Broken Sinner: Honesty (Part 10)


Drama, Family, Hurt

(AU - Alternate Universe)


.

.

.

.

.


Sejujurnya Jimin ingin sekali memeluk Chaerin. Mendekap dengan erat dan tidak ingin melepaskannya. Ia ingin menyalurkan rasa rindunya yang teramat besar itu. Namun keterdiaman Chaerin membuat keiinginan itu harus kembali dirinya kubur. Ia tidak mau membuat Chaerin semakin marah karena keegoisannya.

 

 

“Bagaimana keadaanmu, Chae? Apa masih ada yang sakit?” Hanya itu yang berhasil diucapkan Jimin setelah sebelumnya hanya diam dan membiarkan waktu bergerak sia-sia.

 

 

Ia merasakan kesulitan dalam mengumpulkan keberanian untuk membuka pembicaraan. Perasaan takutnya begitu besar. Takut jika Chaerin langsung menyuruhnya pergi tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Takut jika kesempatan ini tidak dapat dirinya manfaatkan dengan maksimal. Tapi saat dua kalimat pertanyaan itu berhasil terlontar dari bibirnya, keberaniannya seakan bertambah. Ketakutan diusir oleh Chaerin ternyata tidak terbukti. Walau tampaknya ia harus mengubur dalam-dalam harapan untuk mendengar suara gadis itu karena Chaerin masih setia menutup bibirnya rapat-rapat.

 

 

Jimin menarik napas. Mengatur debaran jantungnya yang mulai menggila dan terasa sakit secara bersamaan. Membawa pandangannya menunduk kala Chaerin tetap bersikeras dalam keterdiamannya dan tidak ingin menatapnya.

 

 

Inikah balasan yang Tuhan berikan padanya karena telah mengingkari janji yang telah dirinya buat? Inikah hukuman atas kelancangannya menyakiti hati gadis itu? Inikah akhir dari hatinya sendiri yang ikut merasakan sakit karena kebodohan yang ia lakukan?

 

 

Tidak!

 

 

Jimin tidak ingin hatinya berakhir sakit. Ia ingin kembali menumbuhkan bunga-bunga di hatinya serta menghadirkan kembali kupu-kupu dalam pertunya. Dan semua itu bisa ia wujudkan bersama dengan Chaerin. Karena hanya Chaerin yang mampu menghadirkan semua itu dalam dirinya.

 

 

Setelah menarik napasnya dalam-dalam dan mengembusnya pelan, Jimin kembali mengangkat kepalanya. Membawa pandangannya pada Chaerin yang masih membuang wajah tidak ingin menatapnya. Dalam hati, ia menyemangati diri sendiri agar keberanian yang dimiliki dapat bertambah. Karena saat ini yang dirinya butuhkan adalah keberanian. Keberanian untuk menghadapi penolakan dari Chaerin.

 

 

Setelah menyakinkan dirinya sepenuh hati, tangan yang berada di atas pangkuan itu digerakkan hingga meraih tangan Chaerin yang menaut di atas kaki berbalut selimut itu. Menggenggamnya erat bersama dengan vokal yang terucap.

 

 

“Maafkan aku.. aku tahu aku salah. Sangat salah karena telah mengingkari janjiku. Aku yang berjanji untuk selalu berada di samping mu malah bertindak sebaliknya. Maafkan aku, sungguh aku sangat menyesal.”

 

 

Chaerin tidak diam saja, ia berusaha untuk melepaskan tangannya dengan menyentak tangan Jimin. Membuat laki-laki Park itu terkejut walau telah memperkirakan jika hal tersebut akan terjadi. Kepala yang sejak tadi menoleh ke sisi lain kini ia tolehkan hingga obsidiannya bersirobok dengan onyx Jimin.

 

 

“Untuk apa?” Ujarnya dingin walau obsidian coklat itu menghunus penuh kebencian pada Jimin.

 

 

“Lebih baik kau pergi, aku tidak ingin melihat mu Park!”

 

 

Jimin menggeleng. Ia kembali meraih tangan mungil yang masih ditempeli selang infus itu. Menggenggamnya erat karena tidak ingin Chaerin kembali melepaskannya.

 

 

“Aku akan pergi setelah kamu mendengarkan penjelasanku.”

 

 

“Aku tidak butuh penjelasan apa pun dari mu. Lebih baik sekarang kau pergi atau aku akan berteriak!” Ancam Chaerin.

