik sang gadis pergi dengan sisa tenaganya.

 

 

Selama berlari, Sooyoung terus menatap Mingyu dengan takjub. Tangannya digenggam sangat kuat, sementara kakinya melangkah lebar-lebar menuruti pergerakan Mingyu—yang tergopoh-gopoh dan pincang. Suara napas Mingyu terdengar riuh. Darah bercucuran dari wajahnya. Saat itu rasanya Sooyoung sudah tak bisa lagi bernapas, ia tak sanggup lagi berlari, dan ia tak mengerti bagaimana bisa Mingyu yang terlihat seperti sedang sekarat itu masih kuat berdiri alih-alih berlari.

 

 

“Cukup, Mingyu. Mereka tak akan mengejar.” Sooyoung menahan langkahnya, yang otomatis membuat Mingyu ikut berhenti.

 

 

Mereka beristirahat di sebuah toko kelontong kecil. Mingyu meludahkan darah di tanah dan langsung menjatuhkan dirinya ke tempat duduk, kepalanya disandarkan pada dinding beton. Dia bernapas sembari memegangi dada, sembari memejamkan mata. Sementara Sooyoung masuk ke dalam toko itu dan membayar beberapa botol air di pelukannya. Begitu keluar, ia langsung membuka tutup salah satu botol itu dan menyodorkannya pada Mingyu.

 

 

Mingyu meminumnya sedikit. Sementara sisanya ia gunakan untuk mengguyur kepala. Bercak darah di muka Mingyu pun luntur. Mingyu menyeka wajahnya dengan kedua telapak tangan dan kembali bersandar di dinding. Namun tak lama kemudian darah di pelipisnya mengalir lagi.

 

 

“Kita ke klinik, ya.”

“KAU LUKA?” Mingyu langsung menegakkan badan dan menoleh pada Sooyoung, mengecek gadis itu teramat khawatir. Seolah darah di wajahnya sendiri, yang sedang mengalir dari pelipis ke dagu, bukanlah masalah besar.

 

 

“Bukan aku,” kata Sooyoung. “Kau.”

 

 

Mendengar jawaban itu, Mingyu sontak bernapas lega. “Tidak usah,” katanya, kembali menyandarkan punggung.

 

 

Sooyoung meletakkan botol air di tempatnya duduk, lalu berdiri dan mengulurkan tangan pada Mingyu.

 

 

“Sekali ini saja, Mingyu-ssi. Tolong jangan bantah aku!”

 

 

 

***********

 

 

 

Luka Mingyu dibersihkan dengan larutan NaCl dan dibalut dengan kassa steril. Semuanya berjalan lancar, walau Mingyu sempat meneriaki perawatnya beberapa kali.

 

 

Lebih cepat sedikit, dong! Dasar lelet!

 

Dikasih apa, sih? Kok makin sakit!

 

Kenapa aku harus buka baju?

 

 

Teriakan yang terakhir itu terjadi saat sang perawat ingin mengobati luka-luka kecil yang bertebaran di punggung Mingyu. Mereka berdebat selama beberapa menit, sebelum akhirnya sang perawat tak tahan lagi dan meminta bantuan Sooyoung. Sooyoung pun harus membujuk Mingyu agar mau menurut—yang akhirnya setengah berhasil. Dikatakan setengah karena Mingyu hanya setuju membuka bagian belakangnya saja. Kaus hitam berlengan panjang yang lengket oleh darah itu ia celoskan melewati kepala dan menggantung di bawah leher. Enggan benar-benar membukanya.

 

 

Sooyoung selalu bertanya-tanya tato macam apa yang dipunyai manusia sesuram Mingyu, tetapi ternyata badannya bersih. Tak ada coretan tinta di tubuhnya. Setitik pun tidak. Aneh rasanya melihat seniman tato tidak punya tato.

 

 

Mingyu duduk di ranjang pasien dengan wajah merah yang terus ditundukkan. Ketara sekali tak pernah memperlihatkan badannya di depan umum.

 

 

Sooyoung tak bisa menahan diri untuk tidak terkikik melihat wajah malu Mingyu.

 

 

“Jangan lihat ke sini!” seru Mingyu pada Sooyoung. “Jangan senyum-senyum, ya! Aku tahu kau senyum! YAH! Mau kupelintir sampai lepas mulutmu itu?”

