Rumah Nenek
Rumah nenek. Orang-orang selalu mengaitkan tempat itu
sebagai tempat yang nyaman, hangat, dan penuh kasih sayang.
Aku sangat bahagia setiap kali berkunjung ke rumah nenek. Bukan hanya karena rumah nenek lebih besar dari rumahku, namun aku bisa merasakan hangatnya
kasih sayang di seluruh sudut ruangnya. Rumah nenek adalah salah satu tempat favoritku,
bahkan saat libur sekolah aku sering menginap di sana.
Aku ingat betapa lembut seprai yang menyelimuti kasur di kamar
yang biasa kutempati jika menginap. Aku juga masih ingat momen saat aku makan
bersama nenek dan kakekku, makanan buatan nenekku memang lezat. Saat hari mulai
malam, aku akan duduk bersama kakekku menonton drama kolosal kesukaannyaāwalaupun
aku sama sekali tidak mengerti alur ceritanya. Dan pada pagi harinya segelas
susu hangat menyambutku di meja makan.
Aku senang berada di sana, bahkan sempat berpikir untuk
tinggal di sana. Aku merasa sangat merdeka di sana, merasa begitu dimanja.
Tidak seperti ibuku yang kerap melarangku membeli camilan, nenek akan dengan
murah hati membelikanku sebanyak yang aku inginkan.
Bukan hanya perkara camilan, nenek dan kakek tidak segan
memberikan pujian yang kuharapkan setiap kali aku mendapat peringkat yang bagus
di sekolah. Sesuatu yang mungkin menurut ibu tidak perlu ia tunjukkan padaku,
namun sebenarnya penting untukku. Ibu atau ayahku baru akan mengatakan sesuatu
saat nilaiku bermasalah atau peringkatku menurun. Semenjak itu aku tahu aku
hanya perlu belajar dengan baik dan mendapat nilai yang bagus supaya tidak
perlu kena omel.
Namun seiring berjalannya waktu, aku merasa lelah dan bosan.
Aku sangat marah saat kerja kerasku bahkan tidak diapresiasi. Mulai saat itu
aku belajar tidak sekeras sebelumnya, aku tidak peduli apakah orang tuaku bakal
marah. Bahkan aku tidak peduli apa-apa lagi.
Aku berubah. Bukan hanya secara fisik dan cara berpikir,
tapi semangatku pun berubah. Tanpa kusadari aku benar-benar berubah, dari anak
yang penuh semangat dan cukup beprestasi akhirnya menjadi remaja yang kebingungan
dan putus asa.
Dan satu hal lagi yang berubah, rumah nenekku pun berubah.
Banyak perubahan di sana-sini. Bangunan yang lebih modern,
halaman berumput yang diubah menjadi hamparan paving conblock, sofa tua yang
kulitnya berlubang kini diganti dengan sofa mahal dari kayu jati, gorden-gorden
cantik kini menempel di bingkai jendela, bahkan televisi tabung yang dulu
menayangkan drama kolosal favorit kakek sudah diganti dengan televisi model
terbaru.
Rumah yang penuh kehangatan itu menjadi bangunan yang lebih
megah, tetap nyaman tapi terasa mengintimidasi. Dan ternyata penghuni di
dalamnya juga tak kalah mengintimidasi.
Aku merasa diriku yang saat ini, yang tidak lagi berprestasi
merasa tak cukup pantas berada di sana. Aku selalu merasa defensif setiap
berada di sana. Berusaha mencari tempat yang sepi, kemudian menyendiri. Aku
menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan dan tatapan penuh
penilaian yang membuatku merasa semakin kecil.
Bukannya aku tidak menyadari betapa payahnya aku saat ini
dan berharap orang-orang mau memahamiku. Aku hanya berharap mereka mengabaikanku,
tidak membicarakanku diam-diam dengan nada mencomooh atau menasihati dengan
penuh kekecewaan.
āSkripsinya gimana? Belum selesai juga?ā
āKapan lulus?ā
āSudah tidak kerja lagi, ya?ā
āCoba kalau waktu kuliah aktif ikut organisasi pasti
punya banyak kenalan.ā
āSemoga cepet dapat pekerjaan baru, supaya bisa bantu ibu
dan ayah kamu.ā
Masih banyak omongan yang ingin aku hindari, tapi tetap saja
kudengar beberapa waktu belakangan ini. Banyak omongan tidak enak yang
sebenarnya ingin kulupakan, tapi sialnya malah begitu lekat di pikiran.
āOh, udah lulus ya. Sekarang kerja dimana?ā
āUdah enggak kerja dia,ā kata nenekku agak pedas.
āEnggak apa-apa, nanti dapat pengganti yang lebih baik.ā
Aku ingat percakapan basa-basi antara nenek dan salah satu
kerabat jauh saat acara keluarga. Aku bahkan ingat nada suara nenekku dan caranya
memandangku. Saat itu aku hanya bisa tersenyum sambil meringis malu.
Aku memang senang berkunjung ke rumah nenek, namun itu dulu.
Kini aku selalu merasa cemas saat ibu menyuruhku untuk datang ke sana. Aku
cukup sering menghindar, tapi bukan berarti bisa menghindar selamanya. Ada
waktu-waktu tertentu dimana ibuku sangat keras kepala dan memaksaku untuk datang
ke rumah nenek.
Kunjungan sebentar pun sekarang menjadi terasa sangat tidak
nyaman. Bahkan dua hari lalu saat ibu bilang nenek mengadakan acara makan
bersama dan semua cucu harus datang pada hari Sabtu, pikiranku langsung kacau. Selama
dua hari menuju hari Sabtu aku merasa cemas, sibuk mengkritik keadaan diriku
saat ini yang masih belum mendapat pekerjaan baru.
Kehangatan yang dulu menyambutku di rumah nenek sekarang
sudah hilang. Kini hanya ada sapaan yang diikuti pertanyaan seputar karierkuāyang
sebenarnya tidak ada. Kalau saat masih kecil aku ingin tinggal di rumah nenek,
sekarang aku hanya ingin pulang ke rumahku secepatnya.
Rumah nenek yang dulu membuatku merasa disayang dan
merupakan tempat favoritku, kini hanya menjadi sebuah bangunan tempat nenek dan
kakekku tinggal. Tempat yang ingin kuhindari, yang kudatangi hanya untuk menunaikan
kewajiban. Tempat yang membuatku merasa kecil dan berpikir aku bisa merasa
nyaman di sana jika saja kondisi karier serta keuanganku lebih baik.
Tempat itu harus kudatangi hari ini, begitulah perintah
ibuku.
Dan kini aku hanya bisa berusaha melampiaskan rasa cemasku
lewat tulisan ini.
End
Terimakasih buat
yang udah baca. Sampai jumpa~
Best regards,
GSB
Comments
Post a Comment