UPSIDE DOWN: Rack and Ruin - Part 6



.

.

.

.

.

    Hari ini adalah hari terakhir keberadaannya di atas bangkar. Ia sudah diperbolehkan pulang dengan obat dan beberapa vitamin yang harus dikonsumsi. Tinggal menunggu Marka yang tengah menyelesaikan administrasi, maka dirinya sudah resmi keluar dari rumah sakit. Membosankan sekali hidupnya saat harus berdiam diri di ruang rawat. Walau Jiyeong selalu datang untuk menemani, tetapi sahabatnya itu akan pergi saat jam besuk telah usai. Dan saat itulah dirinya dilanda rasa bosan yang tiada tara. Sendiri di kamarnya tanpa ada yang menemani, walau itu adalah keinginannya sendiri. Dia tidak ingin ada yang menunggunya, bahkan Yunga pun tidak diizinkan. Dirinya masih belum ingin bertemu dengan sang kakak sepupu. Walau berat hati, Yunga akhirnya mengabulkan keinginan tersebut. Yunga hanya datang menemuinya sebelum berangkat ke kantor. Membawakan ia beberapa makanan kecil sebelum pamit pergi.

 

    Di tengah kegiatan menunggu Marka, Chaerin masih sibuk dengan pemandangan luar rumah sakit yang dilihatnya dari jendela. Sementara Jiyeong yang menemani tengah asyik dengan ponsel. Keduanya tidak menyadari jika seseorang baru saja membuka pintu hingga suara Marka menginterupsi mereka. Jiyeong terdiam di sofa sementara Chaerin menatap nyalang sosok yang berada di belakang Marka.

 

    “Aku dan Jiyeong akan menunggu di mobil.” Itu adalah kalimat terakhir yang Marka ucapkan sebelum ia dan sang kekasih meninggalkan kamar bersama beberapa barang Chaerin.

 

    Tidak ada yang berucap setelah Marka menutup rapat pintu kamar. Chaerin masih setia menatap sengit sosok yang berdiri di dekat pintu dengan mulutnya yang tertutup. Sementara sosok itu juga memilih diam sembari obsidiannya menatap Chaerin lekat. Beruntung dirinya masih bisa merasakan apa yang Chaerin rasakan karena belum ada dinding yang kembali menghalangi. Sehingga ia bisa merasakan bagaimana benci dan marahnya Chaerin pada dirinya walaupun sisi dominan dari omega itu tengah gembira atas kehadirannya di sana.

 

    “Bagaimana keadaanmu?”

 

    “Aku tidak suka basa-basi. Jadi katakan apa maumu?”

 

    Jayson terlihat menarik napas dalam dan menghelanya bertahap. “Aku ingin meminta maaf atas kesalahanku. Aku telah menorehkan luka yang membuat dirimu kecewa. Tapi sungguh aku tidak akan melakukan itu lagi. Aku sangat sadar dengan takdir yang telah Selene pilihkan. Aku-”

 

    “Sayang sekali, kesalahanmu itu sangat sulit kumaafkan. Aku terlanjur membencimu atas pengkhianatan yang kau lakukan. Kau memang berhasil menyembuhkan luka di tubuhku, tapi permintaan maaf dan penyesalan mu tidak bisa memulihkan kekecewaan yang telah menyatu dengan darahku.” Chaerin menyelak. Membungkam Jayson dengan seluruh pemikiran dan perasaan yang selama ini ia rahasiakan. Setidaknya ia ingin membiarkan Jayson tahu tentang dirinya yang tidak bisa menerima pengkhianatan dan kebohongan dalam bentuk apa pun sebelum ia kembali membangun perisai yang membatasi keduanya.