 

 

Perawat yang sedang menangani Mingyu menggeleng-gelengkan kepala, sementara Sooyoung yang sudah biasa diancam dengan kalimat-kalimat sadis seperti itu hanya menanggapinya dengan santai. Jangankan takut, justru ia malah dengan sengaja tersenyum semakin lebar sembari memelototi Mingyu, menggodanya.

 

 

“Mau mati, ya! Lihat saja!” Muka Mingyu merah padam. Setengah kesal, setengah malu. Sooyoung tertawa puas. Mingyu itu aneh sekali, pikir Sooyoung. Bukankah sebagai seniman tato dia biasa melihat badan orang-orang; cewek, cowok, semuanya. Lalu sekarang kenapa giliran dia sendiri yang harus buka baju malah semalu itu? Sooyoung tertawa geli. Sementara Mingyu yang sudah lelah mengancam akhirnya membuang muka.

 

 

Setelah semua luka Mingyu diobati, mereka pun berjalan kaki menuju apartemen Gonse. Jalanan sudah jauh lebih lengang saat mereka keluar klinik.

 

 

“Kita cari tempat makan dulu ya,” pinta Sooyoung.

“Tidak,” Mingyu menolak tanpa basa-basi.

“Ah, tapi aku lapar.”

“Aku tidak.”

“Kau takut disuruh bayar, ya? Tenang saja, aku yang bayar semuanya.”

“Berisik. Kalau mau makan ya makan sendiri saja sana!”

 

 

Sooyoung menyerah. Namun selang beberapa menit, gadis itu menoleh lagi pada Mingyu.

 

 

“Ya sudah, tidak usah makan yang berat-berat. Bagaimana kalau es krim? Aku sudah lama tidak makan es krim.”

 

 

“Aduh, apa sih! Badanku sakit semua. Aku mau cepat-cepat pulang.”

 

 

Sooyoung memerhatikan wajah Mingyu dan cara pria itu melangkah, kemudian baru sadar bahwa sedari tadi Mingyu memang sedang menahan sakit. Pria itu terus membuat wajah meringis tanpa suara. Sooyoung sejenak terdiam.

 

 

“Oh, benar,” katanya, kemudian melanjutkan dengan suara berbisik. “Maaf. Aku lupa kau sedang luka-luka begini.”

 

 

Sooyoung berusaha untuk berpura-pura berjalan tanpa memedulikan Mingyu. Mingyu pasti tidak akan suka jika terus ditatap dengan tampang iba. Tapi itu sulit sekali. Sekeras-kerasnya Sooyoung menahan diri, pada akhirnya ia menemukan kepalanya tertoleh pada Mingyu, lagi dan lagi, memandanginya dengan penuh simpati.

 

 

Sooyoung bertanya-tanya sudah berapa lama Mingyu hidup seperti ini? Apa saat ayahnya masih hidup Mingyu juga suka dihadang orang aneh dan dipukuli?

 

 

Tanpa sadar Sooyoung sudah membuka mulut lagi. “Cowok-cowok yang tadi itu…" ia bertanya dengan hati-hati, “…siapa?”

 

 

“Tadi kok kau bisa tiba-tiba muncul di sana?” Mingyu malah balik bertanya.

“Aku mengikutimu.”

“Seharusnya jangan!”

“Kalau tidak kuikuti, mungkin kau sudah mati, Mingyu-ssi.”

“Terus? Apa urusanmu?” tantang Mingyu sinis, lengkap dengan tatapan tajam yang membuat nyali Sooyoung ciut. “Jangan ulangi lagi!” katanya, lantas menambahkan dengan volume suara yang jauh lebih kecil. “Bahaya.”

 

 

Sooyoung menoleh pada Mingyu dan tersenyum. “Oh, ceritanya khawatir?”

 

 

“Bukan itu intinya. Cih, kau itu! Menyimpulkan omongan orang seenak jidat sudah jadi hobi, ya?” Mingyu mengomel, namun Sooyoung bisa melihat wajah pria itu memerah. “Kalau kau mengikutiku, keselamatanmu bisa ikut terancam. Aku tak mau tanggung jawab kalau ada apa-apa. Makanya cukup. Serius. Jangan tambah-tambah bebanku lagi!”

 

 

“Yah, itu sih tergantung.” Sooyoung meliriknya. “Sekarang pilih, jadi temanku selama seminggu dan terbebas dariku selamanya? Atau menolak tawaran pertemananku dan aku ikutin terus selamanya?”

