Broken Sinner: Reveal (Part 11)


 

 Drama, Family, Hurt

(AU - Alternate Universe)

.

.

.

.

.


“Apa kamu yakin? Masih ada waktu untuk mengubah keputusanmu.”

 

 

Chaerin hanya mengembangkan senyum dengan kepala mengangguk yakin. Keputusan yang ia buat kali ini telah dIpikirkan matang-matang. Telah banyak waktu yang ia habiskan untuk memikirkan semuanya. Ia juga telah mempertimbangkan banyak hal sebelum hatinya mantap untuk memutuskan.

 

 

“Aku akan merindukan mu sahabat kecil.”

Taehyung menarik tubuh Chaerin ke dalam dekapannya. Membenamkan kepala sahabatnya itu di dadanya sementara kepalanya beristirahat di atas kepala Chaerin.

 

 

“Kamu bisa mengunjungi ku kapan pun, Tae.”

 

 

Taehyung mendengus. “Tetap saja aku akan sangat merindukan mu!”

 

 

 

Taehyung baru saja menyelesaikan kelas pertamanya. Kakinya melangkah terburu karena rasa lapar yang menyerang perutnya. Pagi tadi ia tidak sempat menyantap sarapan yang dibuat sang Ibu karena terlambat bangun. Karena itulah perutnya sudah mulai mengamuk karena belum ada makanan apa pun yang diberikan Taehyung untuk membungkam cacing-cacing di sana.

 

 

Dengan fokus yang terbagi karena sibuk memasukkan buku ke dalam tas, Taehyung tetap berusaha mengatur langkahnya agar tidak menabrak mahasiswa lain di koridor. Kaki berbalut sepatu putih itu tetap melangkah hingga ia menenggar seseorang memanggilnya. Taehyung mengangkat kepala dan melihat ke arah sumber suara. Matanya lantas memicing kemudian berubah dingin saat pemilik suara tersebut semakin mendekat ke arahnya.

 

 

“Taehyung..”

 

 

Ia tidak bergeming. Cenderung acuh dengan menatap tidak minat pada sosok di hadapannya.

 

 

“Tolong katakan padaku dimana Chaerin. Aku ingin bertemu dengannya. Aku mengkhawatirkan adikku, Tae.”

 

 

Taehyung mendengus sinis dan matanya menghujam tajam.

 

 

“Jangan pura-pura mengkhawatirkannya. Aktingmu tidak berlaku untukku Lim Chani!”

 

 

“Tae, kamu keterlaluan! Aku tahu kalau aku salah tapi kamu tidak bisa berkata sekasar itu padaku. Walau bagaimana pun Chaerin adalah adikku, jelas aku mengkhawatirkannya. Kenapa kamu selalu berburuk sangka padaku, HA?!”

 

 

Taehyung tergelak. Rasanya semua ucapan Chani bagaikan lelucon yang mengocok perut kosongnya. Membuat cacing-cacing yang mengamuk seketika lupa jika mereka belum mendapatkan jatah penghidupan di pagi hari.

 

 

“Khawatir? Bullshit! Jika kau mengkhawatirkan adikmu, maka mulut iblismu itu tidak akan mengatakan apa yang menyakiti adikmu.”

 

 

Taehyung semakin menunjukkan senyum remeh berbalut kemarahan saat tidak mendengar sanggahan apa pun dari mulut Chani.

 

 

“Aku tahu apa yang kau katakan pada Chaerin saat kau menemuinya di sekolah dua bulan lalu. Sungguh, aku tidak menyangka kau bisa mengatakan hal seperti itu pada adikmu sendiri, Chan!”

 

 

Taehyung menjeda ucapannya. Membiarkan beberapa detik berlalu dengan mantap lekat pada manik Chani. Menghunusnya hingga mengunci pandangan gadis itu agar tetap mengarah kepadanya.

 

 

“Kau!” Taehyung mendesis. Giginya saling beradu hingga menggesek kuat.

