UPSIDE DOWN: Rack and Ruin - Part 5



.

.

.

.

.

    Chaerin semakin menyibukkan diri dengan pekerjaan kantor. Memilih menemui klien di luar hanya untuk mengurangi kemungkinan pertemuannya dengan Yunga, karena kantor menjadi satu-satunya tempat dimana Yunga dapat menemui Chaerin. Rumah sudah tidak lagi karena sehari setelah penandaan yang Chaerin lakukan, dirinya memutuskan untuk meninggalkan rumah dan tinggal di apartemen. Alasannya karena banyaknya pekerjaan sehingga ia butuh tempat tinggal yang lebih dekat dengan kantor. Jelas, sang Ibu akhirnya menyetujui walau berat melepaskan anak gadisnya. Tidak ada yang tahu lokasi apartemen mewah yang Chaerin beli, hanya Jiyeong dan kekasihnya yang juga sahabat Chaerin –Marka.


    Menutup akses pada siapa pun bukanlah perkara yang mudah walau kenyataannya Chaerin telah berhasil melakukan hal itu bersamaan dua kali masa heat yang dilaluinya seorang diri. Ia akan meminta izin beberapa hari untuk mempersiapkan diri menghadapi heat-nya dan kemudian menata diri untuk menghadapi dunia. Mudah, hanya dengan mengatakan dirinya sakit maka ia tidak perlu masuk kantor.


    Semua rencananya untuk hidup tanpa mate tampak berjalan sesuai keinginan. Tapi jauh di lubuk hatinya ia tahu jika alpha bajingan yang merupakan mate-nya masih belum berhenti mengusik kehidupannya. Jayson masih terus berusaha menemuinya sekalipun ia telah meminta penjaga kantor untuk menolak kedatangan Jayson. Tidak hanya itu saja, Jayson juga masih berusaha untuk menghancurkan dinding pelindung yang membatasi sisi dominan dalam dirinya dengan sisi dominan dalam diri Chaerin untuk bisa mengetahui keadaan masing-masing. Hingga setiap kali ia merasa Jayson tengah mencoba berkomunikasi dengannya maka disaat itu pula ia akan menambah lapisan dinding tersebut dan mempertingginya agar dominasi dalam tubuhnya tidak diusik, walau kenyataannya sisi tersebut terus meraung pada keegoisan dirinya.


    Namun lagi-lagi ada yang Chaerin lupakan. Sebuah hukum yang sama sekali tidak dipikirkannya saat melakukan sumpah malam itu. Hukum leluhur mengenai kehidupan sepasang alpha dan omega. Hukum yang sampai saat ini tidak disadarinya walaupun telah timbul dampak dari apa yang dirinya lakukan sesuai dengan hukum tersebut. Ia mengabaikannya. Cenderung tidak peduli karena kesadarannya telah tertutup oleh angkara dan sakit hati. Berpikir logis pada apa yang terjadi dengan dirinya tanpa berniat untuk menghubungkannya dengan hukum leluhur.


    Chaerin pikir rasa mudah lelah dan sakit kepala yang sangat menyakitkan itu timbul karena pekerjaan yang banyak serta kurangnya istirahat. Maka pemikiran tersebut pada akhirnya hanya membawa Chaerin pada botol vitamin serta apartemennya. Memilih untuk menghabiskan akhir pekan dengan berdiam diri di atas kasur serta meminum vitamin –yang dibelinya di apotek– setiap hari. Jika kepalanya tiba-tiba sakit hingga membuat ia merasa kesadarannya akan terenggut, maka obat pereda akan ia tenggak bersama air mineral yang membantu tertelannya obat tersebut.


    Sejak pagi  kepalanya sudah terasa sangat sakit. Ini sudah kali kedua dalam minggu ini Chaerin mengalami hal tersebut. Sebelumnya rasa sakit yang ia rasakan tidak sesakit sekarang. Kedatangan sakit itu pun tidak sesering dua minggu belakangan ini. Hingga membuat dirinya harus membawa satu botol kecil berisi obat pereda sakit dan botol lain yang berisi obat sakit kepala di dalam tasnya. Beberapa saat setelah kedua butir tersebut tertelan, maka rasa sakit yang ia rasakan akan berkurang dan perlahan menghilang.


    Sayang hal lain terjadi saat perlahan rasa sakit itu mulai menghilang. Rasa panas tiba-tiba saja menyerang tubuhnya ketika obat-obat tersebut tengah bekerja di dalam tubuhnya. Membuat Chaerin yang masih terduduk lemah di atas kursi kerjanya tiba-tiba menggulung tubuhnya saat rasa panas itu menyerang hingga ke dalam tulang. Membuat denyutan di setiap titik tubuhnya yang berhasil mengeluarkan erangan kecil dari mulutnya.