 

 

Mingyu menatap Sooyoung seolah gadis itu sudah gila.

 

 

“Serius kau masih tak bisa memilih? Cuma seminggu, Mingyu-ssi. Aku bersumpah aku takkan merepotkanmu. Dan sumpah juga, setelahnya aku akan pergi dari hidupmu, aku akan pindah dari apartemen Gonse.”

 

 

Mingyu mengernyit pada Sooyoung, tak paham apa sebenarnya yang ada di kepala gadis itu. Kenapa harus jadi temanku? Kenapa seminggu? Kenapa dia harus meninggalkan apartemennya sendiri?

 

 

“Jadi kita resmi berteman, kan?”

 

 

Mingyu tak menjawab.

 

 

“Diam artinya iya.”

 

 

Mingyu tetap tak menjawab.

 

 

“Deal!” seru Sooyoung mengejutkan. “Waktu seminggunya dihitung dari besok pagi.”

 

 

 

**********

 

 

 

Sooyoung mengulurkan kartu nama Komisaris Polisi Suho sebelum Mingyu memasuki apartemennya. Tony menitipkan kartu nama itu pada Sooyoung sebelum ia pamit untuk menyusul Mingyu.

 

 

“Buatmu saja,” kata Mingyu, lalu masuk ke apartemennya.

 

 

Sooyoung tak memaksa lagi. Jika itu yang Mingyu inginkan, maka dengan senang hati akan Sooyoung turuti. Toh memang begitulah harapannya.

 

 

 

**********

 

 

 

Apa yang sedang kaulakukan?

Berapa lama lagi yang kau butuhkan, Sooyoung~a?

 

 

Malam itu ponsel Sooyoung mengeluarkan dering pesan. Sooyoung membaca isinya dan serta-merta mengetikkan balasan. “Satu minggu.”

 

 

 

**********

 

 

 

Tak peduli pukul berapa Mingyu tidur, ia selalu bangun saat matahari sudah tinggi. Bangun pada pukul sebelas atau dua belas sudah menjadi rutinitasnya sejak tiga bulan yang lalu, tepatnya sejak sang ayah meninggal dunia. Bangun pagi hanya membuat Mingyu terus mengkhayalkan yang tidak-tidak—melihat sang ayah sedang mendengkur di sofa, misalnya. Dan itu menyakitkan.

 

 

Dulu… Dulu sekali, Mingyu sangat dekat dengan sang ayah. Namun hubungan mereka menjadi renggang saat Mingyu beranjak dewasa, saat ia mulai menyadari bahwa ayahnya bukanlah seseorang yang bisa dijadikan panutan.

 

 

Mereka pindah dari Chuncheon ke Seoul saat usia Mingyu sembilan tahun—tiga hari setelah rumahnya dibakar habis, dan sehari setelah pemakaman sang ibu—kemudian hidup pontang-panting selama beberapa bulan. Hingga akhirnya sang ayah bertemu dengan seorang ‘teman’.

 

 

Dan itulah mulanya, sang ‘teman’ adalah penyebab tergelincirnya mereka ke neraka. Ayahnya memang mendapat pekerjaan dengan bayaran besar. Tapi itu adalah pekerjaan yang salah.

 

 

Berbekal dendam dan rasa kecewa yang luar biasa, ayah Mingyu mencemplungkan diri ke dalam sana. Ia dibayar untuk membunuh orang, dan Mingyu kecil duduk di kursi penumpang, menunggu ayahnya selesai ‘bekerja’.

 

 

Hingga suatu hari, saat Mingyu mendaftar di sekolah baru dan gurunya bertanya apa pekerjaan ayahnya, Mingyu tak tahu harus berkata apa.

 

 

“Dia sangat pemberani. Sebanyak apa pun orang yang mengepungnya, ia selalu menang,” jawab Mingyu, mengundang penasaran seisi kelas. Mingyu memandang mereka semua dan terlihat ragu untuk melanjutkan. Dia menyadari ada yang salah dengan pekerjaan ayahnya, semua orang menjawab dengan sepenggal kata; insinyur, dokter, pedagang, seniman, tapi Mingyu tak bisa memikirkan satu kata. “Dia punya tinju yang bagus. Dia bisa masuk ke mana pun tanpa memerlukan kunci. Dia pengemudi yang hebat, supercepat. Dia berdarah tapi tak pernah kalah. Jika ikut ayah bekerja, rasanya seperti berada di dalam film.”