 

 

Gelengan kepala yang Jimin tunjukkan membuat Chaerin menjadi sangat murka. Tubuhnya masih lemas karena baru saja sadar dari tidur panjangnya. Tapi dengan seenaknya Jimin malah datang dan menguras seluruh tenaganya dengan penjelasan bodoh yang ingin ia jelaskan. Maka dengan mengumpulkan seluruh amarah yang terpendam di dalam dirinya, Chaerin melantangkan suaranya.

 

 

“Aku mencintai mu Lim Chaerin.”

 

 

Chaerin bungkam seketika. Teriakan yang telah berada dipangkal tenggorokannya langsung menghilang kala mendengar suara Jimin. Keningnya mengerut menatap laki-laki itu. Membisu seketika karena tidak mengerti dengan apa yang kini dihadapinya.

 

 

“Aku benar-benar mencintai mu, Chae. Aku bersumpah demi Ibuku kalau aku tidak pernah menyukai wanita lain selain kamu!” Jimin kembali berucap lirih. Matanya bahkan telah menjatuhkan setetes air mata. Membuat onyx itu sedikit meredup.

 

 

Pengakuan Jimin membuat Chaerin tertawa.

 

 

Bullshit!” Makinya. Pandangan Chaerin telah kembali menajam. Menyorotkan kebencian yang teramat besar kepada Jimin.

 

 

“Jika kau mencintai ku, kau tidak akan meninggalkan ku Park! Berhenti mengatakan kebohongan karena aku tidak akan pernah mempercayai mu lagi. Aku sangat membenci mu.” Teriaknya histeris.  Suara gemertak giginya terdengar yang semakin menunjukkan kalau Chaerin tengah diselimuti amarah yang begitu besar.

 

 

Mendengar kemarahan Chaerin tidak membuat Jimin gentar. Ia lantas meninggalkan kursi yang sedari tadi didudukinya. Berdiri tegap di samping bangkar hingga Chaerin harus sedikit menengadah. Melepaskan genggamannya untuk memegang erat pundak sempit Chaerin.

 

 

“Aku tidak berbohong Chae! Semua yang aku katakan mengenai perasaanku pada mu benar.” Jimin menjeda sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada menyesal. “Jika kamu menganggap kedekatanku dengan Chani karena aku menyukainya, kamu salah. Aku tidak pernah menaruh perasaan lebih selain perasaan untuk teman. Aku selalu menemaninya karena kesehatannya dan aku tidak tega. Chaerin kumohon percayalah padaku. Aku tidak pernah berniat menyakiti mu.”

 

 

Dalam kungkungan tangan kekar Jimin, Chaerin masih berusaha memberontak. Ia tidak bisa terus berada dalam jarak sedekat ini dengan Jimin. Hatinya semakin terasa sakit saat kembali merasakan kehangatan tubuh laki-laki itu terlebih aroma feromonnya yang dahulu selalu membuat ia merasa nyaman.

 

 

“Tidak! Kau pembohong Jim! Aku tidak percaya pada mu.”

 

 

Ia menggelengkan kepalanya bar-bar. Pikirannya mulai kacau terlebih saat melihat onyx itu menatapnya dengan penuh keyakinan. Tidak ada kebohongan yang ia dapati dari mata yang masih terus menatapnya dalam.

 

 

Perlahan tanpa Chaerin sadari, air matanya mengalir bebas. Padahal jelas-jelas ia telah memerintahkan otaknya untuk tidak memberikan afeksi apa pun atas perkataan Jimin. Namun kerja hatinya berkhianat hingga berhasil melahirkan satu lelehan air mata yang disusul dengan lelehan lainnya hingga membuat genangan di pipi.

 

 

“Kau bohong. Tidak, aku tidak percaya pada mu! Berhenti berkata kebohongan. Aku lelah. Aku tidak ingin mendengarnya. Aku- Aku..”

 

 

Chaerin kehilangan kendali dirinya. Kemarahan, kesedihan, dan rasa kecewa yang teramat besar tidak dapat lagi disembunyikan. Semua terungkap bersamaan dengan tubuhnya yang luluh dalam dekapan Jimin. Menempelkan kepalanya di dada laki-laki Park itu. Membasahi kemeja yang Jimin kenakan dengan air mata, serta meraung dalam tangisnya.

 

 

Malam itu, Chaerin akhirnya menunjukkan sisi dirinya yang sebenarnya. Sisi yang membuat Jimin selalu ingin melindunginya serta sisi yang membuat Jimin menaruh hatinya. Chaerinnya akhirnya kembali.

 

 

Jimin tidak bisa menyembunyikan rasa harunya walau terbesit perasaan sesak karena membuat Chaerin menangis. Membuat mata gadis itu mengalirkan air mata yang seharusnya tidak akan pernah mengalir lagi jika mengikuti janjinya.

 

 

Ia mengeratkan pelukannya. Mengusap penuh sayang punggung dan kepala Chaerin bergantian. Bibirnya pun tidak henti mengucapkan kata maaf. Karena ia sadar, Chaerin masih belum menerima permintaan maafnya. Masih ada kemungkinan jika Chaerin menolaknya.

 

 

Di dekat sofa, Taehyung berdiri memperhatikan Chaerin dan Jimin. Dalam diamnya, Taehyung merasakan kelegaan karena setidaknya ia bisa membuat Chaerin mengetahui apa yang tidak sahabat kecilnya itu ketahui selama ini. Membuat dirinya sedikit berharap jika Chaerin, sahabat kecilnya dapat kembali. Namun tiba-tiba pikirannya kembali mengingatkan ia pada pembicaraan dengan Tuan Lim. Ia sadar jika Chaerin memaafkan Jimin dan mereka akan kembali seperti dulu, maka hal itu bukanlah akhir dari permasalahan ini. Ada hal lain yang menanti mereka dan mungkin akan menghancurkan Chaerin lebih parah dari saat ini walau mungkin juga tidak.

 

 

 

*  *  *  *

 

 

 

Kondisi Chaerin berangsur membaik. Proses pemulihan yang dilaluinya berjalan dengan lancar. Ia mengikuti serangkaian tes untuk memastikan jika tubuhnya tidak bermasalah. Mengonsumsi obat yang disiapkan pihak rumah sakit dan tidak lupa makanan dan minuman untuk meningkatkan stamina tubuhnya. Lebih banyak mengistirahatkan tubuhnya dibandingkan melakukan aktivitas yang membuat dirinya sendiri lelah. Serta tidak memenuhi pikirannya dengan hal-hal yang membuat dirinya stres.

 

 

Chaerin melakukan semuanya seperti yang dokter sarankan. Alasannya hanya satu, karena ia ingin segera meninggalkan bangkar rumah sakit. Rasanya bosan sekali menghabiskan waktu di dalam kamar bercat putih tanpa melakukan apa pun. Ia ingin segera menghirup udara luar, kembali berada di sekolah, dan tidak lupa melukis –hal yang selalu bisa membuat dirinya melupakan kepelikan hidup yang dijalani.

 

 

Hari-hari yang ia lalui di dalam ruang perawatannya berjalan biasa saja mungkin cenderung monoton. Setiap harinya yang Chaerin lakukan adalah bangun di pagi hari, menunggu kunjungan dokter, sarapan, menonton televisi, istirahat sejenak, makan siang, istirahat lagi, makan malam, kunjungan dokter lagi, dan tidur. Kendati demikian, dirinya masih bersyukur karena setidaknya Bora dan Yoori setiap pulang sekolah selalu datang walau hanya sebentar, Taehyung yang tidak pernah absen menunggui dirinya bahkan ia rela untuk mengerjakan tugas kuliahnya sembari menjaga Chaerin, dan Jimin yang setiap hari juga datang walaupun kebisuan masih mengikat keduanya. Sedangkan keluarganya sendiri, Chaerin tidak berharap lebih dan tidak ingin membuat harapan apa pun.

 

 

Di lain sisi, Jimin yang selalu datang bahkan beberapa kali ia sempat menemani Taehyung menginap merasa bersyukur. Walaupun mereka masih tidak banyak bicara, hanya bertegur sapa itu pun saat datang dan pulang atau saat menawarkan makanan dan keperluan lainnya, setidaknya Chaerin tidak mengusir dirinya. Sekali pun sampai detik itu Chaerin belum juga menerima permintaan maafnya, tapi Chaerin sudah tidak menatapnya penuh kebencian. Chaerin juga membiarkan dirinya untuk menyuapi makan, bahkan tidak menolak saat tangan besarnya dengan lancang mengusap kepala atau memegang tangannya.

 

 

Chaerin yang telah berada di rumah sakit selama satu bulan sejak pertama kali ia masuk akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Rasanya sangat senang karena bisa menghirup udara bebas sepuas yang ia mau. Kembali beraktivitas seperti biasa sepertinya jauh lebih menyenangkan dibandingkan berdiam diri di atas bangkar rumah sakit. Membayangkan semua itu membuat dirinya tidak bisa berhenti tersenyum. Ia sampai tidak sadar jika pintu kamarnya dibuka dan seseorang masuk ke dalam.

 

 

Sosok tersebut berdeham dan Chaerin seketika menolehkan kepalanya. Ia pikir Taehyung yang baru saja datang karena sahabatnya itu mengatakan bahwa dirinya dalam perjalanan untuk  menjemput Chaerin. Namun saat obsidiannya melihat ke arah pintu masuk, bukan Taehyung yang dilihatnya. Tetapi sosok yang membuat darahnya seketika berdesir hebat. Membawa debaran jantungnya melampaui kecepatan normal tapi dengan rasa sakit yang menusuk.

 

 

Sosok itu menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan kecil sembari melangkahkan kaki berbalut sepatu formal hitam mendekati Chaerin yang berada di atas bangkar. Matanya menatap teduh hingga membuat Chaerin mengernyit bingung. Sungguh ini adalah kali pertama bagi Chaerin melihat ekspresi hangat itu ditunjukkan kepadanya.

 

 

“Maaf, Ayah jarang menjenguk mu. Ayah tidak berani menemui diri mu langsung. Tapi hari ini Ayah memberanikan diri karena kamu akan keluar dari rumah sakit.”

 

 

Terdengar tarikan napas panjang sebelum Tuan Lim kembali berujar.

 

 

“Ayah ingin meminta maaf untuk semua yang telah terjadi. Ayah sadar, Ayah selalu menyalahkan dan menyudutkan mu. Ayah mengakui jika saat kelahiran mu Ayah tidak menerimanya, dan Ayah menyesalinya. Seharusnya Ayah tidak seperti itu karena bagaimana pun kamu adalah anak Ayah, dalam tubuh mu juga mengalir darah Ayah.”

 

 

Tuan Lim meraih tangan Chaerin. Menggenggamnya dan mengusapkan ibu jarinya di atas punggung tangan Chaerin.

 

 

Sementara Chaerin, ia masih diam. Cenderung pasif walau tidak mengelak jika tiba-tiba saja hatinya terasa hangat. Jadi ini rasanya perhatian seorang Ayah. Selama delapan belas tahun hidup di dunia, baru kali itu dirinya merasakan kehangatan tangan seorang Ayah. Walau begitu, Chaerin masih belum berani menaruh harapan pada sosok Ayahnya. Ia masih tidak bisa menggantungkan harapan pada orang lain karena rasa sakit saat harapan itu dihempas begitu saja masih berbekas di hatinya.

 

 

“Ayah tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi Ayah ingin meminta tolong pada mu.”

 

 

Dahinya mengerut dan matanya menyipit. Menunggu kelanjutan ucapan Tuan Lim dalam bisunya sekali pun hati dan pikirannya tengah menyuarakan kebingungan dan keanehan.

 

 

Tarikan napas panjang kembali dilakukan sebelum matanya kembali menatap obsidian Chaerin yang masih belum bereaksi.

 

 

“Chani menyukai Jimin, Chaerin. Dan Jimin adalah satu-satunya orang yang bisa membuat kakak mu bahagia. Karena itu, Ayah ingin meminta mu untuk menjauhi Jimin demi kakak mu. Ayah tidak mau kondisinya memburuk karena hal ini. Chaerin kamu mau kan menolong Ayah?”

 

 

Seperti di tampar kenyataan, Chaerin langsung menghempaskan tangan Tuan Lim. Matanya menyorot semakin dingin dengan mulut yang tetap tertutup. Ia pikir Ayahnya telah bisa menerima kehadiran dirinya sebagai anak, karena itu beliau datang untuk menjemput. Tapi pikirannya ternyata salah besar. Kedatangan Ayahnya hanya untuk Chani seorang. Dipikiran sang Ayah hanya Chani, Chani, dan Chani. Tidak ada sedikit pun Ayahnya memikirkan dirinya. Bahkan di saat ia baru saja sembuh dari sakitnya, sang Ayah bahkan sama sekali tidak menanyakan kondisinya.

 

 

Dosa apa yang pernah ia perbuat sampai Tuhan menempatkannya pada keluarga yang sama sekali tidak menganggap dirinya? Apa yang telah ia lakukan sampai sang Ayah begitu tidak mempedulikannya?

 

 

Ketika semua rasa sakit itu kembali berkumpul di hatinya, seseorang malah membuka kasar pintu kamar. Membuat dirinya sedikit terlonjak dan langsung mengalihkan atensinya ke arah pintu.

 

 

“Apa yang Paman katakan? Mengapa Paman bisa mengatakan hal seperti itu?!”

 

 

Jimin –dia memang juga berjanji datang untuk menjemput Chaerin– terlihat sangat marah. Ia yang melihat Tuan Lim memasuki ruangan Chaerin berniat untuk menunggu di luar karena ia pikir Tuan Lim dan Chaerin perlu bicara. Namun apa yang ia dengar selama pembicaraan tersebut berlangsung membuat anak-anak api dihatinya menyala. Kepalanya terasa terbakar hingga tanpa dirinya sadar ia menerobos masuk dengan tangan terkepal kuat di kedua sisi.

 

 

“Jimin, Paman mohon. Tolong jangan tinggalkan Chani. Dia sakit Jimin, dia butuh diri mu.”

 

 

Jiming menggeram. “Tapi saya mencintai Chaerin, Paman! Saya tidak pernah menganggap Chani lebih dari seorang sahabat. Tolong Paman jangan memaksa. Paman tidak berhak untuk membuat seseorang menjauhi orang lain hanya karena keiinginan Paman sendiri.”

 

 

Semua yang baru saja terucap memberikan efek besar untuk Chaerin. Chaerin mulai merasakan pusing saat rasa sesak itu kembali hadir. Matanya mulai berkedut menandakan bahwa air mata kesakitannya kembali ingin keluar. Ia ingin pergi. Ia tidak ingin berada di ruangan itu. Ia tidak mau merasa sakit yang lebih parah lagi. Sudah cukup hatinya tersakiti selama ini.

 

 

“Ada apa ini?!” Suara setengah berteriak Taehyung menyadarkan Chaerin yang tengah berjuang mati-matian menahan desakan air matanya. Ia mengangkat kepalanya hanya untuk mencari keberadaan Taehyung sebelum bilah bibirnya terbuka.

 

 

“Tae, aku ingin pergi.” Lirihnya dengan suara bergetar.

 

 

Taehyung terkejut mendengarnya. Ia langsung saja menghampiri Chaerin dan membawa tubuh itu ke dalam rengkuhannya. Matanya sekali lagi menelisik sekitarnya. Menemukan keanehan saat melihat kemarahan Jimin, wajah memohon Tuan Lim, dan kekalutan Chaerin yang tengah dirinya papah. Pikirannya bekerja cepat untuk menghadirkan kembali ingatan pembicaraan singkatnya dengan Tuan Lim.

 

 

“Paman benar-benar memuakkan!” Desisnya.

 

 

Tidak membuang banyak waktu, Taehyung segera membawa Chaerin pergi. Bersama dengan tungkai kaki yang berjalan meninggalkan kamar rawat Chaerin, tekadnya semakin bulat untuk tidak membawa Chaerin kembali ke rumahnya. Tidak peduli jika dirinya harus memutus hubungan darah antara Chaerin dengan keluarganya. Karena yang dirinya pedulikan hanya bagaimana Chaerin bisa hidup bahagia bersama orang-orang yang mengasihinya.

 

 

“Taehyung..” Suara Chaerin mengalun pelan, cenderung berbisik. Andai saja mereka belum sampai di dalam mobil, Taehyung bisa saja tidak mendengarnya.

 

 

“Ada apa? Apakah kamu membutuhkan sesuatu?”

 

 

Kepalanya menggeleng, tetapi bibirnya tidak langsung memberikan jawaban. Ia terlihat memainkan jemarinya. Hingga napasnya terembus perlahan dan ia menatap Taehyung yang tengah mengemudikan kendarannya sembari menanti jawaban darinya.

 

 

“Aku ingin meminta satu permintaan dari mu.”

 

 

Alisnya berjengkit naik. Ketika itu juga, lampu lalu lintas berubah merah. Membuat Taehyung menghentikan kakinya dari menginjak pedal gas dan beralih menarik rem tangan. Ia memutar kepalanya hingga menghadap Chaerin.

 

 

“Apa?”

 

 

Dengan satu tarikan napas panjang, bilah bibirnya kembali terbuka.

 

 

“Aku ingin melepaskan semuanya. Aku ingin hidup baru yang tidak menyakiti diriku. Apakah kamu bisa mewujudkannya?”

 

 

Sepersekian detik yang ganjil, Taehyung hanya mampu terdiam. Onyxnya menatap lekat obsidian coklat tersebut. Mencari kebenaran dari ucapan tersebut. Sampai akhirnya kepalanya mengangguk dan bibirnya tersenyum.

 

 

“Aku akan mengabulkannya.”


T . B . C



감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts