Tristana - Chapter 2


.

.

.

.

.


Sudah satu minggu Adelio sadar dari komanya, itu berarti sudah satu minggu pula Aeleasha menunggu waktu yang tepat untuk bertemu dengan kembarannya. Tidak ada yang bertanya mengapa Aeleasha tidak menjenguk Adelio di rumah sakit, karena keluarganya mengira jika Aeleasha belum mengetahui hal tersebut. Dan mereka tidak berniat untuk memberitahu kabar baik itu kepada Aeleasha karena ucapan anggota keluarga lain kala Adelio siuman.

 

Di hari kesepuluh, akhirnya Aeleasha berhasil memasuki kamar rawat Adelio. Kehadirannya mebuat Adelio yang sedang menonton tv seorang diri terkejut bukan main. Dia tidak mengira jika Aeleasha akan datang. Padahal hari masih pagi dan seharusnya saudara kembarnya itu sedang berada di sekolah. Namun saat melihat wajah Aeleasha, entah apa yang membuat Adelio menyadari sesuatu. Tanpa bisa dicegah, kedua belah bibirnya berucap yang membuat Aeleasha langsung menghampiri dan memeluknya dengan erat.

 

“Gua tidurnya kelamaan ya?”

 

Aeleasha tidak menjawab. Ia hanya sibuk menyalurkan rasa rindu kepada satu-satunya orang yang sangat mengerti akan dirinya. Dia Adelio Rajasa, adik kembarnya yang telah kembali dari waktu istirahat yang panjang.

 

“Kangen Li..”

 

Adelio mengusap punggung Aeleasha yang bergetar. Ia sadar tangis itu bukan hanya sebuah ungkapan rindu. Ingat, mereka terlahir dalam waktu yang sama. Ikatan mereka lebih erat dibandingkan dengan anggota keluarga lain. Sehingga wajar jika Adelio merasa ada yang tidak beres dari Aeleasha.

 

Namun Adelio tidak ingin menanyakan kerisauannya. Ia tidak mau membuat Aeleasha semakin tergugu dalam tangisnya. Ia hanya ingin merengkuh lebih erat tubuh mungil itu dn membiarkan debaran jantung keduanya yang mengatakan apa yang terjadi.

 

“Sekarang ada gua, lo udah enggak sendiri lagi Le..”

 

Ucapan lembut dan tenang itu membuat Aeleasha semakin terbelenggu dalam tangisnya. Sesak yang selama ini dirasakan, kesendirian yang menemani perlahan berkuran karena keberadaan Adelio. Sungguh ia sangat bersyukur memiliki Adelio sebagai kembarannya.

 

Setelah berpelukan lama, Aeleasha perlahan melepaska lingkaran tangannya. Ia menghapus jejak air mata yang membasahi kedua pipinya sebelum menatap manik pekat milik Adelio.

 

“Kenapa enggak sekolah?”

 

“Gua mau ketemu lo.”

 

“Kenapa enggak nanti aja abis pulang? Terus kenapa baru jenguk sekarang?”

 

“Karena cuma sekarang aja gua bisa ketemu sama lo.”

 

“Maksudnya?” Adelio bertanya dengan dahi mengerut.

 

Namun Aeleasha mengabaikan pertanyaan itu. Dia lebih memilih ikut naik ke atas tempat tidur yang membuat Adelio bergeser untuk memberikan ruang, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Adelio.

 

“Lo baik-baik aja kan Le?”

 

“Iya, gua baik kok.”

 

Adelio menghela napasnya. Ada sedikit kelegaan ketika mendengar jawaban itu, walau sebenarnya masih ada kegelisahaan yang belum juga hilang.

 

“Li..”

 

Adelio bergumam sembari mengeratkan pelukannya.

 

“Maaf ya, gara-gara gua lo jadi kayak gini.”

 

Ha maksudnya?”

 

Tarikan napas panjang Aeleasha lakukan sebelum vokalnya kembali terucap.

 

“Iya, gara-gara nganterin gua lomba lo jadi koma. Jadi gua mau minta maaf karena kesialan gua ini lo yang menderita.”

 

“Lo ngawur Le, ini tuh kecelakaan. Gak ada yang namanya sial. Emang lu denger dari siapa sih omongan sampah kayak gitu?” Sungut Adelio.

 

Pasalnya ia tidak menyangka jika Aeleasha akan menganggap dirinya sebagai kesialan. Padahal dia juga menjadi korban dari kecelakaan itu.

 

“Banyak, dan gua juga ngerasa gara-gara gua lo jadi kayak gini. Gua kayakanya emang gak harus ngelakuin apa-apa deh biar enggak ada lagi yang celaka atau dirugikan.”

 

Geram mendengar ucapan aneh Aeleasa, Adelio lantas melepaskan pelukannya dan membawa tubuh sang kembaran untuk menghadap kepadanya.

 

“Enggak ada yang namanya sial ya Le. Jadi berhenti nganggep diri lo sebagai sebuah kesialan. Karena kalau lo sial, gua juga sial. Inget kita tuh kembar, jadi lo dianggap sebauh kesialan berarti mereka juga nganggep yang sama ke gua. Ngerti?”

 

Aeleasha hanya menunduk tanpa berniat menjawabnya. Ia terlalu bingung, ingin meyakini ucapan Adelio atau tidak. Karena semua hal tentang kesialan yang dilabelkan kepadanya berasal dari keluarganya sendiri.

 

Keheningan antara Aeleasha dan Adelio tidak berlangsung lama karena kedatangan seseorang laki-laki berseragam sama denga Aeleasha. Adelio yang melihat itu mengerutkan kening, tidak mengira akan keberadaan laki-laki itu.

 

“Kok lo di sini?”

 

Aeleasha yang tau maksud kedatangan Kenzo buru-buru melepaskan pelukannya dan turun dari atas tempat tidur.

 

“Dia yang nemenin gua ke sini. Semenjak lo koma, Kenzo yang jadi temen gua Li.”

 

“Le, kita harus pergi. Bentar lagi nyokap lo dateng.”

 

“Li, gua pergi dulu ya. Kapan-kapan gua dateng lagi. Kalau gua enggak dateng berarti gua enggak ada kesempatan buat masuk. Kalau sampai lo pulang gua enggak dateng juga, itu berarti kita ketemu lagi di rumah.”

 

Adelio semakin dibuat bingung dengan penuturan Aeleasha, padahal keberadaan Kenzo di ruang rawatnya pun sudah menghadirkan banyak pertanyaan.

 

“Maksud lo apa sih? Kenapa lo gak bisa dateng? Terus kenapa lo gak punya kesempatan?”

 

Lagi-lagi Aeleasha tidak menjawabnya. Ia hanya menyunggingkan senyum terlebarnya sembari menggenggam erat tangan Adelio.

 

“Gua sayang banget sama lo. Cepet sembuh ya kembaran gua..” Ucapnya lalu mengecup singkat pipi Adelio sebelum berlalu pergi dari ruangan itu.

 

Hingga tinggalah Adelio dan Kenzo di sana. Kenzo tak langsung mengikuti Aeleasha karena ia sepertinya perlu menyampaikan beberapa patah kata untuk teman sekalasnya ini.

 

“Banyak hal menyedihkan yang udah Echa, maksud gua Lea laluin selama lo koma. Gua gak akan bilang sekarang, tapi yang jelas gua berharap lo cepet sembuh supaya Lea gak sendirian.”

 

Setelah mengatakan itu Kenzo pergi menyusul Aeleasha.

 

Benar saja, tidak lama setelah itu Myria masuk ke dalam ruangan rawat. Dia yang melihat Adelio yang terduduk tegap menghampiri anak laki-lakinya itu.

 

“Kamu kenapa sayang?”

 

Adelio mengerjap lalu menatap sang mamah. Ia perhatikan wajah cantik itu selama beberapa saat hingga membuat Myria semakin dirundung rasa bingung.

 

“Mah, Lea dimana?”

 

Myria seketika membatu. Namun dia buru-buru menetralkan raut wajahnya dan kembali mengusap pundak Lio. Perubahan sikap Myria tak luput dari pandangan Lio yang membuat banyak tanda tanya muncul dibenaknya.

 

“Lea di sekolah dong sayang, kan sekarang masih jam sekolah.”

 

“Kapan Lea mau dateng jenguk aku? Dia tau kan kalau aku udah siuman?”

 

Lagi-lagi Myria terdiam selama beberapa detik yang ganjil, dan hal itu yang membuat Lio semakin yakin jika ada yang terjadi antara Aeleasha dengan keluarganya.

 

“Ta-Tau kok. Lea tau kok kalau kamu udah sadar. Cuma dia lagi sibuk sama latihannya, dia nitip salam kok buat kamu. Katanya dia bakal usahain buat dateng pas waktunya lenggang.”

 

Adelio hanya mengucapkan “oh” karena merasa sudah tidak ada yang perlu ia tanyakan lagi. Ia pikir sudah cukup mendengar kebohongan sang mamah. Kini yang ada dipikirannya adalah alasan kenapa mamahnya sampai tega mengatakan kebohongan kepadanya. Dan juga apa alasannya sampai mengatakan jika Aeleasha sedang latihan padahal terlihat jelas jika kaki saudaranya itu tidak seperti sebelumya.

 

Ya, Adelio menangkap perubahan cara berjalan Aeleasha yang membuat dirinya yakin jika Aeleasha tidak mungkin berlatih. Dan nalurinya yang menguatkan jika sebenarnya Aeleasha tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ditambah denga ucapan Kenzo yang semakin menguatkan pemikiran buruk itu.

 

 

*   *   *   *

 

 

Sejak semalam Adelio sudah merasa tidak tenang. Pikirnnya pun langsung terpusat pada Aeleasha yang tidak lagi menjenguknya sejak kedatangan pertama gadis itu. Bagaimana keadaan kembarannya? Apakah dia baik-baik saja?

 

Adelio tentu saja bingung, tetapi dia terus teringat ucapan kembarannya yang mengatakan jika dia tidak datang maka dia tidak memiliki kesempatan. Ia ingin sekali menanyakan hal itu, tetapi orang tuanya atau abangnya selalu mengatakan jika Aeleasha ada di rumah dan baik-baik saja. Tentunya Adelio tahu jika semua itu adalah kebohongan, sama seperti saat mamahnya mengatakan jika Aeleasha sibuk berlatih.

 

Yang membuat ia merasa heran lagi adalah bagaimana bisa mamahnya selalu menemani dia di rumah sakit selama satu setengah bulan ini? Jika tidak sendiri pasti ditemani sang papah atau abangnya. Jika seperti itu, lalu bagaimana dengan Aeleasha. Apakah dia selalu sendirian di rumah?

 

Banyak sekali pikiran buruk yang tengah berputar di dalam kepalanya yang tentu membutuhkan jawaban. Namun ia tidak tahu kepada siapa dirinya harus menanyakan jawaban itu, karena tidak mungkin kepada keluarga yang hanya terus berkata bohong.

 

Tanpa disadari ia menghela kasar, bersamaan dengan itu seseorang masuk ke dalam ruang rawatnya. Adelio menoleh dan mendapati Kenzo, teman sekelasnya yang tengah menutup pintu. Kenzo berjalan masuk dan duduk di sofa yang berhadapan dengan tempat tidur Adelio.

 

“Gimana keadaan lo?”

 

“Baik, dokter bilang lusa gua udah bisa pulang.”

 

“Bagus kalau gitu.” Jawab Kenzo dengan anggukan singkat.

 

Adelio mengamati Kenzo yang tengah menatapnya. Melihat tatapan itu malah memperbesar rasa khawatirnya kepada Aeleasha.

 

“Jadi ada apa? Kenapa lo sampe nanyain orang tua gua cuma buat dateng ke sini?”

 

“Karena gua cuma mau ngomong sama lo aja.”

 

Adelio menaikkan sebelah alisnya.

 

“Soal apa?”

 

“Aeleasha.”

 

Saat itu juga jantung Adelio berdebar kencang. Ketakutannya kian memenuhi relung hati sampai dadanya menjadi sesak. Hingga tanpa sadar tangannya saling bertaut dan meremas di atas pangkuan.

 

Kenzo berdiri lalu menghampiri Adelio yang berada di atas tempat tidurnya. Ia memberikan selembar kertas yang ia keluarkan dari dalam tas kecil yang dibawa.

 

“Apa?”

 

Adelio melihat kertas itu dan mengambilnya setelah Kenzo menggerakkan untuk segera ia terima. Ia membuka lipatan kertas dengan logo rumah sakit, masih dengan jantung yang berdebar. Ia tidak ingin meyakini prasangka buruk yang tiba-tiba saja memenuhi perasaannya, tapi semua itu pupus ketika melihat nama dan diagnosa yang tertulis pada lembaran itu.

 

Aeleasha Rajasa. Shin splints.

 

Ia mengangkat kepalanya dan menatap Kenzo yang masih setia memperhatikannya.

 

“Lo inget ucapan gua waktu itu kalau Echa ngalamin waktu sulit selama lo koma? Dan ini jawabannya. Sorry gua terbiasa manggil kembaran lo Echa bukan Lea.” Kenzo menunjuk pada lembaran yang masih dipegang Adelio dengan sangat erat.

 

“Echa kemarin keserempet mobil pas lagi nyebrang. Dia awalnya enggak jujur tapi gua paksa dan akhirnya cerita juga kalau sejak pagi kakinya sakit. Jadi gua langsung bawa dia ke rumah sakit buat periksa kaki dan juga paska keserempet itu. Itu hasil cek kemarin yang sengaja gua simpen.”

 

Kenzo yang lelah berdiri akhirnya menarik kursi di samping tempat tidur untuk dirinya tempati.

 

“Echa udah didiagnosa shin splints seminggu setelah kecelakaan mobil waktu itu. Dokter bilang kalau Echa enggak mungkin lagi buat jadi atlet lari, karena terkadang rasa sakitnya tiba-tiba bisa muncul sama kayak kejadian kemarin. Dan kalau dia tetep ngotot untuk lari, besar kemungkinan kondisi kaki Echa bisa parah banget.”

 

Tidak berhenti sampai disitu, Kenzo tiba-tiba saja menunjukkan sesuatu dari ponselnya kepada Adelio.

 

“Ini gua liat ada di tas Echa, dan gua foto buat gua tanya ke dokter. Dan lo tau jawaban dokter apa?”

 

Lagi-lagi Adelio hanya bisa diam menunggu penjelasan Kenzo.

 

“Ini obat penenang, biasanya dikasih buat penderita PTSD. Dokter yang kemarin meriksa Echa bilang kalau kemungkinan Echa juga menderita PTSD paska kecelakaan yang menimpa kalian.”

 

Adelio benar-benar dibuat bungkam. Dia tidak menyangka akan mendengar penjelasan semenyakitkan itu dari seorang Kenzo yang notabene-nya hanya seorang teman kelas, bukan anggota keluarganya.

 

“Ada lagi yang sepertinya harus lo tau.”

 

Adelio  kembali mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Kenzo. Laki-laki itu ternyata masih setia dengan raut dinginnya yang berbeda sekali dengan wajahnya yang sudah tidak bisa dijelaskan. Terkejut, sedih, kecewa, dan bahkan marah kini terlihat diwajahnya.

 

“Keluarga lo, enggak tau kondisi Echa. Mereka selalu sibuk nemenin dan nungguin lo, termasuk abang lo. Setiap kali Echa minta temenin ke rumah sakit, pasti mereka gak bisa karena harus nungguin lo. Karena terus ditolak, akhirnya Echa mendem semuanya sendiri. Dia pergi ke rumah sakit sendiri, dan kalau sakitnya tiba-tiba kambuh dia coba nenangin dirinya sendiri. Gua enggak nyalahin lo untuk hal ini, karena ini bukan kesalahan lo. Gua cuma mau cerita semuanya ke lo karena lo berhak tau gimana kehidupan kembaran lo sendiri selama lo koma.”

 

Bagai disiram air panas. Tubuhnya seketika memanas mendengar penuturan Kenzo. Ada kemarahan yang membakar dadanya mendengar kehidupan Aeleasha selama dirinya tidak sadar. Tentu saja dia marah dengan keluarganya, tapi dia jauh lebih marah pada dirinya sendiri karena terlalu lama meninggalkan Aeleasha sendirian.

 

“Apa lagi yang Lea alamin selama gua enggak ada?” Tanya Adelio dengan mata yang sudah memerah menahan air matanya.

 

“Gua enggak tau detailnya, tapi intinya adalah Echa sendirian dan dijadiin kambing hitam atas kecelakaan yang menimpa kalian. Bahkan, waktu lo udah sadar enggak ada yang ngasih tau dia. Dia tau dari gua yang enggak sengaja denger nyokap lo. And the worst thing was she heard that she isn’t allowed to meet you atleast until you’re fine.

 

Adelio menegang mendengar ucapan Kenzo. Bagaimana bisa Aeleasha disalahkan atas kecelakaan yang menimpa mereka. Jelas-jelas keduanya sama-sama celaka dan saat itu yang membawa mobil adalah supir mereka. Lalu siapa yang dengan tega melarang kembarannya untuk datang menemuinya.

 

“Siapa Ken?”

 

“Maksud lo?”

 

“Siapa yang ngomong kalau Lea yang nyebabin kecelakaan itu?”

 

“Keluarga lo.”

 

“Yang ngelarang Lea buat jenguk gua?”

 

“Om Tante lo.”

 

“Orang tua gua gimana?”

 

Kenzo mengangkat bahunya, seperti enggan tapi dia tetep menjawab pertanyaan itu.

 

“Ya ngikutin, karena kayaknya orang tua lo juga secara gak langsung nyalahin Echa karena udah buat lo koma.”

 

Adelio meremas kertas kesehatan Lea untuk menyalurkan seluruh kemarahannya. Dia sama sekali tidak menyangka jika Aeleasha mengalami masa sulti yang teramat sulit. Dia tidak tahu jika keluarganya akan setega itu dengan kembarannya sendiri. Bukankah sudah jelas jika kecelakaan yang menimpa mereka akibat kelalaian supir truk, tapi kenapa malah kembarannya yang diabaikan karena pikiran buruk mereka sendiri.

 

Ia benar-benar ingin meledak. Ia tidak menyangka dengan apa yang telah orang tuanya perbuat. Kenapa mereka bisa setega itu kepada Aeleasha. Aeleasha bahkan harus mengubur mimpinya tapi tidak ada yang tahu dan peduli.

 

By the way, gua harus pergi. Oh iya, gua harap lo gak ngomong ke Echa kalau lo udah tau kondisinya dia.”

 

“Kenapa?” Tanya Adelio tidak mengerti.

 

Bukannya akan lebih baik jika Aeleasha tau kalau dirinya sudah tau mengenai kondisi kembarannya, jadi mereka bisa sama-sama memikirkan bagaimana menyembuhkan cedera yang dialami Aeleasha?

 

“Echa nyembunyiin kondisinya dari semua orang, termasuk gua pas awal. Dia enggak mau dianggap lemah dan cuma nyari perhatian sementara lo waktu itu koma. Jadi lebih baik kita hargain keinginan dia itu. Jangan nambah beban pikirannya lagi.”

 

Setelah mengatakan itu, Kenzo pergi. Namun ia sempat menepuk pundak Adelio singkat. Tidak lama setelah keeprgian Kenzo, kedua orang tuanya beserta Cashel datang. Adelio yag jelas-jelas masih dirundung kemarahan tidak bisa menyembunyikan raut kecewanya. Dia menatap satu per satu anggota keluarganya dengan tatapan tajam.

 

“Kalian dari mana? Kok barengan?”

 

“Mamah abis jemput papah di bandara, terus ketemu abang di parkiran. Jadi kita bareng naiknya.” Jawab Cashel yang telah bersandar di sofa.

 

“Emang papah dari mana?”

 

“Papah dari luar kota, ada kerjaan.”

 

“Berarti mamah abis aku sarapan pergi itu buat jemput papah, terus langsung ke sini?”

 

Myria yang tengah sibuk menata buah, beralih menatap sang anak dengan kepala yang mengangguk.

 

“Iya, sayang.”

 

“Kalau lo bang? Lo dari rumah?”

 

“Enggak, gua dari kosan temen soalnya semalem gua ngerjain skripsi di sana.”

 

Adelio benar-benar murka. Kesabarannya sudah habis, apa lagi setelah mendengar jawaban yang terlampau santai dari keluarganya. Kenapa bisa mereka meninggalkan Aeleasha sendirian di rumah? Walaupun ada asisten rumah tangga, tetapi tetap saja. Mereka sudah sangat keterlaluan.

 

“Kamu kenapa sih nanya-nanya gitu?”  Tanay Theo kepada anak bungsunya.

 

“Lea gimana?”

 

Ketiga orang itu seketika terdiam. Mereka menatap Adelio yang tengah memperhatikan mereka bergantian.

 

“Lea di rumah, mamah udah bilang kok.”

 

“Kapan?”

 

“Itu kemaren pas kamu lagi di kamar mandi. Lea nelpon dan bilang kalau dia belum bisa kesini karena jadwal latihannya padet banget.” Jawab Myria dengan cepat. Bahkan terlalu cepat hingga membuat Adelio semakin curiga.

 

Adelio mengerutkan keningnya. Ia menunjukkan sekali wajah ketidakpercayaannya kepada mereka.

 

“Bener?”

 

“Iya lah, lagian ngapain kita boong.” Kini giliran Cashel yang membuka suaranya.

 

Adelio mengangkat bahunya. “Entah, tapi bisa aja kan.” Jawabnya lalu merebahkan tubuhnya di kasur.

 

“Aku mau ketemu Dokter Rian.” Ujarnya tiba-tiba setelah hening yang sangat menyiksa bagi keluarganya.

 

“Kamu mau ngapain?”

 

“Mau nanya aja, bisa enggak aku pulang malam ini juga. Soalnya udah cukup lama juga di sini, dan kondisi aku pun udah membaik.”

 

“Enggak usah buru-buru Lio, pentingin kesehatan kamu.” Jawab sang papah yang baru saja bergabung dengan Cashel di sofa.

 

“Iya sih, tapi kesehatannya Lea gimana? Penting juga enggak?”

 

Pertanyaan tidak terduga dari Adelio membuat ketiga orang itu terdiam. Bahkan mereka tidak berani menatap Adelio yang masih melihat mereka bergantian.

 

“Kalian ingetkan kalau aku sama Lea itu kembar. Jadi apa yang Lea rasaian aku juga bisa rasain.”

 

Setelah mengatakan itu, Adelio malah memejamkan matanya dan membiarkan ketiga orang di sana terhanyut dengan ucapannya. Dia sedang tidak ingin melihat wajah mamah, papah, dan juga Abangnya karena rasa sabar yang sudah sampai habis. Jika tidak dihentikan mungkin saja ia bisa meledakkan seluruh kemarahan dan rasa kecewanya saat itu juga.

 

Maafin gua Le, maafin kembaran lo yang gak berguna ini. Tapi setelah gua keluar dari sini, gua janji bakal tebus semua kesendirian dan kesedihan lo. Gua sayang banget sama lo, Aeleasha.

 

 

*   *   *   *

 

 

Sudah satu bulan sejak kepulangan Adelio dari rumah sakit. Laki-laki muda itu sudah bisa melakukan aktivitasnya seorang diri. Hanya saja dia masih perlu pelan-pelan dalam melakukannya, karena terkadang rasa nyeri masih dirasakan terutama pada bagian tubuh yang terluka. Dia juga sudah kembali aktif sebagai siswa. Adelio melanjutkan sekolahnya dan memilih homeschooling untuk mengejar ketertinggalannya.

 

Tidak jauh berbeda dengan Aeleasha. Gadis itu juga tetap melakukan rutinitas seperti biasa. Dia tetap sekolah dan juga masih ikut membntu Tante Kirana seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah sekali pun Adelio sudah pulang. Ada sih perubahan tapi itu kecil. Hanya rumah yang kembali ramai, tapi kehangatan masih belum bisa ia rasakan.

 

Aeleasha yang kerap pulang telat sempat mendapat pertanyaan dari Myria. Namun Aeleasha selalu menjelaskan jika dirinya mengikuti ekskul. Myria awalnya bingung tapi Adelio yang membantunya hingga Myria tidak jadi bertanya lebih banyak lagi.

 

Sejujurnya diawal Adelio juga tidak mengetahui kemana Aeleasha pergi, tapi dia akhirnya tahu alasannya. Itu juga berkat Kenzo. Kenzo menceritkan apa saja yang Aeleasha lakukan selama dia sendirian. Mulai dari membuat kue dengan Tante Kirana sampa menjadi vokalis di band sekolah yang diketuai langsung oleh Kenzo.

 

Ia bersyukur jika akhirnya Aeleasha bisa memiliki kegemaran lain. Setidaknya kembarannya itu tidak akan terpuruk terlalu lama dengan kondisi kakinya. Dan ia juga berharap jika apa yang Aeleasha lakukan saat ini bisa menjadi masa depan baru untuknya.

 

Tanpa terasa hari terus berganti hingga akhirnya sampai dimana pelaksanaan ujian kenaikan kelas berlangsung. Aeleasha sibuk mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ujian yang berlangsung selama satu minggu. Dia sampai meminta izin ke Kirana untuk tidak membantu selama ujian berlangsung.

 

Ia berpikir untuk bisa menjadi lebih baik dari semester sebelumnya. Walaupun tidak akan bisa mengalahi Cashel dan Adelio, setidaknya nilainya harus mengalami kenaikan. Tekadnya untuk bisa bersanding dengan sang abang dan adik kembarnya  telah berubah semenjak menjalin pertemanan dengan Kenzo. Kenzo yang telah menyadarkannya bahwa setiap orang memiliki hal yang lebih unggul dari orang lain. Jika dalam akademis dirinya lemah, maka ada hal lain yang jauh diungguli oleh Aeleasha.

 

Kerja kerasnya ternyata tidak sia-sia. Aeleasha berhasil melalui ujian kenaikan kelasnya dengan baik, walau dia tidak tahu bagaimana hasil akhirnya. Namun setidaknya dia bisa mengerjakan seluruh ujiannya tanpa mengalami kesusahan atau kendala. Ia sangat bersyukur dan berterima kasih kepada dirinya sendiri. Karena memang apa yang sudah ia lakukan adalah buah dari kerja kerasnya.

 

Pulang dari sekolah, Aeleasha diantar oleh Kenzo. Mereka sudah berjanji untuk pergi makan es krim dihari terakhir ujian, dan keduanya benar-benar merealisasikan janji tersebut. Mereka menghabiskan empat mangkuk es krim hanya berdua. Tentu saja tiga untuk Aeleasha dan Kenzo hanya bisa menghabiskan mangkuk pertamanya saja.

 

Sesampainya di depan rumah, Aeleasha turun dari motor yang dibawa Kenzo. Dia juga melepaskan helm dan memberikannya kepada Kenzo.

 

Thanks bro.”

 

Kenzo menerima helm tersebut dan menyimpannya di antara sela kaki.

 

“Sama-sama. Udah gih sana masuk.”

 

“Siap bos. Lo hati-hati, nanti kalau udah sampe kabarin gua.”

 

“Iya, bawel lo. Gua pamit, bye.” Kenzo lalu menggas motornya hingga roda dua itu bergerak pergi meninggalkan area perumahan Aeleasha.

 

Setelah Kenzo sudah tidak terlihat lagi, barulah Aeleasha masuk ke dalam rumahnya. Saat melewati ruang tengah, dia melihat Adelio yang tengah menatapnya dengan senyuman yang membuat Aeleasha menukikkan alis.

“Kenapa?”

 

“Dianter siapa?” Tanyanya dengan senyuman jahil.

 

“Kenzo, kenapa?”

 

Adelio menggeleng.

 

“Enggak, gapapa. Cuma gua seneng aja liat lo sama Kenzo.” Ujarnya dengan tertawa.

 

“Aneh. Udah ah gua mau bersih-bersih.”

 

“Iya sana bersih-bersih.”

 

Lalu Aeleasha langsung bergegas menuju ke kamarnya, meninggalkan Adelio yang masih mengikuti pergerakannya dengan senyum yang tak pernah luntur dari wajah.

 

“Gua berharap lo selalu senyum kayak gitu Le..” Ucapnya.

 

 

*   *   *   *

 

 

Ketika waktu makan tiba, Aeleasha dan keluarganya sudah berkumpul di ruang makan. Sebenarnya makan malam bersama adalah rutinitas yang selalu mereka lakukan, tapi sejak kecelakaan yang terjadi kegiatan itu tidak pernah lagi dilakukan. Karena hanya akan berakhir Aeleasha yang akan duduk seorang diri di meja makan.

 

Sakit sebenarnya jika ia harus mengingat hal itu. Tapi mau bagaimana lagi, dia juga tidak memiliki kemampuan untuk membuat keluarganya mau makan bersama di meja itu saat Adelio dalam keadaan antara hidup dan mati. Beruntungnya, sekarang semua itu sudah kembali terjadi. Hanya saja rasanya yang kini berbeda. Terlalu sering menelan kekecewaan membuat Aeleasha menjadi mati rasa dengan suasana rumahnya yang telah kembali. Pada akhirnya dia tetap merasa seorang diri sekali pun anggota keluarganya telah hadir lagi.

 

Makan malam itu berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Makan  malam yang disiapkan oleh Myria tidak pernah gagal. Belum lagi adanya makanan penutup yang selalu Myria siapkan untuk keluarganya santap setelah makanan utama. Sejujurnya Aeleasha merindukan ini, tapi kembali lagi perasaannya telah mati hingga ia tidak bisa meraskaan kehangatan dan kebahagiaan seperti sebelumnya.

 

“Gimana ujian kamu?”

 

“Baik.”

 

“Lea, Papah mau nanya.”

 

Aeleasha hanya mengangguk sambil tetap menyuap makanannya.

 

“Selama ini kalau kamu pulang telat, kamu kemana?”

 

Pertanyaan itu membuat pergerakan tangan Aeleasha terhenti. Dia menatap piringnya sejenak sebelum menatap sang papah yang ternyata tengah menatap dirinya.

 

“Ekskul.”

 

“Jangan bohong Le.” Teguran Cashel membuat Aeleasha berpikir.

 

Apa keluarganya tau kalau dia berbohong?

 

“Abang pernah mau jemput kamu tapi malah ngeliat kamu keluar dari sekolah terus pergi. Kamu kemana?”

 

“Kapan?”

 

Bukannya menjawab, Aeleasha malah balik bertanya.

 

“Tiga bulan yang lalu.”

 

“Terus abang bilang ke papah?”

 

“Iya, abang bilang ke mamah sama papah. Kamu jujur sayang, kamu kemana?”

 

Aeleasha meletakkan sendok dan garpunya ke atas meja. Agak sedikit membanting, tapi bersamaan dengan itu napasnya dihela. Membuat suara yang ditimbulakan menajadi saru.

 

Ok.”

 

Merasa sudah tidak ada pilihan lain, Aeleasha akhirnya menjawab pertanyaan Theo dengan apa adanya. Dia mengatakan semuanya tanpa ada yang dikurangi.

 

“Kenapa kamu enggak jujur aja ke mamah?”

 

Aeleasha merengut bingung.

 

“Jujur? Mamah aja gak pernah ngasih kesempatan buat aku jelasin sesuatu. Mamah juga gak percaya sama aku. Jadi buat apa aku jujur.”

 

“Lea, jaga intonasi bicara kamu.” Tegur Theo karena Aeleasha yang semakin tersulut emosi.

 

Sementara Adelio menggenggam tangan Aeleasha di bawah meja untuk menenangkan kembarannya itu.

 

“Tapi benerkan yang aku bilang? Waktu aku dituduh ambil dompet Tania, mamah malah langsung minta maaf tanpa minta penjelasan aku. Untung ada Kenzo, kalau enggak mungkin sampe sekarang aku dibully karena tuduhan itu.”

 

“Apa Le?” Adelio berseru. Ia cukup terkejut mendengar fakta itu. Bagaimana bisa kembarannya dituduh melakukan hal buruk dan mamahnya malah meminta maaf begitu saja.

 

“Papah enggak tau kan? Ya iya, orang dihari itu Lio sadar jadinya kalian lupa.”

 

“Lea, mamah..”

 

Belum sempat Myria berbicara, Aeleasha telah lebih dulu menyelaknya.

 

“Terus mamah inget gak waktu ada pertemuan orang tua murid, tapi enggak ada satu pun dari kalian yang bisa dateng. Tau siapa yang ngegantiin kalian, itu Tante Kirana mah pah. Dia yang bukan siapa-siapa mau dateng ke sekolah buat jadi wali aku.”

 

Lea menarik napasnya. Kekecewaan yang selama ini ia pendam pada akhirnya meledak juga ketika Theo menyulut sumbunya.

 

“Kenapa kalian nanyain soal ini sekarang? Kenapa enggak sebelumnya? Ah!” Ia menjentikkan jarinya.

 

“Kalian baru sadar ya, terus ngira aku ngelakuin yang aneh-aneh. Bener kan?”

 

“Enggak Le, maksud kita tuh gak gitu. Kita cuma enggak mau kamu terjerumus ke tempat yang salah.”

 

Stop bang enggak usah bohong lagi. Aku tau kok apa yang kalian pikirin soal aku. Kalian cuma takut aku bikin malu lagi kan. Kalian enggak mau om sama tante terus omongin kalian gara-gara aku.”

 

“Le stop. Papah enggak maksud kayak gitu. Papah cuma mau mastiin kamu baik-baik aja.”

 

Aeleasha melepaskan tangannya dari genggaman Adelio sambil tertawa hambar. Lalu tangan yang bebas mengeluarkan sebuah amplop dari saku celananya.

 

“Tapi surat ini nunjukin hal yang beda pah. Aku kira ini untuk Lio buat ngejar ketertinggalannya, ternyata buat aku.” Lagi-lagi Aeleasha tertawa tapi cukup menyayat hati Adelio.

 

“Kenapa pah, mah? Kenapa kalian mau ngirim aku sekolah di luar? Apa kalian enggak cukup buat aku ngerasa sendirian selama Lio di rumah sakit?”

 

“Lea denger papah, maksud papah sama mamah enggak kayak gitu. Kita cuma mau yang terbaik buat kamu.”

 

“Terbaik apa Pah? Ini tuh bukan terbaik buat aku, tapi buat kalian. Bilang aja kalian malu kan sama keluarga yang lain karena aku enggak bisa ada dilevel yang sama kayak Bang Achel dan Lio. Aku yang enggak sepinter itu diakademis berbanding terbalik banget sama sepupu yang lain. Terus kalau gitu kenapa? Kenapa aku yang dikucilin dan aku yang harus pergi?”

 

Aeleasha menumpahkan seluruh emosinya. Dia berteriak, menangis, bahkan meraung dihadapan keluarganya yang membisu. Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya, tapi kenapa dia harus mendapatkan perlakuan seperti ini, terlebih dari orang tuanya sendiri.

 

“Aku mau kayak Bang Achel. Aku juga mau kok kayak Lio. Tapi gimana caranya? Aku sendiri udah capek. Udah banyak cara yang aku coba mah, pah. Tapi tetep aja kurangkan dimata kalian. Terus itu jadi salah aku?”

 

“Sayang, maafin mamah. Mamah enggak bermaksud kayak gitu. Maaf kalau ternyata pemikiran kami salah.”

 

Pelukan dari Myria ditepis begitu saja. Aeleasha memilih untuk melangkah mundur ketika Myria menghampirinya.

 

“Kalau ini mau kalian, ok aku akan lakuin. Kalian mau aku pergi kan, fine! Aku akan lanjutin sekolah aku di sana, sendirian.”

 

Setelah mengatakan itu Aeleasha langsung berlari pergi dari sana. Masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya.

 

Adelio yang akan menyusul sesat diam hanya untuk melihat pada Theo, Myria dan juga Cashel.

 

“Kalian keterlaluan.” Lirihnya lalu berjalan perlahan menuju kamar Aeleasha di lantai atas.



to be continued..




here is the cast




- DF -

Comments

Popular Posts