A Bad Reputation Part 5
Sooyoung duduk di sofa apartemen sembari memutar-mutar kartu nama di tangannya. Tak dipungkiri ia mulai merasa waswas dan gelisah. Bagaimana tidak? Itu adalah kartu nama seorang Komisaris Polisi. Walaupun Mingyu menolak kartu namanya mentah-mentah, tapi tetap saja ini adalah masalah gawat. Sooyoung tak bisa berhenti bertanya-tanya mengapa Tony menitipkan kartu nama ini untuk Mingyu. Ada urusan apa? Mau apa?
Penalaran
rasional Sooyoung pun menggiringnya pada kemungkinan-kemungkinan—barangkali,
Tony hanya meminta Mingyu untuk melaporkan semua orang yang selalu
menghadangnya itu. Tapi barangkali juga bukan. Mungkin ini berhubungan dengan
kasus kematian ayah Mingyu. Pasalnya ini sudah lebih dari tiga bulan tetapi
belum ada juga pengumuman resmi yang menyebutkan bahwa penyebab kematian itu
adalah murni kecelakaan. Sooyoung mulai berpikir bahwa mereka mungkin saja
menemukan bukti baru.
Dan jika
kemungkinan terakhirnya itu benar, maka Sooyoung berada dalam bahaya. Ia harus
menyelesaikan misinya dengan cepat dan segera pergi dari sini. Sebelum ada yang
mengacau.
Tapi
bagaimana caranya Sooyoung bertindak cepat jika hari ini saja, di hari pertama
mereka resmi berteman, Sooyoung malah tak melihat Mingyu sama sekali. Sooyoung
menunggu di studio tato Tony sedikit lebih lama dari yang seharusnya—dengan
harapan ia bisa bertemu Mingyu. Sebab berjalan pulang dengan Mingyu sambil
mengobrol santai adalah hal yang sangat berarti untuk perkembangan misinya.
Kemarin, Mingyu terdengar lebih manusiawi saat berada di luar apartemen maupun
studio. Bukan artinya nada ketus itu sama sekali tidak keluar. Hanya saja,
Mingyu lebih banyak bicara saat mereka berjalan pulang, dan itulah yang
Sooyoung butuhkan.
Saat itu,
telepon mejanya berdering.
Sooyoung
menjulurkan tangannya dan mengangkat panggilan itu.
[Selamat
malam,] sapa seseorang di ujung telepon lembut. [Sooyoung-ssi, sedang
sibuk, ya?]
“Tidak, kok. Ada apa?” tanya Sooyoung, sembari mencoba menebak-nebak siapa gerangan pemilik
suara ini.
[Begini,
bayiku terus menangis dan aku harus membuat susu formula untuknya. Tapi aku
baru sadar kalau ternyata kami kehabisan air galon. Sebenarnya aku bisa
mengambilnya sendiri tapi aku tak bisa meninggalkan bayiku begitu saja. Ten
sedang tidak ada di rumah.]
Itu Lisa,
si ibu muda asal Thailand penghuni unit nomor 4. Sooyoung langsung
mengetahuinya saat mendengar kata ‘bayiku’, sebab dia adalah satu-satunya
tetangga di sini yang tengah memiliki bayi. Terlebih dia juga menyebut nama
Ten, suaminya.
[Aku tak
tahu harus minta bantuan siapa. Kau tahu, tidak enak rasanya minta bantuan pada orang yang lebih tua darimu, apalagi di jam seperti ini, sebagian
besar dari mereka sudah beristirahat. Aku menelepon Ten barusan dan ternyata
dia masih di tempat kerja,] keluh Lisa, dengan latar suara bayinya yang
menangis.
“Tentu
saja. Akan kuambilkan galon airnya untukmu. Aku pergi sekarang.”
[Terima
kasih banyak.]
Sooyoung
meletakkan gagang telepon, memakai sandal jepit dan langsung beranjak keluar.
Namun
baru saja pintunya terbuka, Sooyoung sudah dikejutkan oleh kehadiran
Mingyu—yang terlihat sama terkejutnya dengan Sooyoung.
Mingyu
membeku. Dari cara tangannya terulur, pria itu sepertinya sedang berusaha
mencantolkan sesuatu di gagang pintu apartemen Sooyoung. Sebuah kantong plastik
putih berlogo swalayan.
Mereka
hanya saling menatap dengan bingung selama beberapa saat. Sebelum akhirnya
Mingyu memutuskan untuk berbalik menuju apartemennya sendiri.
“Itu
buatku?” tanya Sooyoung.
Mingyu
menghentikan langkahnya, namun tak menoleh. “Bukan.”
“Kalau
bukan, kenapa tadi mau digantung di pintuku?”
Pertanyaan
itu berhasil membuat Mingyu malu luar biasa.
Berkilah
di saat sudah tertangkap basah adalah hal yang sangat bodoh. Jadi tanpa
basa-basi lagi, Mingyu mengulurkan kantong plastiknya ke belakang, masih tak
mau menoleh.
Sooyoung
mengambil kantong plastik itu.
“Aku tak
tahu kau suka rasa apa. Jadi kubeli semua,” Mingyu berkata saat Sooyoung sedang
mengecek isinya.
Sooyoung
tertegun melihat betapa banyak bungkus es krim di sana. Tanpa harus
dihitung, ia tahu jumlahnya pasti lebih dari sepuluh. “Ya ampun. Apa ini?
Kenapa membelikanku es krim?”
“Katanya
kemarin mau es krim! Aku beli malah tidak suka.” Mingyu mengomel sambil
berbalik menghadap Sooyoung. Tak lupa membawa serta semua teman setianya;
tatapan tajam, ekspresi berang, aura mencekam.
“A-aku
suka,” jawab Sooyoung gelagapan.
Apa sih orang ini! Padahal aku cuma tanya, kenapa responsnya segalak itu!, Sooyoung membatin.
“Kalau
suka ya makan! Jangan tanya-tanya!”
“Tapi ini
kan kebanyakan.”
“Dasar!" Mingyu makin membentak. "Bukannya terima kasih malah komentar!”
“Iya iya
makasih!” Sooyoung balas membentak.
Mingyu
pun kembali berbalik dan membuka pintu apartemennya.
“Eh, Mingyu-ssi.
Tunggu.”
Sang pemilik
nama menoleh dengan tampang datar.
“Bisa
bantu aku?”
“Tidak,”
jawab Mingyu, kemudian menutup pintunya begitu saja.
Sooyoung
menghela napas maklum, seharusnya ia tak perlu bertanya lagi.
Sooyoung
menggantung kantong plastik berisi es krim itu di gagang pintu apartemennya,
lantas berjalan menuju lift.
Belum sampai
setengah jalan, tiba-tiba ia mendengar pintu di belakangnya terbuka.
“Bantu
apa?” tanya Mingyu.
Sooyoung
menoleh dan walaupun girang luar biasa, ia tetap berusaha untuk tidak tersenyum.
Takut Mingyu berubah pikiran.
“Itu,
Lisa minta diambilkan galon. Dan kebetulan galon di apartemenku juga habis.
Jadi supaya tidak bolak-balik….”
Sebelum
Sooyoung selesai bicara, Mingyu sudah terlebih dahulu berjalan melewatinya dan
masuk ke dalam lift.
Sooyoung mengatupkan
mulutnya dan memerhatikan Mingyu bingung. Itu
artinya dia mau membantuku?
“Kenapa
sih malah diam begitu?” seru Mingyu dari dalam lift. “Aku hitung sampai tiga kalau
tidak masuk kutinggal ya!”
Sooyoung
tersadar dan segera menyusul, “Ya ampun. Basa-basi sedikit dong,
bilang ‘oke kubantu’ atau apa kek.”
**********
Sooyoung
mengetuk pintu apartemen Lisa.
“Aku
langsung ke atas,” kata Mingyu.
“Jangan.”
Sooyoung menyambar kaus Mingyu dengan sebelah tangannya.
Ceklek.
Mingyu
sedang berusaha menepis tangan Sooyoung saat pintu apartemen di hadapan mereka
terbuka.
Lisa yang
sedang menggendong bayinya langsung menyambut Sooyoung dengan wajah
berseri-seri.
“Terima
kasih ba—” ucapannya terhenti begitu melihat Mingyu.
Mingyu
menyentak sikunya sampai pegangan Sooyoung dari bajunya terlepas. Lalu segera
berbalik membelakangi mereka semua. Mingyu benar-benar tidak tahu harus apa.
Yang ia tahu, Lisa pasti ketakutan, dan bayinya sebentar lagi akan menangis,
dan seharusnya ia tidak di sini. Ya Tuhan, mengapa ia ada di sini?
“Mingyu,
bisakah kau letakkan galonnya di dispenser?”
Saat
Mingyu sedang berusaha membuat kehadirannya tidak terlalu mengerikan, Sooyoung
malah meminta demikian. Meletakkan air di dispenser berarti memasuki apartemen
mereka dan mengotorinya dengan aura jahat. Tidak mungkin dia masuk ke sana.
Tidak mungkin dia menuangkan galon di pelukannya ini ke dispenser apartemen
orang, Mingyu merasa sudah menodai air di dalamnya. Mustahil. Kenyataan bahwa
dirinya sedang berdiri di lorong lantai dua saja sudah membuat Mingyu
terheran-heran. Mustahil sekali ia melakukan hal yang lebih jauh dari ini.
Mingyu
menoleh pada Sooyoung sambil berusaha menahan diri untuk tidak melempar
galonnya ke muka gadis itu.
“Apa?
Yang ini punyaku,” kata Sooyoung, merujuk pada galon yang ia peluk.
Mingyu
menoleh pada Lisa yang langsung mengangguk ramah mempersilakannya masuk. Mingyu
tak punya pilihan lain. Dia melakukan ini semua terutama karena ingin semuanya
cepat selesai.
Mingyu
berbalik, berjalan ragu-ragu ke pintu masuk hingga akhirnya kedua kakinya
berpijak utuh di ubin apartemen itu.
Seperti
dugaan Mingyu, bayi Lisa tiba-tiba menangis.
Mingyu
merasa seperti sedang menyedot habis semua kehangatan dan kebahagiaan di
apartemen Lisa, kemudian menggantikannya dengan warna kelabu.
Mingyu
tiba di depan dispenser dan mengambil pisau untuk merobek tutup galonnya. Siapa
saja yang melangkah masuk dan melihat Mingyu di situasi seperti ini sudah pasti
akan salah sangka. Mereka akan menjerit sambil mengevakuasi Sooyoung, Lisa
serta bayinya kemudian menelepon polisi. Sebab Mingyu yang berdiri dengan
tangan kosong saja sudah mengerikan, apalagi Mingyu yang memegang pisau seperti
ini.
Mingyu
menoleh pada Sooyoung, yang terus tersenyum dan mengangguk-angguk memberi
semangat.
Dan
Lisa—Lisa tampak skeptis dari luar dan takut luar biasa di dalam. Tangannya
yang melingkar protektif di sekitar tubuh sang bayi gemetar menyaksikan Mingyu
mengangkat dan membalikkan galon ke dalam dispenser. Mingyu bisa melihatnya.
Mingyu tak bisa pura-pura tidak menyadari betapa takutnya Lisa sekarang.
Jadi begitu
selesai, tanpa melirik Lisa maupun Sooyoung sama sekali, Mingyu bergegas
keluar.
“Mingyu,
tunggu!” seru Sooyoung. “Lisa-ssi, aku permisi.”
“Terima kasih banyak, Sooyoung.” Lisa menangkap tangannya. “Sampaikan terima kasihku pada Mingyu juga.”
**********
Mungkin
karena terlalu kesal, Mingyu malah berjalan begitu saja melewati lift dan
menaiki tangga. Alhasil, ia sampai di lantai tiga bersamaan dengan Sooyoung.
“Tadi Lisa
bilang terima kasih.”
Alih-alih
mendapat respons, Sooyoung bahkan tak dilirik sama sekali. Dengan langkahnya
yang lebar, Mingyu terus berjalan menuju apartemennya. Sooyoung tak mungkin
bisa mengejarnya tanpa berlari. Jadi gadis itu meletakkan galon miliknya di
lantai dan berlari mengejar Mingyu.
Sooyoung
berhasil menangkap tangan Mingyu selangkah sebelum sang pria dapat menggapai
gagang pintu.
“Kau tak
boleh marah padaku di hari pertama kita resmi berteman,” katanya, kemudian
meralat, “sebenarnya, kau tak boleh marah padaku sama sekali selama seminggu ke
depan.”
“Bisa
tidak kita berteman tanpa bawa-bawa orang lain? Apalagi orang-orang di sini.
Mereka semua takut padaku.”
“Dan kau
juga sama takutnya dengan mereka,” kata Sooyoung, mengemukakan hasil
observasinya. “Sudah berapa tahun sih kalian semua tidak saling sapa? Serius,
ini tidak sehat. Aku percaya di dunia ini tidak ada masalah yang tidak bisa
diperbaiki. Kalian harus baikan. Setelah aku meninggalkan apartemen ini, siapa
yang akan menolongmu kalau kau pingsan di tangga lagi? Aku takut mereka semua
tak peduli.”
Mingyu
mendenguskan tawa pendek dengan ekspresi tak percaya, sinis bukan main. “Dengar
ya, ada kau atau tidak, aku sudah baik-baik saja. Hanya karena kau pernah
menolongku sekali lantas merasa jadi pahlawan, begitu? Pendek amat pikiranmu.” Ia
memberi tatapan penuh kecaman sebelum berbalik dan menggapai gagang pintu.
“Oke!”
seru Sooyoung saat Mingyu membuka pintunya.
Mingyu
menoleh. “Oke apa?”
“Aku yang
salah. Maaf sudah membuatmu harus bertemu dengan Lisa. Aku janji tak akan mengulanginya.
Lagi pula sebenarnya itu cuma ajakan spontan. Aku tak bermaksud membuatmu masuk
ke apartemennya dari awal. Aku tiba-tiba memikirkan itu saat Lisa melihatmu
seperti melihat hantu. Aku tiba-tiba merasa kesal melihatnya menatapmu begitu.”
“Kenapa kau
harus kesal? Aku sudah biasa.”
“Tapi aku
tidak. Aku tak mengerti apa yang mereka takutkan.”
“Mereka
punya alasan,” kata Mingyu. “Kalau kau tahu alasannya, sikapmu juga akan sama
seperti mereka.”
Sooyoung
menggeleng. “Tidak tuh. Kenapa yakin sekali aku akan begitu?”
“Karena semua
orang sama saja.”
“Aku
tidak.”
Mingyu
menatap Sooyoung seolah berkata ‘kau tidak mengerti’, lalu menggerakkan
tangannya untuk mengusir sang gadis—Sooyoung berdiri terlalu dekat dengan pintu
sehingga Mingyu tak bisa menutup pintunya.
“Tunggu.”
“Apa
lagi, sih! Lebih baik ambil galonmu dan masuk sana!”
Sooyoung berbalik
cepat untuk mengambil kantong plastik berisi es krim di gagang pintu
apartemennya dan meregangkan mulut plastik itu di hadapan Mingyu.
“Ambil beberapa!”
“Aku tidak
suka es krim.”
“Kau
belum coba, makanya bilang begitu. Coba dulu!”
Mingyu
cuma menatap kantong plastik itu tanpa mengulurkan tangan sama sekali. Sooyoung
yang sudah kepalang gemas langsung mengambil satu bungkus dan memaksa Mingyu untuk
menggenggamnya.
“Aku
lebih suka melihatmu makan es krim daripada merokok,” kata Sooyoung. Mingyu
memandangi es krim di tangannya (rasa vanilla—yang sudah lembek, nyaris cair
sepenuhnya) dan menghela napas.
“Omong-omong,
kau beli es krim ini…”
“Dengan
uangku. Hari ini gajian. Aku tidak mencuri,” potong Mingyu dengan wajah
mengeras, setengah tersinggung.