    “Sial!” Umpatnya saat mengetahui tanda-tanda apa yang terjadi pada tubuhnya. “Kenapa heat-ku datang lebih cepat?!”


    Chaerin berusaha untuk mengumpulkan sisa tenaganya. Dengan mata terpejam, ia menarik napas kemudian mengembuskannya berkala. Ia ulangi sampai asa sakit yang dirasakannya sedikit berkurang.


    Maka dengan tenaga yang mulai menurun, Chaerin bergegas merapikan seluruh barangnya. Menyimpan ponsel, obat, dan beberapa barang kecil miliknya ke dalam tas sebelum membawa heels putihnya meninggalkan ruang kerja. Ia berusaha untuk mengatur mimik wajahnya saat akan keluar. Dirinya tidak ingin ada yang menyadari kondisinya. Karena itu, saat dirinya mengatakan akan pulang lebih dulu karena sakit maka sekretarisnya hanya dapat mengangguk sambil memperhatikan kepergiannya dengan dahi mengkerut.


    Menghindari pertemuannya dengan beberapa orang yang berisiko menahan kepulangannya, maka Chaerin memilih untuk menggunakan tangga darurat. Beruntung ruangannya berada di lantai sepuluh tidak seperti Yunga yang berada di lantai tujuh belas. Sekalipun kakinya akan sakit, tapi tidak akan sesakit jika ruangannya berada di lantai yang sama dengan sang kakak sepupu.


    Saat dirinya sampai di lantai dasar, ia segera bergegas menuju pintu keluar. Kembali menghindari orang-orang penting di kantor agar dirinya bisa segera memasuki mobilnya yang terparkir di luar. Sayangnya langkah panjang dan cepat itu harus terhenti ketika gelombang panas kembali menyerangnya. Membuat ia tiba-tiba saja membungkuk saat rasa panas itu menghantam tanpa ampun hingga menghadirkan kembali rasa sakit dikepalanya. Erangan kecil kembali lolos saat titik tersensitifnya berkedut kencang dan penghidunya menghirup aroma yang membuat sisi dominannya meraung.


    Argh sial!”


    Mengenyampingkan rasa sakit yang semakin menjadi, Chaerin akhirnya mencoba melangkah walau sedikit tertatih. Rasa sakit yang menyerang kepalanya membuat dirinya tidak bisa fokus dalam memperhatikan jalannya. Membuat kaki jenjang itu harus beberapa kali berhenti sebelum seseorang menahan tubuhnya yang oleng akibat gelombang panas yang semakin menjadi.


    “Hei kamu baik-baik saja?”


    Pertanyaan itu mengalun diiringi nada khawatir yang jelas terdengar. Chaerin tahu benar siapa pemilik suara itu sekalipun matanya tengah memejam untuk menahan rasa sakit yang menyerang kepalanya. Sisi dominannya langsung bersorak ketika merasakan tangan kekar itu memegangi lengannya dan dada bidangnya yang menempel pada sisi tubuhnya. Sebuah kenikmatan yang membuat sisi dominannya meminta lebih. Namun Chaerin mengenyampingkannya dan berusaha untuk melepaskan diri saat suara berat lain terdengar menyebutkan namanya.


    “Astaga Chaerin.”


    Sosok lain datang dan mengambil alih dirinya dan membawa tubuh mungilnya ke dalam dekapannya. Membuat sisi dominannya menggeram kesal yang kembali ia abaikan.


    Chaerin tidak menjawab. Matanya masih setia terpejam. Dirinya masih berusaha keras untuk mengurangi rasa sakit dikepalanya yang kini membuat telinganya berdengung.


    “Chaerin buka matamu, lihat Kakak.” Sosok itu kembali bersuara tapi Chaerin masih tidak menggubrisnya. Rasa sakit itu berhasil menguasai dirinya terlebih gelombang panas yang bersemayam dalam tubuh yang membuat titik sensitifnya berdenyut mengerikan. Tidak hanya itu saja, kini penghidunya mulai mengendusi aroma feromon yang menguar dari sosok pertama. Siapa lagi kalau bukan sisi dominannya yang membuat ia seperti kehausan akan keberadaan sosok tersebut.


    Sebuah tangan kini mendarat di atas permukaan keningnya. Kemudian merambat ke leher hingga tarikan kecil dirasakannya pada kerah pakaiannya. Maka tidak lama setelah itu pemilik feromon yang masih dihidunya dengan rakus itu berkata lirih, “Heat-mu datang.”


    Membawa kembali kesadarannya di tengah rasa sakit dan panas tidaklah mudah. Chaerin masih diam dan membiarkan dua pria itu berucap tanpa memberikan balasan. Hingga ia merasakan usapan ringan di atas lambangnya yang ia yakini tengah berpendar terang. Membuat tanpa sadar dirinya kembali meloloskan erangan dibarengi dengan gemuruh dalam dada yang timbul akibat salah satu titik sensitifnya merasakan hal yang seharusnya dirasakan setiap kali heat datang.


    Sebuah kesadaran kini menamparnya saat gemuruh di dada itu berubah menjadi kejangan kecil ketika telapak tangan itu kembali mengusap lambangnya. Bahwa sentuhan yang dirinya lakukan selama ini untuk memenuhi hasratnya masih belum cukup dibandingkan dengan sentuhan ringan sosok tersebut, yang mampu mengalirkan adrenalin hingga membuat jantungnya berdetak kencang dan napasnya memburu. Menyadari hal tersebut, sisi dominannya kembali menyuarakan kegembiraan dengan memaksa Chaerin untuk semakin melemahkan tubuhnya di bawah sentuhan tangan itu. Namun ingatan akan betrayal yang bersemayam dalam diri membuat Chaerin pada akhirnya menepis tangan yang masih mengelus lambangnya. Melepaskan diri dari dekapan sosok di belakangnya walau tubuh berbalut kemeja biru muda itu tengah bergetar.


    “Chaerin..” Sosok yang sedari tadi mendekapnya berucap lirih. Ia berusaha untuk mendekat tapi Chaerin menghentikannya.


    “Tidak Kak Yunga, jangan mendekat.”


    “Chaerin, Kakak minta maaf atas kelancangan Kakak. Tapi Kakak mohon, tolong dengarkan Kakak.”


    Chaerin menggeleng keras. “Tidak aku sedang tidak ingin mendengar apa pun.”


    “Chaerin, heat-mu datang. Tolong izinkan-”


    “Tidak!” Selak Chaerin. Tatapannya yang semula meredup karena rasa sakit kini kembali menghunus tajam. “Aku sudah mengatakan untuk hidup tanpa mate, maka aku akan melewati semua heat-ku tanpa dampingan siapa pun.”


    Ia menarik napas dalam kemudian menghela dengan kasar. 


    “Aku tidak butuh kau jadi jangan bersikap peduli!” Maka dengan kalimat terakhir yang diucapkan penuh amarah, Chaerin segera berbalik dan pergi. Mengabaikan rasa sakit dikepala, denyutan hebat di seluruh titik sensitifnya, serta raungan marah dari sisi dominannya karena kembali menjauhkan ia dengan pasangannya.


    Chaerin segera memasuki mobil. Menekan tombol mesin sebelum kakinya menginjak pedal guna melajukan kuda besi berwarna putih itu. Meninggalkan Yunga dan Jayson yang mengejar dan memanggilnya. Memfokuskan diri pada jalan di depan dengan seluruh tenaganya hingga peluh kini memenuhi dahinya. Rasanya sulit bahkan lebih sulit setelah sentuhan ringan yang ia terima. Sisi dominannya semakin meliar untuk meminta sentuhan lebih hingga membuat fokusnya menurun. Belum lagi rasa sakit yang menyerang kepalanya. Terlampau sakit sampai Chaerin harus memejam beberapa kali sebelum pandangannya total berubah gelap saat suara nyaring klakson terdengar kencang.

 

*  *  *  *

 

    Ia mencoba membuka matanya dengan pelan. Mengerjapkan kelopak mata untuk menyesuaikan retina dengan cahaya yang masuk. Memfokuskan pandangannya yang memburam ketika suara seorang gadis terdengar menyebut namanya dengan terkejut.


    “Kau bisa mendengarku? Apa kau bisa melihatku? Hei jangan diam saja, jawab-”


    “Berisik Hwang Jiyeong.” Desisnya dengan mata terpejam dan dahi yang mengkerut. Baru saja ia membuka mata, pusing langsung menyerang saat gadis di sampingnya tidak berhenti menanyai dirinya.


    Masih dengan usaha untuk menormalkan pandangannya, perlahan tapi pasti cahaya yang masuk ke dalam retinanya berhasil diproyeksikan dengan baik hingga tidak ada lagi pandangan kabur yang sedari tadi mengganggu penglihatan. Ia mengembuskan napas. Menoleh ke sisi kanan dimana Jiyeong masih setia memperhatikannya.


    “Kenapa aku di sini?”


    Chaerin tahu jika dirinya kini tengah terbaring di atas bangkar rumah sakit. Bau khas rumah sakit langsung menyapa kala matanya terbuka membuat ia yakin jika dirinya tidak berada di kamar.


    Jiyeong mendecih. “Kamu kecelakaan. Mobil mu menabrak pembatas jalan dan kamu pingsan. Beruntung Stephen sedang ada urusan tidak jauh dari lokasi kecelakaan mu. Dia yang menolong mu dan membawa mu kemari. Stephen juga yang menangani mu.”


    Ingatan saat kejadian itu terjadi kembali hadir memenuhi otaknya. Membuat napas beratnya terhela.


    “Aku akan panggilkan Stephen. Kamu tunggu sebentar.”


    Jiyeong bergegas meninggalkan ruang rawat Chaerin. Meninggalkan Chaerin beserta pikirannya yang mulai kembali mengingat apa saja yang terjadi sebelum kesadarannya terenggut.


    Tidak lama pintu ruangannya terbuka. Stephen datang dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Berjalan gagah dengan sneli yang membungkus kemeja hitamnya. Memasang stetoskop ke telinga dengan mata yang tetap tertuju pada manik Chaerin yang menatap lemah padanya.


    “Apa yang kamu rasakan?” Tanyanya di sela kegiatan memeriksa.


    “Agak pusing dan juga nyeri di tangan dan kaki.”


    Stephen mengangguk. Melepaskan stetoskopnya dan menggantungkan benda silver itu di leher.


    “Kakimu sakit karena saat kecelakaan kaki kirimu terjepit, tapi untunglah tidak parah. Sedangkan tanganmu karena terkena pecahan kaca mobil.” Stephen terlihat menarik napas sebelum vokalnya kembali terucap. “Berhenti menjadi egois Chae. Pendar dilambangmu semakin melemah.”

    

    Chaerin terkejut sebelum ia sadar jika tadi Stephen memeriksanya dan mungkin melihat lambangnya.


    “Aku tidak ingin membicarakan hal itu.” Ia membuang mukanya. Menatap jendela yang menampilkan gelapnya langit malam itu.


    Stephen terdiam. Memberikan sedikit waktu untuk Chaerin sekaligus dirinya dalam menyusun kata. Ada hal yang sedari tadi memaksa untuk disampaikan tapi melihat reaksi Chaerin membuat ia harus memutar otak untuk menyampaikannya.


    Hening yang terjadi membuat sesuatu sempat terlintas dipikiran Chaerin. Hamparan gelap yang ia lihat dari jendela semakin membawa Chaerin pada pikirannya mengenai sang mate. Bagaimana keadaannya? Itulah yang tiba-tiba saja bermain di dalam pikirannya. Membuat ia teringat jika dinding yang membatasi dirinya dan Jayson akan menghilang saat salah satu diantaranya tidak sadarkan diri.


    “Tiga hari kamu tidak sadarkan diri, tiga hari pula pria itu menunggui mu bersama yang lain. Bang Yunga juga ada.” Stephen mengawali dengan hati-hati. Ia sempat memperhatikan ekspresi Chaerin yang tidak menatapnya sebelum melanjutkan kembali saat tidak mendapatkan penolakan.


    “Selama tiga hari itu aku menyaksikan bagaimana dirinya juga mengalami hal yang sama. Kesakitan. Dan dihari kedua tubuhnya melemah hingga harus berbaring di bangkar dan dipasangkan infus. Kamu pasti tahu kenapa hal itu terjadi.”


    Stephen kembali memberi jeda. Ia terlihat menarik napas dan mengembuskannya.


    “Ia sempat menolak, tapi teman-teman Bang Yunga memaksanya hingga dia menyerah. Siang tadi dia pulang bersama Bang Yunga, karena kondisinya yang masih kurang baik.”


    Hening kembali tercipta dikala Stephen yang diam dan Chaerin yang bungkam. Membiarkan suara pendingin ruangan yang kini menggantikan suara berat Stephen yang sedari tadi terus dilafalkan. Memberikan sedikit waktu untuk Chaerin mencerna setiap kata yang diucapkan. Membiarkan gadis yang masih belum mau menatapnya itu untuk berpikir lebih baik lagi.


    “Sungguh aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan mate-mu. Tapi melihat lambangmu dan reaksi tubuhmu aku yakin jika kamu membuat penghalang di antara kalian.” Suara yang penuh simpatik itu berjeda, “Tapi takdir tidak bisa diubah, Chae. Selene telah menakdirkanmu dengan mate-mu. Apa pun yang telah terjadi  tidak akan bisa mengubah takdir itu. Kamu hanya akan menyiksa diri sendiri dan juga pasanganmu jika kamu memaksa menentangnya. Itu hukum leluhur, aku tidak membuatnya jika kamu berpikiran aku tengah memihak pada seseorang.”

 

*  *  *  *

 

    Jayson masih berada di atas kasur dengan menatap langit-langit kamar. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, ia sama sekali tidak meninggalkan kamarnya. Memilih untuk beristirahat seperti yang disarankan Yunga. Lagi pula ia juga tidak ada pekerjaan lain. Ia telah mendapatkan izin dari Kavee untuk beristirahat beberapa hari. Kondisi tubuhnya sedang kurang baik.


    Kesunyian kamarnya membawa Jayson beserta ingatannya kembali pada kejadian beberapa hari lalu dimana ia tidak sengaja bertemu Chaerin di kantor Yunga. Tujuannya datang adalah untuk bertemu dengan sahabatnya, tetapi saat di lobby ia dan Yunga yang baru kembali dari makan siang malah bertemu Chaerin.


    Semua terjadi begitu cepat sampai ia sendiri tidak tahu jika mobil yang ia dan Yunga ikuti telah menabrak pembatas jalan. Tanpa berpikir panjang, ia segera keluar dan berlari cepat mendekati mobil tersebut. Matanya melihat sendiri bagaimana mobil putih itu rusak. Tabrakan tunggal tersebut telah menyebabkan cap mobil terbuka, kaca depan yang pecah, dan asap yang keluar dari mesin kendaraan. Dengan segera ia mencoba membuka paksa pintu pengemudi. Perasaannya kacau memikirkan bagaimana keadaan pengemudi tersebut. Rasa takut menyeruak di dalam hati kala pintu terbuka dan asap keluar hingga menghalangi pandangannya. Lantas ia segera mencondongkan tubuhnya guna mengeluarkan Chaerin dari sana. Menggendong tubuh yang sudah tidak sadarkan diri itu dan merebahkan di atas jalan dengan kepalanya yang ia letakkan di atas pangkuan. Ia dan Yunga berusaha untuk menyadarkan Chaerin. Memberikan tepukan ringan di pipi tetapi Chaerin tetap belum mau membuka matanya. Membuat kekhawatiran kini menyergap keduanya.


    Namun tiba-tiba saja seseorang datang. Sosok tersebut sempat menyebutkan nama Chaerin dengan terkejut yang membuat Jayson mengernyit bingung. Kehadiran pria yang kini tengah memberikan pertolongan pertama pada Chaerin itu berhasil membuat sisi dominannya meraung tidak suka. Ia bahkan sampai menggeram karena melihat bagaimana alpha lain menyentuh omega-nya. Tidak, Chaerin hanya miliknya. Tidak boleh ada alpha lain yang menyentuh apa yang sudah ditakdirkan untuknya. Maka keegoisannya membuat ia menggeram kesal. 


    “Tenang Park Jayson. Dia Dokter Oh, kolega keluarga ku. Kami sudah saling mengenal sejak lama.” Itu kata-kata Yunga yang berhasil membuat sisi dominan Jayson sedikit merelakan omega-nya disentuh alpha lain sampai ambulans datang dan Chaerin dibawa pergi.


    Di tengah bayangan kejadian siang itu, tiba-tiba saja ada yang mengusiknya. Sisi dominannya merasakan hal lain yang bukan dari dirinya. Sesuatu yang membuat jantungnya bergemuruh dan terbesit sorak gembira dari sang dominan. Ia terdiam sejenak, mencoba merasakan hal tersebut. Sampai kesadarannya menyadari jika yang tengah ia rasakan berasal dari sisi dominan Chaerin. Dinding penghalang yang dibangun Chaerin menghilang dan kini ia bisa merasakan eksistensi sang dominan dalam tubuh Chaerin. Sebuah kelegaan yang membuat dirinya dapat tersenyum lebar. Merasakan untuk pertama kali bagaimana sepasang mate yang bisa merasakan apa yang pasangannya rasakan. Sampai sebuah perasaan kini menyeruak ke dalam hatinya ketika sisi dominannya mengaung senang. Sisi dominannya bisa berkontak dengan sisi dominan Chaerin. Itu berarti omega-nya telah tersadar dari tidur panjangnya.

 


T . B . C




- DF -

Comments

Popular Posts