 

 

“Jika kau masih menganggap dirimu sebagai seorang kakak, maka kau tidak akan menggunakan kesakitanmu hanya untuk menghancurkan adikmu lebih hancur lagi. Kau sangat EGOIS. Kau sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan Chaerin saat kau memintanya untuk menjauhi Jimin yang jelas mencintai Chaerin, dengan menggunakan penyakitmu sebagai alasannya. Kau jahat, Chani!”

 

 

Taehyung menarik napasnya dalam dan mengembuskannya pelan.

 

 

“Jika semua kata-kata kasar di dunia ini bisa aku katakan untuk menggambarkan dirimu, maka aku akan mengatakannya sekarang juga di depan wajahmu! Sayangnya semua itu tidak menggambarkan dirimu, karena kau tahu apa?”

 

 

Taehyung menjeda sejenak, kemudian kakinya melangkah maju mendekati Chani yang masih terdiam tanpa pergerakan atau penyanggahan. Wajahnya ia dekatkan hingga kini wajah keduanya sejajar.

 

 

“Kau jauh lebih buruk dari kata-kata kasar itu!

 

 

Ia kembali menegakkan tubuhnya. Melihat kebungkaman Chani membuat pendar amarahnya sedikit meredup. Rasanya sedikit lega karena kemarahan yang ia pendam dapat tersampaikan kepada orang yang tepat sekali pun perlu waktu yang sangat lama untuk mengungkapkannya.

 

 

Taehyung akan beranjak pergi ketika suatu hal melintas di pikirannya. Kakinya yang siap melangkah maju lantas kembali ditapakkan di posisi sebelumnya.

 

 

“Mengenai Chaerin, kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Ia baik-baik saja dan akan sangat baik tanpa dirimu dan juga Ayah mu. Jadi kau dan Paman Lim tidak perlu mengkhawatirkan atau mencarinya, karena dia aman tanpa kalian!”

 

 

 

*  *  *  *

 

 

 

Setibanya Jimin, ia segera meninggalkan mobilnya dan melangkah cepat. Ia membawa kaki berbalut sepatu hitam itu mendekati sesosok gadis yang tengah membuka pintu. Saat dirinya telah berada kurang dari sepuluh langkah di belakang, vokalnya terucap memanggil nama gadis itu. Sontak sang gadis menoleh dan senyum manisnya tersungging kala melihat Jimin ada di rumahnya.

 

 

“Jimin..” Balasnya dengan senang. Tangan yang berada di atas gagang terlepas dan bersiap untuk memeluk tubuh Jimin, tapi Jimin lebih dulu menghentikan langkahnya dan berdiri dua langkah di hadapan gadis itu.

 

 

Ia mengerutkan kening kala rasa bingung menyerang. Pasalnya tidak biasa Jimin bersikap seperti itu padanya. Jimin biasanya selalu memperlakukannya dengan hangat dan manis. Tapi kali itu tidak ada kehangatan karena berganti kilatan marah yang terpancar dari matanya.

 

 

“Jim, ada apa? Apakah ada masalah sampai mengusik mu seperti ini?” Tanyanya khawatir.

 

 

Sementara Jimin, dirinya masih diam untuk beberapa saat hanya untuk menatap lekat sosok gadis di depannya. Napas kasar kemudian terhela bersama dengan kedua belah bibirya yang terbuka.

 

 

“Kamu, Chani. Masalahnya ada padamu!”

 

 

Chani semakin bingung. Matanya menyipit menatap Jimin.

 

 

“Aku? Memang apa yang aku lakukan?”

 

 

Jimin mengusap wajahnya kasar. Lantas kembali menatap Chani dengan tatapan yang masih sama.

 

 

“Kamu..” Jimin menarik napasnya dalam dan mengembusnya cepat. “Aku mendengar semua pembicaraanmu dengan Taehyung tadi. Bagaimana bisa kamu melakukan itu Chan? Kenapa kamu mengatakan hal itu pada Chaerin?”

 

 

Matanya membulat dengan debaran jantung yang hebat. Menatap penuh keterkejutan pada Jimin yang masih memandangnya penuh kekecewaan dan kemarahan.