 

    “Kau tahu, aku selalu bermimpi untuk bisa hidup bahagia bersama mate-ku. Aku tidak akan mengecewakan takdirku. Karena itu aku berusaha dengan keras menjaga diriku. Menolak alpha lain yang berusaha mendekat hanya demi mempersiapkan diri untuk mate-ku kelak.” Chaerin tergelak sinis, mengingat kembali kenaifannya dulu. “Tapi niat baikku tidak disambut baik oleh dirimu. Kau malah membuat usahaku menjadi sia-sia dengan betrayal sialanmu itu.”

 

    Chaerin membawa langkah kakinya mendekat. Memangkas jarak keduanya hingga ia berdiri tepat di hadapan Jayson. Matanya tidak pernah berpaling dari obsidian kelam Jayson yang juga terus menatapnya. Terlihat kesedihan yang terpancar tapi Chaerin mengindahkannya. Menutup mata dan telinga pada keadaan Jayson.

 

    “Bagiku sekali pengkhianat tetap pengkhianat. Sekali melakukan kebohongan maka akan kembali melakukannya.”

 

    Usai bicara seperti itu, Chaerin kembali membawa langkah kakinya melewati Jayson. Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, maka pergi adalah hal yang harus dirinya lakukan. Tapi langkahnya terhenti saat Jayson menggenggam erat pergelangannya. Sedikit menariknya hingga Chaerin kembali ke posisi sebelumnya. Mereka saling berhadapan dan bertatapan.

 

    “Apa yang bisa kulakukan agar kamu mau menerima maafku dan kita bisa menjalani hidup sesuai takdir yang telah ditetapkan?” Tanya Jayson. Terdengar harapan besar pada setiap kata yang terucap.

 

    Dengusan terlontar bersamaan dengan tangannya yang bebas berusaha melepaskan diri dari genggaman Jayson.

 

    “Tidak ada yang bisa kau lakukan agar kita hidup sebagai mate yang telah ditakdirkan, karena aku tidak sudi. Tapi mengenai permintaan maafmu, aku bisa mempertimbangkannya asalkan kau jangan pernah lagi menunjukkan dirimu di hadapanku, bersikaplah seakan kita tidak saling mengenal jika tidak sengaja bertemu, dan berhenti menganggap diriku mate-mu karena bagiku mate-ku telah tiada sejak dia memutuskan untuk melakukan betrayal.”

 

    Chaerin tersenyum sinis sebagai penutup pembicaraan mereka. Kakinya kembali ia bawa melangkah, kali ini tanpa ada halangan yang didapatkan. Keluar dari kamar rawatnya dimana Jayson hanya bisa diam mencerna jawabannya yang penuh dengan kebencian.

 

 

*  *  *  *

 

 

    Mereka tidak bisa menampik jika semakin hari Jayson terlihat semakin lemah. Pandangan tajam yang selalu terlihat di matanya mulai memudar dengan kulitnya yang cenderung memucat. Ditambah dengan tubuh tegap itu yang mudah sekali merasa lelah. Semua itu telah mengusik pikiran para sahabatnya terutama Yunga. Sayang mereka tidak tahu bantuan apa yang bisa mengembalikan kondisi Jayson seperti sedia kala.

 

    “Masih belum ada perubahan?”

 

    Jayson hanya mengembuskan napasnya. Gurat di wajahnya sudah cukup menjawab pertanyaan Hobee.

 

    “Bang..”

 

    “Sulit Jeka. Jika Chaerin sudah berkata A, maka dia akan melakukannya. Betrayal adalah kesalahan yang paling sulit dimaafkan Chaerin.” Yunga menarik napasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan kembali ucapannya. “Aku tidak hanya khawatir pada Jayson, tetapi Chaerin juga. Chaerin masih marah padaku sampai dia menutup semua akses. Aku jadi tidak tahu bagaimana kondisi Chaerin yang sebenarnya. Jika Jayson saja terlihat mengenaskan seperti ini maka kondisi Chaerin mungkin saja sama atau lebih buruk. Bagaimanapun dia hanya seorang omega yang menutupi kelemahannya dengan angkara di hati.”

 

    Dalam hati, mereka membenarkan perkataan Yunga. Min Yunga saja belum menemukan cara untuk berbicara dari hati ke hati dengan sepupunya, bagaimana mereka yang hanya berstatuskan sebagai sahabat Yunga.

 

    Mereka kembali diam. Tidak ada satu suara pun yang keluar selain suara musik di kafe tersebut. Ketujuhnya tampak berpikir atas keadaan yang secara tidak langsung mengikat mereka karena empati yang dirasakan. Keinginan untuk membantu begitu besar tetapi caranya belum juga ditemukan. Jika saja yang mereka hadapi adalah omega dengan karakter yang tidak sekuat Chaerin, mungkin saja kerumitan ini akan lebih mudah diselesaikan. Namun yang mereka hadapi saat ini adalah Lim Chaerin, omega yang dilahirkan dari Ayah seorang tentara yang secara tidak langsung mendidiknya untuk menjadi sosok yang tangguh bagaimanapun keadaannya.

 

    “Hei..” Juna menarik perhatian sahabatnya. Membuat kini mata mereka terfokus pada sosok bertubuh tinggi–tegap yang tengah menatap jauh ke depan.

 

    “Bukankah itu Chaerin?” Tanyanya dengan menunjuk meja di dekat jendela dimana seorang gadis tengah duduk bersama dengan sosok pria.


    “Itu Chaerin, tapi dengan siapa?”

 

    Mereka tampak memperhatikan sosok yang baru saja membuat Chaerin tertawa. Jayson yang melihat itu merasakan ada yang tengah membakar hatinya. Jemarinya terkepal ke dalam telapak tangan hingga buku-buku jari berubah putih.

 

    “Kenapa dia sedekat itu?!” Geram Jayson. Sisi dominannya merasa tidak terima jika pasangannya kini tengah bersama alpha lain bahkan membuat pasangannya tertawa lepas.

 

    Yunga yang melihat perubahan Jayson buru-buru menahan pergerakan sahabatnya itu. Matanya menyorot tajam dengan kepala yang menggeleng singkat. “Jika kau ingin membuat Chaerin semakin membencimu maka pergilah. Aku tidak akan peduli lagi.” Singkat, tapi berhasil membuat Jayson kembali mendaratkan bokongnya di kursi. Walaupun hatinya meminta untuk pergi tetapi perkataan Yunga seakan menyadarkan posisinya yang masih belum aman.

 

    “Tunggu, aku ingat siapa pria itu.” Mendengarnya membuat seluruh atensi kini berubah pada Yujin.

 

    “Dia Ten, salah satu rekan bisnismu Yunga.”

 

    “Ten?”

 

    Yujin mengangguk. “Proyeknya ditangani oleh Tim Seungwoo. Aku rasa mereka bisa sedekat itu karena intensitas pertemuan yang cukup sering. Setahuku setiap proyek yang ditangani Seungwoo akan selalu berada langsung di bawah Chaerin.”

 

    “Itu berarti setiap kali mereka mengadakan pertemuan untuk membahas proyek tersebut maka Chaerin dan pria bernama Ten itu akan selalu bertemu?”

 

    Yujin kembali mengangguk membenarkan Kavee. “Selama Chaerin tidak berhalangan maka mereka dipastikan akan bertemu.”

 

    “Sial.” Umpat Jayson.

 

    Hening kembali menyelimuti meja mereka. Ketujuhnya begitu fokus pada meja dimana Chaerin dan Ten berada. Tidak jarang terdengar geraman tidak suka dari Jayson setiap kali Ten melakukan kontak fisik dengan Chaerin. Walau ringan tetapi sifat posesif dari sang dominan tetap tidak bisa menerimanya. Apalagi saat melihat bagaimana Chaerin tersenyum setiap kali Ten bercerita atau tertawa kala lelucon diutarakan oleh pria itu. Rasanya Jayson ingin sekali mencabik pria itu dan langsung membawa Chaerin pergi dari sana.

 

    “Aku akan bicara dengan Chaerin.”

 

    Semua mata kini kembali tertuju pada Yunga.

 

    “Bagaimana caranya Bang? Bukankah tadi kau sendiri yang bilang jika Chaerin menutup semua akses pertemuan denganmu.”

 

    Yunga menghela napasnya. “Apa pun cara dan risikonya akan kucoba. Aku hanya tidak ingin Chaerin melakukan kesalahan karena rasa kecewanya yang begitu besar. Aku ingin Chaerin baik-baik saja.”

 

    “Tapi bagaimana jika tetap tidak berhasil?” Tanya Hobee.

 

    Yunga bungkam. Sejujurnya ia juga tidak tahu cara apa lagi yang harus ditempuh untuk meluluhkan amarah Chaerin. Berbicara baik-baik sudah dirinya lakukan tetapi gagal. Melakukan tindakan yang sedikit kasar? Tidak. Yunga tidak akan melakukan hal itu. Dirinya tidak tega dan tidak mau jika Chaerin semakin membencinya.

 

    “Bang..” Panggilan Jayson berhasil mengembalikan Yunga dari dalam pikirannya yang kacau. Ia menoleh dan menanti sahabatnya itu untuk kembali berucap.

 

    “Jika ternyata masih gagal, izinkan aku untuk menggunakan posisiku sebagai seorang alpha.”

 

    Yunga tersentak kala mendengar permintaan tersebut. Matanya menyipit dengan alis yang bertaut. Menghunus Jayson dengan pandangan protektifnya yang tidak menginginkan hal buruk terjadi pada Chaerin.

 

    “Park Jayson jangan macam-macam!” Peringatan Yunga.

 

    Gelengnya singkat. “Aku tidak akan melukai Chaerin, dia adalah mate-ku.” Ujarnya selaras dengan napasnya yang dalam dan pelan. “Aku hanya akan menundukkannya dengan posisiku. Tidak peduli jika nanti dia akan memaki atau menamparku, aku hanya ingin menunjukkan takdir yang mengikat kami dan aku adalah alpha-nya.”

 

    “Tenang Bang. Aku sudah berjanji dan bersumpah untuk tidak kembali melukai Chaerin, maka aku tidak akan melanggarnya.”

 

    Tatapan mereka berserobok. Yunga yang melihat tepat di manik Jayson dapat melihat kejujuran pada janji yang ia ucapkan. Membuat hatinya sedikit melega walaupun gelisah dan takut masih tidak bisa lenyap.

 

    “Aku memberikan izin. Tapi jika kau melukai Chaerin bahkan sehelai rambut pun, maka aku akan menghabisimu dan membuat kalian tidak akan pernah bisa bersama.”

 

    Jayson mengangguk. Kemudian kepalanya memutar dan matanya kembali menatap pada Chaerin yang duduk cukup jauh darinya.

 

 

*  *  *  *

 

 

    Chaerin dan Ten berjalan beriringan menuju lobby kantor. Sebenarnya Ten yang menemani Chaerin walau gadis itu telah menolak. Ia merasa tidak enak jika rekan bisnisnya itu harus menemaninya hingga ke lobby. Pasalnya jam makan siang sudah usai, itu berarti keduanya harus kembali pada pekerjaan masing-masing. Tapi karena sedikit paksaan Ten, maka mau tidak mau Chaerin membiarkan pria itu untuk mengantarnya sampai ke dalam lobby.

 

    “Terima kasih.”

 

    “Tidak seharusnya aku yang berterima kasih padamu, karena kamu bersedia menerima tawaran makan siang dariku. Terima kasih Nona Lim.”

 

    Chaerin menggeleng. “Hei berhenti memanggilku Nona Lim. Kita seumuran, panggil saja Chaerin.”

 

    “Jika itu maumu, maka aku akan memanggilmu Chaerin.”

 

    Keduanya saling tertawa. Ini sudah sangat lama sejak insiden betrayal yang ia alami, dirinya bisa merasa sesantai hari itu. Bersama orang yang belum lama dirinya kenal. Aneh tapi Chaerin sangat menikmatinya. Peduli setan dengan pemikiran orang lain. Selama yang dirinya lakukan tidak melanggar apa pun maka tidak jadi masalah bukan.

 

    Sayang kesenangannya harus terusik saat Yunga datang. Membuat dirinya dan Ten secara mendadak menghentikan tawa mereka dan menoleh ke arah kedatangan Yunga. Ten yang menyadari itu segera memberikan salamnya. Ini adalah kali pertama bagi Ten bertemu secara tidak sengaja dengan pimpinan perusahaan rekanannya.

 

    “Selamat siang Tuan Min. Suatu kebetulan bisa bertemu dengan anda.”

 

    Yunga mengangguk kecil dengan memasang senyum simpul. Tidak membalas salamnya dan lebih memilih memfokuskan diri pada Chaerin.

 

    “Kakak ingin bicara penting dengan mu.”

 

    Ten merasakan intensitas kurang baik akhirnya memutuskan untuk undur diri. Ia merasa bukan ranahnya untuk ikut campur urusan Chaerin dan Yunga. Dirinya hanya rekan bisnis dan hubungan pertemanan dengan Chaerin pun masih terbilang baru. Maka dengan segala kehormatan dan sopan santun yang dirinya miliki, Ten berpamitan dengan alasan jika masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Ia sempat berjabat tangan dengan Yunga sebelum memberikan pelukan ringan kepada Chaerin yang diterima dengan senang hati oleh gadis itu.

 

    “Sampai jumpa lagi.”

 

    Ten mengangguk dan melenggang keluar. Kini tinggalah Yunga dan Chaerin. Keduanya saling menatap sebelum Yunga memulai pembicaraan mereka.

 

    “Kakak tahu kamu masih marah dengan. Tapi tolong izinkan Kakak untuk menjelaskan kenapa Kakak melanggar janji dengan mu.”

 

    “Karena hukum leluhur, benar bukan?”

 

    Yunga sedikit terkejut mendengar jawaban Chaerin. Sedangkan Chaerin, ia terlihat menarik napasnya dalam sebelum menghembusnya perlahan.

 

    “Tapi Kak Yunga tetap sudah mengingkari janji. Kakak berbohong padaku. Kakak bilang jika Kakak akan menjauhkan bajingan itu dariku jika aku berhasil melalui heat pertamaku. Tapi kenyataannya Kakak membiarkan bajingan yang sayangnya sahabat Kakak itu melakukan penandaan.” Kepalanya tertunduk dalam. Mengungkapkan apa yang ia tutupi selama ini bukanlah perkara mudah. Butuh tenaga yang tidak sedikit hanya untuk sebuah pengakuan. Karena kini hatinya kembali perih saat mengingat bagaimana Yunga membiarkan Jayson membawa dirinya pergi.

 

    Yunga tidak tega. Sekali lagi, Chaerin adalah kelemahannya. Maka dengan sifat protektifnya, ia meraih tubuh itu ke dalam dekapannya. Menyalurkan kehangatan tubuhnya untuk sang adik sepupu. Sudah lama dirinya tidak bisa memeluk Chaerin semenjak kejadiaan hari itu.

 

    “Kakak tahu Kakak salah. Tolong maafkan Kakak. Kakak melakukan semua itu karena tidak ingin kehilanganmu, Chae. Kakak sangat menyayangimu. Maafkan Kakak yang terlalu menyayangimu sampai rela melanggar janji denganmu.” Menggunakan tangannya, ia mengusap punggung Chaerin dengan ritme teratur.

 

    “Aku tahu Kakak terpaksa melakukannya. Seharusnya aku tidak marah padamu. Maaf Kak..”

 

    Yunga menggeleng. “Tidak, jangan minta maaf. Kamu tidak salah, Chae. Kamu hanya mengungkapkan kekecewaan mu saja.”

 

    Sungguh rasanya Yunga ingin berteriak. Chaerin-nya telah kembali. Adik sepupu terkasihnya telah mau memberikan maafnya. Namun ditengah euforianya, terbesit rasa khawatir akan apa yang ingin dirinya bicarakan. Ia tidak yakin jika setelah menyampaikannya, hubungan yang baru membaik ini akan bertahan. Ia takut tetapi ia harus melakukannya. Ia tidak ingin Chaerin melakukan hal bodoh yang membuat dirinya tersakiti dikemudian hari.

 

    “Chaerin, bisakah Kakak meminta satu permintaan padamu?” Yunga bertanya dengan hati-hati.

 

    “Apa?”

 

    Yunga menarik napasnya dan berkata dengan pelan, “Bisakah kamu tidak terlalu dekat dengan pria tadi. Kakak takut pria tadi akan salah mengartikan kedekatan kalian dan membuat kalian terjerumus pada hal yang bertentangan.”

 

    Chaerin menjauhkan tubuhnya. Matanya langsung menatap pada obsidian Yunga. Mencari tahu apa yang sebenarnya dipikirkan kakak sepupunya itu. Hingga kenyataan yang baru disadarinya seperti memukul ingatannya. Ia tertawa kecil yang diiringi dengusan.

 

    “Sial, ternyata Kakak melakukan ini karena bajingan itu.” Lirihnya dengan suara yang penuh amarah.

 

    Napasnya dihela kasar. “Kak Yunga, aku tidak seperti sahabatmu itu. Aku tidak akan melakukan betrayal seperti yang dirinya lakukan. Aku tidak sebodoh dirinya. Jadi Kakak tidak perlu khawatir. Aku dan Ten hanya berteman, kami juga rekan kerja. Jika pun nanti ada sesuatu antara aku dan Ten, bukankah menjadi impas. Sahabat Kakak melakukan betrayal, dan aku akan membuat bajingan itu merasakan rasa sakit yang sama seperti yang aku rasakan. Jadi adil bukan jika seorang pengkhianat mendapat pengkhianat sebagai pasangannya?”

 

    Chaerin melangkah mundur. Pandangannya masih setia menatap obsidian Yunga. Memberikan senyuman kecil sebelum berbalik pergi. Tapi ia sempat berhenti dan kembali berbalik hanya untuk menambahkan ucapannya, “Sayangnya harga diriku terlalu tinggi untuk melakukan hal rendahan seperti itu. Itu berarti sampai kapan pun aku tidak akan sudi mengakui bajingan itu sebagai mate-ku. Tidak peduli dengan hukum leluhur. Aku lebih memilih mati dibandingkan hidup bersama pengkhianat seperti dirinya.”

 

    Maka  kaki jenjang itu akhirnya benar-benar pergi setelah mengungkapkan kemarahannya pada Yunga. Tidak lagi menoleh ke belakang. Memutuskan untuk tetap meninggalkan Yunga yang masih terdiam di posisinya sebelum helaan napas berat keluar dari mulutnya. Yunga menundukkan kepala. Selama beberapa saat matanya terpejam dan kembali dibuka bersamaan dengan kembali diangkatnya kepalanya. Ia memutar tubuh, melihat ke arah dimana Jayson dan sahabatnya yang lain bersembunyi sepanjang dirinya berbicara dengan Chaerin. Anggukan pasti pun ia berikan kepada Jayson, sebagai penanda bahwa sebuah keputusan besar baru saja diambilnya. Dan ia tahu ada konsekuensi besar juga yang tengah menantinya. Tidak ingin kehilangan Chaerin untuk selamanya adalah alasannya. Maka dengan anggukan tersebut ia memberikan izin kepada Jayson untuk menempuh caranya.

 


T . B . C




- DF -

Comments

Popular Posts