UPSIDE DOWN: Rack and Ruin - Part 10

 


.

.

.

.

.

Chaerin memaksakan diri untuk beranjak dari atas bangkar beberapa saat setelah ia membuka mata. Pikirannya langsung tertuju pada keadaan Yunga yang juga tengah di rawat di rumah sakit yang sama dengannya. Mengabaikan rasa sakit ditubuhnya, Chaerin memaksa kedua tungkai kaki untuk berjalan di tengah kondisi langit yang telah berubah hitam. Jantungnya berdetak kelewat cepat saat teringat kembali bagaimana kondisi sang kakak ketika tenaga medis membawanya masuk ke ruang gawat darurat. Jika saja suster yang membawa Yunga tidak menahannya mungkin ia akan berada di dalam sana menemani kakaknya yang tengah ditangani.

 

Maka dengan kondisi tubuh yang juga baru mendapat penanganan dari dokter hingga membuat dirinya terlelap, Chaerin menguatkan diri untuk berjalan keluar. Membuka pintu dengan sedikit tertatih sebelum perlahan menutupnya kembali. Kehadiran Chaerin di koridor berhasil menyita atensi Jayson, Jeka, Jiyeong, dan Mark yang ternyata tengah duduk menunggui. Keempatnya menoleh saat suara langkah kaki yang terbilang lemah dengan napas berat mengalun mendistraksi pikiran mereka. Dengan gerakan cepat, Jayson segera menghampiri Chaerin diikuti Jiyeong dengan wajah yang terlihat khawatir.

 

“Kenapa keluar, kamu harus istirahat?” Tanya Jayson dengan suara dan raut khawatir.

 

“Dimana Kak Yunga?”

 

Bukannya menjawab, Chaerin malah balik bertanya.

 

“Kak Yunga masih diperiksa dokter, tapi dia telah dipindahkan ke ruang rawat.”

 

Chaerin terlihat mengembuskan napas sebelum kembali membawa langkah tertatihnya pergi.

 

“Kamu mau kemana Chae, kamu belum pulih?” Jayson menggenggam pelan lengan Chaerin. Menghentikan gadis itu untuk pergi meninggalkan ruang rawatnya.

 

“Aku ingin menemui Kak Yunga. Aku tidak tenang jika tidak melihatnya.”

 

“Tapi-”

 

Jeka memegang pundak Jayson yang membuat pria itu menghentikan ucapannya. Menoleh pada sang sahabat yang tengah memberikan tatapan seakan menyuruh Jayson untuk menuruti keiinginan Chaerin. Maka dengan berat hati ia mengembuskan napas sebelum mengangguk singkat.

 

“Baiklah, aku akan mengantarmu.”

 

Mendengar itu, senyum kecil terbit dari bibir Chaerin.

 

“Tapi kamu tidak boleh terlalu lelah, cukup duduk dan temani Bang Yunga.”

 

Anggukan pelan yang diberikan Chaerin pada akhirnya berhasil membawa ia pada ruang rawat Yunga yang berada tidak jauh dari ruang rawatnya. Berjalan perlahan menuju bangkar dimana tubuh pria berkulit putih pucat itu tengah terbaring tidak sadarkan diri. Presensi Chaerin berhasil menyita perhatian para sahabat Yunga yang tengah menungguinya. Kavee yang tengah duduk di kursi samping bangkar lantas berdiri dan bergeser ke samping untuk memberikan ruang bagi Chaerin.

 

Dengan bantuan Jayson, Chaerin berhasil mendudukkan tubuhnya di kursi. Mata yang telah dipenuhi air mata itu langsung saja melepaskan satu butir cairan bening ketika melihat langsung bagaimana kondisi Yunga. Hatinya berdenyut melihat luka-luka yang bersarang di tubuh lemah itu. Lantas tangannya meraih tangan Yunga untuk digenggam sebelum menunduk hingga dahinya berada di atas bangkar.

 

Kakak maafkan aku, ini semua salahku.” Lirihnya pelan. Suaranya begitu bergetar. Rasa bersalah yang menggelayuti hati membuat pelupuk mata itu tidak bisa lagi membendung kumpulan air matanya.

 

“Andai saja aku tidak pergi mungkin kakak tidak akan seperti ini. Maafkan aku, aku salah, aku bodoh.”

 

Jayson yang berada di sampingnya tidak bisa berdiam diri menyaksikan bagaimana mate-nya bersedih. Terlebih sisi dominannya kini juga ikut merasakan kesedihan sang pasangan yang membuat jiwa pelindungnya bergerak mengambil alih kerja tubuhnya. Menggerakkan tangannya menyentuh punggung Chaerin serta memberikan usapan di sana. Sejujurnya ia ingin menarik Chaerin ke dalam dekapannya –begitulah ego dari sang dominan–, tapi kewarasannya menyadarkan akan batasan yang tidak bisa ia lewati mengingat hubungan mereka yang masih belum pada tahap baik.

 

“Jangan menyalahkan dirimu, ini di luar kuasamu. Kamu tidak pernah menginginkan hal ini terjadi.”

 

Chaerin mengangkat kepalanya. Menatap Yunga yang masih setia dengan mata terpejam.

 

“Tetap ini salahku. Jika aku tidak pergi ke bar mungkin Kak Yunga tidak akan seperti ini.

 

“Chaerin, jika Bang Yunga mendengarnya ia pasti juga akan berkata hal yang sama seperti Bang Yujin. Ia pasti tidak suka mendengar kamu menyalahkan dirimu seperti ini. Bang Yunga tahu jika kamu sangat menyayanginya. Jadi berhenti menyalahkan dirimu. Kamu harus kuat untuk memberikan dukungan untuk Bang Yunga.”

 

Chaerin tidak menjawab. Ia lebih memilih bungkam karena pikirannya yang kacau. Hati yang kini semakin dipenuhi penyesalan membuat air mata semakin mengalir deras dari matanya. Membasahi kedua pipi hingga Jayson secara spontan menyekah air mata itu dengan ibu jarinya.

 

“Jangan menangis lagi, jika terus menangis tenagamu akan terkuras dan nanti kepalamu sakit. Kamu kan sudah berjanji untuk tidak terlalu lelah.”

 

 

*  *  *  *

 

 

Matahari menyapa bumi bersama dengan kehangatannya. Cahaya terangnya perlahan membangunkan para penghuni bumi dari alam mimpi. Membawa tubuh-tubuh itu untuk segera bersiap menjalani hari mereka. Chaerin yang juga merasakan kehangatan sang surya mulai membuka mata kala secarcik cahaya hangat itu memancar mengenai wajahnya. Matanya menyipit sebelum diusap dengan tangannya.

 

Matanya langsung memperhatikan ruangan serba putih yang membuat bingung dan keningnya berkerut. Itu bukanlah kamar atau rumahnya. Tidak lama ingatannya kembali pulih yang membuat ia tanpa sadar menghela napas. Jelas itu bukan kamarnya karena ia tengah berada di ruang rawat Yunga. Ia bisa mengingat lagi alasan kenapa dirinya bisa berada di sana dan tertidur di sofa dengan seseorang yang memeluknya.

 

Tunggu... peluk?

 

Meraba pinggangnya, Chaerin menemukan tangan kekar yang melingkar di sana. Jantungnya seketika bergemuruh hebat. Pikirannya menjadi kacau dengan spekulasi tidak bertuan yang membuat perasaannya menjadi tidak tenang.

 

Siapa yang memeluknya?

 

Kenapa dia bisa berakhir dalam dekapan seseorang?

 

Maka dengan rasa kalut yang mendominasi, Chaerin memberanikan diri untuk memandang pemilik dada bidang yang menjadi sandaran kepalanya. Mengangkat kepala dan membawa pandangannya pada pemilik rahang tegas yang masih setia memejamkan mata dengan napas teraturnya.

 

Park Jayson.

 

Pemandangan wajah tentram Jayson saat tidur adalah hal baru yang untuk pertama kali dilihat Chaerin. Sebelumnya ia tidak pernah bangun bersama sosok pria selain sang Ayah atau tidak Yunga, itu pun saat mereka masih kecil. Karena itulah ia merasakan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Wajah tampan Jayson dengan cahaya matahari yang menyinari membuat tingkat ketampanan pria itu semakin bertambah. Bohong jika Chaerin mengatakan Jayson tidak tampan. Karena nyatanya ia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari wajah Jayson yang terlihat mulai terusik karena kehangatan sang surya.

 

Tidak ingin Jayson tahu jika ia baru saja memandangi, membuat Chaerin kembali menundukkan kepala dan memejamkan mata. Ia harus berpura-pura untuk kembali tidur entah karena apa. Yang ada dipikirannya saat itu ketika merasakan pergerakan kecil dan erangan yang lolos dari mulut Jayson hanya tidur kembali sebelum pria itu membuka matanya.

