A Bad Reputation Part 7

 



Cara anak buah Dae Sik memperlakukan tamu istimewanya jelas kelewat spesial. Mingyu diikat di pergelangan kaki, dlilit rantai, kemudian digantung terbalik di langit-langit gudang.

 

 

Dae Sik tak kunjung datang.

 

 

Wajah Mingyu sudah merah padam karena digantung berjam-jam. Dalam keadaan seperti ini, ia sama sekali tak bisa melawan, terpaksa pasrah sementara para pria di sana bermain-main dengan tubuhnya, mencambuk dan mengayunnya ke sana kemari.

 

Mingyu yang sudah hampir pingsan perlahan-lahan memejamkan mata, dan BYUR!!

 

 

Ia terbeliak kaget sementara dadanya mengembang, Mingyu bernapas kuat-kuat, berusaha memenuhi paru-parunya dengan oksigen. Wajahnya baru saja diguyur, tidak, dicambuk air. Seember air dilempar dengan keras dalam jarak dekat, sehingga rasanya mirip seperti ditampar. Perih luar biasa.

 

 

Dalam keadaan terbalik, tidak mudah untuk mengenali orang-orang. Mingyu baru bisa mengenali Dae Sik setelah mendengar pria itu bicara, “Tidurmu nyenyak?”

 

 

“Turunkan aku!” Suara Mingyu bergetar. Mulutnya hampir beku.

“Kalian dengar dia bilang apa? Cepat turunkan dia!” suruh Dae Sik kepada anak buahnya.

 

 

Tali yang mengikatnya dipotong dalam satu tebasan, dan seketika itu juga Mingyu terjun bebas ke lantai semen. Mereka semua tertawa melihat pemandangan itu, melihat betapa tak berdayanya seorang Kim Mingyu.

 

 

“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Dae Sik.

“C-ceritakan padaku!” kata Mingyu susah payah. Pipinya menempel di lantai yang dingin dan ia tak bisa bergerak banyak. Pergelangan kakinya masih diikat dan sekujur tubuhnya terlilit rantai. “Ceritakan padaku tentang harta itu!”

 

 

“Bukankah aku sudah menceritakannya padamu, Nak?”

“D-dari mana asalnya? K-kenapa ayah bisa mempunyai harta yang banyak?”

“Dari mana lagi? Serius kau tak bisa menyimpulkan sendiri?” Dae Sik mencibir, “Itu hasil jarahan dari semua orang yang ayahmu bunuh. Dia hanya menggunakannya sedikit untuk bertahan hidup, sementara sisanya ia timbun untuk sang anak yang tidak tahu terima kasih,” Pria itu mengeluarkan rokok, salah satu anak buahnya dengan sigap menyalakan pemantik dan mengulurkannya ke mulut Dae Sik. Setelah mengembuskan asapnya sekali, Dae Sik melanjutkan ceritanya dengan tatapan menerawang. “Dia pembunuh paling licin yang pernah kukenal, tapi sayang ketololannya benar-benar luar biasa. Dia rela hidup miskin di apartemen kecil demi masa depan anaknya. Katanya, pembunuh bukan pekerjaan jangka panjang, tak ada yang tahu apa yang ditawarkan hari esok, seseorang mungkin akan membunuhmu untuk balas dendam, kau mungkin akan tertangkap tangan oleh polisi saat sedang beraksi, dipenjara selamanya atau ditembak mati.

 

 

“Dia takut meninggal dunia tanpa membekalimu apa-apa, dan tercetuslah ide untuk menyimpan semua harta jarahan itu. Aku tidak setuju dengan pembagian hartanya yang tidak masuk akal. Jadi ibarat kacang lupa kulit, si keparat itu meninggalkanku.”

 

 

Tangan Mingyu semakin gemetar. Setiap kali menarik napas rasanya seperti dicambuk.

 

 

“Kau penyebab segalanya, Nak.” Dae Sik menginjak kepala Mingyu seolah hendak memecahkannya. “Kalau tidak ada kau, ia tidak akan jadi tolol begitu.”

 

 

Mingyu menahan semua rasa sakit itu. Kepalanya ditendang dengan keras sampai ia memuntahkan darah.

 

 

“Kau masih tak tahu di mana harta itu?” Alas sepatu Dae Sik kembali menekan kepalanya. Kali ini diikuti dengan rokok di mulutnya yang dilempar begitu saja ke lehernya.

 

 

Mingyu ingin berkata tidak, namun mulutnya terlalu kelu untuk menjawab. Sementara menggeleng sama sekali bukan pilihan saat kepalamu tengah diinjak begini.

 

 

Dae Sik yang merasa diabaikan langsung menarik rambut Mingyu sampai pria itu berdiri dan menendangnya ke tembok.

 

 

“T-tolong lepaskan aku.”

“Oh, apa aku tidak salah dengar? Orang sombong sepertimu meminta tolong?” Dae Sik terlihat puas sekali mengolok-olok Mingyu.

 

 

“Kalau ayahmu melihatmu dalam keadaan seperti ini, dia pasti akan langsung membunuhku,” katanya lagi, seraya menyeringai lebar.

 

 

“Kau pikir aku akan membiarkanmu keluar dari sini hidup-hidup? Sejak kapan aku sebaik itu? Kau harus membayar semuanya, Nak.

 

 

“Masalahnya, bagaimana caramu membayarnya? Kalau kau sungguh tidak tahu di mana harta itu, maka tak ada yang bisa kaulakukan.” Dae Sik mengeluarkan pistol dari sabuknya dan menekankan moncongnya di dahi Mingyu. “Kau bilang hidupmu bagai neraka, kan? Kalau begitu kenapa tidak ke neraka sungguhan saja?”

 

 

“A-aku akan mencari harta itu untukmu,” kata Mingyu, nyaris tak terdengar.

“Kalau kau sendiri tidak tahu kau punya harta, bagaimana mungkin kau bisa mencarinya huh?”

“Aku akan memikirkannya setelah kau melepaskanku.”

“Kau pikir aku bodoh?”

“Ya!” jawab Mingyu lantang. “Memangnya apa yang kau dapat dengan membunuhku?”

 

 

Dae Sik membisu sejenak untuk menentukan pilihan, hingga akhirnya ia tersenyum dan menarik pistolnya menjauh dari Mingyu.

 

 

“Dua minggu,” kata Dae Sik. “Jangan coba-coba berpikir untuk kabur. Kau tahu itu hanya memperburuk segalanya, kan?”

 

 

 

**********

 

 

 

Mingyu berjalan terseok-seok sampai ke jalan raya. Cuaca hari itu panasnya luar biasa. Sekujur tubuhnya digerogoti oleh rasa ngilu dan keringat yang membuat bajunya menempel di kulit. Mingyu yang tak sanggup lagi akhirnya mendudukkan diri di kursi halte dan menelepon Tony.

 

 

[Halo.]” Itu bukan suara Tony. Mingyu mengecek layar ponselnya dan baru sadar ia menelepon studio tato alih-alih ponsel Tony.

 

 

“Jemput aku,” kata Mingyu.

[Ini Mingyu, kan? Tumben minta dijemput. Memangnya kaki…]

“Tidak usah basa-basi, deh. Cepat ke sini!” potong Mingyu galak.

[Tidak bisa,]” balas Yuta cuek. [Aku tidak bisa meninggalkan studio. Cuma ada aku di sini. Tony lagi keluar. Lagian tumben kau manja. Apa-apaan coba minta dijemput! Padahal jalan kaki lima belas menit juga sampai.]

 

 

“Aku bukan di apartemen. Aku di halte Apgujong.”

[Huh? Sedang apa di sana?]

“Di laci ada kunci mobil sedannya Tony. Pakai saja!”

[Kau mau aku pakai mobil kesayangan Tony? Sinting! Dia saja yang punya jarang pakai. Nanti kalau aku dipecat bagaimana?]

 

 

“Kau lebih takut pada Tony dibanding denganku?”

 

 

Yuta mendorong rambutnya yang panjang nan lurus hasil rebonding itu ke belakang. Lantas melirik laci yang dimaksud Mingyu dan merasa sekujur tubuhnya merinding. Walaupun badannya penuh tato dan mukanya seram, tapi Yuta tak pernah mencuri apa pun seumur hidupnya.

 

 

[Kau izin dulu deh sama Tony. Kalau dia oke, aku langsung jalan.]

“Heh, dengar. Setengah jam lagi belum sampai, siap-siap kau hidup tanpa….”

[Iya iya, aku ambil! Kau itu tidak bosan ya mengancamku hal-hal sadis terus? Mau mengancamku hidup tanpa apa sekarang? Tanpa tangan? Kaki? Hidung?] Yuta membuka laci itu dan mengambil kunci mobil Tony sambil mengomel geram. Namun setelah kunci itu berpindah dari laci ke genggamannya, tangannya langsung gemetar.

 

 

[Sudah kuambil nih kuncinya. Sekarang apa?]

“Ke rumah Tony. Masuknya lewat pintu belakang, biasanya kunci rumah dia ada di bawah keset. Setelah itu kau pelan-pelan ke garasi lewat dapur, keluarkan saja mobilnya.”

 

 

[Wah. Bagaimana bisa kau sehapal itu?]

“Tidak usah banyak komentar, deh. Kutunggu!”

 

 

Selang dua puluh lima menit, Yuta pun datang. Mingyu masuk dan mendudukkan diri di kursi penumpang dengan susah payah.

 

 

“Kau itu habis apa lagi, sih? Kenapa tiap ketemu mukanya pasti berdarah-darah begitu?”

“Berisik.”

“Mau ke rumah sakit dulu atau langsung ke studio?”

“Aku mau ke Tongyeong.”

“Ha.. haha.. ha..,” Yuta berusaha tertawa. “Becanda, kan?”

“Kalau kita lewat Jalan Tol Gyeongbu, jam 7 malam mungkin sudah sampai.”

“K-kau serius?”

“Tch. Kelihatannya bagaimana? Jalankan saja mobilnya.”

“Jadi benar kita ke Tongyeong? Pakai mobil kesayangan Tony? Aduh!” Yuta meremas setirnya.

“Tony biar aku yang urus,” kata Mingyu. “Belok kanan, langsung masuk tol.”

“Mingyu, aduh! Masa ke Tongyeong? Itu adanya di ujung pulau, loh. Serius, dong! Mau apa? Kau kan anak emasnya Tony, lah aku? Mustahil kalau sampai tidak dipecat. Aduh. Terus uang tol sama bensin siapa yang bayar?”

 

 

“Pakai uangmu dulu, nanti kuganti.”

“Kau ganti? Ya ampun. Mana mungkin. Makan sehari-hari saja susah, gaya-gayaan mau ganti uang orang. Mau ganti pakai apa, daun?”

 

 

Mingyu langsung menoleh dengan tampang seram. Yuta yang semula sedang mendumel langsng meringis dan memalingkan muka.

 

 

 

**********

 

 

 

Perjalanan mereka berlangsung enam jam lamanya. Yuta sempat berhenti di Rest Area, sekadar untuk mengisi penuh tangki bensin dan membeli makanan, lantas segera meneruskan perjalanannya lagi.

 

 

Mingyu duduk rendah di kursi penumpang sambil mengompres matanya yang mulai bengkak, sementara Yuta mengemudi sambil menggerutu dan mendendangkan lagu di radio silih berganti. Perasaan anak itu terus berubah-ubah seperti cuaca Seoul di bulan Maret.

 

 

Sebelum memasuki Tol Gyeongbu, Mingyu dan Yuta mengirimkan pesan singkat berisi “kami pergi sebentar” pada Tony dan sepakat menonaktifkan ponsel masing-masing sampai tiba di Seoul lagi. Kalau tidak begitu, Tony sudah pasti akan menyusulnya. Mobil sedan yang mereka tumpangi sekarang adalah harta karun yang sangat berharga bagi Tony.

 

 

“Sebenarnya kau ada urusan apa sih di Tongyeong?” tanya Yuta, sementara papan-papan di kanan-kiri mereka sudah bertulis Daejeon.

 

 

“Nanti kalau sudah dekat kukasih tahu.”

 

 

 

**********

 

 

 

Sooyoung baru saja tiba dari swalayan sewaktu seorang pria mengetuk pintu utama apartemen Gonse. Sooyoung berhenti di belakang pria itu dan bertanya dengan ramah, “Mencari siapa?”

 

 

Sang pria menoleh.

 

 

“Apa benar Kim Mingyu tinggal di sini?”

 

 

Sooyoung yang semula tersenyum kini tertegun. Tangannya mencengkeram plastik belanjanya dengan tegang. Walaupun tidak memakai tanda pengenal apa pun, entah mengapa Sooyoung tetap berpikir pria di depannya ini adalah si Komisaris Polisi yang belakangan terus menghantui Sooyoung.

 

 

“Kim Mingyu? Tidak pernah dengar,” jawab Sooyoung semeyakinkan mungkin, sementara keringat dingin mulai terasa di telapak tangan dan kakinya.

 

 

“Dia memang anaknya agak tertutup, jadi wajar jika tetangganya sendiri tidak kenal.”

“Aku mengenal seluruh tetanggaku, kok,” Sooyoung menyambar. “Dan aku sangat yakin tidak ada yang namanya Kim Mingyu di sini.”

 

 

“Tapi saya sudah…”

“Di daerah sini kan banyak apartemen-apartemen kecil yang lain, bisa jadi siapa pun yang memberikan informasi pada Anda itu sudah keliru,” potong Sooyoung, disertai senyum ramah. Gadis itu lantas melanjutkan dengan nada maklum dibuat-buat, “Memang banyak apartemen yang namanya mirip-mirip di sini. Kesalahan kecil begini wajar terjadi.”

 

 

Pria berjaket hitam di depannya tak menjawab, malah memandangi Sooyoung dengan curiga.

 

 

“Kalau begitu saya masuk dulu. Semoga Anda segera menemukan kediaman orang yang Anda cari. Permisi.”

 

 

Belum sempat lawan bicaranya bereaksi, Sooyoung sudah berjalan melewatinya dan memasuki apartemen. Sooyoung tak sanggup berdiri lebih lama di situ, berlagak sok tenang dan tersenyum ramah, padahal jantungnya berdebar kencang dan berpotensi meledak. Ia bersandar di belakang pintu sambil mengontrol detak jantungnya, berharap si pria yang diduga kuat sebagai Komisaris Polisi Suho itu percaya akan ucapannya barusan dan lekas pergi.

 

 

 

**********

 

 

 

Setelah melewati pegunungan dan jalan yang berliku-liku, mereka pun tiba di tujuan. Langit sudah berwarna merah saat Yuta menepikan mobilnya di tikungan curam.

 

 

Mingyu keluar dari mobil dan menatap sekelilingnya dengan nanar. Puing-puing Datsun merah, pembatas jalan yang bengkok, tanah yang berantakan serta kerikil bebercak merah muda nampak jelas di sana. Semua pemandangan itu membuat hati Mingyu remuk redam. Padahal kecelakaan sang ayah sudah berlalu tiga bulan lamanya, namun saat melihat langsung lokasinya begini, Mingyu merasa seperti melihat kematian ayahnya di depan mata dan tak mampu mencegahnya. Perasaan bersalah menusuk hati Mingyu sampai tulang-tulangnya nyeri.

 

 

Mingyu berjalan melewati pagar pembatas itu dan berlutut persis di ujung tebing. Pandangannya turun ke bawah. Mingyu menyusuri rute Datsun ayahnya berguling sampai ke dasar bukit dan tercekat begitu menemukan lebih banyak puing. Mingyu tersedak napasnya sendiri dan dunianya seketika kabur. Matanya berkaca-kaca.

 

 

Saat itu, seolah mengetahui isi hati Mingyu, langit yang semula berwarna merah berangsur-angsur menghitam, kemudian gerimis turun selama beberapa detik sebelum akhirnya hujan mengambil alih.

 

 

Yuta yang sejak tadi hanya mengamati dari kaca mobil mulai meraba-raba jok belakang untuk mencari sesuatu. Melihat punggung Mingyu yang rapuh membuat perasaan Yuta tak nyaman. Yuta tak percaya dengan pikirannya sendiri, tapi ia sungguh lebih senang melihat Mingyu yang kejam dan menatapnya dengan seram daripada Mingyu yang seperti ini, yang berlutut di ujung tebing, di tengah-tengah derai hujan dan langit yang gelap.

 

 

Langit dan Mingyu sedang berlomba-lomba menjatuhkan air paling banyak. Langit bergemuruh kencang bak tengah menantang. Mingyu menempelkan mulutnya yang gemetar di lengan jaket dan menjerit di sana, supaya suaranya redam. Mingyu serba salah, di satu sisi ia tak ingin kalah dari riuhnya langit, tapi di sisi yang lain ia tak mau mempermalukan dirinya dengan menangis di hadapan alam semesta. Mingyu terus menangis dan menjerit di atas lengan jaket, menggigitnya dengan gigi yang bergemelatuk dan mulut yang gemetar. Mingyu tersedak-sedak dalam tangis.

 

 

Dibisikkannya permohonan maaf pada sang ayah di atas lengan jaket, dibisikkannya semua perkataan yang ia tahan-tahan pada dunia di atas lengan jaket. Karena entah mengapa, di situasi seperti ini, Mingyu merasa didengar.

 

 

Ayah.

 

Apa kabarmu di sana?

 

Kita tak pernah bertemu lagi sejak kau kabur dari penjara. Apa yang kau lakukan setahun belakangan?

 

Aku memikirkanmu 24 jam, tapi terlalu malu untuk mengakuinya.

 

Kau membuat hidupku susah saja, kataku di mulut, dan berjuang untuk meyakininya di hati. Tapi sejujurnya memiliki seseorang, seburuk apa pun dia, jauh lebih baik daripada tidak memiliki siapa pun.

 

Sendirian itu tidak enak.

 

 Aku tidak bisa berlagak kuat selamanya.

 

Ada kalanya aku luluh lantak, dan tak menemukan siapa pun untuk bersandar.

 

Aku lelah.

 

Hidup itu melelahkan.

 

Dan luar biasa kejam.

 

Kenapa tidak ada yang mengingatkanku demikian?

 

Yah, sepertinya dunia bukan tempat yang cocok bagiku. Kenapa kau pergi sendiri saja? Kenapa tidak mengajakku? Sebesar apa pun rasa benci kita, si brengsek ini masih anakmu, kan? Selalu anakmu.

 

Apa yang sedang kau lakukan di sana? Sudahkah kau bertemu Tuhan? Sudahkah kau bertanya pada-Nya kenapa hidup kita sulit sekali?

 

Sudahkah kau bertanya kenapa kau harus dipertemukan dengan Dae Sik?

 

Aku menemui teman lamamu itu tadi pagi dan dia membicarakan sesuatu yang tidak kumengerti.

 

Sesuatu tentang harta.

 

Apa ada hal yang tak sempat kau bicarakan denganku?

 

Tidak apa-apa. Aku tidak butuh harta, aku membutuhkanmu.

 

Sangat butuh.

 

Tapi sampai tangisanku berubah menjadi darah pun tidak akan mengubah apa pun, kan?

 

Sudah terlambat.

 

Terlambat.

 

 

Mingyu meletakkan kedua telapak tangannya di tanah dan menunduk dalam, kemudian hujan tidak lagi mengguyur kepalanya.

 

 

Mingyu mendongak dan menemukan kanvas plastik yang melengkung—payung. Ia lantas menoleh ke sebelah dan mendapati Yuta yang menolak menatapnya. Yuta berjongkok di sebelahnya sambil memegangi payung dan menatap lurus ke depan dengan tampang datar.

 

 

Selama beberapa saat, mereka hanya memandangi dasar bukit dalam hening. Hingga tiba-tiba saja lampu-lampu di seberang bukit tersebut menyala.

 

 

“Wah.” Yuta terkejut. “Ternyata ada desa di bawah sana, ya.”

 

 

Di kepalanya, Mingyu mengukur jarak desa tersebut dengan lokasi kecelakaan. Tidak terlalu jauh. Mingyu membayangkan orang-orang desa berlarian untuk menyelamatkan ayahnya. Mingyu membayangkan mereka berkerubung mengelilingi Datsun merah yang terbalik dan mengeluarkan asap. Sirine polisi yang berisik berkumandang di kepala Mingyu, polisi-polisi datang dan menyuruh para warga desa untuk mundur. Mereka berusaha menyelamatkan ayahnya, namun terlambat. Nyawa ayahnya tak terselamatkan. Dan semua yang berkerubung itu pun tercekat dan mengasihani nasib pria asing di sana.

 

 

Mingyu tak tahu kenapa ia membayangkan itu.

 

 

Mingyu tak mampu mengontrol kepalanya untuk tidak memikirkan itu.

 

 

Mingyu selalu menolak untuk datang ke sini dengan alasan ia tak peduli. Padahal jauh di lubuk hatinya, Mingyu menolak datang ke sini karena terlampau peduli.

 

 

Jika waktu itu Mingyu datang tepat waktu dan melihat tubuh ayahnya dievakuasi, Mingyu mungkin akan bergelung di tanah dan tak mau lagi kembali.

 

 

“Pulang sekarang, ya,” ajak Yuta.

 

 

Mingyu bergeming.

 

 

Yuta menghela napas dan ikut bergeming.

 

 

Hingga akhirnya, Mingyu pun mengusap wajahnya dan menepuk bahu Yuta. “Ayo!” katanya seraya berdiri.

 

 

Selama perjalanan pulang, Mingyu menyandarkan kepalanya di jendela sambil terus menatap ke luar. Sementara di sampingnya, Yuta melirik Mingyu sambil membuka-tutup mulutnya seperti ikan Koi. Sebenarnya, banyak sekali yang Yuta ingin tanyakan; apa kau kedinginan? Badanmu basah kuyup. Apa kau baik-baik saja? Mukamu sepucat tembok. Apa perasaanmu lebih lega?

 

 

Banyak sekali yang ingin Yuta tanyakan, tapi ia terlampau mengenal Mingyu. Semua pertanyaan itu, jika diutarakan pun hanya akan masuk ke telinganya saja. Begitulah teori stimulus-respond ala Mingyu. Mendapat stimulus, merespons seperti batu.

 

 

 

**********

 

 

 

Sooyoung terus mondar-mandir di depan apartemen Mingyu. Tangannya beberapa kali mengulur untuk membuka pintu—karena ia tahu apartemen Mingyu tak pernah dikunci. Sooyoung benar-benar ingin mengecek apa Mingyu ada di dalam—yang sebenarnya tanpa dicek pun sudah ia ketahui jawabannya. Ya, Mingyu memang belum pulang, Sooyoung tidak melihat pria itu sama sekali semenjak tadi pagi.

 

 

Semakin larut, Sooyoung semakin khawatir. Mingyu terlihat amat terluka saat pergi meninggalkannya. Sooyoung sungguh tak enak hati, bagaimanapun dialah yang memaksa Mingyu untuk pergi ke lantai empat untuk mencuci. Dialah yang bersalah.

 

 

Masih dengan perasaan gelisah yang menggelantung di dada, Sooyoung masuk kembali ke dalam apartemennya. Keranjang kecil berisi baju-baju Mingyu yang sudah disetrika rapi tergeletak di atas mejanya. Ia bisa saja meletakkan keranjang itu langsung di apartemen Mingyu, namun Sooyoung berpikir akan lebih baik jika ia memberikannya langsung pada sang pemilik. Sooyoung harus bisa memanfaatkan hal seremeh apa pun—baju-baju itu, misalnya—sebagai alasan untuk bertemu dan melihat keadaannya secara langsung, sekaligus minta maaf.

 

 

Dan mungkin, jika ada kesempatan, menjalankan misinya.

 

 

 

**********

 

 

 

Lelah. Rasanya seperti semesta sedang bergelantung di bahunya.

 

 

Yuta menghentikan mobil curian dari garasi Tony itu di suatu jalan kosong di belakang apartemen Gonse. Yuta tak tahu di mana persisnya tempat tinggal Mingyu, dan Mingyu sendiri pun tak berkenan memberitahunya. Selama ini, hanya Tony lah yang tahu di mana Mingyu tinggal. Dan begitulah hal terbaik yang bisa ia lakukan untuk menyembunyikan diri dari para musuh ayahnya—musuhnya. Semakin sedikit yang tahu, semakin kecil risikoya.

 

 

Mingyu menaiki satu per satu anak tangga dengan kepala tertunduk. Tubuhnya lemas bukan main hingga langkahnya nampak goyah. Rambutnya lembap dan kotor karena tanah. Dan bila seseorang berani menyingkap rambutnya sedikit saja, ia akan menemukan sepasang bola mata yang merah dan sarat kepedihan. Mingyu tak pernah terlihat sebegitu sedihnya sampai-sampai keputusasaan bergejolak dan beriak di bola matanya.

 

 

 

**********

 

 

 

Sudah pukul tiga pagi, Sooyoung berhenti keluar masuk apartemen untuk mengecek apa Mingyu sudah pulang, ia berhenti memandangi pintu di depannya, berhenti menerka-nerka ke mana perginya Mingyu seharian ini dan berhenti membayangkan apa pria itu masih terluka—hatinya, fisiknya.

 

 

Jangan terluka, bisiknya, berkali-kali pada udara, seolah ia tak punya rencana jangka panjang untuk menghancurkan pria itu.

 

 

Sooyoung menghabiskan empat bungkus es krim sekaligus dan ketiduran di sofa apartemennya sambil memeluk keranjang baju Mingyu.

 

 

Saat itu, dengan tempo lambat dan gaya yang lemah, pintunya diketuk. Sooyoung menggeliat, matanya yang baru terbuka langsung memicing ke arah pintu. Beberapa detik kemudian, kesadarannya mengambil alih. Cepat-cepat ia letakkan keranjang baju di pelukannya ke atas meja, kemudian dihampirinya pintu yang sudah tak diketuk itu dengan langkah terburu-buru nan gopoh.

 

 

Begitu pintunya terbuka, tanpa bicara Mingyu menjatuhkan kepalanya di bahu Sooyoung. Sooyoung terkejut. Tubuhnya sedikit terentak ke belakang. Kulit kening Mingyu yang mengenai kulitnya terasa menyakitkan, rasanya seperti ditempeli es batu. Namun seperih apa pun itu, Sooyoung tak tega untuk menghindar.

 

 

“M..mingyu-ssi.”

“Aku lelah.”

 

 

Sooyoung mematung. Nada suara Mingyu bukan terdengar seperti orang yang lelah. Nada suara Mingyu membuat jantung Sooyoung merosot ke perut. Samar-samar ia mendengar helaan napas depresi dari Mingyu.

 

 

“Sooyoung~a,” katanya. “Aku benar-benar lelah.”

 

 

Tubuh Mingyu terasa melayang-layang saat Sooyoung memapahnya masuk. Badannya yang superlemas dijatuhkan di sofa dan kakinya terlempar begitu saja di atas meja. Entah itu perbuatannya sendiri atau Sooyoung lah yang mengangkat kakinya ke situ. Mingyu terlalu pening untuk membedakan yang mana yang merupakan gerak motoriknya dan yang mana yang bukan. Badannya menggigil hebat dan kepalanya berputar-putar mengerikan.

 

 

“Dari mana saja kau seharian ini?” Mingyu sudah memejamkan mata saat suara khawatir Sooyoung terdengar, nyaring seperti dentingan gelas dan memantul-mantul di dalam kepalanya yang berputar. “Badanmu panas sekali.” Walaupun sedari tadi Sooyoung sudah menggenggami tangan Mingyu, gadis itu tetap merasa perlu untuk mengukur suhu di keningnya. “Astaga! Sebentar. Jangan tidur dulu. Sepertinya aku punya paracetamol.”

 

 

Itu adalah kalimat terakhir yang Mingyu dengar sebelum kesadarannya menghilang. Ia tak ingat apa ia sempat meminum paracetamol itu sebelum tidur. Ia bahkan tak tahu apa Sooyoung menemukan paracetamol di kotak obatnya.

 

 

Saat Mingyu terbangun keesokan harinya, ia terkejut mendapati kaus dan jaketnya sudah terlepas dari tubuhnya. Sebagai gantinya, di atas badannya bertumpuk tiga buah sweter tebal dan dua selimut wol yang semuanya berbau seperti permen karet, selimut wol yang terakhir melilit badannya—beserta sweter-sweter itu—seperti kepompong.

 

 

Mingyu berdiri, melepaskan diri dari kain-kain yang bertumpuk itu dengan susah payah. Ia melemparkan pandangannya ke samping dan terkejut melihat Sooyoung tengah terlelap di sofa di sebelahnya. Kenapa dia ikut-ikutan tidur di luar?

 

 

Mingyu menoleh ke sana kemari sambil menutupi badannya dengan selimut sebelum akhirnya ia menemukan kaus dan jaketnya tengah digantung di teralis jendela. Bajunya itu sudah kering sempurna namun tetap saja terasa membekukan akibat tiupan angin dingin. Tubuh Mingyu bergidik saat ia melengoskan kepalanya di leher kaus.

 

 

Saat hendak berjalan ke luar apartemen, Mingyu tak sengaja melihat keranjang sampah dan termenung menatap isinya. Es krim pemberiannya ternyata tidak dibuang. Sudut bibir Mingyu kontan tertarik membentuk senyum tipis. Namun saat itu matanya menangkap hal lain di antara bungkus-bungkus es. Sebuah kartu nama.

 

 

 

TBC

 

 

Comments

Popular Posts