UPSIDE DOWN: Rack and Ruin - Part 1


.
.
.
.
.

    Setelah menghabiskan separuh usianya di luar negeri untuk sekolah sekaligus menemani sang Ibu, Chaerin akhirnya bisa kembali menghirup udara negara kelahirannya. Setibanya, mereka langsung disambut hangat oleh keluarga, tak terkecuali Yunga. Kakak sepupu rasa saudara yang sangat irit bicara itu. Dibandingkan dengan sepupunya yang lain, Chaerin lebih dekat dengan sosok Yunga. Sedari kecil mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama, dan Yunga menjadi satu-satunya orang yang tahu seberapa hancurnya Chaerin setelah pemakaman sang Ayah.


    Alasan kepulangan ia dan sang Ibu enggak lain karena rindu kampung halaman juga karena ingin mulai berkontribusi dalam bisnis keluarga sang Ibu, mengingat Ayahnya adalah seorang tentara. Chaerin sudah berjanji pada sang Kakek jika ia akan bergabung dengan Min Group jika studinya telah usai. Karena itulah ia akhirnya pulang untuk menempati posisi kepala marketing perusahaan sesuai dengan bidang ilmu yang dirinya pelajari. 


    Meski terbilang muda, Chaerin mampu menunjukkan kualitas dirinya dengan membawa perusahaan memenangkan lebih dari lima tender penting dan besar selama satu tahun ini. Ia juga berhasil membuat beberapa majalah bisnis menjadikan perusahaan mereka sebagai headline utama. Tidak sedikit orang yang sebelumnya meremehkan kemampuannya akhirnya berbondong-bondong memberikan dukungan untuk dirinya. Dan Chaerin sangat mensyukuri hal itu.


    Sama seperti siang hari pada umumnya, Chaerin masih berada di balik meja kantor dengan setumpuk pekerjaan yang hampir selesai. Tinggal tersisa dua pekerjaan lagi dan ia bisa bebas.  Suasana ruangannya cenderung hening membuat Chaerin sangat mudah berkonsentrasi sehingga pekerjaannya dapat selesai dengan cepat.


    Bolpoin kesayangannya masih digenggam dan mata yang  bergerak dari kiri ke kanan saat membaca deretan kata di atas kertas, tapi Chaerin tiba-tiba saja malah menjatuhkan bolpoinnya. Membuat benda berwarna hitam itu menggelinding ke lantai saat tubuh tegapnya ambruk di atas meja. Rasa sesak dan sakit di dada tiba-tiba saja menyerangnya tanpa belas kasih. Seketika menyebabkan matanya terpejam dan dahinya mengerut. Erangan terlontar dari bilah bibirnya.


    Rasa sesak itu perlahan membuat Chaerin merasa sangat sulit untuk bernapas. Deru napasnya menjadi cepat tetapi jumlah udara yang masuk dan keluar dari paru-parunya tidak sebanding. Tangan bebasnya beralih meremas dada saat rasa sakit itu semakin menjadi. Membawa erangan penuh kesakitan kembali tersuarakan. Beruntung ruangannya kedap suara sehingga suara kesakitannya tidak terdengar keluar.


    Chaerin berusaha untuk menjaga kesadarannya. Ia tidak ingin kalah dengan rasa sakit yang entah kenapa bisa muncul. Setahunya ia tidak punya riwayat penyakit jantung atau gangguan pernapasan begitu pula dengan keluarganya. Tapi kenapa di siang yang baik itu dadanya terasa sangat sakit hingga ia berkeinginan untuk melepaskan dadanya dari tubuh sampai rasa sakit itu hilang.


    Perjuangannya pun mulai membuahkan hasil. Perlahan rasa sakit dan sesak yang menyerang berkurang hingga dirinya mampu membuka kelopak mata. Napasnya masih memburu saat obsidian menyapa cahaya matahari yang bersinar terik di luar. Peluh yang memenuhi dahi saat pendingin ruangannya berada pada suhu rendah menunjukkan seberapa kuatnya ia menahan rasa sakit itu. Tubuh lemahnya juga sudah bisa ia tegakkan sampai rasa sakit kembali menyerang lebih tepatnya pada lambang di dekat tulang selangka. Sontak tangannya beralih memegangi lambang tersebut dari balik kemejanya.


