Broken Sinner: Disaster Night (Part 6)

 





Drama, Family, Hurt

(AU - Alternate Universe)


.

.

.

.

.



Malam itu angin berembus sedikit lebih kencang dan langit yang hanya memiliki warna hitam tanpa ada kerlap-kerlip cahaya bintang. Aroma tanah menguap dan menyeruak ke dalam indera penciuman. Biasanya jika sudah seperti itu, tidak lama lagi langit akan mengeluarkan air matanya. Menyirami bumi cukup lama dengan ditemani suara dentum kencang yang dibarengi kilat cahaya seperti membelah langit.



Tuan Lim baru saja memarkirkan mobilnya saat rintik pertama menyapa dataran di bumi. Bergegas meninggalkan kendaraan mewahnya dengan langkah lebar yang sedikit cepat. Dengan membawa tas kantornya, ia menunggu sang asisten untuk membukakan pintu setelah tangan lainnya menekan bell.



Tidak lama pintu terbuka. Asisten yang telah bekerja cukup lama dengannya itu langsung memberikan salam tapi Tuan Lim mengabaikannya. Pria setengah baya itu berjalan cepat memasuki rumah dengan rahang yang mengetat, tangan yang terkepal, dan mata yang menyorot tajam. Chani yang melihat kedatangan sang Ayah akhirnya menjeda kegiatan belajarnya dengan Jimin untuk menghampiri Tuan Lim. Sayang, nasibnya sama seperti sang asisten rumah tangga. Diabaikan.



Tuan Lim lebih memilih bergegas menuju lantai dua. Kemudian suara hantaman benda terdengar menggema ke bawah. Membuat Chani terkesiap hingga ia memejamkan matanya erat. Sementara Jimin terlihat mengerutkan dahinya saat melihat sikap aneh Ayah sahabatnya itu. Spekulasi tidak bertuan langsung menyerang keduanya kala geraman berbalut suara tinggi lolos dari bibir Tuan Lim. Menyebutkan satu nama yang membuat perasaan tidak tenang menghinggapi keduanya.



*  *  *  *



Chaerin mengeratkan jaket denim miliknya saat angin yang menerpa tubuhnya semakin terasa dingin. Kaki berbalut sepatu sekolah itu mau tidak mau dilangkahkan lebih cepat. Terlebih saat setetes air berhasil mengenai wajahnya. Tangannya pun ditengadahkan ke depan hingga merasakan kembali adanya air yang jatuh di sana. Dirinya sadar jika sebentar lagi akan turun hujan. Perasaan tidak nyaman mulai kembali ia rasakan. Hingga akhirnya ia membawa tungkai kakinya berlari, mencegah tubuhnya dari kebasahan sekaligus menghalau traumanya yang mungkin bisa datang kapan saja.



Berlari dan terus berlari. Ia hampir kehilangan napas saat otaknya terus memerintahkan untuk berlari tanpa berhenti. Beruntunglah perjalanan untuk sampai ke rumah hanya tinggal setengah. Sehingga tidak akan banyak tenaga yang dirinya habiskan untuk sampai ke rumah.



Saat kaki itu berhenti dan tubuhnya membungkuk guna mencari napas, rintik hujan semakin rapat mengenai tubuhnya. Ia mendongak, menatap langit kelam. Membiarkan rintik itu membasahi wajahnya yang sedikit dipenuhi peluh akibat berlari. Napasnya diembuskan sebelum menatap ke pekarangan rumah dan menemukan mobil sang Ayah telah terparkir di sana.



Ia melirik jam yang mengikat pergelangan kirinya. Ini masih sedikit lebih awal untuk kepulangan sang Ayah. Biasanya sang Ayah akan sampai setengah jam lagi, tapi anehnya malam ini beliau sampai bahkan sebelum dirinya tiba di rumah setelah mengikuti kursus.



Merasa bukan urusannya, Chaerin memutuskan untuk tidak memikirkan hal tersebut. Berjalan melewati pekarangan dan berhenti di depan pintu utama. Dahinya mengerut kala melihat pintu yang terbuka. Lagi, ia merasakan keanehan. Namun ia menepisnya dan memutuskan untuk segera masuk karena angin semakin lama semakin berembus kencang dan rintik halus kian berubah tebal.



Keanehan yang terus ia tepis ternyata membawanya pada sebuah keadaan yang tidak dirinya perkirakan. Kaki itu berhenti melangkah saat seorang pria setengah baya berdiri tepat di depan tangga yang menghubungkan langsung lantai bawah dengan kamarnya yang berada di lantai atas. Dari tempatnya, Chaerin dapat melihat kilatan amarah yang terpancar dari sorot mata sang Ayah.



Ia melirik ke sebelah Ayahnya. Di sana berdiri Chani dan Jimin yang menatap bingung. Chani bahkan terlihat berdiri satu langkah di belakang Jimin dengan raut takut. Melihat itu semakin meyakinkan dirinya jika tatapan itu ditujukan hanya kepadanya. Tidak mungkin pada kedua anak muda di samping pria itu.



“Lim Chaerin!” Panggilan tegas dengan getar menahan amarah kembali membawa atensi Chaerin pada sang Ayah yang masih setia menatapnya dengan tajam.



“Kenapa kau masih melakukan apa yang Ayah larang?”



Chaerin yang tidak mengerti hanya bisa diam saat sang Ayah kembali bertanya padanya.



“Kenapa kau tidak bisa menjadi anak penurut seperti kakakmu?!”



Tuan Lim menggeram kesal saat masih tidak mendapatkan jawaban. Tangan yang sedari tadi disembunyikan di belakang tubuh dikeluarkan kemudian digunakan untuk melempar semua yang ia genggam ke lantai. Membuat mata Chaerin membulat kala melihat apa saja yang kini berserakan di sana. Alat melukis dan kumpulan lukisannya kini tersebar berantakan.



“Kau bahkan menjual gambarmu itu dengan meminta bantuan temanmu. Lim Chaerin kau benar-benar membuat Ayah malu! Ayah sampai tidak tahu harus berkata apa saat salah satu rekan bisnis Ayah mengatakan jika anaknya membeli salah satunya. Apakah uang yang Ayah berikan selama ini tidak cukup untukmu sampai kau harus menjual hobi bodohmu ini?! Jika tidak cukup, katakan pada Ayah. Jangan melakukan hal bodoh yang membuat malu Ayah seperti ini?! Mau taruh dimana wajah Ayah jika ternyata banyak dari rekan bisnis-”



“Ayah bukannya malu dengan apa yang aku lakukan. Tapi jauh sebelum itu Ayah memang malu dengan keberadaanku! Aku hanya anak yang tidak diharapkan di keluarga ini. Sejak dulu Ayah hanya menganggap Chani sebagai anak Ayah dan menjadikanku sebagai boneka pelampiasan kemarahan Ayah.” Chaerin menghentikan ucapan sang Ayah sebelum kalimat yang lebih menyakitkan terdengar olehnya.



“JAGA UCAPANMU LIM CHAERIN! KAU TENGAH BERBICARA DENGAN AYAHMU!” Hardik Tuan Lim.



Tidak dipungkiri jika Chaerin melihat kemarahan yang bertambah dari mata sang Ayah. Matanya semakin memerah kala tangannya terkepal dengan kuat. Sedangkan urat disekitar leher telah muncul dan rahangnya mengeras sempurna.



“Apa yang harus kujaga? Bukankah semua yang kukatakan adalah kenyataan? Hingga aku mati pun semua yang kulakukan akan tetap salah di mata Ayah! Ayah akan tetap melihat semua yang ada pada diriku sebagai kesalahan. Aku tahu itu, jadi Ayah tidak perlu menutupinya lagi. Aku telah hidup dengan kenyataan itu sejak Ibu pergi. Dan sekarang jika Ayah-”



Perkataan Chaerin terpotong saat sebuah tamparan didapatkannya dari sang Ayah. Sangat keras hingga wajahnya meneleng dengan sempurna mengikuti arah tangan sang Ayah. Bahkan Chani sampai memekik kala gema dari suara itu terdengar ke telinganya. Membawa tubuhnya merapat pada Jimin hingga laki-laki itu merengkuhnya di tengah rasa terkejut yang menghanyutkan akal sehatnya.



Chaerin menyeringai saat merasakan sudut bibir bagian dalamnya kembali mengeluarkan darah. Telinganya yang berdengung karena pukulan yang keras pun diabaikannya. Ia kembali menegakkan kepala dan menatap sang Ayah dengan pandangan dingin.



“Tampar saja lagi jika itu membuat Ayah puas. Atau bunuh saja aku karena kupikir menampar wajahku hingga puluhan kali tidak akan memberikan rasa puas untuk seseorang yang tidak menginginkan kehadiranku di dunia ini.”



“Lim Chaerin! Jika Ayah tidak menginginkanmu Ayah tidak akan bekerja dan memberikan-”



“Memberikan aku uang, membiayai kehidupanku. Ya.. bahkan Ayah melakukannya dengan tidak suka rela. Ayah selalu mengungkitanya seakan semua yang Ayah telah berikan harus aku kembalikan.” Chaerin menggantung sejenak. Matanya memperhatikan sang Ayah yang sedikit terhenyak dengan penuturannya. Seringai tipis muncul saat dirinya akan kembali melanjutkan ucapannya.



“Karena itulah aku melakukan semua ini. Menjual lukisan yang Ayah anggap memalukan agar aku tidak lagi menyusahkan Ayah. Aku pikir jika aku melakukannya maka dapat mengurangi beban Ayah dan rasa benci Ayah terhadap diriku dapat sedikit berkurang. Tapi ternyata...”



Chaerin tertawa. Tawa miris yang membuat setetes cairan bening melesak jatuh melewati pipinya.



“Ayah tetap dan akan selalu membenciku.” Kepalanya langsung tertunduk tatkala kalimat itu terlontar dari bibirnya. Rasa sesak di dada kian bertambah. Mengikat relung hati hingga membuat dirinya seperti kesulitan bernapas. Membawa debaran aneh dan rasa panas di perutnya.



“Dan saat ini aku sadar, jika usahaku selama ini tidak akan pernah bisa menghilangkan kebencian Ayah. Sekali pun aku menjadi siswa berprestasi, mengikuti semua kursus yang Ayah daftarkan, diterima di kampus yang sama seperti kalian dan menjadi pengacara sukses seperti Ayah. Semua itu akan tetap sia-sia. Karena pada dasarnya Ayah tidak pernah menerima kehadiranku di antara keluarga kecil Ayah.  Menjadikan kukambing hitam atas kepergian Ibu setelah Ibu membelaku saat kalian bertengkar.”




Semua yang ia pikirkan dan dirinya rasakan selama ini akhirnya tersampaikan malam itu di tengah lebatnya hujan yang turun. Setelah mengatakan kebenaran yang ada, sudah tidak ada lagi alasan bagi dirinya untuk bertahan. Terlebih tidak ada satu pun dari ucapannya yang disangkal oleh sang Ayah. Pria itu hanya diam pada setiap kalimat yang terlontar dari bibir Chaerin.



Dengan hati yang sesak dan tubuh yang sedikit bergetar menahan tangis, kakinya kembali melangkah. Membawa tubuh yang masih berbalut seragam sekolah itu untuk meninggalkan rumah yang selalu memberikan perasaan berat setiap kali berada di dalamnya. Menembus derasnya hujan yang turun membasahi bumi tanpa pelindung yang menutupi kepala dan tubuhnya. Berusaha meninggalkan kesedihannya di belakang tapi ternyata kesedihan itu malah mengikutinya pergi.



Tungkainya terus dibawa berlari. Menembus keramaian dengan payung yang menghiasi jalan. Mencoba mengenyampingkan trauma yang mulai menyerang kala dentuman petir terdengar setelah kilat cahaya muncul membelah langit malam. Ketakutan akibat teror yang kembali datang tidak bisa dibendung lagi. Melahirkan kesesakan yang mengusik langkah kakinya. Membawa langkah kaki itu pada penurun kecepatan di setiap detiknya.



Pandangannya mulai mengabur kala paru-paru terasa seakan kekuarangan pasokan oksigen. Membawa tubuhnya agak menunduk kala perlahan napasnya mulai terputus. Tubuhnya semakin melemas saat perasaan terancam dan takut mulai melingkupi dirinya. Ingatan yang menjadi teror kala hujan datang lantas berputar-putar di dalam otaknya. Membuat kepalanya terasa pusing. Membawa sedikit kesadarannya hingga tidak menyadari jika sedari tadi kakinya tetap melangkah walau terseok di tengah hujan dan serangan trauma.



Hingga sampai cahaya terang menyapa dan decitan terdengar masuk melewati gendang telinganya. Gelap pun menyapa saat tubuhnya yang limbung itu terasa terbang setelah membentur sesuatu. Sebelum kesadarannya benar-benar lenyap, samar dirinya mendengar suara teriakan yang membawa ia pada kegelapan yang seutuhnya.



*  *  *  *



Taehyung masih berusaha menghubungi Chaerin tetapi sahabatnya itu tidak juga membalas pesan atau mengangkat teleponnya. Rasa khawatir yang dirinya rasakan sejak bumi mendapatkan sapaan dari langit berupa rintik hujan semakin menjadi kala rintik halus berubah deras. Kilat cahaya yang diikuti dengan sambaran petir yang terdengar kencang ikut menambah kekhawatirannya.



Tubuh berbalut celana hitam panjang dengan kaos warna senada itu akhirnya beranjak dari atas kasur empuknya. Bergegas meninggalkan rumah dengan payung yang ia ambil dari balik pintu. Sedikit berlari, ia menerjang derasnya hujan untuk bisa sampai di kediaman sang sahabat. Perasaannya tidak karuan saat teringat kejadian beberapa hari lalu di depan makam Bibi Ji. Ia tahu Chaerin tidak akan ingkar dengan janjinya. Karena itulah ia menjadi semakin khawatir dengan kondisi sahabatnya itu.



Saat sampai di kediaman yang berjarak dua rumah dari miliknya, kebingungan menyambutnya. Meninggalkan payung yang ia pakai di depan pintu, kakinya dibawa melangkah masuk melewati pintu yang sudah terbuka. Pemandangan tidak terduga langsung menyapa matanya. Lukisan Chaerin yang berserakan di lantai, Chani yang menangis dalam dekapan Jimin, Jimin yang seakan hanyut dalam pikirannya, serta Tuan Lim yang terdiam di tempatnya. Semua itu semakin menambah kegelisahan di hati Taehyung saat tidak menemukan keberadaan Chaerin di sana.



“Dimana Chaerin?” Tanyanya dingin dan menuntut. Namun dari ketiganya tidak ada yang membuka suara. Membuat Taehyung tersulut emosinya hingga kembali bertanya dengan suara yang lebih meninggi.



“Aku tanya dimana Chaerin?!”



Mendengar teriakan Taehyung, tangis Chani semakin pecah. Jimin seakan kembali ke dalam dunia yang sebenarnya. Sedangkan Tuan Lim mengerjap dan tubuhnya seketika ambruk.



“Tu-Tuan muda Taehyung...”



Suara itu membuat tubuh Taehyung seketika berbalik. Matanya menatap tajam pada sang asisten rumah tangga yang terlihat sedih dengan sisa air mata yang masih membasahi pipinya.



“Katakan apa yang terjadi! Dimana Chaerin, Bi?”



Tubuh Bibi Jung terlihat bergetar saat akan menyampaikan apa yang baru saja dirinya saksikan. Sebuah kejadian yang sangat menyayat hatinya karena Bibi Jung adalah sosok yang secara tidak langsung telah mengisi kekosongan Chaerin yang saat itu masih berusia tiga belas tahun. Beliau selalu menemani Chaerin kala gadis itu bersedih setelah kepergian sang Ibu. Beliau juga yang membangunkan serta menyiapkan segala kebutuhan gadis itu di tengah kekalutan ditinggal seorang Ibu, di saat semua orang malah mengabaikan dan melupakan keberadaannya.



“Nona muda pergi.”



“Pergi?”



Bibi Jung mengangguk pelan. “Nona muda bertengkar dengan Tuan. Tuan mengetahui jika Nona muda masih melukis dan Tuan marah besar lalu terjadi keributan, kemudian Nona muda pergi. Bibi sempat mengejarnya.”



Taehyung mengepalkan tangannya mendengar penuturan singkat tersebut. Tempramennya kembali menyelimuti diri. Menghadirkan lagi emosi terpendam yang langsung meledak saat itu juga karena tidak mampu dirinya tahan. Matanya menyorot penuh amarah pada seluruh orang di sana.



“APA YANG PAMAN LAKUKAN HINGGA CHAERIN PERGI?! APA YANG PAMAN KATAKAN PADA ANAK PAMAN SENDIRI?! APAKAH TIDAK CUKUP PAMAN MENYAKITI CHAERIN SELAMA INI DAN SEKARANG PAMAN MEMBUAT CHAERIN PERGI? SEBENARNYA APA YANG PAMAN PIKIRKAN??”



Peduli setan dengan rasa hormat! Taehyung sudah tidak mempedulikannya. Kemarahan dan rasa kecewanya terlalu besar pada sosok pria yang sayangnya ditakdirkan Tuhan sebagai Ayah dari sahabat tercintanya. Ingin rasanya ia memukul wajah pria itu andai saja hati kecilnya tidak melarang.



“JAWAB AKU BERENGSEK!” Umpatnya saat tidak ada satu pun kata yang terucap selain hanya isakan pelan yang keluar dari bibir Tuan Lim.



“SIAL!!”



Taehyung membalik tubuhnya. Bersiap meninggalkan tempat tersebut karena tidak mendapatkan kejelasan mengenai keberadaan Chaerin. Ia harus mencari sahabatnya itu. Hujan semakin deras dan dirinya takut Chaerin dalam keadaan yang buruk. Traumanya akan membuat Chaerin kehilangan kendali pada tubuhnya sendiri.



Namun belum juga kakinya sempat melangkah, ponsel yang berada di dalam saku celananya berdering. Dengan cepat ia mengeluarkan benda tipis itu dan melihat pada bagian layar, berharap jika yang menghubunginya adalah sang sahabat kecil. Namun pil kekecewaan harus ia telan kala sebuah nomor yang tidak dikenal yang tertera di sana. Dahinya mengernyit saat menerima panggilan tersebut.



“Iya, saya Kim Taehyung.” Katanya dengan suara yang masih meninggi akibat emosi yang masih menyelimuti dirinya. Tangannya yang bebas ia gerakan untuk memijat pangkal hidungnya sementara telinganya mendengarkan setiap kata yang terucap oleh sang penelepon.



“APA?!”



Tubuhnya bersimpuh bersamaan dengan tangannya yang terjatuh di kedua sisi. Air mata langsung mengalir tanpa dapat dicegah. Hatinya hancur dan ia merasa dunianya menghitam.



T . B . C



감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts