Love Language: ONE




"To love and be loved is to feel the sun from both sides."

- David Viscott


.

.

.


JK as Jeon Justin



    Air mata Varsha tidak bisa dihentikan. Terus saja jatuh sejak Cio dilarikan ke UGD. Jantungnya seperti ingin direnggut dari tubuh saat melihat Cio diam tak bergerak. Pasalnya beberapa jam yang lalu, Varsha baru habis bermain dengan anjing kecil berwarna coklat itu. Tetapi saat ia kembali dari kegiatan mandinya, anjing itu sudah kehilangan kesadaran dan malam itu juga ia bersama dengan Justin membawa Cio ke rumah sakit.


    “Cha, udah jangan nangis. Kamu udah sesenggukan gitu..”


    Justin tidak henti mengusap punggung Varsha yang masih menangis di dalam dekapannya.


    “Tin, Cio..”


    Raungan yang sama sejak dokter masuk ke dalam ruangan. Justin pun hanya bisa terus menenangkan Varsha dengan usapan, kalimat penenang, dan juga kecupan di kepala.


    Justin tahu seberapa sayangnya Varsha dengan Cio. Ia juga tidak menampik jika keberadaan Cio sudah menjadi keharusan dikeluarga kecil mereka. Sedih pun tidak luput dirasakan Justin saat melihat hewan berbulu coklat itu dalam dekapan Varsha. Tapi ia tidak mungkin ikut meraung karena nanti siapa yang akan menguatkan wanita terkasihnya. Ia juga malu jika menangis di tempat umum seperti ini.


    Tidak lama, seorang dokter keluar. Varsha segera berdiri dan mendekati dokter tersebut bersama Justin yang menggenggam tangannya erat.


    “Dok..”


    Wajah dokter itu terlihat sedih. Dan hal itu membuat Varsha semakin merapal doa dalam hati.


    “Maaf..”


    Varsha tidak bisa lagi membendung tangis yang sempat terjadi. Detik itu juga ia kembali menangis dan Justin langsung menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapannya.


    “Cio sudah tidak bernyawa saat tiba. Tidak ditemukan penyebabnya, jantung, pencernaan, dan organ vital Cio semua dalam keadaan baik. Mungkin ini memang takdir Cio. Saya turut berduka atas kehilangan Bapak dan Ibu.”


    Dokter pria itu berucap sendu sebelum berpamitan meninggalkan Justin dan Varsha.


    “Cha, udah ya. Ikhlasin Cio, kasian Cio kalau kamu kayak gini.”


    Varsha tidak menggubris. Ia hanya bisa menangis, dan Justin tidak pernah melepaskan lingkaran tangannya dari tubuh mungil sang istri.


    Selama perjalan pulang, Justin terus saja menggenggam tangan Varsha yang memangku peti Cio. Ia tahu wanita itu pasti sangat terpukul dengan kepergian Cio. Varsha dan Cio adalah best accompanier for each other. Mereka sangat dekat karena saat Justin bekerja, mereka selalu menghabiskan waktu berdua.


    Saat sampai, Justin keluar lebih dulu untuk membukakan pintu sekaligus memastikan kepala Varsha tidak terbentur. Ia lalu merangkul pundak Varsha dan mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah.


    “Tin..” Panggil Varsha saat Justin meninggalkannya sendiri di ruang tengah.


    “Iya sebentar.” Teriak Justin yang entah berada dimana.


    Tidak lama, Justin kembali dengan cangkul yang ia ambil di garasi.


    “Maaf ya, aku ambil ini dulu.” Ujar Justin lalu mengecup kembali puncak kepala Varsha.


    Kini keduanya sudah berada di taman belakang. Justin mencangkul tanah dan Varsha masih setia memeluk peti kecil itu.


    “Cha..” Panggil Justin setelah lubang seukuran peti itu sudah selesai.


    Walau berat, Varsha mengangguk singkat. Lalu ia mengusap tutup peti dan mengecupnya sebelum membiarkan Justin menguburkan peti itu.


    Varsha tidak henti menangis ketika melihat peti Cio mulai ditimbun tanah. Rasanya sakit sekali. Kehilangan Cio sama seperti kehilangan keluarga baginya. Ia tidak menyangka jika Cio akan pergi secepat itu.


    “Udah Cha, kita doain Cio aja ya..”


    Justin yang berjongkok di samping Varsha pun menggenggam erat tangan Varsha sembari mendoakan Cio yang sudah tenang di tempat barunya. Ibu jarinya bergerak mengusap punggung tangan Varsha yang mulai terasa dingin.


    “Cha, udah ya kita masuk sekarang. Angin malemnya dingin banget buat kamu.”


    Dengan anggukan lemah, Justin pun membawa Varsha kembali ke rumah menuju kamar mereka. Justin mendudukkan Varsha di kasur lalu mengambil selimut di lemari dan menyelimuti tubuh mungil itu. Ia lalu bergabung dengan Varsha yang sesekali masih menitihkan air mata.


    “Udah ya, Acha jangan nangis lagi. Cio udah bahagia di tempat barunya.”


    Mendengar itu, tangis Varsha kembali pecah. Justin pun langsung mengangkat tubuh Acha ke atas pangkuannya, dan memeluk  erat tubuh itu.


    “Cio kenapa pergi cepet banget?”


    “Emang udah takdirnya Cha..”


    Justin hanya diam mendengarkan curahan hati sang istri. Ia memberikan waktu untuk Varsha menyampaikan kesedihannya hingga wanita itu lega. Sampai tangis itu sudah tak terdengar lagi, Justin baru berani membuka suaranya.


    “Udah ya, nanti kamu capek. Kita ikhlasin Cio, dia udah seneng di sana. Kalau kamu nangis terus nanti dia jadi sedih.” Ujar Justin yang kini mengangkat kepala Varsha yang bersandar di pundaknya.


    Ia perhatikan dengan lekat wajah Varsha yang memerah dengan mata yang sedikit membengkak. Lantas jemarinya bergerak menyeka sisa air mata yang membasahi kedua pipi tembam istrinya itu.


    “Udah jangan nangis lagi, mata kamu udah bengkak. Nanti perih loh..”


    Tidak ada jawaban. Varsha hanya mengangguk sembari membiarkan jemari besar Justin mengusap pipinya.


    “Cio emang udah pergi Cha, tapi dia tetep ada di sini.” Telunjuknya menunjuk dada Varsha. “Dia selalu hidup di sini. Jadi jangan sedih lagi ya..”


    Kepala Varsha mengangguk lagi, dengan lengkungan tipis yang muncul di bibir.


    “Gitu dong senyum. Kamu lebih cantik kalau senyum tau Cha..”


    Mendengar itu, senyum Varsha semakin terbit. Inilah Jeon Justin. Pria yang begitu mengerti dirinya yang selalu bisa menghadirkan kembali senyum setelah air matanya tumpah. Pria hangat yang ia pilih untuk mendampingi hidupnya hingga akhir hayat.


    I love you Tin, makasih ya..”


    Justin tersenyum, lalu mengecup kening Varsha lama sebelum kembali memeluk erat tubuh mungil yang masih betah berada di atas pangkuannya itu.


    "I love you too, my love.”



E . N . D




- DF -

Comments

Popular Posts