#26 Chemistry - Produce 45

 



Main Cast : Hwang Minhyun, Amy (OC), Nam Chaerin (OC)

Genre : Romance

Length : Drabble (874 words)

Author : Salsa

 

 

 

**********

 

 

 

Oke, mungkin seharusnya aku menceritakan pria ini dulu sebelum menceritakan Yuta.

 

 

Masih tentang Amy. Demi Tuhan temanku yang satu ini merupakan definisi mutlak dari keberuntungan sempurna. Bagaimana tidak? Dia mengencani semua tipe cowok yang kusuka.

 

 

Kali ini objek ceritaku bernama Hwang Minhyun, mantan terindah Amy. Mereka sudah bersama sejak SMA sebelum akhirnya memutuskan untuk putus baik-baik di awal semester 2. Kami sudah saling tak ada rasa, cerita Amy padaku, seolah itu masuk akal.

 

 

Sebelum mereka putus, aku pernah sekali bertemu Minhyun. Tepat di hari pertama aku dan Amy masuk kuliah. Langitnya suram dan udaranya terlalu dingin. Gerimis mulai turun persis saat kelas dibubarkan. Aku dan Amy memilih untuk berteduh dulu ketimbang berlari menerobos hujan. Kami memasuki sebuah kafe dan berharap bisa segera menggenggam sebuah mug berisi cokelat panas untuk menghangatkan tangan.

 

 

Tetapi begitu melangkah masuk, kami sadar semua orang memikirkan hal yang sama. Ada antrean panjang di belakang kasir. Aku dan Amy menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk tetap membeli. Kami berdiri di ujung barisan dan menunggu seperti yang lain, sesekali saling bertukar tatapan dan mengeluhkan hal yang sama berulang-ulang.

 

 

Saat akhirnya tiba waktu kami memesan, Amy menepuk pundakku dan menyodorkan uang, “Chaerin~a, tolong pesankan hot chocolate-nya satu lagi.” Dia tersenyum cerah dan menunjuk-nunjuk seorang laki-laki yang balik melambai padanya dari balik kaca.

 

 

“Pria di sana itu pacarku,” kata Amy. Aku mengawasi pria jangkung itu masuk ke dalam kafe dan duduk di satu-satunya meja kosong di sudut. Sambil menghela napas, aku kembali memandang si kasir dan menambah pesananku dengan nada khawatir. Aku khawatir akan nasibku setelah ini. Akan secanggung apa suasananya nanti? Aku baru kenal dengan Amy kurang dari dua jam. Kami sama sekali belum kenal dekat dan sekarang pacarnya malah datang. Ya ampun, kenapa sih tiba-tiba pacarnya datang? 

 

 

Sesuai perkiraanku, 30 menit menunggu hujan reda sore itu terasa bagaikan sebulan penuh. Aku terus memaksakan senyum dan bergonta-ganti posisi duduk dengan kikuk. Walau Amy berusaha keras melibatkanku dalam hampir seluruh percakapannya, namun mereka yang duduk berdampingan kerap kali asik sendiri sampai khilaf melupakan kehadiranku.

 

 

Itu adalah kali pertama dan terakhir aku bertemu Mihyun semasa masih kuliah dulu. Dia dan Amy putus 4 bulan kemudian, lantas datanglah Yuta. Amy yang saat itu superkasmaran pada cowok barunya tersebut nampak mampu melupakan Minhyun tanpa masalah. 

 

 

Setelah putusnya mereka, aku tak pernah mendengar kabar alih-alih melihat Minhyun lagi. Hingga akhirnya hari ini pun tiba. Mataku tertuju pada sosok itu lagi setelah 7 tahun tak bertemu. Minhyun terlihat jauh lebih tinggi dan tampan dari yang pernah kuingat. Dia tersenyum saat menyadari tatapanku, kemudian tanpa tedeng aling-aling langsung berjalan mendekat. Aku bisa merasakan hawa panas menyebar di pipi.

