A Letter To My...

 



Main Cast : Choi Changjo, Wendy Shon

Genre : Friendship, Romance

Length : Oneshoot (2801 words)

Author : Salsa

 

 

 

**********



Bagian dalam kereta api yang baru saja dimasuki Wendy berpenerangan buruk. Remang-remang dan licin. Kereta itu berjalan terbata-bata tak lama setelah Wendy memasuki kompartemen kosong. Wendy mendorong kopernya ke bagasi di atas kepalanya dan duduk sambil membuka mantel. Lantas, tanpa membuang waktu lagi, ia langsung merogoh tas tangannya dan mengambil amplop berisi sepucuk surat misterius yang diselipkan Changjo tadi siang.

 

 

Sebenarnya, ini merupakan pelanggaran kecil dari aturan jangan-dibuka-sampai-hari-natal yang berulang-ulang diingatkan Changjo padanya, tapi tentu saja hal itu bisa dimaklumi mengingat natal akan tiba dalam waktu kurang dari 4 jam lagi.

 

 

Saat lipatan kertasnya dibuka, sebuah foto polaroid terjatuh ke pangkuannya. Wendy menyalakan lampu di atas kabinnya dan tersenyum begitu menemukan gambar dirinya dan Changjo di ruangan siaran UKM Radio. Dengan headphone yang masing-masing melingkari leher, mereka saling merangkul pundak satu sama lain dan tersenyum lebar menatap kamera. Diambil 3 tahun silam. Persisnya seminggu setelah pemilihan Ketua UKM Radio semester genap. Entah oleh siapa—mungkin Seungkwan, atau Eunha? Wendy memerhatikan gambar itu selama beberapa saat sebelum kembali mengangkat kertasnya dan mulai membaca.

 

 

“Selamat natal, Wendy Shon. Apa kau sudah sampai di rumah? Jika kau menuruti permintaan sederhanaku dan membacanya saat hari natal, maka seharusnya kau sudah sampai di rumah sekarang. Tapi jika belum (sebagaimana asumsiku), sungguh… aku dengan tulus memintamu untuk belajar menahan diri dan tolong tingkatkanlah kesabaranmu yang buruk itu! Omong-omong, apa kau punya makanan untuk dimakan selama perjalanan? Aku baru ingat tahun lalu aku berjanji akan mentraktirmu hamburger saat malam natal, maaf ya… rupanya aku tak sanggup menepatinya. Perhitunganku salah. Kau sudah harus pulang dan aku masih terjebak menyelesaikan ujian akhirku yang tertunda. Aku harap perjalananmu menyenangkan dan kereta yang kau tumpangi tidak sesuram yang kita bayangkan...

 

 

Wendy mengulum senyum membaca paragraf pertama—yang merupakan paragraf terpendek di dalam surat tersebut (surat itu terdiri dari tiga lembar HVS yang keseluruhan halaman depan dan belakangnya penuh). Sayup-sayup, Wendy bisa mendengar alunan lagu natal dan suara tertawa penumpang-penumpang di kompartemen sebelah. Sangat kontras dengan kompartemen miliknya yang suram dan sunyi.

 

 

…Pertama-tama, aku harap suratku ini tidak terdengar seperti salam perpisahan (karena ini memang bukan perpisahan!!). Walaupun aku masih belum tahu kapan, tapi aku tahu kita akan bertemu lagi. Aku tahu kita akan jalan-jalan ke pasar malam Anseong lagi, akan mengunjungi ruang siaran kampus sebagai alumni yang sudah punya pekerjaan keren. Kita akan makan di kantin kampus lagi, atau di kedai ramen samping terminal, atau di restoran mana pun di dunia ini. Kita akan lari pagi dan berhenti di Mcdonald untuk membeli Big Mac. Bersama-sama. Berdua. Maaf jika ini tidak terdengar sepertiku. Aku menulisnya di dalam kereta menuju Chuncheon, di malam Senin, di saat semua mahasiwa tingkat akhir di DIMA sedang sibuk menyiapkan diri untuk ujian kelulusan. Aku menulisnya saat sedang luluh lantak mendengar ayahku yang baru dilarikan ke rumah sakit kemarin sore tiba-tiba dinyatakan telah tiada pagi berikutnya. Persis di hari ulang tahunku! Aku harap perjalananmu ke Seoul lebih ramah daripada perjalananku ini. Semua orang di sini berekspresi kosong dan sedih seolah kami adalah sekumpulan manusia paling nelangsa yang dijejalkan di satu gerbong.

 

 

Sejujurnya aku tak tahu apa yang sedang kutulis. Aku hanya sangat ingin menuliskan sesuatu untukmu sekarang. Kurang lebih lima menit yang lalu, aku melamun memandang ke luar jendela dan baru sadar bahwa aku baru saja melewatkan siaran terakhir kita sebagai mahasiswa. Harusnya siang ini ya, Wen? Maafkan aku tiba-tiba harus pergi. Maafkan aku karena meninggalkanmu siaran sendiri. Ya Tuhan aku merasa amat sentimental sekarang. Syukurlah kita tidak sedang berhadapan saat kau membacanya. Tampangku pasti amat menyedihkan. Aku malu memperlihatkannya padamu. Aku bahkan malu pada diriku sendiri. Kau tahu, rasanya aku ingin melompati waktu dan mengulang segalanya dari awal. Bukan untuk mengubah apa pun, hanya ingin merasakan dan menikmati segalanya sekali lagi. Kecuali yah, mungkin aku akan lebih sering pulang ke rumah dan menghabiskan waktu dengan keluargaku saat liburan semester, serta mengambil jatah liburku di dua minggu terakhir ini, untuk menghabiskan waktu terakhir dengan ayahku sebelum ia pergi. Tapi selebihnya tidak. Aku bahagia dengan hidupku. Aku bahagia mengenalmu.

 

 

Saat kau buka surat ini, kau pasti sudah melihat foto polaroid yang kuselipkan, kan? Ingat tidak, itu pertama kalinya kita dipasangkan untuk siaran berdua. Itulah hari pertama aku merasa begitu ‘tersambung’ dengan seseorang hingga rasanya bicara bukanlah hal yang sulit lagi. Aku sangat menghargai foto itu jadi tolong jangan dihilangkan. Aku memajangnya di dinding meja belajarku di dorm selama 3 tahun dan membawanya sekarang untuk (niat awalnya) ingin kutempel di langit-langit kamarku di rumah. Tapi sekarang aku berubah pikiran. Aku ingin kau memilikinya. Semoga kau turut senang dengan keputusanku. Aku sudah melihatnya hampir setiap hari dan kita berdua terlihat sama-sama bagus di foto jadi seharusnya kau senang.

 

 

Jadi, sebelum topik tulisanku makin tidak terarah. Biar kuluruskan sekarang. Aku menulis ini untuk memberitahumu bahwa aku amat berterima kasih. Serius, jangan muntah dulu! Aku ingin bilang terima kasih untuk banyak hal. Terima kasih sudah menjemputku di kantor polisi tiap kali aku berlagak bak orang paling benar di Anseong dan membuat keributan—yang selama ini selalu kuyakini sebagai tindakan heroik (aku tahu itu tidak heroik, aku sudah insaf). Terima kasih sudah menjadi lawan adu pancoku yang payah. Terima kasih sudah mau kuajak joging dari jam empat pagi sampai sebelas siang. Terima kasih sudah menjadi partner siaranku dan setia pada UKM radio berprinsip anti politik superkonyol kita. Terima kasih sudah menjadi cewek terkeren yang pernah kukenal sepanjang masa. Terima kasih untuk semua nasihatmu yang superpanjang, tak berguna dan membosankan itu. Terima kasih sudah menghiburku dengan lelucon absurd yang hanya dimengerti kau dan Tuhan. Terima kasih sudah membiarkanku mencuri jatah susu dan puding karamelmu hampir setiap makan siang—walau terkadang kau mendumel setelahnya. Dan masih banyak lagi. Aku tak bisa menjabarkannya satu per satu karena aku cuma bawa tiga lembar kertas sekarang. Dan tinta pulpenku hampir habis!!! Tapi serius, terima kasih! Dalam perjalanan panjang supermelankolis ini, aku akhirnya menyadari bahwa kau, Nona Wendy Shon, ternyata merupakan bagian yang teramat penting dalam hidupku selama ini. Aku mungkin akan merasakan kekosongan mendalam dan menghabiskan banyak waktu melamun di awal tahun depan.

 

 

Dan Seoul! Yeah, semoga audisimu lancar. Semoga kau terpilih menjadi tim orkestra nasional dan berangkat ke New York. Semoga mimpimu tercapai. Semoga sembari meniti perjalanan karirmu yang sudah pasti cemerlang itu (karena aku percaya manusia cemerlang akan memiliki hidup yang cemerlang… dan bahkan jika takdir berkata lain, aku yakin kau mampu mendapatkan hidup cemerlang dengan caramu), kau akan menemukan seseorang yang kau suka dan menyukaimu juga. Kalau tidak ketemu, biar kucarikan tipe idamanmu di Chuncheon. Dan jika tidak ketemu juga, jangan khawatir, kau tak akan hidup sendiri karena kau memilikiku. Aku bersedia menemani hari-hari pensiunmu. Kau tahu, aku mulai berpikir mungkin kita akan menjadi pasangan yang cocok? Maksudku, setelah kupikir-kupikir, kita cocok hidup bersama. Bukankah selama 3 tahun ini kita sudah terbukti dapat saling menolerir satu sama lain dengan baik? Kau dengan segala sifatmu, dan aku dengan segala sifatku. Kita menerima baik-buruk masing-masing dengan bijak. Kau tahu bagaimana aku tidak terlalu menyukai orang-orang, kan? Tapi aku jelas menyukaimu lebih daripada orang-orang itu. Tidak, sungguh, kau satu-satunya manusia selain keluargaku yang bisa kutolerir. Serius, terkadang aku bahkan tak bisa menolerir keluargaku sendiri. Jadi... kurasa hidup denganmu adalah hal paling masuk akal untuk dilakukan. Well, kau tahu aku bodoh merangkai kata. Intinya, aku menyukaimu. Maafkan pengakuan tiba-tiba ini. Mungkin aku benar-benar menyayangimu sampai merasakan ketakutan seintens sekarang saat menyadari bahwa kita akan lulus dan melanjutkan hidup masing-masing (secara terpisah, di kota atau bahkan negara yang berbeda) dalam waktu kurang dari sebulan lagi. Atau mungkin aku hanya tidak dapat menerima fakta bahwa rutinitasku sebentar lagi akan berakhir, lantas mengaburkan segalanya menjadi rasa suka. Aku tidak tahu, Wen. Aku hanya tahu bahwa aku sudah merindukanmu saat ini. Semakin hari semakin rindu. Aku tahu minggu depan aku akan kembali lagi ke DIMA, kita akan menghabiskan waktu kurang lebih 3 hari bersama sebelum segalanya selesai. Sebelum kau mengosongkan kamar asramamu dan pulang ke Seoul secara permanen. Tapi rasanya tetap saja menyedihkan. Aku sangat gundah sampai rasanya ingin berlutut di lantai dan menangis (tolong jangan dibayangkan!).  

 

 

Sekali lagi ini bukan perpisahan. Kau akan kembali pertengahan Februari besok untuk wisuda, kan? Aku hanya akan datang jika kau datang. Jadi please datang. Kalau kau sampai bilang tak datang, aku bersumpah akan menjemputmu ke Seoul dan menyeretmu ke dalam kereta. Semuanya akan baik-baik saja. Kita akan bertemu dan bertemu dan bertemu walau kita belum tahu kapan. Aku akan membalas pesanmu dan mengangkat teleponmu jam berapa pun itu. Aku akan langsung menyetir ke Seoul apabila kau sedang ingin ditemani makan Big Mac dan semua teman barumu di sana benci Mcdonald. Aku akan selalu ada untukmu. Aku berjanji.

 

 

Masih banyak yang ingin kukatakan sebenarnya, tapi sebagaimana kubilang, aku cuma bawa 3 lembar kertas dan pulpenku sudah benar-benar sekarat sekarang. Jadi, untuk menutup surat memalukan ini, aku ingin mengatakan selamat natal yang tulus padamu. Sampai ketemu saat wisuda nanti. Jaga diri baik-baik dan jangan ganti warna rambutmu sebelum mendiskusikannya denganku.

 

 

Your eternal soulmate,

Choi Changjo

 

 

Wendy terdiam cukup lama sebelum menurunkan kertasnya dan menghela napas. Inikah alasan mengapa pria itu tak mau memandang langsung ke matanya saat mereka berpamitan tadi siang?

 

 

Banyak yang ingin Wendy komentari soal surat itu. Tapi pertama-tama soal wisuda, ya Tuhan, Wendy tahu Changjo berusaha terdengar santai, seakan mereka benar-benar akan bertemu saat wisuda. Padahal Wendy sudah berkali-kali memberitahunya ia tak mungkin bisa ke Anseong di bulan Februari. Bulan Januari besok, gadis itu akan mengikuti audisi untuk bergabung dalam tim orkestra nasional di Seoul. Jika lolos, ia akan berangkat ke New York untuk pelatihan. Dan jika gagal, ia akan mendaftar sekolah pascasarjana di Universitas Birmingham, Inggris. Baik lolos maupun gagal, Wendy akan meninggalkan benua Asia di awal Februari. Ia sudah merencanakan ini sejak semester enam dan Changjo tahu itu.

 

 

Ya, Changjo jelas mengetahui itu jadi ia bisa dengan entengnya mengatakan ‘aku menyukaimu’ dan ‘aku bersedia hidup bersamamu’ seolah itu adalah hal kecil. Bisa-bisanya ia menyatakan perasaannya seperti ini. Benar-benar bajingan.

 

 

Wendy merasakan perasaannya kian memberat, seolah ada sesuatu yang bergelantung di hatinya. Ia membersit hidung sambil mengeluarkan ponselnya dari saku jins. Baterainya tinggal 28%, gadis itu menghabiskan kurang lebih 7% untuk membuka galeri dan melihat-lihat foto Changjo sampai matanya basah. Kemudian jarinya bergulir gesit, masuk ke aplikasi berkirim pesan dan menelepon sang pria.

 

 

“Wen!” kata Changjo. “Bateraiku tinggal 2%, charger-ku terbawa Changhyun pulang. Aku belum beli charger baru. Tiga menit lagi telepon ke resepsionis asrama cowok ya. Aku lari ke bawah sekarang.”

 

 

Wendy belum berkata apa-apa dan teleponnya sudah terputus. Gadis itu mendesah berat dan menunggu tiga menit sebelum menelepon lagi. Kali ini yang diteleponnya adalah nomor asrama pria sebagaimana yang pria itu instruksikan.

 

 

“Hei.” Suara Changjo terdengar di dering kedua. Dia tidak berbohong saat bilang ‘aku lari ke bawah sekarang’. Napasnya menderu.

 

 

“Hei,” kata Wendy.

“Wen, sementara kau harus menelepon asrama jika ingin…”

“Aku membacanya.”

“Oh.” Changjo terdiam sesaat, “yeah, sudah kuduga.”

 

 

Wendy tak tahu harus berkata apa lagi. Sejujurnya ia hampir terisak saat itu. Mendengar suara Changjo membuat matanya digenangi lebih banyak air.

 

 

Di balik telepon, Changjo mendesah berat diiringi suara barang diangkat. Sepertinya ia memindahkan pesawat telepon ke pangkuannya dan duduk bersila di lantai di balik meja resepsionis—yang sudah pasti kosong mengingat ini adalah malam natal; 90% penghuni asrama (termasuk para penjaga dan resepsionis) sudah pulang untuk berkumpul bersama keluarga mereka di rumah masing-masing.

 

 

“Semua baik-baik saja, kan?” katanya sesaat kemudian. “Kau sudah makan malam?”

“Sudah,” jawab Wendy seraya menghapus air matanya. “Kau makan dengan siapa di sana?”

“Aku makan chicken wings dengan anak semester tiga. Aku lupa namanya.”

“Dia belum pulang?”

“Belum. Besok pulang.”

“Kau sudah belajar buat ujian susulan?”

“Tidak perlu. Aku sudah dapat bocoran soalnya. Jangan pedulikan aku. Tenang saja.”

“Oke.”



Hening sejenak. Changjo menggulung kabel telepon di sepanjang lengannya sambil menggigit bibir. “Wen?”

 

 

“Ya.”

“Soal wisuda…”

“Aku tidak bisa datang ke kampus lagi bulan Februari, kau tahu itu.”

“Tapi itu kan wisuda,” kata Changjo keras kepala.

“Kau tahu rencanaku,” Wendy membalas cepat. Suaranya serak dan dia menahan tangis yang tersekat.

 

 

Changjo menunggunya tenang. “Benar. Kau benar. Aku tahu rencanamu, maafkan aku,” katanya setelah terdiam, “aku hanya sangat amat ingin memiliki satu hari yang bisa ditunggu-tunggu.”

 

 

“Kukira kau sudah bosan bertemu denganku terus.”

“Kukira juga begitu.”

“Jadi,”

“Jadi?”

“Kau akan mencarikanku cowok di Chuncheon?”

“Kalau kau tak bisa cari sendiri, maka ya.”

“Memangnya seperti apa tipe idealku?” Wendy mengajukan pertanyaan itu hanya untuk menghibur dirinya sendiri. Ia ingin tahu jawaban macam apa yang akan Changjo tawarkan. Sebab gadis itu sendiri tak tahu bagaimana tipe idealnya.

 

 

“Yah, pokoknya kalau tidak ada yang seperti Alex Turner, maka yang seperti Jeon Wonwoo. Iya, kan?”

 

 

Wendy yang sedang menahan tangis langsung tergelak mendengar jawaban itu. Tawanya menggema di kompartemen kosong. “Ya Tuhan, memangnya ada yang seperti itu di Chuncheon?”

 

 

“Entahlah. Biar kucari dulu.”

“Kalau tidak ada bagaimana?”

“Kau harus memilih. Mau mengubah tipe idealmu atau single saja selamanya?”

“Di surat jawabannya tidak begitu.”

“Hmmm… aku tak ingat isi suratku. Aku menulisnya sebulan yang lalu,” kata Changjo menahan malu, kemudian langsung mengubah pembicaraan demi menyelamatkan mukanya. “Dengar, kita akan bertemu secepatnya, aku janji. Aku mungkin akan ke Seoul dulu setelah ujian susulanku selesai. Ibuku akan mengerti.”

 

 

Wendy mendenguskan senyum. Ia mengabaikan ucapan Changjo dan memberitahunya. “Kau bilang kau menyukaiku.” Tak ada jawaban. “Kau bilang kita cocok. Kau bilang akulah satu-satunya manusia yang bisa kau tolerir selain keluargamu. Coba jelaskan itu.”

 

 

Terdengar suara barang yang diangkat-angkat lagi. Changjo mungkin sedang salah tingkah dan merutuki diri sekarang, berpindah posisi duduk seraya meletakkan pesawat teleponnya di lantai. Terpekur.

 

 

“Apa kau tidak merasa kita cocok?” tanyanya sesaat kemudian. Suaranya pelan seperti berbisik.

“Entahlah. Apa kau yakin kita memang cocok atau jangan-jangan kau hanya membenci rutinitasmu direnggut dan mengaburkan kesedihanmu menjadi rasa suka?” Wendy mencoba mengulang apa yang ditulis Changjo di surat dengan ingatannya.

 

 

“Kuharap aku punya jawaban untuk itu.”

“Kalau kau menyadarinya lebih awal; dua tahun yang lalu, setahun yang lalu, atau paling tidak enam bulan yang lalu, mungkin kita sudah jadian sekarang.”

 

 

“Terlambat, ya?”

“Begitulah.”

“Tapi setidaknya kita masih sahabat, kan?”

“Tentu saja.”

“Bagus.”

“Yeah, bagus.”

“Kau tahu apa pun bisa terjadi di masa depan, kan?”

 

 

Terkadang, karena terlalu sering bergaul dengan seseorang, kau bisa kehilangan kemampuan untuk benar-benar melihat orang itu. Semakin jauh keretanya bergerak meninggalkan Anseong, semakin Wendy tak mengerti kenapa ia tak pernah menyukai Changjo selama ini. Changjo mengenalnya lebih dari siapa pun. Dan sebaliknya, ia mengenal Changjo lebih dari siapa pun. Changjo benar, mereka memang cocok. Wendy bahkan bisa membayangkan dirinya mencium pria itu tanpa masalah. Bukankah itu parameternya? Kalau kau bisa membayangkan dirimu dalam situasi romantis dengan sahabat cowokmu, berarti kau memang menyukainya? Lagi pula apa lagi sih sebenarnya yang dicari? Changjo sempurna.

 

 

Oh tidak, tidak. Wendy tahu tidak seorang pun sempurna, di balik kesempurnaan tampak luar, kepribadian Changjo yang keras kepala dan selalu merasa paling benar itu memang memuakkan, tapi meski dengan mempertimbangkan hal-hal itu pun, di matanya Changjo tetap saja lumayan sempurna. Wendy tidak pernah mendengar siapa pun mengatakan hal buruk tentang Changjo. Pria itu bertanggung jawab dan penuh percaya diri. Walaupun punya mimpi sendiri, saat tahu ayahnya meninggal dunia, ia tanpa ragu mengatakan akan meneruskan usaha percetakan keluarganya dan menjadi tulang punggung keluarga pada semua orang. Dia senantiasa berdiri tegak apa pun yang terjadi. Dia memancarkan aura positif dan mampu memosisikan diri dengan baik.

 

 

Jadi, ya, sikapnya yang sok penting itu memang kadang-kadang menyebalkan. Tapi Wendy sudah amat terbiasa dengan semua itu sampai sepertinya ia tak keberatan lagi. Mungkin, Wendy memberi tahu dirinya sendiri, Changjo-lah sesungguhnya tipe idealmu.

 

 

“Halo? Wen, kau masih di sana?”

 

 

Wendy tersadar. “Ya, ya aku di sini. Kau bilang apa tadi?”

 

 

“Lupakan saja. Omong-omong, coba sebutkan satu saja nama orang yang kita kenal yang mampu mempertahankan hubungan jarak jauh!”

 

 

“Tidak ada,” jawab Wendy yakin. “Pasangan yang sudah menempel seumur hidupnya pun, jika salah satu pergi jauh, meskipun saling berjanji akan berkontak tiap hari pasti perlahan-lahan akan menjadi orang asing juga. Mereka akan menemukan orang baru dan putus. Apalagi kita yang cuma kenal 3 tahun.”

 

 

“Kau benar, tapi kita bukan pasangan,” kata Changjo. “Kita soulmate.”

 

 

Dari nada suaranya, Wendy bisa merasakan pria itu tersenyum di ujung sana, seolah bangga dengan ucapannya. Wendy tentu saja ikut tersenyum. Mustahil untuk tidak tersenyum mendengar kalimat itu.

 

 

“Aku akan menelepon ibuku dan bertanya apa aku boleh menghabiskan tahun baru di Seoul.”

“Kau akan menelepon ibumu sekarang?”

“Ya.”

“Dengan telepon asrama?”

“Ya.”

“Memangnya boleh?”

“Tidak ada yang jaga. Lagian lampu-lampu sudah mati semua. Kurasa hanya aku satu-satunya orang di lantai satu saat ini.”

 

 

“Tapi kan pasti ketahuan dari mutasinya.”

“Wen, ini malam natal. Mereka akan mengerti.”

“Baiklah, kabari aku.”

“Tentu aku akan mengabarimu. Tapi sementara waktu... bisakah kau meneleponku lagi besok pagi? Saat kau sudah istirahat dan menghabiskan waktu natalmu dengan keluargamu? Aku tak yakin bisa menemukan orang yang menggunakan kabel tipe c di sini.”



“Baiklah. Aku akan menelepon nomor ini lagi jam 10.” Wendy menunduk memandang sepatunya. Sejujurnya ia belum mau mengakhiri panggilan mereka, tapi apa boleh buat. “Kalau begitu selamat malam.”

 

 

“Wen?”

“Ya?”

“Aku yakin 95% aku menyukaimu,” kata Changjo tiba-tiba, “aku akan merenungkan yang 5%-nya lagi.”

“95% sudah cukup.”

“Aku tetap akan merenungkannya,” Changjo meyakinkan. “Tolong renungkan perasaanmu padaku juga.”

 

 

Wendy tersenyum geli. “Okay,” gadis itu menatap salju pertama yang mulai turun dan senyumnya semakin lebar. “Selamat natal.”

 

 

“Selamat natal. Sampai bertemu 5 hari lagi.”

“Sampai bertemu 5 hari lagi.”

 

 

 

END

 

 

Happy 10th Anniversary Our Beloved Blog<3



Dan selamat juga buat kita bertiga (colek Kim Dhira & GSB) yang udah dengan *lumayan* konsistennya nulis fanfiksi KPOP idol selama 10 tahun. Sumpah ngaco bangett ga sih. Kok bisa ya satu dekade ngehalu ga bangun2???



Walaupun udah ga serajin dulu (yang sebulan bisa upload belasan kali ke sekarang yang kalo ada 1 postingan dalam sebulan aja udah alhamdulillah), tp syukurnya kita masih belum jenuh untuk saling ngingetin buat upload sesuatu tiap GIGS ultah hehe.



Semoga walaupun aku, Kim Dhira dan GSB udah sibuk masing-masing, kita masih bisa nemenin kalian (atau paling engga, nemenin satu sama lain) dengan uploadan ff2 random kita. Aku pribadi selalu seneng + mood naik tiap buka GIGS trus ada yang upload. Walaupun ga langsung aku baca tapi tetep happy karena rasanya kaya dapet kado kecil gitu loh~ (either baca cuap2, ngeliat editan poster atau sebatas tau kl theyre still alive aja udah cukup bikin mood bagus, bikin semangat yang langsung sok ngide "nanti aku juga mau nulis ah" walaupun lebih sering cuma jadi wacana doang ga ketulis-tulis) 

 


Intinya terima kasih sangat banyak untuk kita di tahun 2011 yang bisa-bisanya kepikiran bikin blog ini. Sumpah ini tuh investasi tersukses kalian wahai anak2 kpopers di kelas RKI. 



Sekali lagi selamat ultah GIGSent!!! Semoga kita masih bisa nulis kaya gini untuk 10 tahun berikutnya yaa.. AAMIIINNN   

 

 

 


Comments

Popular Posts