 

 

“Jim, a-aku-”

 

 

“Chan, aku sudah mengatakan semuanya padamu jika aku mencintai Chaerin. Aku tidak bisa mencintai orang lain lagi. Dan terkait kedekatan kita selama ini aku hanya menganggap sebatas sahabat, kamu juga tahu itu kan karena aku sudah mengatakannya sejak awal.”

 

 

Chani terbungkam. Tidak bisa mengatakan apa pun saat sesak menyerangnya. Menghadirkan luka yang sebenarnya telah ia prediksi sejak lama, tapi ia terlalu meyakinkan diri jika luka itu tidak akan pernah ada jika sang adik tidak berada di dekat sang belahan jiwa. Karena sejujurnya ia tahu jika adik dan orang tercintanya memendam perasaan yang sama. Hanya saja ego telah menutup akal sehatnya.

 

 

“Aku pikir kita bisa menjadi teman yang baik atau bahkan sahabat. Tapi ternyata aku salah. Kita tidak bisa bersama lagi, Chan. Keadaan ini bukan hanya karena dirimu, tapi aku juga memiliki andil dalam kekacauannya. Jadi-”

 

 

“Tidak!” Sergah Chani memotong ucapan Jimin.

 

 

“Aku tidak mau. Aku mencintai mu, Jim. Aku tidak bisa hidup tanpa mu.” Menarik napas agar menghentikan isakan kecil yang membuat suaranya tidak tersampaikan dengan jelas.

 

 

“Chaerin tidak ada Jim. Chaerin telah pergi dan tidak ada yang tahu selain Taehyung. Karena itu kumohon, izinkan aku untuk menggantikan Chaerin di hatimu Jim. Aku akan-”

 

 

“Kamu egois!”

 

 

Chani terkesiap saat Jimin meninggikan suaranya. Ini adalah kali pertama Jimin berbicara seperti itu padaya. Membuat jantungnya semakin berdebar hebat dengan napas yang tercekat. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh. Menahan sesak dan sakit yang semakin memenuhi relung hati.

 

 

“Jika kamu tahu, aku banyak menghabiskan waktu dengan mu itu semua karena Ayahmu. Beliau meminta ku untuk menemani mu dengan harapan kita bisa menjadi teman karena umur kita yang sama. Aku tidak bisa menolak karena itu Ayahmu yang berarti juga Ayah Chaerin. Aku tidak ingin membuat Chaerin semakin dibenci oleh Ayahnya sendiri.” Ia menarik napas dalam dan mengusap wajah kasar.

 

 

“Tapi aku salah. Aku pikir dengan menyetujui permintaan tersebut, Paman Han akan menerima Chaerin karena beliau tahu aku adalah temannya. Kenyataannya adalah aku dan Chaerin menjauh sedangkan Paman Han tetap memperlakukan Chaerin dengan buruk.”

 

 

Jimin kembali menjeda ucapannya. Kepalanya lantas tertunduk. Matanya terpejam saat penyesalan kini mengikat kuat hatinya. Membawa kemarahan untuk dirinya sendiri atas tindakan bodoh yang telah ia lakukan.

 

 

“Seperti yang kamu bilang, Chaerin sudah pergi. Karena itu tidak ada gunanya lagi aku di sini. Toh, perlakuan Paman Han pada Chaerin juga tidak akan berubah. Anggap saja aku berengsek atau bajingan atau sebutan buruk apa pun yang bisa kamu pikirkan. Aku tetap tidak bisa seperti dulu. Maaf.”

 

 

Jimin memutar tubuhnya. Melangkah pasti meninggalkan Chani yang tergugu dalam tangisnya. Meraungkan namanya untuk berhenti dan tetap berada di sampingnya. Tidak menoleh sekali pun terbesit rasa bersalah karena meninggalkan Chani dalam kondisi seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, hatinya hanya berisi Chaerin. Ia tidak bisa terus bersama Chani, karena hanya akan menimbulkan kesalahpahaman yang lebih besar. Saat ini yang harus dirinya lakukan adalah menggapai kembali Chaerin dan membawa kembali ke sisinya.

 

 

“Dimana pun kamu, aku akan mencari mu dan membawa mu kembali Chae.”

 

 

 

*  *  *  *

 

 

 

Jimin mengetuk tidak sabaran daun pintu di hadapannya. Napasnya masih sedikit memburu dengan emosi yang memenuhi kepala setelah berlari meninggalkan kediaman keluarga Lim. Kakinya bergerak kecil tidak sabar karena desakan hati dan pikiran yang meminta. Jimin menghentikan gerakkan kakinya ketika pintu tersebut perlahan terbuka. Seorang wanita setengah baya dengan tinggi lebih pendek darinya menyapa kedatangannya.

 

 

“Apakah Taehyung ada?”

 

 

“Tuan muda Taehyung ada di kamarnya. Tuan Jimin silahkan masuk, saya akan panggilkan dulu.”

 

 

Wanita itu membuka pintu lebih lebar. Mempersilahkan Jimin untuk masuk ke dalam kemudian menutup pintu dan segera menuju kamar Taehyung yang berada di lantai dua.

 

 

Jimin mendudukkan tubuhnya di sofa dengan gusar. Matanya tidak lepas pada tangga dimana Taehyung akan muncul. Menunggu kedatangan Taehyung seperti menunggu hasil ujian akhirnya keluar. Gelisah bercampur was-was. Tanpa sadar, ia meremas jemarinya bergantian. Menyalurkan kekalutannya demi meredam luapan emosi yang siap meledak kapan saja.

 

 

Hingga derap langkah terdengar oleh indra pendengarannya. Sontak pandangan matanya langsung terarah pada sosok laki-laki dengan kaos hitam serta celana navy selutut. Ia berdiri menunggu langkah kaki Taehyung menuju ke arahnya.

 

 

“Ada apa kau kemari?” Taehyung bertanya tanpa minat.

 

 

Jimin menarik napasnya dalam sebelum suaranya terucap lirih.

 

 

“Dimana Chaerin, Tae? Tolong bertitahu aku. Aku ingin meluruskan semuanya.”

 

 

Taehyung yang semula membuang pandangannya, seketika kepalanya menoleh dan menatap tajam pada mantan sahabatnya itu.

 

 

“Chaerin sudah pergi dan aku tidak akan memberitahu mu. Sekali pun kau bersujud memohon, aku tetap tidak akan mengatakannya karena semua ini permintaan Chaerin sendiri.”

 

 

Jimin menggeleng. “Tolong Taehyung, aku mohon pada mu. Aku ingin meminta maaf padanya. Aku ingin menebus semua kesalahanku padanya.”

 

 

Taehyung menghelakan napasnya dengan kasar.

 

 

“Kau sudah kehilangan kesempatan terakhirmu!”

 

 

Jimin tidak menyerah. Ia kini bersimpuh di hadapan Taehyung. Menundukkan kepalanya denggan tangan yang memegangi kaki Taehyung.

 

 

“Aku akan melakukan apa pun agar kamu mau memberitahu dimana Chaerin sekarang. Jika kamu mau aku akan bersujud, Tae. Aku akan melakukan semua yang kamu katakan. Jika kamu ragu karena Chani, aku juga sudah mengatakan yang sebenarnya pada Chani dan mengakhiri semuanya. Aku akan melakukan apa pun demi Chaerin, Tae. Karena itu, tolong beri tahu dimana Chaerin..” Pinta Jimin.

 

 

Taehyung terkejut. Amarahnya kembali muncul berkat ucapan jujur Jimin hubungan Chani.

 

 

“Kau gila Park! Apa yang telah kau lakukan dapat mempengaruhi Chaerin. Kau akan membuat Paman Han semakin tidak menyukai Chaerin karena kau meninggalkan Chani!” Sergah Taehyung dengan meraih kerah pakaian Jimin. Membawa laki-laki Park itu berdiri hingga wajah mereka sejajar.

 

 

“Aku tidak peduli, Tae. Aku hanya ingin Chaerin dan bukan siapa pun.”

 

 

Taehyung mendecak kesal. Matanya menatap nyalang pada Jimin.

 

 

“Kau egois, brengsek!”

 

 

Jimin tidak peduli dengan makian Taehyung. Bahkan ia juga membiarkan laki-laki Kim itu semakin mencengkram kerah pakaiannya kuat.

 

 

“Jika kamu tahu, sejak awal aku mendekati Chani semua karena permintaan Paman Han. Aku pikir dengan aku melakukannya, Paman Han bisa menerima Chaerin karena ia berpikir aku adalah teman Chaerin. Tapi ternyata aku salah, semua perkiraanku tidak ada yang benar. Dan sekarang aku sangat menyesalinya! Aku memang bajingan! Aku juga bodoh.” Ujar Jimin dengan suara berbisik saat ia mengumpati dirinya.

 

 

Taehyung tidak dapat berkata apa-apa lagi. Semua yang baru saja didengar begitu memusingkan. Membuat kepalanya seperti ingin pecah. Tubuhnya juga terasa panas karena emosi yang tidak tersampaikan.

 

 

Dengan kasar ia melepaskan cengkramannya. Mendorong pelan hingga Jimin tersentak mundur.

 

 

“Aku tidak tahu! Kau membuat ku pusing.” Keluh Taehyung sembari memijat pelipisnya.

 

 

“Aku sangat memohon pada mu. Tolong beritahu aku dimana Chaerin. Aku benar-benar ingin minta maaf. Tolong Tae..”

 

 

Taehyung menghela napasnya kasar. Kepalanya ditengadahkan menatap langit-langit. Jemarinya menekuk ke dalam telapak tangannya.

 

 

“Chaerin meninggalkan Korea.”

 

 

Jimin membulatkan matanya. Ia melangkah mendekat sementara tangannya meraih bahu Taehyung dan mengguncang tubuh itu pelan.

 

 

“Apa?! Kemana?”

 

 

Taehyung menepis kedua tangan Jimin. “Hanya itu yang bisa aku katakan padamu.”

 

 

Baru saja Jimin akan menyanggah, ponselnya berdering dan membuat bibir yang telah terbuka kembali dikatupkan. Ia merogoh saku celananya dan melihat layar benda tipis itu yang tengah menampilkan nama seseorang yang telah membawa dirinya pada kesendirian.

 

 

Ia berniat untuk memutus panggilan tersebut. Namun Taehyung menyuruhnya untuk mengangkat hingga akhirnya suara berat itu menyapa pendengarannya.

 

 

“Jimin.. Chani drop. Dia berada di ruang gawat darurat saat ini.”

 

 

 

*  *  *  *

 

 

 

Jimin berjalan berdampingan dengan Taehyung menembus lorong putih. Keduanya tergesa setelah mendengar kabar jika Chani, yang juga pernah menjadi bagian dari kehidupan mereka tengah ditangani oleh dokter karena kondisi tubuhnya yang menurun drastis. Sama-sama merasakan kekhawatiran. Yang membedakan adalah Jimin dengan perasaan bersalah sedang Taehyung gelisah karena sedari tadi Chaerin tidak kunjung menerima panggilannya.

 

 

Keduanya tiba di depan ruang ICU dengan Tuan Lim yang berdiri gelisah sekaligus sedih di depan pintu. Mereka mendekat hingga Tuan Lim mengangkat kepalanya karena sadar akan keberadaan orang lain di sana.

 

 

“Bagaimana keadaan Chani, Paman?”

 

 

Tuan Lim membuang napas. “Dokter masih menanganinya di dalam.”

 

 

Jimin menganggukkan kepalanya. Ia kemudian melirik pada kaca kecil yang dipasang di pintu. Terlihat seorang dokter dan beberapa perawat tengah menangani seorang gadis yang berada di atas bangkar tanpa pergerakkan. Terbesit perasaan bersalah saat melihat tubuh lemah itu. Tapi ia juga tidak ingin memperburuk keadaan yang sudah buruk dengan tetap bertahan di samping Chani.

 

 

“Jimin...”

 

 

Ia menoleh saat suara berat Tuan Lim kembali terdengar. Memilih untuk diam sembari menanti Tuan Lim kembali berucap.

 

 

“Tolong tetap berada di sisi Chani. Kamu bisa lihat bukan jika kondisinya semakin buruk jika tidak ada dirimu. Karena itu, Paman sangat mohon padamu.”

 

 

Jimin menarik napas. Kepalanya menggeleng lemah dan tertunduk dalam.

 

 

“Maaf Paman, tetapi saya tidak bisa. Jika saya tetap menuruti keiinginan Paman, maka Chani akan semakin menderita. Chani tahu kalau saya hanya mencintai Chaerin, dan selama ini saya menganggap Chani hanya sebatas teman. Jika bukan karena Chaerin, mungkin saja waktu itu saya juga tidak akan meyetujui permintaan Paman.”

 

 

“Apa maksudmu?”

 

 

Jimin menatap Tuan Lim dengan tajam. Ini kali pertamanya ia melakukan hal itu, karena dirinya pikir ia perlu menunjukkan ketegasannya agar pria setengah baya di depannya ini mau berhenti memaksanya.

 

 

“Sebenarnya saya sudah tahu perlakuan seperti apa yang Chaerin terima dari Paman jauh sebelum saya datang pertama kali ke rumah Paman. Saat itu, saya pikir jika saya menuruti permintaan Paman maka Paman akan berubah baik pada Chaerin karena Paman berpikir jika saya adalah teman Chaerin. Tapi ternyata tidak ada yang berubah. Paman tetap mengabaikan Chaerin dan saya terjebak dengan permintaan Paman. Saya menyakiti Chaerin –perempuan yang saya cintai– sampai ia meninggalkan saya.” Ada jeda singkat sebelum Jimin kembali melanjutkannya.

 

 

“Mungkin ini terdengar egois. Tapi kali ini saya ingin mendengarkan kata hati saya. Saya ingin Chaerin karena hanya Chaerin di hati saya. Jika pun Paman akan semakin membenci Chaerin karena keputusan ini, itu adalah hak Paman. Tapi saya tidak akan melepaskan Chaerin dan saya bersumpah akan berada di sampingnya sekali pun Paman akan terus menyakitinya.”

 

 

Sementara Taehyung, ia lebih memilih untuk menyingkir setelah mendengar keadaan Chani dari Tuan Lim. Ia masih menyibukkan dirinya dengan ponsel pintar di tangannya saat Tuan Lim dan Jimin tengah berbicara. Tidak peduli karena yang menjadi prioritasnya adalah menghubungi Chaerin untuk mengabarkan keadaan Chani. Jika boleh jujur, Taehyung enggan sekali melakukan hal itu. Namun ia sudah membuat janji kepada Chaerin untuk memberinya kabar apa pun mengenai keluarganya sebelum sahabatnya itu pergi meninggalkan dirinya.

 

 

Taehyung terus menatap layar benda itu menanti jawaban pesan yang telah ia kirimkan. Dirinya memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan singkat karena panggilannya selalu berakhir pada operator yang mengarahkannya pada kotak suara.

 

 

Cukup lama ia menunggu, hingga ponselnya bergetar dan sebuah pesan masuk baru saja muncul di layar.

 

 

From: Chae~

Baiklah. Tolong kabari lagi jika ada perkembangan, Tae.

Terima kasih banyak.

 

 

Jemarinya kembali bergerak di atas keypad virtual tersebut. Mengetikkan huruf-huruf yang terangkai menjadi kata-kata untuk dikirimkan kembali kepada sang sahabat yang jauh di sana. Setelah pesannya terkirim, Taehyung kembali menyimpan benda tipis itu ke dalam saku. Ia memutar tubuh saat pintu ruang penanganan terbuka. Lantas tungkainya ia gerakkan mendekati Tuan Lim dan Jimin serta seorang dokter yang baru saja keluar.

 

 

“Pasien membutuhkan donor segera.”

 

 T . B . C

 

 

감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts