A Bad Reputation Part 6


 

Keesokan harinya di studio tato Tony, Mingyu memandangi pintu dengan gelisah. Pria itu berdiri tiap kali mendengar lonceng pintunya berdenting. Bahkan saat sedang mengerjakan tato pelanggan pun, ia tetap menyingkap tirai untuk menengok ke pintu. Siapa sangka seseorang yang selalu ia usir tiap datang justru malah sangat dinanti-nanti seperti ini.

 

 

“Sedang menunggu siapa, sih?” Tony akhirnya buka suara.

“Kemarin kartu namanya cuma dikasih satu?”

“Kartu nama Komisaris Polisi Suho?”

 


Mingyu mengangguk tak sabar.

 

 

“Iya, cuma satu,” jawab Tony. “Kenapa?”

“Nomornya dicatat di kertas lain?”

“Buat apa? Kan sudah ada di kartunya.”

“Ah! Harusnya nomor penting begitu dicatat di tempat lain juga,” omel Mingyu.

“Apa sih marah-marah begitu! Kartu namanya kemarin kutitip ke Sooyoung. Belum dikasih?”

“Sekarang sudah tidak ada.”

“Loh? Kok bisa?”

“Kenapa ya si polisi berengsek itu! Kalau tidak dibutuhkan malah datang terus, sekarang lagi butuh begini malah tidak datang,” racau Mingyu, mengabaikan pertanyaan bosnya.

 

 

“Wah, serius? Aku tak salah dengar, nih? Seorang Kim Mingyu membutuhkan orang lain?” Tony meledek pria bertubuh jangkung itu dengan suara besar yang menyebalkan. “Memangnya ada apa sih sampai kau ingin bertemu Kompol Suho begini?”

 

 

“Ada yang mau kubicarakan,” kata Mingyu serius, kemudian melanjutkan dengan volume suara yang lebih kecil, “Kayanya aku tahu siapa yang bunuh ayah.”

 

 

“KAU TAHU?” seru Tony terkejut.

“Cih. Barusan kan kubilang ‘kayanya’. Jadi belum pasti.”

“Oke, oke, tidak usah melotot begitu.”



Mingyu melirik Tony kesal sebelum kembali bergumam dengan suara pelan. “Aku juga punya informasi baru. Sekarang akhirnya aku mengerti kenapa selama ini banyak orang yang mengikutiku.”

 

 

“Untuk balas dendam, kan?”

 

 

Mingyu menggeleng. “Mereka mengira aku menyimpan harta yang banyak.”

 

 

“Harta? Harta dari mana?”

“Ayah.”

“Harta apa?”

“Aku juga tidak tahu.” Mingyu menghela napas berat dan kembali memandangi pintu. “Makanya aku butuh polisi itu untuk menyelidiki semuanya. Aku tidak paham. Kalau harta itu buatku, kenapa justru malah aku yang tidak tahu apa-apa?”

 

 

“Apa kita cari di internet saja?” cetus Tony.

“Cerdas. Pasti di Wikipedia sudah ada penjelasan tentang asal usul harta itu lengkap dengan panduan untuk mendapkatkannya. Begitu?” kata Mingyu sarkastik.

 

 

“Kau itu amit-amit deh sensitifnya.” Tony mendecakkan lidah. “Maksudnya nomor telepon Kompol Suho yang dicari di internet.”

 

 

Mendengar itu, Mingyu yang sudah putus asa mendadak punya harapan lagi. Mingyu tak percaya dirinya tidak memikirkan solusi sesederhana itu dari semalam. Kalau dia memang polisi sungguhan, seharusnya data dirinya ada di internet, kan?

 

 

Tony dan Mingyu langsung mengeluarkan ponsel dengan kompak.

 

 

Saat keduanya sedang bergelut dengan layar ponsel masing-masing, seseorang mendorong pintu masuk.

 

 

“Hey.”

 

 

Itu Sooyoung.

 

 

Mingyu merasa dadanya tersentak begitu matanya bertemu dengan mata Sooyoung.

 

 

Percakapan Sooyoung dengan Pak Heejun di lorong apartemen semalam, serta derap langkah yang menjauh berkelebat di benaknya.

 

 

Dia sudah tahu, pikir Mingyu. Lantas tanpa basa-basi bangkit dari sofa dan menyingkap tirai menuju ruang tato.

 

 

“Mingyu! Aduh, malah pergi!” Tony mendengus jengkel, lalu menoleh pada Sooyoung dengan heran. “Kalian bertengkar?”

 

 

“Sedikit. Tapi kupikir kami sudah baikan.” Sooyoung melongok ke arah tirai. “Apa aku boleh menyusulnya masuk?”

 

 

“Masuk saja. Sedang kosong, kok.”

 

 

Sooyoung meletakkan sling bag berumbainya di sofa dan menyingkap tirai.

 

 

“Mau apa ke sini? Sudah tahu semuanya, kan?” tuduh Mingyu dingin. Ia berdiri jauh di seberang ruangan, membelakangi Sooyoung.

 

 

Sebelumnya pria itu sengaja menumpahkan semua perlengkapan tato dari kotaknya, semata-mata untuk membuat dirinya terlihat sibuk, supaya ia punya alasan untuk tidak menatap Sooyoung. Mingyu malu. Ia terus memikirkan apa pendapat Sooyoung tentangnya. Maksudnya pendapat Sooyoung sekarang, setelah mendengar semua itu.

 

 

“Tahu apa?” Sooyoung sama sekali tidak sedang berpura-pura bodoh, namun Mingyu menganggapnya begitu. Mingyu menghentakkan botol tintanya ke meja dan berbalik menghadap Sooyoung.

 

 

Mereka berjarak kurang lebih sebelas lantai, dari ujung ke ujung. Posisi Sooyoung hanya selangkah dari tirai masuk, sementara Mingyu berdiri di depan meja panjang yang menempel dengan tembok.

 

 

“Aku tahu Pak Heejun pasti sudah menceritakan semuanya.”

“K-kau mendengarnya?” Sooyoung terkejut.

“Jadi aku benar? Dia memang menceritakan itu?” Tatapan Mingyu terasa hambar alih-alih dingin. “Kau seharusnya takut dan jijik padaku sekarang. Kenapa malah di sini?”

 

 

“Aku tak akan mempercayai apa pun sebelum mendengarnya dari mulutmu sendiri.”

“Itu tidak penting.”

“Itu penting. Cerita Pak Heejun semalam lebih banyak opininya ketimbang fakta. Aku harus mendengar dari dua sisi.”

 

 

“Cih. Apa yang membuatmu berpikir aku akan menceritakannya padamu?”

“Karena kau adalah temanku,” kata Sooyoung. “Masalahmu adalah masalahku.”

 

 

 

**********

 

 

 

Mingyu sepakat menceritakan insiden lift itu pada Sooyoung selama berjalan pulang, di saat warna langit berubah dari terang benderang ke jingga dan ungu kemudian menghitam.

 

 

“Aku tak mengerti untuk apa aku menceritakannya sekarang. Itu sudah lama sekali. Tak ada gunanya. Lagian kau tak akan percaya padaku.”

 

 

“Aku percaya,” jawab Sooyoung tanpa berpikir.

“Sekarang kutanya, apa menurutmu aku melakukannya?”

 

 

Sooyoung dengan yakin menggeleng.

 

 

“Kenapa?”

“Entahlah. Setelah mengenalmu selama dua minggu ini, aku percaya kau bukan cowok berengsek seperti itu.”

 

 

“Aku pernah hampir memukulmu.”

“Tapi kau tidak melakukannya.”

“Kalau tidak ada Tony, aku pasti sudah melakukannya.”

“Yeah, tapi kau tidak melakukannya,” ulang Sooyoung, tersenyum.

 

 

Mingyu memalingkan wajah. “Okay, lalu kenapa baju cewek itu robek-robek saat lift terbuka?”

 

 

“Bukankah itu tugasmu untuk menjelaskan?”

“Aku mau tahu pendapatmu.”

“Dia bisa jadi merobeknya sendiri,” Sooyoung mengangkat bahu. Lalu menoleh pada Mingyu, menunggu.

 

 

Mingyu mendesahkan napas putus asa dan mengangguk.

 

 

Sooyoung yang cuma asal tebak langsung terbelalak. “Kenapa kau mengangguk? Jadi ucapanku benar? Dia merobek bajunya sendiri dan menuduhmu melakukannya? Sudah gila, ya?” seru Sooyoung kelewat keras, praktis membuat orang-orang di sekitar mereka menoleh. Gadis itu pun melanjutkan dengan suara yang lebih kecil, “Kenapa dia melakukan itu?”

 

 

“Dia menawarkan Heroin padaku dan aku menolaknya.”

“Ya ampun.”

“Mulanya begini, saat itu…”

 

 

Saat itu hujan sedang deras-derasnya, Mingyu baru pulang dari studio tato Tony.

 

Biasanya, ia hampir tidak pernah menaiki lift, namun saat itu badannya basah kuyup dari ujung kepala sampai telapak kaki. Mingyu tak mau membuat lantai di tangga basah dan membahayakan semua orang. Namun ternyata pilihannya untuk menaiki lift saat itu sangatlah keliru.

 

Saat Mingyu memasuki lift, seorang wanita dengan wrap dress merah ketat—yang tadinya sedang duduk diam di kursi lobi—tiba-tiba ikut masuk. Mingyu menekan tombol lantai tiga, tapi wanita itu tidak kunjung menekan atau menyuruhnya menekan tombol lantai dua, padahal unit apartemen Woohyuk ada di lantai dua (Mingyu sudah tahu wanita itu adalah tunangan Woohyuk. Semua penghuni apartemen Gonse tahu. Bagaimana bisa ada yang tidak tahu jika wanita itu datang setiap hari).

 

“Aku punya barang bagus.” Tiba-tiba wanita itu berkata.

 

Mingyu tak merespons. Itu bukan kali pertama sang wanita mengajaknya bicara. Dia selalu mencari celah untuk bicara pada Mingyu dan Mingyu selalu mengabaikannya. Begitu pula hari itu. Mingyu menatap lurus ke depan dengan tampang datar, seolah tak mendengar apa-apa, tak bersama siapa-siapa.

 

“Ayolah, jangan kaku begitu! Aku tidak akan menyuruhmu melunasinya sekaligus,” kata sang wanita sambil berjalan mendekat dan berhenti di hadapan Mingyu. “Di tasku ada heroin. Berapa uang yang kau punya?”

 

“Aku tidak tertarik. Menjauhlah dariku!” Mingyu memperingatkan. Dan saat itulah mesin lift tiba-tiba mati.

 

Mingyu terkejut, namun sang wanita malah menyeringai senang.

 

“Sepertinya kita masih punya banyak waktu untuk negosiasi. Katakan saja padaku barang apa yang biasa kau pakai.”

 

Mingyu menekan-nekan tombol di lift dengan kesal. “Menjauh dariku! Aku tidak pakai yang seperti itu,” bentaknya sambil menyentak tangan sang wanita.

 

“Hah? Kau pikir aku ini bodoh? Mana mungkin berandalan sepertimu tidak pakai obat. Aku ini mengenal tipe-tipe orang sepertimu dengan baik.”

 

“Yeah, terserah, tapi kau salah target kali ini. Aku memang tidak pakai.”

“Kalau begitu kau harus coba.”

 

Wanita itu mengeluarkan plastik berklip berisi serbuk putih dan langsung mencengkeram dagu Mingyu, hendak mencekokkan obat adiktif berbentuk bubuk itu langsung ke mulutnya.

 

Mingyu dengan refleks mendorong sang wanita sampai badannya membentur pintu. Kesalahan besar. Seketika wanita itu murka dan langsung menggila.

 

“Berani-beraninya!” Ia menjerit dan menghampiri Mingyu dengan muka merah padam. Kesal dan malu.

“Berhenti di situ! Jalan selangkah lagi kulaporkan kau ke polisi!”

“Begitu? Atau mungkin aku yang akan melaporkanmu ke polisi?”

“Cih, karena apa? Menolak dicekoki heroin?” cibir Mingyu.

 

Dari luar mulai terdengar suara riuh orang-orang yang sedang berupaya menyelamatkan mereka. Mingyu dalam hati sangat bersyukur. Dia sudah amat muak, tak sabar untuk terbebas dari wanita gila itu.

 

Namun kegilaan sang wanita ternyata tidak berhenti di situ. Wanita itu menatap Mingyu dengan seringaian jahat sebelum mulai merobek bagian bawah wrap dress-nya seperti orang tidak waras. mengacak rambutnya hingga kusut dan menampar-nampar pipinya sendiri dengan keras.

 

Wanita itu memorak-porandakan penampilannya, sementara Mingyu berdiri di sana, tidak tahu harus apa.

 

Dan pintu lift pun bergerak terbuka.

 

Wanita yang beberapa saat lalu menyeringai pada Mingyu kini menangis tersedu-sedu sambil memeluk Woohyuk.

 

Mingyu dihujani dengan tatapan menghakimi; jijik, marah, ngeri, dan ia tak bisa menghindar.

 

Mingyu hendak membela diri, tapi wanita itu terus menyerobotnya sambil menangis lebih keras.

 

Mingyu ingin menjelaskan semuanya, tapi tak ada yang mau mendengarkan.