 

Saat matanya kembali dipejamkan, ingatan malam sebelum ia terlelap dalam dekapan Jayson tiba-tiba saja terputar bagaikan sebuah pemutar film. Dirinya yang tidak ingin kembali ke kamar dan bersikeras untuk menunggui Yunga akhirnya membuat Jayson menyerah hingga sampailah pada kesepakatan ia harus tidur bagaimana pun itu. Maka dengan sedikit paksaan, Chaerin berhasil dibuat tunduk hingga akhirnya tertidur di sofa bersama Jayson yang mendekapnya. Ia tidak menolak karena nyatanya tubuh dengan beberapa luka itu sudah tidak mempunyai kekuatan lebih. Untuk beranjak dari kursi saja ia harus mendapat bantuan Jayson karena kakinya terasa semakin lemas.

 

Di tengah mata yang terpejam dengan bayangan kejadian malam itu, usapan yang dirasakan di lengan dan punggungnya membawa Chaerin kembali pada keadaan saat itu. Fokusnya kini kembali pada Jayson yang perlahan semakin mengeratkan pelukannya dan tidak lupa tangannya yang tetap bergerak mengusap secara teratur. Jujur Chaerin tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya yang berakhir pada degup jantung yang sedikit lebih cepat dari biasanya.

 

Ia ingin melepaskan diri tapi teringat kembali jika dirinya tengah berpura-pura tidur. Tidak lucu bukan jika dia tiba-tiba saja mendorong Jayson hanya demi melepaskan dirinya, kemudian berlaku seakan dirinya baru saja bangun. Sungguh itu tidak masuk akal dan tidak akan pernah dirinya lakukan karena membuat ia terlihat bodoh. Karenanya ia memutuskan untuk tetap diam dan membiarkan Jayson melakukan apa pun yang tidak melanggar batasannya sebagai seorang pria.

 

Keheningan ruangan Yunga masih mendominasi telinganya. Chaerin tidak tahu apa yang tengah dilakukan Jayson selain mendekapnya hingga napas berat Jayson terhela. Masih setia mengusap punggungnya, Chaerin merasakan bagaimana jantung Jayson bertalu tidak normal. Napasnya sedikit cepat dibanding beberapa saat lalu hingga sampai pada vokal pertama pria itu yang menarik perhatian Chaerin lebih dalam lagi.

 

“Maaf...”

 

Chaerin tahu kemana arah pembicaraan pria itu. Maka dengan rasa penasarannya, ia semakin menaruh atensinya untuk mendengar lebih lanjut apa yang akan Jayson katakan.

 

“Aku tahu pengkhianatan adalah hal yang sulit dimaafkan. Aku menyesal, maafkan aku.”

 

Jayson menjeda sejenak. Ia menarik napas dalam berusaha memenuhi relung paru-parunya dengan pasokan oksigen.

 

“Tidak ada pembelaan yang bisa kukatakan karena kenyataannya aku telah mengkhianati takdir. Aku terlalu terbawa dengan perasaanku untuknya, yang seharusnya tidak kurasakan. Sampai akhrinya menggiringku pada keegoisan yang menciptakan penderitaan bagimu.”

 

Kini napasnya yang terembus dengan berat. Menerpa puncak kepala Chaerin yang menghantarkan efek hangat bagi dirinya.

 

“Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa ntuk mendapatkan maaf darimu. Tapi aku tidak bisa melepasmu, kamu adalah takdirku dan rumahku. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi karena kamu adalah alasanku hidup. Karena itu, tolong maafkan aku. Beri aku kesempatan untuk membuktikan padamu jika aku adalah mate yang layak untukmu. Jangan dorong aku menjauh darimu karena itu menyakitkan.”

 

Dengan tubuh yang semakin didekap oleh Jayson, teriakan senang sang dominan berhasil menimbulkan gemuruh yang semakin hebat untuk jantungnya. Membawa tubuhnya pada kehangatan yang membuat sorak-sorai tersebut seakan berkesinambungan dengan reaksi tubuhnya. Dan untuk pertama kalinya, Chaerin membiarkan dominan tubuhnya merasakan apa yang seharusnya dirasakan sejak pertemuannya dengan sang mate. Apalagi saat mendengar kalimat selanjutnya yang membuat kegembiraan tersebut berubah menjaid euforia tanpa batas. Mengalirkan listrik yang membuat seluruh organ vitalnya bekerja melebihi batas normal. Menghadirkan sensasi geli yang menggelitik perut hingga menerbitkan senyum yang bisa dihalangi.

 

“Aku menyayangimu, Lim Chaerin.”

 

Maka perlahan takdir membuktikan kuasanya. Mengurai sedikit demi sedikit kebencian yang terpupuk sangat dalam di relung hati dan menggantinya dengan sebuah penerimaan yang akan mengantarkan keduanya pada kehidupan yang lebih baik. Melahirkan afeksi yang dikemudian hari akan sangat sulit ditolak Chaerin karena dominan tubuhnya semakin mengikat diri dengan sang pasangan setelah pengakuan yang dilontarkan Jayson.

 

 

*  *  *  *

 

 

Kepulangan Yunga dari rumah sakit tidak serta merta menjadi tanda jika pria Min itu sudah diperbolehkan untuk kembali bekerja. Walaupun tubuh berkulit putih itu sudah terlihat membaik, tetapi dokter menyarankan untuk tetap beristirahat setidaknya satu minggu setelah kepulangan. Chaerin yang berada di sana ketika dokter mengatakan hal tersebut menyetujui saran itu karena bagaimana pun ia ingin sang kakak kembali sehat seperti sedia kala. Bekas pukulan di tubuh Yunga memang terlihat mulai membaik, tetapi pada beberapa bagian tubuhnya masih terasa nyeri jika dibawa bergerak. Karena itulah Chaerin menjadi bekerja lebih keras karena dirinya harus mem-backup pekerjaan Yunga yang tidak kalah banyak dengan pekerjaannya.

 

Menghabiskan waktunya lebih banyak di ruang kerja bahkan sampai tidak menyadari jam makan siang adalah kegiatan yang tiga hari belakangan ini dijalani Chaerin. Tekadnya untuk membantu Yunga sangatlah besar hingga ia menjadi larut dengan pekerjaan dan melupakan kebutuhan dirinya sendiri, seperti makan dan beristirahat. Ia berangkat lebih awal tetapi pulang lebih larut. Sesampainya di apartemen, ia kembali membuka berkas penting yang harus diperiksa. Dirinya akan beranjak menuju kasur jika hari telah berubah dini hari.

 

Di tengah padatnya kegiatan tersebut, Chaerin tidak bisa mengelak jika sisi dominannya merasa begitu senang. Perasaan tersebut berhasil berdampak pada dirinya yang mulai bisa menerima keadaan yang ada. Belajar sedikit demi sedikit untuk membuka hati pada takdirnya. Membiarkan sang pemilik hati mulai mengisi ruang kosong tersebut tanpa berniat untuk melakukan penolakan seperti sebelumnya.

 

Jika sebelumnya ia akan selalu marah jika melihat keberadaan Jayson di sekitarnya, lain halnya dengan sekarang. Paska mendengar pengakuan Jayson yang membuat hatinya terasa hangat, tanpa diketahui rasa marah yang bersemayam dalam hati mulai menghilang. Tidak ada lagi kebencian yang ingin ditunjukkan setiap kali obsidian gelap itu bertemu pandang dengan maniknya. Perlahan tapi pasti, perasaan tidak suka yang ia rasakan telah berubah menjadi perasaan hangat yang membuat sang dominan bersorak senang. Membuat tembok pemisah yang dibuat menghilang hingga sisi dominannya kini bisa merasakan sisi dominan Jayson, begitu pun sebaliknya.

 

Seperti halnya hari itu, Jayson datang mengunjunginya dengan makan siang dan satu buah kotak yang ketika dibuka dipenuhi oleh coklat. Kebingungan pun menyerang sampai akhirnya pria itu memberitahukan alasannya, jangan lupakan usapan lembut yang selalu ia terima di atas kepala oleh telapak tangan besar Jayson. Sentuhan yang terbilang ringan tersebut selalu berhasil membuat dominannya dipenuhi euforia hingga mengalirkan sengatan yang membuat tubuhnya terasa panas sekaligus menyebabkan perubahan warna pada wajahnya.

 

“Terima kasih.”

 

Jayson mengernyit, bingung.

 

“Untuk coklat dan semua yang kau lakukan.”

 

Pria berparas tampan itu semakin melebarkan senyumnya.

 

“Hanya ini yang bisa kulakukan. Aku tahu beban pekerjaanmu semakin banyak dan tidak ada yang bisa aku lakukan selain mendukungmu dan memberikan apa pun yang bisa meringankan pikiranmu, salah satunya coklat itu.”

 

Ada hening sejenak di antara keduanya. Chaerin yang hanya menganggukkan kepala sebelum mengalihkan atensinya. Sementara Jayson lebih memilih untuk bersandar pada sandaran kursi dan tetap memperhatikan Chaerin. Menelisik setiap lekuk wajah omega tersebut hingga senyumnya tidak bisa untuk tidak tersungging. Cantik. Kata pertama yang terlintas dalam benak Jayson. Hidung mancung, bibir tipis, rahang dan bentuk mata yang sempurna. Jangan lupakan pipi sedikit tembam yang setiap kali ia sentuh terasa sangat lembut. Sungguh, Jayson sangat beruntung dengan takdirnya. Mate-nya begitu sempurna untuk ia yang tidak sempurna itu.

 

Di tengah hening yang berkuasa, Chaerin mengembuskan napas hangatnya setelah sibuk memikirkan bagaimana cara menyampaikan apa yang ada dipikirannya. Sejujurnya, ia sudah memikirkan hal tersebut sejak hari dimana Jayson mengatakan isi hatinya. Namun selama itu ia tidak tahu harus bagaimana. Keputusannya untuk mengatakan apa yang akan ia katakan selanjutnya pun baru diambil dua hari lalu saat ia merasa sisi dominannya tengah meraung sakit. Dan ternyata raungan tersebut adalah tanda jika Jayson yang berada jauh darinya tengah dalam kondisi tubuh kurang baik. Alpha itu terserang demam yang membuat tubuhnya harus bersembunyi di balik selimut tebal.

 

Maka dengan desakan sang dominan, Chaerin akhirnya sampai pada keputusan yang dirinya yakini akan mengubah hidupnya lebih cepat dari yang dibayangkan. Kembali menarik napas –kali  ini lebih panjang– kemudian mengembusnya, ia menolehkan kepala hingga maniknya dapat melihat wajah Jayson yang terlihat khawatir. Mungkin efek dari sisi dominan mereka yang mulai terhubung tanpa adanya batasan hingga Jayson dapat merasakan kegusarannya.

 

“Ada apa?”

 

Lagi-lagi Chaerin mengemuskan napas hangat yang terdengar lebih berat dari sebelumnya.

 

“Maaf.”

 

Kerutan di dahi muncul kala satu kata tersebut mengalun ke dalam indera pendengarannya. Membawa tubuh bersandarnya kembali tegak di atas kursi yang diduduki. Sedikit mencondongkan tubuhnya guna memangkas jarak antara tubuhnya dengan Chaerin yang harus terhalang oleh meja kerja omega itu.

 

“Maaf untuk umpatan, kata kasar, bahkan perilaku buruk yang aku tunjukkan padamu. Maaf karena telah mencoba mengingkari takdir. Maaf juga karena tidak pernah memberikanmu kesempatan untuk memperbaiki kesalahanmu.” Tuturnya pelan, nyaris berbisik tetapi Jayson masih bisa mendengarnya.

 

Seperti ada yang memutus ikatan kencang di dadanya. Jayson akhirnya dapat menghirup udara lebih baik. Tidak ada lagi sesak yang dirasakan. Bahkan sang dominan telah bergembira atas apa yang didengar Jayson. Membawa kembali harapan untuk hidup bahagia dengan takdir yang telah ditetapkan Selene. Walau sebelumnya harapan itu telah tumbuh kembali, tetapi setelah mendengar Chaerin maka harapan tersebut semakin tumbuh besar hingga keyakinan pada dirinya meningkat drastis.

 

Jayson lantas berdiri. Membawa tungkainya melangkah mendekati Chaerin yang masih setia dengan kepala tertunduk. Berhenti tepat di samping Chaerin, lalu tangan bebasnya meraih pundak omega tersebut untuk membuatnya berdiri. Menarik pundak sempit tersebut mendakat padanya hingga kepala sang omega menempel di dadanya. Melingkarkan kedua tangannya pada pinggang ramping Chaerin dengan kepala yang ia istirahatkan di pundak omega tersebut.

 

“Maaf untuk pengkhianatanku hingga membuat luka untukmu. Aku berjanji untuk menebusnya dan akan memperlakukanmu dengan perlakuan yang pantas kamu terima.”




T . B . C





- DF -




Comments

Popular Posts