#28 Thank You Boo - Produce 45
Main Cast : Lee Taeyong, Nam
Chaerin (OC)
Length : Drabble (1077 words)
Author : Salsa
**********
Tumpukan salju di kedua sisi
jalan banyak sekali. Aku dan Taeyong diam, berkonsentrasi pada jalanan. Kami
masih harus melewati beberapa kilometer untuk sampai di Starbucks tempat pria
di sebelahku ini bekerja. Ya, sudah sebulan belakangan ini dia menjadi barista
di sana.
Keheningan kami terganggu oleh
simfoni klasik karya Johann Pachelbel—Conan
in D Major—dari ponsel Taeyong. Lagu yang digadang-gadang akan menjadi lagu
pernikahannya dengan siapa pun makhluk beruntung yang akan bersanding dengannya
nanti.
“Hei, Tzuyu. Ada apa?” Ponsel
Taeyong terhubung ke speaker mobil.
[Kau ada di mana?]
“Lihat ke luar jendela,” suruhnya
konyol.
[Aku tidak melihatmu di tempat
parkir.]
“Aku hampir berbelok.”
Itu bohong. Kami masih
membutuhkan setidaknya lima sampai sepuluh menit sebelum berbelok. Aku berusaha
untuk tidak ikut campur. Aku menyandarkan kepala dan mau tak mau membayangkan
saat-saat di mana aku berada di posisi Tzuyu. Bukan bagian bekerja paruh waktu
di starbucks. Tapi saat di mana aku
menelepon Taeyong karena kesal menunggu terlalu lama, menanyakan keberadaannya
dengan hidung kembang-kempis dan harus mendengarnya mengatakan janji-janji
manis semacam itu, ‘berhitunglah sampai
30’ katanya, dan dengan naifnya aku benar-benar berhitung. Taeyong tentu
saja belum tiba saat aku selesai. Dia baru muncul di hitungan ke-530—mungkin; jika aku melanjutkan hitunganku.
[Junghan barusan meneleponku. Dia
tidak masuk. Aku di sini sendiri dan orang-orang mulai berdatangan. Kau pikir
aku bisa berdiri di kasir dan membuatkan pesanan mereka sekaligus? Tidak bisa,
kan? Aku harap kau benar-benar hampir berbelok.]
Tzuyu yang malang. Aku mendengar
suaranya yang semula berapi-api menjadi kian lirih di akhir. Dia pastilah
sangat frustrasi sampai hampir menangis. Well,
dia punya hak untuk itu. Aku saja yang merupakan outsider dalam situasi ini turut frustrasi. Bagaimana tidak? Shift mereka dimulai pukul 6 pagi dan
Taeyong baru mengeluarkan SUV-nya dari garasi Pukul 6 lewat 10.
“Kau akan melihatku di luar
jendela sebentar lagi, Boo.”
[Cepatlah!]
Tzuyu menutup teleponnya.
Aku menoleh pada Taeyong dan
menggeleng tak habis pikir. Harapan palsu yang meluncur tanpa henti dari
mulutnya itu memang membuatku kesal, tapi panggilan terakhirnya tadi (‘boo’)
membuatku dua kali lipat lebih kesal.
“Apa?” katanya, menyadari
tatapanku.
“Mulutmu pasti bakal gatal-gatal
ya kalau tidak memanggil semua cewek ‘boo’?”
“Apa masalahmu?”
“Tahu tidak, sih? Gara-gara itu,
teman-teman sekolahku jadi menggodaku terus.”
Taeyong mengernyit tak mengerti.
“Di Twitter.” Aku menatapnya.
“Kau memanggilku ‘Boo’ di Twitter dan semua orang mengira kita berkencan.”
“Kita memang berkencan.”
“Dulu,” sanggahku. “Dan cuma 3
bulan.”
“Okay. Aku akan berhenti
memanggilmu begitu jika itu maumu.”
“Dan suruh juga semua penggemarmu
untuk berhenti follow dan dm akunku.”
“Okay.”
Ini adalah masalah besar dan
Taeyong menanggapinya terlalu santai. Ia bahkan tersenyum. Bisa-bisanya dia
tersenyum! Kalian harus tahu sefanatik apa penggemar-penggemarnya! Semerepotkan
apa hidupku setelah kenal dengannya! Setiap harinya aku diteror dengan
pertanyaan ‘kakak ini siapanya Taeyong
Oppa?’ atau ‘Kakak.. aku adalah admin
fanbase Taeyong yang paling besar dan loyal, bolehkah aku minta alamat email
Taeyong Oppa? Ada yang kami, segenap TyongF seluruh Korea, ingin sampaikan
kepada Taeyong Oppa untuk projek ulang tahunnya’.
Kalian pasti bertanya-tanya,
bagaimana bisa seorang barista Starbucks
punya penggemar? Punya fanbase paling
besar dan loyal?
Nah, Taeyong ini bukan barista
sembarangan. Dia mantan personel boyband.
Namanya IXI. Boyband hasil audisi
pencarian bakat yang diadakan stasiun televisi swasta setahun silam. Mereka
tersingkir di minggu ketiga dan bubar begitu saja. Namun walaupun begitu,
karena paras Taeyong yang menawan bak karakter anime, ditambah lagi mulut manis
dan hobi tebar pesonanya di media sosial, para penggemar mereka—terutama
penggemar Taeyong yang menamakan diri mereka TyongF—tidak ikut bubar. Mereka
justru makin solid dan dengan tekun meneror semua orang yang berinteraksi
dengan Taeyong. Sekecil apa pun interaksi itu.
Aku adalah salah satu korbannya.
Tak terhitung sudah berapa akun
yang kublokir dan sudah berapa kali aku membuat tweet klarifikasi bahwa aku hanyalah teman dari idola mereka yang
sebenarnya tidak sempurna-sempurna amat ini.
Aku yakin Tzuyu dan Junghan punya
masalah yang sama. Mereka bahkan menolak untuk menjadi mutual Taeyong di dunia
maya karena alasan itu.
Namun Taeyong sendiri terlihat
tidak ambil pusing. Sebaliknya, aku yakin ia menikmati semua ini. Siapa sih
yang tidak senang digemari? Diagung-agungkan seolah dirinya adalah pusat tata
surya?
“Chaerin~a.”
“Apa?”
“Kau melamun.”
“Tidak, tuh.”
“Aku tanya,” Taeyong mengulangi
pertanyaannya—yang sejujurnya memang tidak kudengar, “selain tidak mau
dipanggil boo dan menyuruh para
fansku untuk mengunfollowmu, kau mau aku melakukan apa lagi?”
“Cih. Apa maksudnya bertanya
begitu? Tekan saja gasnya lebih kencang,” ujarku. “Kasihan teman shift-mu itu.”
Taeyong tertawa, namun tetap
menyetir mobil dengan kecepatan stabil. Aku mengira-ngira kami akan tiba dua
menit lagi. Aku akan mampir untuk membeli red
velvet cake rolls lalu menyetir SUV Taeyong ke Jongro. Ya, itulah tujuanku
berada di sini sekarang. Aku ingin meminjam mobil Taeyong selama pria itu
bekerja. Aku harus menghadiri peluncuran buku milik Nancy di Kyobo Book Centre. Nancy adalah saudara
sepupuku dan aku sudah berjanji akan datang sejak ia mengirimkan undangannya. Aku
akan menjadi sepupu yang baik; membawakan kue favoritnya, menyemangatinya,
mendengarnya membacakan beberapa bab di bukunya kemudian kembali ke Starbucks Taeyong sebelum jam 2 siang,
menjemput pria itu saat shiftnya berakhir.
Benar saja. Tak sampai dua menit,
Taeyong membelokkan setir dan menginjak rem. Ia mengulurkan tangan mematikan
mesin mobil. “Mau masuk dulu, kan?”
“Ya. Aku harus beli kue untuk
Nancy. Aku tak mungkin datang ke sana dengan tangan kosong.”
“Benar.” Taeyong mencabut
kuncinya dan membuka pintu. “Ayo.”
“Oh tidak,” sahutnya lagi saat
aku sudah membuka sabuk pengaman. “Jalannya licin. Kau tunggu di sini saja,
deh. Akan kubawakan kuenya.”
“Eh, tidak usah! Aku…”
“Red Velvet Roll, kan?” Ia menyelaku cepat, dan wibawa pada suaranya
membuatku enggan mendebat.
“Ya,” kataku. Taeyong mengangguk
kemudian menutup pintu.
Aku beringsut ke kursi kemudi dan
memerhatikan pria itu berjalan penuh perjuangan (pelan-pelan dan hampir
terpeleset) sebelum menghilang di balik pintu belakang toko.
Baiklah. Mungkin sejak tidak
sengaja mengenal Taeyong di facebook
4 tahun silam, kuakui hidupku memang lebih merepotkan. Namun bagaimanapun juga
aku tidak menyesal mengenalnya. Sekalipun aku tak ingat pernah benar-benar
mencintainya, bahkan selama kami pacaran, aku tetap tak bisa menampik fakta
bahwa aku membutuhkan pria itu di hidupku. Dia adalah sosok kakak laki-laki
yang seru dan bisa diandalkan. Yang tak segan mengingatkanku jika salah, dan
menjadi penghibur utamaku di kala gundah.
Aku melamun membayangkan semua
sejarah hidupku dengan Taeyong hingga tak sadar pintu disebelahku sudah terbuka.
Taeyong menyingkirkan salju dari jaket ungunya dan mengulurkan paperbag ke pangkuanku. Dia menatapku,
hidungnya kemerahan dan basah karena salju. “Jangan ngebut. Kau tidak harus
sampai di sini tepat jam 2. Mereka tak akan mengusirku. Aku juga belikan macchiato hangat dan croissant untukmu. Dihabiskan. Okay, Boo?”
Aku memutar mata. Dia tentu saja
sudah lupa dengan janjinya, kan?
“Okay,” Sebelum meraih pintu, kutepuk-tepuk
pipi merahnya hingga ia mengulas senyum. “Thank
you Boo.”
END
Comments
Post a Comment