“Bukan,
bukan. Aku juga tidak menuduhmu begitu, kok. Aku cuma tak enak. Kau harusnya
beli makanan buatmu sendiri.”
“Aku
sudah ma….” Mingyu seketika teringat makan malamnya dengan Dae Sik,
kemudian mengubah topik pembicaraan begitu saja. “Kartu nama yang Tony
titip padamu masih ada?”
Sooyoung
tertegun sejenak sebelum mengerutkan kening. Ia memerhatikan ekspresi Mingyu
sebelum menggeleng, pura-pura tak tahu. “Aku lupa meletakkannya di mana.
Sepertinya sudah kubuang.”
Mingyu
tak secara terang-terangan menunjukkannya, namun Sooyoung bisa menangkap raut
penyesalan yang teramat dalam di wajah datar Mingyu. “Dibuang?”
“Iya. Kukira
kau tidak membutuhkannya.”
“Awalnya
memang tidak.”
“Jadi
sekarang butuh?”
“Ya. Ada
yang ingin kubicarakan dengannya.”
“Tentang
apa?”
Mingyu langsung
mengernyit, “Apa urusanmu tanya-tanya begitu?”
Sooyoung menggigit
bibir. Kemudian lekas berdeham untuk mengusir raut paniknya. “Tidak
apa-apa. Cuma penasaran. Nanti aku coba cari di tempat sampah.”
Tatapan
Mingyu yang tertuju lurus pada matanya membuat pria itu terlihat seperti sedang
membaca isi pikiran Sooyoung. Ia mengernyit semakin dalam sebelum akhirnya
menarik diri. “Kalau ketemu cepat kasih aku.”
“Oke,” angguk
Sooyoung. “Selamat malam.”
Mingyu
ingin membalas selamat malamnya, namun kata-kata itu hilang dalam perjalanan
menuju mulut. Alhasil, ia malah menatap Sooyoung dengan kikuk sebelum menutup
pintunya dalam bantingan keras. Ia tak tahu mengapa ia melakukan itu. Mengapa
ia harus membanting pintu. Mungkin marah karena Sooyoung membuatnya kikuk.
Marah karena tak mampu menjawab ‘selamat malam’-nya, tak mampu melakukan hal sesederhana
itu.
**********
Saat
Sooyoung berbalik, ia dikejutkan oleh seseorang yang familier, tengah berdiri
di depan unit apartemen nomor tujuh. Itu adalah Pak Heejun. Pak Heejun berdiri
di sana sambil menatap Sooyoung dengan tatapan yang sarat kekhawatiran.
“Selamat
malam,” sapa Sooyoung.
“Bisa
kita bicara sebentar?”
Sooyoung
mengulum senyum dan mengangguk. “Tapi sebentar ya, Pak. Galon dan es krim ini
saya masukkan ke dalam dulu.”
“Es
krimnya dari Mingyu?”
Sooyoung
mengangguk dengan senang.
“Lebih
baik dibuang saja,” kata Pak Heejun.
“Hah?
Jangan dong, Pak,” Sooyoung menolak sambil cengengesan canggung, “Masa dibuang?
Sayang.”
“Kau
yakin itu aman?”
“Tentu
saja. Es krimnya ada di dalam bungkus. Tidak mungkin dia meracuniku.”
“Dia bisa
menyuntikkan sesuatu ke dalamnya.”
Ya ampun, keluh Sooyoung dalam hati. Mana mungkin Mingyu memikirkan itu.
**********
Mingyu
masih berdiri di balik pintu saat percakapan antara Pak Heejun dan Sooyoung
terdengar.
“Lebih baik dibuang saja.”
“Kau yakin itu aman?”
“Dia bisa menyuntikkan sesuatu ke dalamnya.”
Seketika Mingyu
melempar es krim rasa vanillanya ke tempat sampah. Sakit rasanya saat perbuatan
tulusmu dicap seperti itu. Mingyu menyesal sudah membelikan Sooyoung es krim,
seharusnya ia tidak perlu repot-repot mencoba bersikap baik pada siapa pun.
Aku menghabiskan seperlima gajiku hanya
untuk membelikannya es krim, semata-mata untuk berterima kasih karena dia telah
menyelamatkan nyawaku kemarin.
Mingyu tak
bisa melihat apa Sooyoung sudah membuang es krimnya. Dia berharap Sooyoung
tidak membuangnya di tempat sampah di depan lorong, karena Mingyu pasti akan
melongok untuk melihatnya besok pagi, atau tengah malam nanti. Ia berharap
Sooyoung membuangnya di tempat yang jauh. Jadi Mingyu tak perlu meratapi
seperlima gajinya itu.
Mingyu
memejam dan menekan matanya untuk menghalau air mata. Ia tak percaya ia
menangis gara-gara ini. Mingyu menyandarkan kepalanya di pintu dan menatap
langit-langit, merasakan air mata mulai memenuhi pelupuk matanya, sementara
sisanya menggenang di dalam hatinya.
“Mungkin lebih baik kita tidak bicara di sini.
Aku takut dia bisa mendengar kita,” kata Pak Heejun, diiringi dengan
langkah kaki yang menjauh.
Kemudian Mingyu
tak bisa mendengar apa-apa lagi.
Sebenarnya,
tanpa harus mendengar pun, Mingyu sudah tahu apa yang akan pria setengah baya
itu katakan. Pak Heejun sudah pasti akan menceritakan peristiwa dua tahun
silam, antara dirinya dan tunangan Woohyuk. Dan Sooyoung pasti akan membencinya
juga setelah itu.
**********
Mingyu
benar.
Setelah
meletakkan galon air minum di samping dispenser apartemennya, Sooyoung
mengikuti Pak Heejun memasuki unit nomor tujuh dan duduk di sofa ruang tamunya.
“Mingyu
dan ayahnya sudah tinggal di sini lama sekali. Kalau tidak salah, kami masuk di
tahun yang sama,” mulai Pak Heejun, sementara istrinya datang membawa dua
cangkir teh dan ikut bergabung.
“Sejak pertama
datang, keluarga Mingyu memang sudah sangat misterius. Mereka menutup diri dari
tetangga-tetangga di sini. Tak ada komunikasi di antara kami selama
bertahun-tahun. Hingga suatu hari…,” Pak Heejun memberi jeda untuk menarik napas
panjang, kemudian melanjutkan ucapannya dengan tatapan menerawang yang
dramatis. “Kira-kira empat tahun lalu, kami menemukan foto ayah Mingyu di surat
kabar.”
“Dia
adalah bos mafia pembunuh bayaran,” sambung istri Pak Heejun menggebu-gebu.
Sooyoung
sama sekali tak terkejut, tapi akan aneh jika dia tidak bereaksi apa-apa. Maka
sebagai gantinya, Sooyoung pun mengucapkan ‘Ya Tuhan’ dengan lirih.
“Malam
itu juga kami mengadakan rapat dengan seluruh tetangga,” kata Pak Heejun,
sementara sang istri mengangguk-angguk membayangkan kejadian malam itu. “Kami
kebingungan apakah harus melaporkannya pada polisi atau tidak. Masalahnya ayah
Mingyu bukan penjahat biasa, dia pasti punya selusin anak buah yang siap
membalaskan dendam. Jadi, demi keselamatan seluruh warga apartemen Gonse, kami
memilih diam. Selama dia tidak mengusik hidup kami, maka kami juga tidak akan
mengusiknya.”
“Tapi
semua itu tidak berlangsung lama. Empat bulan setelah rapat dadakan itu, kami
memutuskan untuk melapor.”
“Kenapa?”
tanya Sooyoung cepat. “Apa ayah Mingyu melakukan sesuatu yang salah?”
“Dia
jelas-jelas salah.” Pak Heejun mengoreksi agak sengit. “Tapi kami semua lebih
salah lagi. Apa menurutmu menyembunyikan buronan adalah sesuatu yang benar?”
Sooyoung cuma meringis.
“Seingatku
dia didakwa delapan belas tahun.”
“Kukira
dia akan dihukum mati.”
“Ya,
hukumannya terlalu ringan untuk seorang mafia pembunuh.”
Pak Heejun
dan sang istri bersahutan sambil terus mengangguk-angguk menyetujui ucapan satu
sama lain.
“Jadi ini
yang ingin Bapak bicarakan?” tanya Sooyoung hati-hati. Dia sudah mengetahui
semua itu sejak lama.
“Sabarlah,
Sooyoung~a,” kata Pak Heejun. “Kita bahkan belum setengah jalan.”
“Dia
sepertinya mulai bosan. Langsung ceritakan mengenai Mingyu dan Woohyuk saja,”
bisik istri Pak Heejun, sedikit terlalu keras hingga Sooyoung bisa
mendengarnya.
“B-bukan
begitu,” ujar Sooyoung tidak enak. “Aku tidak bosan, aku…”
Pak Heejun
melambaikan tangannya seolah berkata ‘tidak apa-apa’ dan kembali melanjutkan
ceritanya. “Sepeninggal ayah Mingyu, suasana di gedung ini menjadi sedikit
lebih damai. Kubilang ‘sedikit’ karena bagaimanapun anak pembunuh itu masih
tinggal seatap dengan kita.”
“Setidaknya
tidak ada lagi orang mabuk yang berteriak-teriak menggedor-gedor pintu pada jam
dua pagi,” kata sang istri.
Cara Pak Heejun
memanggil Mingyu dengan sebutan ‘anak pembunuh’ membuat Sooyoung merasa sangat
berang dan tak nyaman. Rasanya ia ingin menggebrak meja dan menyuruh pria
setengah baya itu untuk menjaga ucapannya. Toh bukan salah Mingyu jika ia
dilahirkan menjadi anak seorang pembunuh. Ini tidak seperti ia punya daya untuk
memilih oleh keluarga seperti apa ia mau dilahirkan.
“Selama
itu kami berusaha bersikap baik pada Mingyu. Kami tahu dia pasti terpukul dan
kesepian setelah ayahnya dibui. Tapi Mingyu sangat dingin.”
“Ia sama
sekali tak pernah membalas sapaan kami,” kata Bu Heejun mengecam.
“Sama sekali tak pernah tersenyum,” tambah sang suami dengan nada yang sama. “Hingga suatu hari, tepatnya dua tahun lalu di bulan Maret, ada insiden memalukan yang terjadi.”
“Insiden
memalukan?” ulang Sooyoung mulai tertarik.
“Saat itu
hujan deras, Mingyu kebetulan baru pulang dari agenda keluyurannya. Dia
memasuki gedung apartemen dan menaiki lift bersama dengan seorang wanita.”
“Wanita?
Siapa? Pacarnya?” cecar Sooyoung posesif. Sooyoung menyadari nada suaranya dan
langsung menggigit bibir, namun pasangan suami-istri di depannya nampaknya tak menyadari itu.
“Bukan.
Mereka tidak saling kenal. Wanita itu adalah tunangan Woohyuk,” jawab Pak Heejun.
“Oh?”
Sooyoung justru lebih terkejut mendengar Woohyuk punya tunangan ketimbang semua
info yang diberikan Pak Heejun selama sepuluh menit belakangan ini. Woohyuk
amat misterius dan tertutup. Aneh rasanya membayangkan dia punya tunangan. Sebenarnya
Woohyuk sangat mirip dengan Mingyu, hanya saja ia lebih sopan dan tidak galak.
“Kau
ingat saat kubilang lift di sini sering mati saat hujan?” Sooyoung mengangguki
pertanyaan Pak Heejun. “Begitulah yang terjadi.”
“M-mereka
terkurung berdua di sana?”
“Ya.
Semua orang sibuk mencari cara agar bisa membukanya. Hingga saat pintu liftnya
berhasil terbuka…,” Pak Heejun mendecakkan lidah dan menggeleng-geleng,
sementara Sooyoung menanti lanjutannya dengan wajah tegang yang tak sabar.
“Wanita
itu berantakan bukan main. Bajunya robek, rambutnya kusut, bahkan wajahnya
merah seperti habis dipukuli.”
Sooyoung
sungguh terkejut, dan kali ini ia tidak berpura-pura.
“Ia
menangis dan mengaku Mingyu merobek bajunya. Dia hampir diperkosa.”
“Tidak
mungkin.” Sooyoung menggeleng.
Pak Heejun
terus bercerita. “Mingyu dan Woohyuk pun terlibat perkelahian sengit.
Ujung-ujungnya Woohyuk melaporkan Mingyu atas tuduhan penyerangan kehormatan
kesusilaan dan penganiayaan.”
“Jadi
Mingyu pernah dipenjara?”
“Sayangnya
tidak. Dia dibebaskan karena tidak ada cukup bukti. Anak itu tidak mau mengaku
dan tidak ada saksi sama sekali, sementara korbannya tidak mau menampakkan diri
lagi karena malu.”
“Dia
putus dari Woohyuk?”
“Ya.”
“Tidak
masuk akal,” desis Sooyoung.
“Sebagai
sesama perempuan seharusnya kau bisa mengerti,” tegur Bu Heejun. “Dia pasti
sangat malu. Woohyuk saja sampai terpuruk begitu. Kau lihat sendiri bagaimana
dirinya sekarang. Dia menjadi sangat berhati-hati dan tertutup, padahal dulunya
anak itu supel sekali. Woohyuk yang malang.”
“Lalu apa
yang terjadi pada Mingyu?”
“Yah,
begitulah. Selama dia tidak mengusik kami, kami juga tidak akan mengusiknya.
Kami mengabaikan kehadiran Mingyu dan Mingyu mengabaikan kehadiran kami.”
Sooyoung
tak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi Mingyu, yang hidup di
tengah-tengah orang banyak, tapi tak dianggap kehadirannya.
“Sebenarnya
kami tidak mau mengungkit-ungkit aib Mingyu seperti ini. Tapi Bapak perhatikan
kamu semakin dekat saja dengannya. Kami hanya tidak ingin ada hal buruk yang
terjadi padamu, Sooyoung~a.”
“Tidak
akan ada hal buruk yang terjadi padaku,” Sooyoung menegaskan, “kami sudah
berteman akrab.” Ucapannya sontak mengundang reaksi setengah terkejut setengah
putus asa dari kedua orang di hadapannya.
“Kalau
sampai dia akrab denganmu, itu pasti karena dia ada maunya. Jangan lupa, Mingyu
itu tidak menyukai umat manusia,” kata Pak Heejun, seolah-olah Mingyu berasal
dari bangsa jin.
Sebelum
mengakhiri percakapan malam itu, Pak Heejun menceritakan beberapa hal lagi soal
ayah Mingyu; bahwa dia kabur dari penjara sebulan setelah insiden lift itu,
mendatangi apartemen di hari Sabtu yang mendung pada pukul enam pagi dan setelahnya
menghilang bak ditelan bumi. Ayah Mingyu buron selama dua puluh bulan sebelum
akhirnya semua stasiun televisi ramai-ramai memberitakan sebuah mobil Datsun
berwarna merah pudar menabrak pembatas jalan dan jatuh ke jurang. Pengemudinya
meninggal di tempat.
Pak Heejun
menuduhkan beberapa hal atas kejadian naas itu, yang intinya sama saja. Dia
menyalahkan ayah Mingyu yang sembrono; barangkali mengemudi sambil mabuk,
menyetir ugal-ugalan, menginjak gas kelewat kencang, mengantuk.
Keduanya
sama sekali tidak menaruh curiga pada orang lain. Siapa saja. Mereka jelas-jelas
menolak gagasan bahwa bisa jadi ada seseorang yang sengaja membuat mobil Datsun
itu tak bisa berhenti.
Bahwa ada
yang dengan sengaja ingin melenyapkannya.
Bahwa
semua itu bukan sekadar kecelakaan biasa.
Bahwa…dalang sesungguhnya mungkin
saja ada di depan mata mereka.
TBC
Comments
Post a Comment