 

Jadi dia tidak berkata apa-apa, tidak memikirkan apa-apa. Ia melihat Pak Heejun menelepon polisi dengan wajah penuh skandal dan tak bisa melakukan apa-apa.

 

 

Cerita Mingyu berakhir tepat saat mereka sampai di apartemen Gonse. Amarah Sooyoung terlihat berkobar-kobar.

 

 

“Dasar cewek sinting!” seru Sooyoung emosional. “Terus kau dibawa ke kantor polisi?”

 

 

Mingyu mengangguk, sementara tangannya mendorong pintu utama gedung apartemen.

 

 

“Terus? Langung bilang kan kalau dia pengedar?”

“Aku bilang, tapi tak ada yang percaya.”

“Polisinya juga tak percaya?”

“Iya.”

“Sinting.”

 

 

Mereka melewati lobi dan berjalan lurus ke tangga. Lift sama sekali bukan opsi setelah mendengar cerita itu. Sooyoung bahkan bersumpah dalam hati ia tidak akan menggunakan lift itu lagi.

 

 

“Terus cewek berengsek itu ke mana sekarang?”

 

 

Mingyu mengangkat bahu. Sooyoung mengekor di belakangnya sambil terus mendenguskan napas dari hidung.

 

 

“Terus si Woohyuk tahu ceweknya pengedar?” tanya Sooyoung, lagi-lagi terlalu kencang. Mingyu langsung menoleh untuk menyuruh gadis itu diam.

 

 

Sooyoung membekap mulutnya.

 

 

Selama mereka berjalan menuju lantai tiga, Sooyoung yang tertinggal di belakang Mingyu terus komat-kamit, berbisik di punggung sang pria mengutarakan rasa kesalnya.

 

 

Mingyu berbalik begitu mereka tiba di depan pintu. Sooyoung yang tidak menyadari hal itu terus berjalan sampai menabrak dada sang pria. Mingyu menangkap bahu Sooyoung dan menatapnya. “Kau itu dari tadi sedang apa, sih?” Sooyoung mengerjap memandang wajah Mingyu yang berada persis di depan wajahnya. “Tak ada gunanya emosi begini. Toh aku tidak dipenjara, kan? Aku langsung dibebaskan karena tidak ada bukti.”

 

 

“Tetap saja tidak adil. Reputasimu jadi jelek di mata para tetangga di sini.”

“Memang ada sejarahnya reputasiku bagus?”

“Tapi…”

“Karma itu ada,” potong Mingyu. Seketika membuat Sooyoung membisu.

 

 

Gadis itu merasa hatinya tersentak dengan sangat keras. Mingyu mungkin menujukan kalimat barusan untuk si cewek berengsek pengedar narkoba itu. Tapi Sooyoung tetap merasa kalimat itu juga berlaku untuknya.

 

 

Karma itu ada, renung Sooyoung, sementara perasaannya terasa memberat. Mingyu melepaskan tangannya dari bahu Sooyoung dan berbalik begitu saja memasuki kamarnya.

 

 

 

**********

 

 

 

Malam harinya, Sooyoung sama sekali tak bisa tidur. Ia terus memikirkan perkataan Mingyu. Karma itu ada. Ia memikirkan bahwa apa yang ia lakukan sekarang, semua misi ini, sebenarnya tidak lebih baik dari apa yang wanita pengedar itu lakukan. Mereka sama-sama memporak-porandakan hidup Mingyu. Bedanya, wanita itu sudah melakukannya, sementara Sooyoung belum.

 

 

Jarum pendek pada jam dinding sudah menunjuk ke angka empat. Sooyoung yang sudah lelah berbaring menatap langit-langit akhirnya menyibak selimutnya.

 

 

 

**********

 

 

 

Mingyu bisa merasakan tubuhnya diguncang pelan, tapi ia tak langsung membuka mata. Malah berpkir itu adalah efek samping dari tidur dalam keadaan kelewat bahagia. Dia memang sangat bahagia malam itu. Rasanya seperti beban di hatinya terangkat separuh, dan segitu saja sudah lebih dari cukup untuk membuatnya lega. Mingyu bahkan sudah tidak menaruh dendam pada siapa pun; para tetangga, wanita pengedar yang sudah memfitnahnya, umat manusia.

 

 

Sesungguhnya Mingyu hanya ingin perkataannya didengar dan dipercaya. Dan alangkah gembiranya ia begitu menemukan seseorang yang bersedia melakukan semua itu; mendengar dan mempercayai.

 

 

“Mingyu bangun!”

“Aw!”

 

 

Mingyu terlonjak bangun. Pinggangnya baru saja ditusuk oleh sesuatu. Hal pertama yang ia lihat adalah Sooyoung, dan hal kedua adalah remot televisi di genggaman sang gadis. Mingyu langsung tahu benda apa yang menusuk pinggangnya tadi. Mingyu merebut remot itu dan melemparnya ke meja.

 

 

“Siapa yang mengizinkanmu masuk!” Ia mengamuk.

“Salah sendiri. Kenapa tidak dikunci?”

“Walaupun tidak dikunci bukan artinya kau boleh masuk. Dasar!”

 

 

Sebenarnya memang sudah hampir tiga tahun ini apartemen Mingyu tidak memiliki kunci. Entah dipatahkan atau dibuang oleh sang ayah. Waktu itu Mingyu ketiduran dan tidak mendengar ayahnya sudah pulang dan tengah heboh mendobrak-dobrak pintu. Begitu dibuka, ayahnya sudah terlanjur murka dan langsung mencabut kuncinya. Mingyu tidak peduli lagi setelah itu. Toh tanpa perlu dikunci pun semua orang sudah enggan untuk masuk. Benar-benar semua orang, sampai akhirnya datanglah Sooyoung.

 

 

“Mau apa, sih!” Mingyu bertanya dengan suara serak sembari merebahkan kepalanya kembali ke lengan sofa.

 

 

“Ayo ke lantai empat,” ajak Sooyoung.

“Mau apa? Cuci baju?”

 

 

Sooyoung mengangguk antusias.

 

 

“Tidak mau,” tolak Mingyu sembari berguling membelakangi Sooyoung. “Aku tidak mau ketemu orang-orang.”

 

 

“Orang-orang yang mana? Tidak ada siapa pun di atas. Ini masih jam empat pagi.”

“Jam empat?” Mingyu dengan cepat menoleh, menatap Sooyoung dengan wajah mengernyitnya yang supersinis. “Orang gila mana yang mencuci jam empat pagi?”



“Kita,” jawab Sooyoung.

“Kau saja sendiri,” Mingyu melirik baju-bajunya yang berserakan di lantai, “Nah, supaya kau senang, sekalian cuci baju kotorku.”

 

 

“Supaya aku senang?” ulang Sooyoung tak terima.

“Kenapa? Kau memang hobi kan mengurusi hidupku? Sana kumpulin baju kotornya sendiri, cuci, terus setrika yang rapi. Aku mau tidur.” Mingyu memeluk bantal-bantal sofa dengan erat.

 

 

Sooyoung mendecakkan lidah. “Heh pemalas, ayo cepat bangun! Kalau kesiangan nanti banyak ibu-ibu.”



“Dibilang tidak mau ya tidak mau. Di luar dingin. Aku mau tidur.”

“Tapi aku tidak bisa tidur.”

“Yah bodo amat.”

 

 

Saat itu batas kesabaran Sooyoung runtuh. Dia naik ke sofa, menyelipkan kakinya ke antara bantal-bantal yang dipeluk Mingyu dan menendang badan sang pria sampai terguling jatuh.

 

 

“Sooyoung!” Mingyu menjerit murka.

“WAHHHHH, kau ternyata tahu namaku?” Bukannya takut, Sooyoung malah girang sendiri. Ini pertama kalinya Mingyu menuturkan namanya sejak pertama kali mereka bertemu. “Ya ampun. Terima kasih banyak, ya. Tapi sekarang, kita tak punya waktu untuk itu. Masukkan baju kotormu ke keranjang. Cepat.”

 

 

 

**********

 

 

 

Mingyu tertinggal di belakang Sooyoung. Wajahnya tertekuk sembilan dan ia dengan sengaja melangkah sangat pelan sebagai bentuk protes.

 

 

Sooyoung tiba di anak tangga terakhir dan mendorong pintunya. Tibalah mereka di lantai tertinggi apartemen Gonse. Sebuah area berubin semen yang dua pertiga bagiannya langsung beratapkan langit, memang didesain khusus untuk mencuci dan menjemur.

 

 

Empat buah mesin cuci yang berjejer, kursi-kursi plastik dan beberapa bentang tali jemuran terlihat di antara kegelapan. Sooyoung meraba-raba untuk mencari sakelar lampu, kemudian meletakkan keranjangnya di atas salah satu mesin cuci.

 

 

Mingyu baru sampai setelah Sooyoung selesai memasukkan seluruh bajunya ke tabung.

 

 

“Lama amat, sih. Kau itu manusia atau siput?” sindir Sooyoung, meniru ucapan Mingyu seminggu yang lalu. Mingyu hanya memutar mata.

 

 

Dengan ekspresi bosan, pria itu menumpahkan cuciannya ke mesin cuci di samping Sooyoung.

 

 

“Kau tahu cara menggunakannya, kan?” tanya Sooyoung sungguh-sungguh. Namun Mingyu malah merasa tersindir, dia mengirimkan tatapan aku memakai mesin cuci ini lebih dulu daripada kau.

 

 

Sooyoung menanggapinya dengan anggukan singkat. “Bagus deh.”

 

 

Begitu Mingyu selesai memasukkan pakaiannya ke tabung, Sooyoung menyalakan mesinnya dan tabung itu terisi air secara otomatis.

 

 

Sooyoung mengambil deterjen dari rak.

 

 

“Berikan padaku!” kata Mingyu.

“Sebentar, dong!” Sooyoung sedang mengecek takarannya.

“Lama. Sini biar aku duluan! Aku mau tidur.” Mingyu mencoba merebut deterjen dari tangan Sooyoung—yang menahannya sekuat tenaga.

 

 

Tarik-menarik bungkus deterjen itu berlangsung selama beberapa saat sebelum akhirnya keduanya terkesiap dan berhenti. Bungkusnya robek karena ditarik keras-keras dari dua sisi. Serbuk putih deterjen sebagian besar tumpah ke ubin, sementara sebagian yang lain meledak di langit dan berguguran seperti salju, menempel di muka, rambut, baju, dan di mana-mana.

 

 

“GARA-GARA KAU!” Mingyu menjadi orang pertama yang mengomel. Selalu.

“Kok aku? Kau kenapa tarik-tarik?”

“Kau kenapa tahan-tahan?”

“Kalau kau sabar sedikit sampai aku selesai pakai deterjennya, semuanya tak akan kacau begini.”

“Kalau kau langsung kasih pas aku minta, semuanya juga tak akan kacau begini.”

“Lebih baik kita sapu dulu. Kalau ketahuan yang lain, pasti disuruh ganti.”

“Sapu saja sana sendiri,” kata Mingyu ketus. Pria itu menyauk deterjen di ubin dengan takaran sesuka hati, lalu dimasukkan begitu saja ke dalam mesin cuci. Mesin cuci yang sudah terisi penuh oleh air itu pun bekerja secara otomatis begitu Mingyu menutup tabungnya.

 

 

Mingyu baru saja hendak meninggalkan Sooyoung saat tatapan mereka bertemu. Gadis itu terlihat seperti anak anjing yang ketumpahan tepung. Sooyoung terus memandanginya dengan ekspresi mau menangis; wajah merah, mata berkaca-kaca, hidung kembang kempis.

 

 

Mingyu menghela napas. Ia membungkuk untuk menyauk deterjen yang lain dan memasukkannya ke mesin cuci Sooyoung. Ia mengatur siklus dan kecepatan putar lalu menekan tombol start.

 

 

“Kirain mau ditinggal,” kata Sooyoung.

“Niatnya begitu,” Mingyu membalas datar. Ia mendengus pada Sooyoung, bingung pada dirinya sendiri karena bisa-bisanya ia merasa tidak tega. “Duduk sana. Biar aku yang bersihkan.”

 

 

Mingyu berjongkok dan mulai mengais-ngais serbuk deterjen dengan telapak tangannya, dikumpulkan di satu titik sampai membentuk gundukan. Mingyu sedang berpikir di mana ia harus menyimpan sisa deterjen ini saat Sooyoung ikut berjongkok dan menyodorkannya toples plastik.

 

 

“Ketemu di rak.”

“Pintar,” puji Mingyu, membuat lawan bicaranya tersipu malu.

 

 

Saat Sooyoung hendak membantu, Mingyu menangkap tangannya.

 

 

“Kalau tidak mau duduk, paling tidak jangan menggangguku. Nanti berantakan lagi.”

“Aku mau bantu, bukan ganggu. Lagian….”

“Deterjen bisa bikin tangan kasar,” potong Mingyu. “Mau tangannya kasar?”

“Yah, terus? Memangnya kenapa?”

“Yah jangan, lah” sambar Mingyu. “Kalau kau berani sentuh ini, deterjen yang sudah di toples akan kutumpahkan lagi, terus kau kutinggal ke bawah. Mau?”

 

 

Ancaman itu sukses membuat Sooyoung menarik tangannya jauh-jauh.

 

 

“Cih. Harus diancam dulu baru nurut.”

 

 

Sooyoung yang tengah berjongkok menempelkan pipinya di lengan dan bergeming dalam posisi itu sembari memandangi Mingyu. Lambat laun tersenyum. Mingyu terlihat sangat lucu dengan wajah cemong dan rambut acak-acakan. Sooyoung tertegun dalam hati begitu menyadari apa yang selama ini ia lewatkan, Mingyu ternyata sangat menarik untuk dilihat. Bahkan dengan kondisi seperti ini; wajah bangun tidur, rambut berantakan, baju belel, celana pendek, ditambah tumpahan deterjen di seluruh tubuhnya yang terlihat seperti ketombe itu, Mingyu masih tetap enak dipandang.

 

 

Sooyoung merenungi apa yang baru saja Mingyu lakukan dan sesaat ia merasa ada cairan hangat yang tumpah di hatinya.

 

 

“Duduk sana. Biar aku yang bersihkan.”

 

“Deterjen bisa bikin tangan kasar. Mau tangannya kasar?”

 

“Kalau kau berani sentuh ini, deterjen yang sudah di toples akan kutumpahkan lagi, terus kau kutinggal ke bawah. Mau?”

 

 

Sooyoung mendengarkan suara-suara itu menggema di kepalanya dan makin tersipu-sipu.

 

 

Jadi pagi itu, saat matahari masih ragu-ragu untuk menampakkan diri, di antara suara mesin cuci yang berdengung, dengan latar belakang baju yang berputar-putar serta ubin yang penuh deterjen, Sooyoung menatap Mingyu dari sisi yang baru.

 

 

Sambil memandangi Mingyu, Sooyoung mempertimbangkan segalanya. Apa aku masih boleh berubah pikiran? Apa aku boleh tidak melakukannya? Apa boleh aku tidak menyakitinya? Aku tidak mau menyakitinya.

 

 

Matahahari perlahan-lahan naik, Mingyu dan Sooyoung baru saja selesai menjemur semua pakaian mereka.

 

 

“Kau ke studio tato hari ini?” tanya Sooyoung selagi keduanya mengangkat keranjang kosong dan berjalan ke luar area mencuci.

 

 

Mingyu mengangguk.

 

 

“Kalau begitu baju-bajumu biar aku saja yang urus.”

 

 

Mingyu kembali mengangguk. Sebenarnya ia ingin menambahkan ucapan terima kasih, tetapi kata-kata itu lenyap dalam perjalanan menuju mulut.

 

 

Saat itu, mainan karet seukuran bola kasti menggelinding ke kaki Mingyu. Mingyu dan Sooyoung praktis berhenti. Tiga meter di depan mereka berdiri nenek Sunghee dan sang cucu, Dami.

 

 

Mingyu tanpa ragu mengambil bola itu dan hendak memberikannya pada Dami. Namun sebelum Mingyu sempat melangkah, nenek Sunghee menjerit.

 

 

“Jangan mendekat!” Nenek Sunghee menarik Dami dengan napas tersekat dan ekspresi terancam, kemudian berbisik gemetar di telinga sang cucu, “Nanti kita beli yang baru.”

 

 

Nenek Sunghee mendekap Dami dengan posesif, lantas kembali ke dalam lift sambil membawa keranjang cuciannya.

 

 

“Maaf, tapi kami sudah selesai. Nenek tidak jadi mencuci?” Sooyoung berusaha mengejar.

“Jangan mendekat! Tidak, tidak, tolong menjauhlah!” Nenek Sunghee menjerit memohon-mohon.

 

 

Sooyoung langsung menghentikan langkahnya. Pintu lift bergerak tertutup. Sooyoung bisa merasakan betapa sakitnya diperlakukan bak monster oleh seseorang. Hatinya remuk. Sooyoung menoleh dan melihat Mingyu yang masih bergeming. Sooyoung memikirkan bagaimana perasaan Mingyu. Kalau hatinya saja sudah seremuk ini, apa kabar hatinya Mingyu?

 

 

“Mingyu-ssi.”

 

 

Mingyu sama sekali tak ingin diajak bicara, ia memberikan bola itu pada Sooyoung lantas segera berlalu menuruni tangga.

 

 

 

**********

 

 

 

Mingyu masuk ke dalam apartemen dan membanting pintu di belakangnya. Mingyu tak bisa mengontrol rasa kecewanya lagi. Ia menendang nakas dan meninju kaca lemari hingga pecah. Mingyu melempar asbaknya ke arah televisi, menjatuhkan vas bunga, memusnahkan semua benda di jangkauannya sambil mengerang dan bernapas pendek-pendek.

 

 

Baru setelah tak ada lagi yang bisa dihancurkan, ia berlutut dan memukulkan kepalanya di lantai. Mingyu juga tak mengerti kenapa ia semarah ini, padahal ditakuti oleh semua tetangga sudah merupakan makanan sehari-harinya. Kenapa begini? Kenapa dipandang dengan takut mendadak terasa lebih sakit dari yang semestinya?

 

 

Mungkin ini semua karena Sooyoung, pikirnya. Mungkin ia terlena dengan cara sang gadis memperlakukannya. Sooyoung membuatnya hampir percaya bahwa dirinya juga normal seperti yang lain. Dan saat kenyataan datang, saat seseorang memecahkan gelembungnya, Mingyu tak terima.

 

 

Jangan menatapku begitu!


Jangan! Jangan lagi!

 

 

 

**********

 

 

 

Mingyu keluar apartemen bersamaan dengan Sooyoung yang baru kembali dari lantai empat.

 

 

“Ini masih jam tujuh. Sudah mau berangkat ke studio tato?”

 

 

Mingyu menaikkan tudung hoodie-nya ke kepala dan berjalan begitu saja tanpa menghiraukan Sooyoung. Memang seharusnya begini, pikir Mingyu. Memang seharusnya kita tidak pernah dekat.

 

 

Mingyu menunduk dalam-dalam selama menyusuri tangga, menyembunyikan wajahnya. Ini masih terlalu pagi untuk menampakkan diri. Akan ada banyak orang di lantai bawah. Mingyu sejujurnya lelah mendengar semua suara kesiap dan pintu yang dibanting, belum lagi suara tangis bayi. Tuhan, ia lelah diperlakukan begini.

 

 

Pagi itu, Mingyu menaiki taksi menuju suatu tempat. Sebuah gedung kosong tak terpakai yang sudah alih fungsi menjadi sarang penyamun. Tempat ini dulunya sangat familier bagi Mingyu dan sang ayah. Itu adalah markas Dae Sik. Letaknya jauh dari pemukiman warga. Benar-benar rahasia dan memiliki penjagaan ekstra ketat di setiap sisi.

 

 

Mingyu menyibak tudungnya dan berjalan memasuki gudang itu tanpa rasa gentar. Ia bisa mendengar seseorang berteriak menyuruhnya berhenti, namun tak dihiraukannya. Kakinya terus melangkah dan melangkah hingga akhirnya empat orang pria datang menghadang.

 

 

Tanpa basa-basi tangan Mingyu dipelintir dan ditahan di belakang punggungnya.

 

 

“Kau tahu ini tempat apa?”

“Aku harus bertemu Dae Sik,” kata Mingyu. “Lepaskan!”

“Tidak ada yang….”

“Aku anaknya Kim Jibeom,” seru Mingyu, menekan kuat-kuat rasa malunya.

“Ah, anak pengkhianat itu ternyata?” Sang pria tersenyum. “Apa yang membuatmu sangat depresi hingga menjemput mautmu sendiri?”



“Apa maksudmu?”

 

 

Bukannya menjawab, pria itu malah tersenyum makin lebar. Ia menoleh ke belakang dan memanggil seseorang. Dan seketika Mingyu terbelalak. “Kau!”

 

 

Pria yang dimaksud berjalan mendekati Mingyu sambil tertawa kegirangan.

 

 

“Ya ampun, aku berusaha mati-matian untuk membawamu ke sini. Dan kau dengan bodohnya malah datang sendiri.” Sekumpulan pria seram di sekeliling Mingyu menyambut perkataan tersebut dengan tawa besar.

 

 

“Jadi kau orang suruhan Dae Sik?”

“Siapa pun yang menyerangmu beberapa bulan ini adalah anak buah Dae Sik, Tolol.” Benar. Mingyu memang tolol. Ia merasa amat tolol. Harusnya ia sudah bisa menduga semua ini.

 

 

“Di mana Dae Sik!”  

“Dia tak ada di sini, tapi kami tentu akan meneleponnya. Bos Dae Sik pasti akan sangat senang melihat tamu istimewa sepertimu,” ucap sang pria dengan ekspresi ramah dibuat-buat.

 

 

“Kalian semua, bawa putra pengkhianat ini masuk! Dan tolong perlakukan tamu istimewa kita dengan spesial!”

 

 

 

TBC

Comments

Popular Posts