 

 

“Ayahmu penjahat?” tanya salah satu siswa di kelasnya dengan nada menuduh.

“Tidak,” Mingyu membantah, sementara kepalanya berhasil menemukan satu kata. “Dia jagoan.”

“Kau bilang dia bisa masuk ke mana pun tanpa memerlukan kunci, itu artinya dia pencuri. Dia orang jahat.”

“Bukan,” kata Mingyu. Namun tak ada yang mendengarkannya.

 

 

Mingyu lantas menundukkan wajah, matanya berkaca-kaca. Semua murid berbisik-bisik terlalu keras, menyimpulkan hal yang sama—bahwa ayah Mingyu adalah orang jahat—sementara sang guru berusaha membuat mereka tenang.

 

 

“TIDAK!” Mingyu tiba-tiba berteriak sampai seisi kelas terkejut. Takut. Dan sesungguhnya, lebih dari siapa pun, Mingyu sendiri pun takut, takut kalau apa yang mereka katakan itu benar, takut kalau ternyata ayahnya memang orang jahat.

 

 

Mingyu tak mau masuk sekolah lagi di hari berikutnya, dan sang ayah tak bisa berbuat apa-apa. Mingyu tetap duduk di kursi penumpang saat ayahnya bekerja, tapi ia tidak lagi membalas senyum sang ayah saat kembali ke mobil. Semakin hari semakin dingin, semakin getir. Hingga akhirnya Mingyu mulai menolak untuk bicara dengan ayahnya. Kemudian menolak untuk ikut ‘bekerja’. Dan puncaknya ia memutuskan untuk membenci ayahnya saja.

 

 

Dan lagi, sang ayah tak bisa berbuat apa-apa.

 

 

 

**********

 

 

 

Hari ini Sooyoung telah melewati enam belas jam penuh tanpa melihat Mingyu. Padahal seharusnya ini menjadi hari pertama mereka resmi ‘berteman’. Pukul delapan pagi Sooyoung sudah harus berangkat kerja (dia mendapat pekerjaan itu), sementara Mingyu jelas masih tertidur. Dan di sore hari, saat ia menyambangi studio tato Tony, Sooyoung lagi-lagi tak dapat bertemu dengan pria itu.

 

 

“Aku tak tahu. Tiba-tiba dia pergi,” kata Tony.

“Apa karena dia tahu aku mau datang?”

“Entahlah. Padahal tadi aku cuma pergi sebentar, tapi saat kembali dia sudah tak ada.”

“Tadi ada ahjussi gondrong yang datang, terus mereka pergi berdua,” sambar seseorang yang entah sejak kapan sudah duduk di sofa.

 

 

“Dia Yuta, pekerja di sini juga.” Tony memperkenalkan dengan wajah kecut.

“Oh, selama ini kukira cuma Mingyu yang kerja di sini.”

“Sebenarnya ada tiga orang. Tapi kalau ada Mingyu yang lain tidak mau datang.”

“Anak itu seram,” cetus Yuta, sambil membuka bungkus permen kopi yang selalu tersedia di atas meja.

“Cih, bilang saja kalah pamor,” cibir Tony. “Kalau ada Mingyu, semua pelanggan maunya sama dia. Tato artis yang lain jadi tidak laku.”

 

 

“Kau kok berani sih dekat-dekat dengan dia? Tidak takut?” Sooyoung cuma tersenyum canggung mendengar pertanyaan Yuta. “Mau nunggu Mingyu, kan? Sini duduk!” Yuta menepuk sofa di sebelahnya. “Dia jalan dari setengah jam yang lalu. Mungkin sebentar lagi pulang.”

 

 

Sooyoung lagi-lagi hanya menanggapi dengan reaksi yang sama; senyum terpaksa dan anggukan canggung—anggukan itu bukan berarti dia benar-benar akan duduk di sana. Menurut Sooyoung, ketimbang Mingyu, Yuta malah lebih seram. Rambutnya panjang sebahu dan direbonding selurus lidi. Tangan dan lehernya dipenuhi tato. Belum lagi simbol ouroboros besar di dadanya, kepala ularnya mengintip di balik kausnya. Dan yang paling seram, dia terus menatap Sooyoung dan mengerling padanya lima detik sekali.

 

 

“Kau lihat kan bedanya? Mingyu tuh tidak centil. Tidak seperti dia, semua orang diajak kenalan,” kata Tony sembari melirik Yuta sewot. “Yah tidak heran semua pelanggan maunya sama Mingyu. Hasil tato dia lebih rapi, lebih detail, tidak banyak omong dan kerjanya cepat.”

 

 

“Oh ya?” Sooyoung terkejut. “Padahal dia saja tidak punya tato.”

“Iya. Mingyu memang tak pernah mau badannya dicoret-coret. Dia latihan di badanku.” Tony dengan bangga memperlihatkan tato harimau di tangannya yang gemuk.

 

 

Selama ini, setiap melihat Tony, Sooyoung selalu bertanya-tanya kenapa muka harimau di lengannya berbentuk sangat aneh. Dan akhirnya sekarang pertanyaan itu terjawab juga. Ternyata bekas latihan.

 

 

“Sooyoung-ssi, kalau mau tunggu di sini, silakan saja ya. Kalau mau pulang pun silakan. Aku tak tahu dia bakal pulang jam berapa dan ke mana. Bisa jadi anak itu langsung ke apartemen, atau bahkan tidak pulang sama sekali.”

 

 

“Aku tunggu di sini dulu sampai jam enam, boleh?”

“Boleh kok. Sini duduk!” seru Yuta tak tahu malu.

“Duduk di sana saja, Sooyoung-ssi.” Tony mengarahkan Sooyoung ke sofa terjauh.

 

 

 

**********

 

 

 

Ahjussi gondrong yang disebut Yuta sejatinya adalah seorang yang sangat familiar bagi Mingyu. Itu adalah Dae Sik, si ‘teman’ yang membuat ayahnya menjadi penjahat.

 

 

Mingyu sudah lama sekali tidak bertemu dengan Dae Sik. Setelah kekuatan ayahnya dalam bisnis bunuh-membunuh semakin kokoh, mereka memisahkan diri. Dan semenjak itu, kira-kira sebelas tahun yang lalu, Mingyu tak pernah melihat Dae Sik lagi.

 

 

Hingga akhirnya ia datang hari ini dengan sikap akrab luar biasa. Setelah mengucapkan belasungkawa yang sudah telat tiga bulan, Dae Sik mengajaknya pergi ke sebuah kafe, membelikannya makanan, dan berbasa-basi selama hampir lima jam.

 

 

Mingyu tidak menolak ajakan Dae Sik karena banyak hal. Pertama, Dae Sik bukan orang asing. Kedua, dia mendapat makanan enak dan gratis. Ketiga, dia punya alasan untuk menghindari Tony—hari ini, setelah memberinya gaji bulanan, pria itu jadi sedikit lebih ketus. Sepertinya masih kesal karena kejadian kemarin. Kekanakan sekali. Padahal itu bukan kali pertama Mingyu berbuat keributan di studio. 

 

 

Walaupun bersedia diajak makan, Mingyu tak serta-merta bersikap ramah pada Dae Sik. Ramah sama sekali bukan konsep hidupnya. Lagi pula, Dae Sik tetap saja orang jahat. Mingyu tak akan pernah melupakan jasa besarnya yang sudah memperkenalkan industri superkeji itu pada sang ayah.

 

 

“Bagaimana keadaanmu sekarang?”

“Tidak bisa lebih baik dari ini,” jawab Mingyu ambigu.

 

 

‘Tidak bisa lebih baik dari ini’ karena sejak awal hidupnya memang tak pernah baik. Sejujurnya Mingyu bahkan tak bisa membayangkan dirinya hidup tanpa kegetiran, tanpa rasa dendam, tanpa luka-luka di sekujur tubuh, tanpa tatapan kebencian. Mustahil.

 

 

“Oh ya? Aku senang mendengarnya,” kata Dae Sik. Mengira bahwa hidup Mingyu sudah luar biasa baik sehingga ‘tak bisa lebih baik dari ini’.

 

 

“Ayahmu menyiapkan segalanya dengan sangat baik, bukan begitu?” Mingyu menahan diri untuk tidak mengerutkan kening. Menyiapkan apa? Semua musuh-musuh yang tiba-tiba menyerangku itu? Kemarahan orang-orang? Atau rasa malunya? Menyiapkan apa?

 

 

“Aku terkejut saat mendengar kau masih bekerja dengan si gendut itu. Dengan apa yang kau punya sekarang, kau bisa membeli studio tatonya. Serius, kau sangat… rendah hati.”

 

 

Mingyu semakin tak mengerti. Tapi ia sengaja diam agar bisa mendengar lebih banyak informasi.

 

 

“Dengar, Kim Mingyu. Kau sudah dewasa sekarang. Ada hal serius yang ingin kubicarakan,” kata Dae Sik, menegaskan bahwa percakapan mereka sejak tadi memang benar cuma basa-basi. “Begini, sebenarnya aku punya penawaran bagus untukmu. Bagaimana kalau kau ikut denganku? Kita bisa bekerja sama dan…”

 

 

“Aku tidak tertarik,” sela Mingyu. Dengan ekspresi datar yang terjaga.

 

 

Dae Sik tersenyum kecut. “Kau harus mendengarku dulu sebelum menjawab. Kerja sama yang kumaksud adalah… ”

 

 

“Tak perlu. Jawabanku akan tetap sama.” Mingyu kembali menyela.

 

 

Dae Sik yang sudah bersikap sangat baik pada Mingyu selama berjam-jam itu akhirnya kehilangan kesabaran. Sebagus apa pun bulu yang ia pakai untuk menyamar menjadi domba, serigala tetaplah serigala. Senyum dan wajah teduh Dae Sik berubah menjadi bengis. Mingyu bisa melihat bagaimana urat-urat di wajah Dae Sik tertarik, juga bagaimana rahangnya mengeras seperti semen kering. Dan dalam hitungan detik, meja di depan Mingyu sudah terbalik.

 

 

Dae Sik berdiri dan mendenguskan napas geram, sementara Mingyu tak bergerak sedikit pun dari kursinya.

 

 

“Dasar anak sial! Aku sudah muak dengan sikapmu! Apa kau tak ingat siapa yang membantumu saat kalian masih jadi gelandangan?” Dae Sik memukul-mukul dadanya. “Aku! Aku yang mengajarkan segalanya pada ayahmu dan begini caramu berterima kasih? Manusia yang paling berjasa dalam hidupmu, AKU, tak mendapat barang sesen pun? Bajingan kau! Keparat bajingan! Memangnya apa yang mau kaulakukan dengan harta sebanyak itu? Apa gunanya menimbun-menimbun kekayaan? Semua orang pada akhirnya akan mati juga.”

 

 

Mingyu tak bisa lagi berpura-pura tenang dan berdiri.

 

 

“Kau yang keparat,” balas Mingyu panas. “Jika aku bisa memundurkan waktu, aku lebih memilih hidup menggelandang daripada bertemu denganmu.”

 

 

“Kau tak perlu memundurkan waktu untuk mewujudkan keinginanmu itu. Berikan hartamu padaku dan hiduplah menggelandang!!” Dae Sik menarik kerah kaus Mingyu dengan kasar dan berbisik dengan gigi yang bergemelatuk. “Atau kau mau aku merampasnya sendiri?”

 

 

“Harta apa?” Mingyu berteriak lantang. “Aku tak mengerti dari tadi kau bicara apa!”

“Jangan pura-pura tidak tahu, ya! Kau itu sangat…” Tiba-tiba Dae Sik melepaskan kaus Mingyu dan membisu seolah baru menyadari sesuatu. Apa dia benar tidak tahu?

 

 

“Jadi itu alasannya semua orang mencariku? Karena harta itu?” Mingyu bertanya pada Dae Sik, kemudian melanjutkan dengan volume suara yang jauh lebih pelan, “Jadi selama ini aku sudah salah sangka. Mereka tidak menginginkan nyawaku, mereka menginginkan harta itu.”

 

 

Dae Sik sadar akan kesalahannya. Dia menengok ke bawah dan melihat bencana. Kaki mejanya patah, sementara gelas dan piring-piringnya pecah. Saat ia menoleh, semua orang; pengunjung, pelayan, bahkan orang-orang di luar—yang melihat melalui jendela kaca—tengah memandanginya dengan ngeri. Sementara itu dari arah jam sembilan, seorang pria berkemeja rapi yang diduga kuat sebagai manajer restoran berjalan ke arahnya dengan raut tidak senang.

 

 

“Jangan bohong padaku. Kau benar-benar tidak tahu?” Dae Sik bertanya sekali lagi. Tangannya mencengkeram leher kaus Mingyu lagi.

 

 

Mingyu menampik tangan Dae Sik kasar kemudian mendecih, “Terima kasih infonya,” katanya, lantas berlalu meninggalkan kafe.

 

 

 

TBC


Comments

Popular Posts