 

 

Segera setelah kami berhadap-hadapan, pria itu langsung dengan fasihnya menyebut namaku, “Nam Chaerin, ya? Temannya Amy? Mungkin kau tak mengenaliku, tapi kita pernah bertemu. Dulu. Dulu sekali. Di kafe kampusmu.”

 

 

“Ahhhh,” ujarku dibuat-buat. “Rasanya aku ingat. Pantas saja tidak asing.”

“Padahal cuma sekali ketemu, ya. Hebat juga kita bisa saling ingat begini. Kau ke sini dengan siapa?”

 

 

Aku mengetuk-ngetukkan jari pada minumanku. Entah mengapa merasa amat bersemangat, sekaligus gugup, dengan perbincangan basa-basi ini. “Sendiri. Kau?”

 

 

“Aku juga sendiri," katanya. "Ke sini pasti mau berteduh, kan?”

“Iya.”

“Kalau begitu,” bibirnya melengkung hangat, “bareng yuk.”

 

 

Ajakannya itu membuatku hampir terkena serangan jantung. Aku balas tersenyum padanya dan mengangguk malu.

 

 

Hanya butuh sepuluh menit bagiku untuk menyimpulkan bahwa Minhyun itu manusia sempurna. Dia baik, lucu dan pintar. Meski 7 tahun lalu kami tak banyak bicara (dan sejujurnya dengan interaksi seminim itu menurutku kami tak benar-benar bisa dibilang saling kenal), dia tetap berhasil membuatku merasa seperti teman lamanya. Suaranya enak didengar dan dia memiliki pikiran yang dalam tentang segala hal. Akibatnya, obrolan siang bolong kami melahirkan percakapan eksistensial tentang alam semesta dan masa depan, jenis obrolan yang biasanya baru muncul selewat tengah malam.

 

 

Minhyun adalah tipe orang yang ingin kau ajak bicara setiap saat. Aku selalu mendamba-dambakan obrolan semacam ini dengan seseorang, dan tak kusangka aku mendapatkannya dari Hwang Minhyun, mantan Amy yang tak sengaja kutemui lagi setelah 7 tahun. Begitu hujan reda, sebelum berpamitan kami bertukar id LINE dan tak sampai 4 jam setelahnya aku sudah menghubunginya lagi.

 

 

Kami mengobrol, mengobrol dan mengobrol sampai lupa waktu. Siang dan malam dihabiskan untuk bertukar tawa dan pemikiran. Aku hampir merasa hubungan ini akan berlanjut.

 

 

Yeah… hampir.

 

 

Sebab tahu-tahu saja segalanya kandas sebelum kami memulai apa-apa.

 

 

Rupanya semua euforia ‘Hwang Minhyun’ ini tak berlangsung lama. Kami begitu saja berhenti saling kirim pesan setelah 3 hari. Rasanya seperti menjilat ludah sendiri. Jawaban Amy saat kutanya mengapa ia putus dengan Minhyun waktu itu—karena sudah tak ada rasa—ternyata merupakan sesuatu yang masuk akal. Kau membutuhkan ‘rasa’ untuk mempertahankan segalanya.

 

 

Intinya, kami menjadi dekat secepat kilat dan menjauh dengan kecepatan yang sama. Tahu-tahu saja aku bangun di pagi hari dan memutuskan untuk tidak membalas pesan-pesannya lagi. Dan dia pun tak berusaha lebih. Mungkin dengan alasan yang sama denganku. Dan yah… selesai. Tak ada yang bisa kuceritakan soal Minhyun lagi. Pria itu luar biasa dan kuharap dia mendapatkan seseorang yang sama luar biasanya dengannya. Yang tetap bisa diajak bicara sampai mulutnya berbusa walaupun sudah lewat tiga hari. Yang benar-benar menyukainya bukan hanya karena dia tinggi dan tampan dan berwawasan luas. Yang bersedia memberikan usaha lebih untuk mengenal satu sama lain dan tidak berhenti di tengah begitu saja. Intinya, yang sama-sama memiliki rasa.

 

 

 

END

 

 

 

Comments

Popular Posts