    Bermodalkan sisa tenaga yang tidak seberapa, Chaerin berusaha berdiri dengan kedua kakinya. Membawa kaki jenjang berbalut heels hitam itu melangkah mendekati lemari kaca di dekat jendela. Dengan tertatih kaki itu melangkah sampai dirinya berhenti tepat di depan kaca lemari tersebut. Pandangannya tidak lepas memandangi diri sendiri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kemudian perlahan jemarinya bergerak menyentuh kancing kemeja dan membuka dua kancing teratas.


    Seketika matanya menyorot tajam pada lambangnya yang berpendar merah. Kemudian mata itu bergerilya memperhatikan dadanya yang kini telah berhiaskan lebam serta goresan memanjang melewati ulu hati hingga berakhir di lambangnya. Sebuah kesadaran akhirnya menampar otaknya yang sedari tadi terus mempertanyakan kondisi tubuhnya yang berubah tiba-tiba. Tangannya yang berada di kedua sisi tubuh mengepal kuat sementara sorotnya dipenuhi angkara.


    “Betrayal.” Desisnya.


    Mendapati kenyataan yang tidak pernah terpikirkan akan terjadi membuat gelombang amarah dalam tubuh berlomba untuk sampai pada batas maksimal. Melewati setiap tahap hingga melahirkan tekad yang terpupuk oleh rasa kecewa, marah, dan sakit yang membuat hatinya memutuskan untuk tidak menerima mate-nya. Chaerin tidak suka pada penghianatan dan kebohongan. Lebam dan luka yang kini bertahta angkuh ditubuhnya menunjukkan bahwa mate yang belum pernah bertemu itu telah melakukan pengkhianatan besar dengan mendustai takdir yang telah ditetapkan. Segala jenis pengkhianatan tidak bisa dimaafkan. Karena itu dirinya bersumpah untuk hidup tanpa mate-nya apa pun yang terjadi. Sekalipun ia harus merasakan rasa sakit yang luar biasa saat masa heat-nya karena ketidakhadiran mate-nya, lebih baik dibandingkan hidup bersama dengan pengkhianat.

 


*   *   *   *

 


    Suara hentakan telapak heels dengan lantai marmer itu membuat atensi dua wanita setengah baya teralihkan dari acara tv. Keduanya sontak menoleh pada sumber suara hingga bayangan pemilik heels tersebut perlahan muncul. Sejujurnya mereka tahu siapa sosok itu hanya dari bunyi hentakannya. Namun kepala keduanya tetap bertahan hingga pemilik heels tersebut muncul.


    “Chaerin, ada apa? Kenapa kamu sudah pulang?”


    Chaerin menoleh dan tersenyum kecil. “Aku izin pulang lebih dulu karena tubuhku tidak enak, Ma.”


    “Kamu sakit? Mau Tante panggilkan dokter?”


    Chaerin menggeleng pelan sembari merapikan syal yang melilit leher untuk menutupi lukanya.


    “Tidak perlu, Tan. Aku akan beristirahat di kamar saja.”


    “Beristirahatlah, nanti Mama akan meminta Tante Hong untuk mengantarkan teh  ke kamarmu.”


    Chaerin mengangguk sebelum kembali merajut langkahnya menuju kamar di lantai dua.


    Setelah menutup pintu dan memastikan jika ia telah menguncinya. Chaerin baru bisa melepaskan syal yang melindungi lehernya itu. Rasanya panas karena suhu di luar cukup tinggi. Tapi dirinya juga tidak bisa untuk melepasnya saat ada orang lain. Ia tidak mau jika ada yang menyadari bahwa dirinya baru saja mendapatkan betrayal. Cukup sahabatnya saja yang mengetahui hal tersebut, karena kedatangannya ke butik Jiyeong untuk mendapatkan syal yang akan menyelamatkan dirinya. Keluarganya tidak perlu tahu terutama sang Ibu karena hanya akan membuat mereka semua khawatir.


    Segera bergegas menuju kamar mandi dengan baju berkerah yang ia yakini dapat menutupi lukanya. Chaerin kembali mematut dirinya di depan cermin. Memperhatikan setiap gerakan yang ia lakukan termasuk saat dirinya membuka seluruh pakaiannya. Matanya mengerjap cepat sebelum menatap marah pada pemandangan tidak menyenangkan dari pantulan di depannya.


    “Sial! Melihatnya saja membuat amarahku bertambah besar.”


    Matanya masih memperhatikan luka dan lebam yang bersemayam di tubuhnya. Mengamati dengan seksama dan merekam dengan sangat baik di dalam pikirannya. Ia harus mengingat bagaimana tubuhnya kini rusak karena sebuah pengkhianatan. Ia harus jadikan ingatan itu sebagai alarm jika nanti dirinya goyah pada mate bodoh yang tidak pantas mendapatkan kesetiaannya.


    “Demi takdir yang telah rusak, aku bersumpah tidak akan pernah menerima siapapun mate-ku yang telah mengakibatkan kesakitan ini!”



*   *   *   *

 


    Yunga tampak asyik menikmati makan siangnya bersama dengan ketiga sahabatnya, Kavee, Yujin, dan Jeka. Mereka sengaja bertemu karena kebetulan Kavee sedang ada urusan di dekat kantornya sementara Jeka memang memutuskan untuk ikut bergabung karena tempatnya bekerja tidak jauh dari kantor milik Yunga. Sedangkan Yujin, sahabatnya sejak kuliah itu memang bekerja di perusahaan keluarganya.


    Di tengah pembicaraan mereka seputar dunia basket dan bisnis, dering ponsel Yunga membuat laki-laki itu berhenti sejenak sebelum melihat layar benda datar yang tergeletak di dekat gelas minumnya. Ia meraih benda itu dan melihat nama sang Ibu di sana. Lantas jarinya bergerak menyentuh warna hijau dan menggesernya hingga suara sang Ibu menyambut gendang telinganya.


    “Halo..


    “Halo Ga, apa kamu sedang sibuk? Maaf jika Mama mengganggumu.


    Yunga menggeleng walau ia tahu sang Ibu tidak dapat melihatnya. “Tidak Ma, kebetulan aku sedang makan siang. Ada apa Ma?


    “Berarti kamu sedang tidak di kantor? Jadi kamu tidak tahu jika Chaerin sakit?”


    “Chaerin sakit? Sakit apa Ma?” Tanya Yunga khawatir.


    “Mama tidak tahu. Hari ini Chaerin pulang cepat karena katanya sakit. Saat Tante Ji tanya, dia hanya bilang badannya tidak enak. Kemudian ia juga menolak saat Mama menawarkan untuk memanggil dokter. Ini sedikit aneh untuk Mama dan Tante Ji karena tidak biasnya Chaerin seperti ini. Padahal pagi tadi dia baik-baik saja.


    Yunga terlihat menarik napasnya sebelum kedua belah bibirnya kembali terbuka.


    “Mungkin Chaerin hanya kelelahan saja Ma. Jangan terlalu khawatir. Jika Mama dan Tante Ji masih merasa aneh dengan keadaan Chaerin, biar aku yang bicara dengannya.


    Terdengar embusan napas dari seberang sambungannya. “Baiklah. Maaf jika Mama mengganggu waktumu. Selamat makan dan jaga kesehatanmu.


    “Hm.. Mama juga.


    Yunga pun menjauhkan ponselnya dan meletakkan kembali ke atas meja.


    “Ada apa?” Tanya Yunji setelah menyesap kopinya.


    “Mamaku menanyakan soal Chaerin. Katanya dia tiba-tiba pulang karena sakit.”


    “Bang! Chaerin yang kau bicarakan itu Lim Chaerin yang tembam itu?” Tanya Kavee tiba-tiba.


    Yunga mengangguk membenarkan.


    “Wah.. aku ingin bertemu dengannya. Ini sudah lama sekali.”


    Antusiasme Kavee membuat Jeka yang sebelumnya sibuk memperhatikan Yunga berganti atensi menjadi pada dirinya. Pria muda itu memiringkan kepalanya dan bertanya, “Memang Chaerin itu siapa?”


    “Sepupu Bang Yunga. Waktu kecil, aku beberapa kali bertemu dan bermain dengannya saat dia berkunjung ke rumah Bang Yunga.”


    Jeka terlihat menganggukkan kepalanya. Akhirnya ia paham mengapa Kavee bisa tahu sosok bernama Chaerin yang Yunga bicarakan dengan sang Ibu di telepon.


    “Oh iya, kalian kan bertetangga ya..” Gumamnya lebih untuk dirinya sendiri.


    “Mungkin saja Chaerin kelelahan makanya ia merasa kurang enak badan.” Yujin kembali berucap.


    Kepalanya kembali dianggukkan. “Aku juga berpikiran seperti itu. Tapi saat ingat bagaimana kualitas daya tahan tubuh Chaerin rasanya memang sedikit aneh. Wajar saja jika Mama dan Tante Ji menjadi khawatir seperti itu.”


    Lantas keempatnya membiarkan topik terkait Chaerin terbang bersama angin dingin yang diembuskan pendingin ruangan. Membawa diri mereka kembali pada pembicaraan seputar pekerjaan yang sempat terjeda karena panggilan yang diterima Yunga. Namun dalam pikirannya, Yunga tidak bisa berhenti memikirkan sang adik sepupu. Pasalnya sebelum pergi makan siang, dirinya masih bertemu dengan Chaerin dan keadaan gadis itu baik-baik saja. Tidak terlihat jika ia kelelahan atau sakit.


    Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada Chaerin?


    Entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak saat memikirkan hal itu?


    Yunga memang bukan kakak kandung Chaerin. Tetapi karena mereka sudah sangat dekat sejak kecil maka ikatan saudara mereka juga menjadi kuat. Sehingga Yunga jadi dapat merasakan rasa khawatir layaknya dengan saudara kandung. Mengingat dirinya dan Chaerin sama-sama anak tunggal, tidak aneh jika Yunga sudah menganggap Chaerin sebagai adiknya sendiri begitupun sebaliknya.



*   *   *   *

 


    Di balik selimut tebal, Chaerin menyembunyikan tubuhnya. Tidak ada hal berarti yang dirinya lakukan selain mengoperasikan ponsel dan berselancar di dunia maya. Rasa sakit akibat betrayal yang baru saja diterimanya masih membuat tubuhnya lemas. Membuat dirinya juga menjadi malas untuk melakukan hal lain selain beristirahat di atas kasur.


    Ketenangan yang menyelimuti Chaerin kemudian terusik saat pintu kamarnya diketuk dari luar. Dengan perasaan yang berat dan rasa enggan yang cukup besar, Chaerin tetap meninggalkan kasur empuknya untuk membuka kunci bagi sang pengetuk. Setelah memutar kunci, tangannya bergerak menyentuh gagang silver dan menekannya hingga pintu terbuka. Senyumnya langsung terbit begitu onyx coklatnya melihat keberadaan Yunga di depannya.


    “Kakak pulang?”


    Yunga menaikkan salah satu alisnya. “Memangnya Kakak tidak boleh pulang ke rumah sendiri, hm?”


    “Bukan, bukan seperti itu. Hanya saja Kakak biasanya lebih memilih pulang ke apartemen karena lebih dekat dengan kantor.”


    Melihat ketidaknyamanan Chaerin membuat Yunga tertawa kecil. Tangannya ia angkat untuk mencubit pipi adik sepupunya itu karena gemas.


    “Kakak hanya bercanda.”


    Chaerin yang kesal lantas menepis tangan Yunga dari pipinya dan beralih kembali ke atas kasur untuk mengubur tubuhnya di bawa selimut tebal yang sejak tadi melindungi dirinya. Sedangkan Yunga, pria itu mengikuti langkah Chaerin hingga tubuhnya berhenti di samping dan mendaratkan bokongnya di tepi kasur.


    “Ku dengar kamu sakit, benarkah?”


    Chaerin menghela. “Pasti dari Mama dan Tante.” Gerutunya.


    “Aku hanya kelelahan saja, tidak lebih.” Sambungnya.


    Yunga mengangguk. Kemudian tangannya bergerak menyentuh dahi Chaerin bermaksud memastikan suhu tubuh gadis itu.


    “Hm.. tubuhmu tidak panas.”


    Chaerin memutar bola matanya. “Tentu saja, aku tidak demam hanya lelah saja.”


    Melepaskan tangannya dari dahi Chaerin kemudian memfokuskan atensinya pada wajah gadis itu. Sekalipun mereka sempat terpisah jauh karena Chaerin pergi bersama Ibunya keluar negeri, tetapi kemampuan Yunga untuk mengetahui apa yang terjadi pada Chaerin melalui mata gadis itu masih sangat baik. Ia hanya perlu menatap dalam onyx kecoklatan itu.


    “Kakak tidak tahu apa yang terjadi padamu, tetapi Kakak merasa ada hal yang mengusik pikiranmu.” Yunga terlihat menarik napas. Memberikan sedikit jeda untuk mengetahui bagaimana reaksi Chaerin. Lantas mengembusnya perlahan sebelum kembali berucap, “Kamu bisa menceritakan apapun pada Kakak, kamu tahu itukan?”


    Chaerin seperti tertusuk saat mendengar ucapan Yunga. Rasa sakit karena membohongi Yunga hampir sama dengan rasa sakit akibat pengkhianatan. Sejujurnya ia ingin mengatakan yang sebenarnya. Ia perlu seseorang untuk membagi rasa kecewanya. Tapi ia tidak bisa. Ia tidak ingin membuat orang lain terbebani dengan permasalahannya. Ia harus bisa menghadapi masalahnya sendiri, seperti yang Ayahnya ajarkan dulu. Ia harus menjadi sosok kuat dan tidak bergantung pada siapa pun.


    Ia mengangguk. ”Hm.


    “Oh iya, bagaimana dengan rencana perayaan ulang tahunmu?” Tanya Chaerin yang berusaha mengalihkan pembicaraan seputar dirinya.


    “Kakek telah mengaturnya. Kakek bilang karena aku cucu laki-laki dan pertama maka aku yang akan memimpin perusahaan. Perayaan ulang tahun itu sekaligus mengumumkan secara resmi pergantian kepemimpinan.”


    Hening yang terjadi setelah penjelasan yang diberikan Yunga. Chaerin dan Yunga sama-sama tengah membiarkan pikiran mereka melayang. Tidak memikirkan apa pun untuk beberapa saat. Sampai embusan napas berat Yunga menyadarkan Chaerin dari lamunannya.


    “Kalau begitu Kakak akan kembali ke kamar. Beristirahatlah, jika masih sakit lebih baik kamu tidak usah bekerja besok.”


    Kepalanya mengangguk dengan sudut bibir yang tertarik membentuk lengkungan.


    Yunga kembali mengusap puncak kepala Chaerin sebelum menanggalkan kasur yang diduduki. Namun sebuah pemandangan menarik perhatiannya hingga membuat tangannya berhenti mengusap sedang matanya menjadi fokus pada titik tersebut. Dari balik kerah yang sedikit berantakan, Yunga dapat melihat sedikit warna keunguan di sana. Ia tidak tahu itu apa tetapi dilihat dari warnanya, Yunga bisa menebak jika itu sebuah lebam.


    Sementara Chaerin, gadis itu bingung dengan kebisuan mendadak sang kakak sepupu. Ia bahkan sampai memiringkan kepalanya hanya untuk menatap tepat di mata Yunga. Kemudian ia mengikuti arah pandang pria itu hingga akhirnya ia sadar kemana obsidian gelap itu menatap. Buru-buru ia merapikan pakaiannya terutama pada bagian kerah untuk menutupi apapun yang tersembunyi di balik kain hitam itu.


    “Em.. kalau begitu Kakak keluar dulu.”


    Yunga lantas meninggalkan ruangan berdominasi warna putih itu. Menutup pintunya sebelum membawa langkah kaki menuju kamarnya yang berada di lorong lain.


    Pikirannya bekerja dengan liar. Melihat hal aneh di tubuh Chaerin membuat beberapa spekulasi muncul. Darimana datangnya warna keunguan itu? Apakah adik sepupunya itu berkelahi hingga memiliki luka di tubuhnya? Atau ada penyebab lain yang menyebabkan warna itu menghiasi kulit seputih susu Chaerin? Hingga sampai pada perkiraan yang tidak dirinya harapkan. Sebuah pengkhianatan atau betrayal. Jika hal itu benar terjadi, Yunga bersumpah akan menghabisi siapapun mate Chaerin yang telah berani melukai sosok yang dikasihinya.



T . B . C




- DF -

Comments

Popular Posts