Dear You


 Genre: Fiction


Banyak hal yang ingin kuceritakan, tapi setiap kata yang hendak terucap kembali tenggelam. Mereka bersembunyi di tempat paling sudut, di tempat paling gelap. Aku berjanji kali ini tidak akan menangis lagi. Itu yang kukatakan padanya supaya dia mau memberitahu kabar yang dibawanya.


“Yakin?” tanyanya dengan nada yakin. Mungkin di suatu tempat di kepalanya, dia masih mengingat kenangan betapa rapuh diriku. Pasti dia masih ingat bagaimana semangat hidupku hancur, air mataku meluncur tahun lalu setelah mendengar ceritanya.

 

Kali ini aku berusaha untuk lebih tegar. Apa sulitnya sih? Aku juga pernah menerima cemoohan yang lebih parah sebelumnya.

 

“Jadi bibi bilang padaku supaya lebih giat mencari pengalaman kerja dan jangan cuma fokus belajar.” Dia berhenti, menatapku dengan penuh penilaian.

 

Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan tersebut, perasaan buruk mulai berkumpul di dalam dadaku. Aku tahu kepercayaan diriku pasti akan hancur sebentar lagi, air mata juga akan merebak membasahi mukaku. Namun aku menahannya, ingin membuktikan padanya kalau aku sudah lebih kuat sekarang.

 

“Katanya supaya aku tidak jadi seperti Minhyun dan dirimu yang hidupnya lurus-lurus saja, enggak mau mencari pengalaman kerja. Dan masih menganggur.” Dia berhenti lagi, tapi aku pura-purah acuh tak acuh saat menatapnya. Aku kembali menekuri layar ponsel, seolah tidak terganggu.

 

“Yah, dia bilang kekuranganmu itu terlalu fokus belajar dan nilai di kampus. Dengan nada sok mengguruinya dia bilang di dunia kerja nanti bukan cuma dilihat nilai IPK-nya saja, tapi pengalaman kerja. Lalu dia mulai membanggakan dirinya sendiri dengan menyebutkan semua pekerjaan sambilannya semasa dia kuliah dulu,” lanjutnya dengan geli.

 

Aku mendesah, dadaku mulai sesak dan mataku panas. Aku positif akan menangis lagi, persis seperti yang terakhir kali tapi aku menahan sekuat tenaga. Please, aku enggak mau menangis sekarang tepat di depan adikku.

 

Kalau bibiku menganggapku sarjana pengangguran yang enggak berguna setidaknya aku harus berlagak tidak peduli dengan omongannya. Aku mau menunjukkan padanya sikap ‘Persetan dengan anggapanmu! Ini hidupku! Aku akan memulai kesuksesanku sendiri!’

 

Walaupun aku enggak punya nyali untuk bertingkah sekasar itu padanya. Tapi setidaknya aku akan menunjukkan tampang tegar di depan adikku.

 

Well, aku punya pengalaman kerja,” kataku agak defensif. Setelah kuingat-ingat, aku memang punya pengalaman kerja. Beberapa malah, walau enggak sementereng pekerjaan sambilan bibiku waktu kuliah, tapi aku punya.

 

“Iya aku tahu. Menurut dia kan hanya dirinya yang paling hebat.” Dia meletakkan tangannya di atas lututku, menunjukkan dukungan yang malah membuatku merasa semakin menyedihkan.

“Kau yang sabar ya,” ucapnya dengan tulus.

Aku hanya mengangguk, masih berusaha terlihat tegar. Bahkan Ketika aku sudah sendirian, aku masih berusaha tidak menangis. Aku berusaha untuk tidak terpengaruh. Namun, sialan! Aku tidak bisa. Emosi buruk itu menggerogotiku dengan cepat. Kepercayaan diriku langsung lenyap. Penyesalan, perasaan benci pada bibiku, sedih, merasa tidak berguna, dan marah. Ada satu lagi. Kebencian yang begitu besar pada diriku sendiri.

 

Aku menyelinap ke dalam kamar yang gelap, duduk di lantai dingin sambil menengadah menatap langit-langit kamar yang mulai kusam. Bendungan air mata akhirnya pecah dalam diam. Rasa sesak di dada menyebar ke semua tubuh hingga aku merasa ngilu.

 

Kupikir aku tidak akan terpengaruh lagi. Kupikir aku sudah lebih kuat. Kupikir aku tidak akan langsung hancur saat tahu orang-orang yang kuanggap keluarga ternyata masih meremehkanku. Kupikir setelah sempat bekerja selama beberapa waktu membuat bibiku tidak tertarik lagi mengomentari hidupku yang lurus-lurus saja, tapi ternyata tidak. Menurutnya aku masih anak enggak berguna yang malas. Mungkin jika aku punya banyak pengalaman bekerja lebih banyak pun dia masih menganggapku begitu. Aku tidak akan pernah cukup bagus untuknya, meskipun dia enggak akan mengatakan itu langsung kepadaku.

 

Baiklah, aku akan mengakui kehebatannya. Aku segera merobek selembar kertas dan menulis kalimat hebat untuk menyanjung bibiku tersayang yang sudah berhasil menghancurkan kepercayaan diriku yang rapuh.

 

Dear, bibiku tersayang. Terimakasih atas perhatianmu selama ini. Aku masih belum mendapat pekerjaan baru. Ya, aku persis seperti yang kau pikirkan. Anak pemalas yang tidak berguna. Bersama surat ini aku ingin mengucapkan terimakasih. Berkat ucapanmu aku jadi terdorong untuk melakukan sesuatu supaya hidupku tidak lurus-lurus saja. Terimakasih sudah memberiku keberanian.

 

Dan selamat tinggal.

 

-Keponakanmu yang tidak berguna

P.S: Siapapun yang menemukan surat ini tolong berikan pada bibi. Tanya adikku, dia tahu bibi mana yang kumaksud.

 

Aku tidak berpikir lagi tentang keputusanku, karena kurasa kegagalanku selama ini dikarenakan aku terlalu banyak berpikir. Maka dari itu aku akan membuat perubahan sekarang ini, aku melakukan apa yang selama ini selalu ingin kulakukan tapi terlalu takut untuk kuwujudkan.

 

Adios…

 

 

 

 


Comments

Popular Posts