Tristana - Chapter 3
.
.
.
.
.
Sejak malam itu,
tidak lagi ada Aeleasha di tengah keluarga Rajasa. Ia lebih memilih untuk
menghabiskan waktunya di kamar sekali pun untuk makan. Berulang kali orang
tuanya mencoba mebujuk begitu juga dengan Cashel, tapi Aeleasha terus menolak.
Hanya Adelio yang berhasil untuk berbicara dengannya.
Seperti malam
ini, saat dia tengah menyusun baju ke dalam koper. Adelio menemani Aeleasha di
kamar. Tanpa ada yang membuka suara. Membiarkan diam menjadi peneman mereka.
Sejujurnya ada
hal penting yang ingin Adelio katakan. Namun dia belum menemukan kata yang pas
untuk dikatakan. Keterdiamannya sejak tadi itu karena dia tengah merangkai
kalimat yang akan diucapkan. Dia harus bisa memilah kata yang tepat agar tidak
menyakiti perasaan Aeleasha atau membuat kembarannya itu merasa kembali
disalahkan.
Setelah dirasa
cukup, Adelio menarik napas panjang lalu menghelanya. Dia menatap Aeleasha yang
tengah sibuk memasukkan baju-bajunya ke dalam koper.
“Le.”
“Hm.”
“Lo beneran mau
pergi?”
Aeleasha
menghentikan pergerakan tangannya. Ia mengangkat kepalanya yang membuat
pandangan mereka bertemu.
“Mereka mau gua
pergi, jadi sebagai anak gua harus turutin kan.” Jawabnya santai, tapi Adelio
bisa mendengar kekecewaan dari jawaban tersebut.
“Lo bisa bilang
kalau lo gak mau pindah Le.”
Adelio masih
berusaha untuk membujuk, karena dirinya tidak ingin terpisah dengan Aeleasha. Apa
lagi mengingat kondisi Aeleasha yang tidak dalam keadaan baik.
“Buat apa? Gua
capek ngomong sama mereka, enggak ada gunanya.”
Adelio terlihat
menarik napasnya lagi. Kemudian meraih tangan Aeleasha hingga membuat gadis itu
berhenti dan menatap kembali pada dirinya.
“Lo mau jujur
sama gua enggak?”
Melihat Aeleasha
yang terdiam dengan kebingungan, Adelio pun mengeluarkan ponselnya yag telah menampilakn
sebuah foto laporan kesehatan yang ditunjukkan Kenzo waktu itu.
“Ini.” Dia
menunjukkan ponselnya kehadapan Aeleasha.
Pada awalnya
Aeleasha bingung, tetapi ketika melihat diagnosa yang tertulis di sana debaran
jantungnya malah menggila. Ia mengambil benda pipih itu untuk sekali lagi
memastikan jika ia baru saja salah membaca. Namun semakin dia baca semakin
menguatkan ketakutannya jika ini adalah laporan kesehatan miliknya.
Dia menatap sang
kembaran yang tengah menunggu penjelasannya dengan air mata yang menggenang.
Aeleasha tau dia baru saja melukai Adelio karena kebenaran yang dia
sembunyikan.
“Lo kuat banget
Le, gua salut.”
Bukan sebuah
penghakiman yang dirinya dapatkan, tetapi kalimat penyemangat yang membuat
pertahanan Aeleasha akhirnya runtuh juga. Dia memeluk Adelio dan menangis di
dadanya.
“Maaf Li. Maaf
gua enggak jujur.”
Adelio tidak
menjawabnya. Dia lebih memilih untuk mengeratkan pelukannya dan menenggelamkan
wajahnya pada curuk leher Aeleasha.
“Lo gak salah. Yang salah mereka yang enggak tau
kalau lo juga korban Le. Maaf, maaf karena gua terlalu lama istirahatnya sampe
lo ngelewatin ini sendirian.”
Pelukan keduanya
semakin erat. Adelio seperti tidak ingin melepaskan tubuh Aeleasha yang masih
bergetar. Dia ingin membuat Aeleasha tahu bahwa sekarang dia tidak sendiri, ada
dirinya yang akan menemani. Tidak peduli jika orang lain terus menyalahkannya,
memojokkanya, atau meminta mereka menjauh, Adelio akan berdiri di depan
Aeleasha untuk melindungi kakak kembarnya itu.
Tangis Aeleasha
pun berhenti setelah lama menangis dalam pelukan Adelio. Dia melerai pelukannya
lalu menghapus air mata yang membasahi pipinya, hal yang sama yang Adelio
lakukan pada dirinya.
“Li..”
Panggilnya dengan suara sumbang.
“Gua mohon,
jangan kasih tau siapa pun ya.”
Raut tidak
setuju terpampang jelas dari wajah Adelio.
“Tapi mereka
perlu tau kalau lo juga sakit Le. Lo juga menderita, dan lo juga harus rela
mengubur mimpi lo.”
Gelangan keras
Aeleasha berikan.
“Gua gak butuh
belas kasih mereka. Cukup lo, gua udah cukup Li. Jadi tolong, biarin ini jadi
rahasia kita aja ya. Gua mohon..” Pinta Aeleasha. Ia sampai menangkupkan tangan
ke depan dada dengan harapan Adelio mau menyetujui permintaannya.
Meliha
kefrustasian di wajah Aeelasha, akhirnya Adelio menyetujui permintaan itu.
Walau masih ada rasa tidak terima tapi biar bagaimana pun dia juga harus
menghargai keputusan kembarannya.
“Tapi lo harus
janji kalau lo akan baik-baik aja. Enggak, lo harus baik-baik aja.”
Kepala Aeleasha
mengangguk. “Gua janji.”
“Gua mau ambil
beberapa berkas kepindahan dari sekolah lama sama papah. Lo mau di sini atau
ikut ke bawah?”
“Gua di sini aja
bantuin lo ngelipetin baju.”
“Yaudah gua ke
bawah dulu.”
Lalu Aeleasha
pergi meninggalkan kamarnya. Adelio kemudian mulai melipat baju-baju Aeleasha
yang ada di atas tempat tidur dan setelah itu menyusunnya ke dalam koper.
Sementara itu,
Aeleasha berjalan menuruni tangga menuju ruang keluarga dengan perasaan yang
sudah tidak bisa dirinya jelaskan. Semuanya sudah abu-abu hingga membuat ia
merasa hatinya telah mati. Bahkan ketika matanya menangkap keberadaan orang tua
serta abangnya, tidak ada rasanya lagi. Aeleasha benar-benar sudah mati karena
keluarganya.
“Lea..”
Cashel yang
pertama kali menyadari kehadiran sang adik.
“Aku mau minta
berkas kepindahan yang papah urus.”
“Sayang, kamu
beneran mau pindah?”
Pertanyaan Myria
membuat Aeleasha mendengus. Kenapa sekarang seakan dirinya yang ingin pergi
bukankah ini semua mereka yang merencanakan? Dia sebagai anak hanya bisa menuruti
saja kan.
“Yah.. kan
kalian yang mau.”
“Enggak gitu
sayang, kalau kamu enggak mau pergi gapapa. Papah bisa batalin.”
Aeleasha
tertawa.
“Kenapa papah
baru nanya sekarang? Kenapa enggak dari sebelum kalian ngurus surat kepindahan
yang aku sendiri gak tau kapan diurusnya? Kalau pun sekarang mau dibatalin,
telat Pah. Aku udah enggak punya keinginan untuk tetep di sini.”
“Maafin mamaf
sama papah Le..”
Pinta Myria yang
mencoba untuk memeluknya, tapi lagi-lagi Aeleasha tolak.
“Aku udah maafin
kalian jauh sebelum hari ini. Tapi untuk lupa, enggak akan bisa.”
“Besok, aku
dianter supir aja. Kalian enggak usah repot-repot nemenin aku ke bandara.
Lakuian aja kerjaan kalian masing-masing, jangan hirauin aku.”
Aeleasha
mengakhiri pembicaraan singkat mereka setelah mendapatkan berkas yang dibutuhkan.
Dia langsung kembali ke kamarnya dan tidak peduli dengan Myria yang sudah
menangis, Theo yang hanya bisa memeluk sang istri dengan perasaan menyesal,
begitu pun dengan Cashel yang hanya diam dengan perasaan kacau.
* *
* *
Pagi datang
seperti biasanya. Namun bagi Adelio pagi itu bukanlah pagi yang baik untuknya.
Di pagi itu dia harus menyadari bahwa sudah tidak ada lagi Aeleasha di rumah.
Kembarannya itu sudah pergi seperti keinginan orang tua mereka. Yang membuatnya
merasa semakin buruk adalah dia tidak bisa mengantar Aeleasha. Gadis itu tidak
ingin diantar siapa pun, jadilah dia hanya bisa melepas kepergian Aeleasha sampai
pagar rumah.
Sejak sarapan,
Adelio belum terlihat lagi di luar kamar. Dia sedang tidak dalam mood
yang bagus. Rasa sedih karena kepergian Aeleasha ditambah kecewa kepada orang
tua membuat dirinya begitu malas untuk melakukan sesuatu. Alhasil dia hanya
menghabiskan waktunya di atas tempat tidur, tepatnya di dalam kamar Aeleasha.
Mulai dari
telentang, tengkurap, miring, semuanya telah dia lakukan. Namun Adelio masih
belum memiliki niat untuk beranjak dari atas tempat tidur kembarannya. Baru
ditinggal beberapa jam saja rasa rindunya sudah begitu besar, sampai membuat ia
enggan untuk meninggalkan kamar bernuansa putih dan biru itu.
Tapi ketika
rungunya mendengar suara ramai dari luar, ia langsung membenarkan posisinya.
Dia duduk di atas ranjang dengan telinga yang lebih ditajamkan untuk mendengar
suara ramai itu.
“Ngapain sih
mereka dateng..” Gerutunya sesaat setelah mengenali suara-suara yang berasal
dari bawah.
Adelio pun
bangkit. Perlahan berjalan keluar untuk melihat siapa saja yang ada di
rumahnya. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar nama Aeleasha disebut oleh
seorang wanita yang merupakan adik bungsu dari Ayahnya. Mau tidak mau, Adelio
semakin mendekati sumber suara.
Semakin banyak
yang didengar semakin marah pula dirinya. Apalagi dengan keterdiaman kedua
orang tuanya. Padahal sudah jelas bukan jika tantenya baru saja memojokkan Aeleasha.
“Wah kurang ajar
banget omongan tante!” Serunya dari balik lemari yang membatasi antara ruang
keluarga dan tangga.
Adelio mendekati
keluarganya yang tengah berkumpul, tentu dengan amarah yang tidak ditutupi.
Wajah yang merah serta mata yang menyorot tajam sudah cukup membuat siapa pun
yang melihat dirinya tahu jika Adelio tengah diselimuti kemarahan yang begitu
besar.
“Kalau enggak
tau apa-apa tuh diem aja, gak usah banyak omong. Baru kali ini gua pengen
banget ngomong kasar sama orang yang lebih tua.”
“Adelio, jaga
bicara kamu.” Tegur Theo yang tidak diindahkan.
Dia hanya
melirik dan terseyum jengah.
“Kenapa enggak
suruh adik papah buat jaga bicaranya juga. Papah denger kan tadi kalau Tante
Gisel ngerendahin anak papah, tapi apa yang papah lakuin sebagai orang tua?
Diem aja gitu?” Tanya Adelio tanpa melepaskan tatapannya dari Gisel.
“Tante, kalau
Tante pikir Lea itu bodoh dan enggak punya masa depan karena enggak sama kayak
aku dan Bang Achel maka tante salah. Bahkan Lea jauh lebih punya masa depan
dibanding anak tante. Jangan tante kira aku enggak tau kalau anak tante itu
ikut tawuran dan nyaris di DO. Untung aja kalian punya uang buat donasi ke
sekolah, kalau enggak gimana nasib Jean.”
Lalu Adelio
menatap Om Haris, kakak dari Theo.
“Dan Om, aku
juga tau kok kalau Bella itu bayar orang supaya bisa lolos seleksi olimpiade.
Enggak usah ditutupi-tutupin om, berita itu udah kesebar kebanyak sekolah.”
Tidak berhenti
sampai di situ, Adelio yang sudah duduk di sofa tunggal kini semakin
menunjukkan amarahnya yang membuat semua orang bungkam.
“Kenapa kalian
nyalahin Lea, padahal itu kecelakaan akibat kelalaian supir truk? Apa karena
kalian takut kalau Lea akan lebih unggul dari anak-anak kalian itu? Makanya
kalian buat mental Lea hancur. Kalau enggak mampu jangan malah hancurin orang
lain. Kalian tuh gak mikir ya perasaan kembaraan aku gimana. Kalian salahin,
kalian pojokin, kalian rendahin, kalian larang dengan alasan aku yang saat itu
koma. Kalian itu sakit tau enggak!” Seru Adelio marah.
Napasnya
memburu. Wajahnya semakin merah dengan urat dilehernya yang bermunculan. Adelio
bertekad untuk tidak memberikan kesempatan keluarganya berbicara sampai semua
yang ingin ia katakan tersampaikan, termasuk dengan kondisi Aeleasha. Dia tidak
peduli jika harus melanggar janjinya, yang pasti dia harus menujukkan bahwa
mereka semua salah. Mereka penjahat yang bersembunyi di balik kata keluarga.
“Kalian tau apa
yang udah Lea laluin selama kalian nyalahin dia, ha?!”
Pertanyaan itu
tidak mendapatkan jawaban, karena memang tidak ada yang tahu mengenai kondisi
Aeleasha selain diri gadis itu sendiri. Tentu saja, tidak ada yang peduli
dengannya, mereka semua sibuk menyalahan Aeleasha yang tidak melakukan
kesalahan apa-apa.
Adelio lantas
menunjukkan ponselnya serta sebuah kertas yang dia temukan semalam di laci
nakas kamar Aeleasha ketika kembarannya itu turun.
“Lea menderita mah,
pah. Kembaran aku sakit tapi kalian malah sibuk nyalahin dia. Kalian tinggalin
dia sendiri. Kalian biarin dia pergi ke dokter sendiri. Kalian biarin dia
nenangin rasa sakit dikakinya sendiri. Dan kalian biarin Lea melepaskan
mimpinya jadi atlet seorang diri.”
Emosinya sudah
tidak bisa terbendung sampai tanpa bisa dicegah air mata jatuh membasahi
pipinya. Dia tidak bisa membayangkan hancurnya Lea ketika tahu kalau dia tidak
bisa lari lagi. Dia tidak bisa mewujudkan mimpinya untuk menjadi atlet. Dan
yang terburuk adalah dia harus seorang diri mengobati dirinya.
“KALIAN TAU
ENGGAK?” Teriak Adelio ketika lagi-lagi tak ada respon yang dirinya dapatkan.
“I-Ini…” Myria
tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat laporan kesehatan
beratasnamakan anak perempuannya.
“Kenapa mah?
Kaget? Aku juga kaget kok, tapi apa yang bisa kita lakuin lagi? Enggak ada! Lea
udah pergi seperti keinginan kalian.”
Adelio berganti
menatap satu per satu anggota keluarganya yang lain. Mulai dari tante, om,
sampai sepupu-sepupunya.
“Kalian tuh
iblis. Kalian tega nyalahin Lea padahal kalian sendiri enggak tau kondisi Lea
gimana. Kalian tau enggak Lea didiagnosa shin splints, dan dokter bilang
dia enggak mungkin bisa lari lagi? Kalian tau enggak kalau Lea juga mengalami
PTSD akibat kecelakaan itu? Enggak kan? Kalian enggak tau! Tapi jahatnya kalian
malah nyalahin Lea!”
“Lio ini
bohongkan? Lea enggak sakit kan?”
Adelio menatap
Cashel dengan pandangan remeh.
“Sayangnya itu
bener bang, dan lo juga jadi penjahatnya. Selamat ya bang lo udah berhasil
hancurin adek lo sendiri. Gua salut sama lo yang bisa-bisanya terhasut omongan
orang lain yang cuma dateng kalau butuh uang atau ada masalah.”
“Adelio!” Hardik
Theo tapi malah mendapat tatapan menantang dari sang anak.
“Kenapa?
Bukannya bener? Selama ini Om Haris dateng ke rumah kalau mau minjem uang, dan
bodohnya Papah adalah Papah ngedengerin semua omongan Om Haris sampe tega
banget buat ngelarang Lea nemuin aku di rumah sakit.”
Belum berhenti,
Adelio kini balik menatap Gisel setelah memelototi Haris yang tidak berkutik
dengan ucapannya.
“Terus Tante
Gisel dateng cuma kalau ada masalah sama Om Ryan. Dan kalian juga bisa percaya
sama omongannya. Mana otak kalian? Bisa-bisanya percaya sama orang-orang yang
bahkan ngurus keluarganya sendiri enggak becus!”
“Aku capek.
Capek sama keluarga ini, tapi sayangnya Tuhan takdirin aku buat ada di antara
orang-orang enggak punya hati kayak kalian.”
Adelio menarik
napasnya sambil mengusap kasar pipinya yang basah.
“Setelah ini
terserah kalian mau ngapain, itu bukan urusan aku. Tapi kalau sampe aku tau
kalian masih nyalahin dan rendahin Lea, jangan harap aku akan diem aja. Dan
satu lagi, selamat. Selamat karena udah berhasil jadi orang jahat! Selamat
karena udah buat anak usia 17 tahun menderita karena pikiran jahat kalian.
Semoga Tuhan gak bales lebih buruk dari yang kalian kasih ke Lea.”
Segera ia
merebut kembali ponselnya dari tangan Cashel dan berbalik untuk pergi
meninggalkan ruangan itu. Adelio tidak ingin berada di sana karena dia tidak
jamin bisa menahan emosinya lebih lama lagi, jika harus melihat wajah
orang-orang yang sudah menyakiti kembarannya. Sakit dihatinya begitu besar tapi
ia yakin Aeleasha jauh lebih merasakan sakit dibandingkan dirinya. Dan karena
itu dia tidak akan pernah meminta Aeleasha untuk memafkan orang-orang yang
sudah dengan tega menyakitinya.
Tidak akan
pernah.
* *
* *
Adelio baru saja
terbangun dari tidurnya sehabis menangis semalaman. Rasa rindu yang ia rasakan
untuk Aeleasha begitu besar sampai sulit sekali untuk tidak menitihkan air mata
setiap kali mengingat kembarannya. Padahal baru kemarin Aeleasha pergi, tapi
rindu yang ia rasakan sudah begitu besar.
“Le, kangen..”
Lirihnya dengan pandangan lurus ke langit-langit.
Ini pertama
kalinya Adelio merasa sangat jauh dari kembarannya. Dia tidak bisa melihat
fisik Aeleasha, bahkan untuk mendengar suaranya saja akan sangat sulit. Ia jadi
berpikir, apakah ini yang Aeleasha rasakan selama dia koma? Jika benar, pasti
saat itu Aeleasha sangat sakit. Ingin bertemu tapi selalu dihalangi.
Tanpa sadar
napasnya terhela bersama dengan mata yang dipejamkan. Ia ingin setidaknya rasa
rindu itu bisa berkurang. Ia ingin sesegera mungkin melihat wajah Aeleasha.
Walaupun hanya bisa melalui panggilan video, tetapi Adelio benar-benar ingin
melihat wajah kembarannya serta mendengar suara nan lembut itu.
Rasa rindu itu
akhirnya membuat Adelio bangun dan langsung mengambil benda pipih yang ada di
atas meja belajarnya. Ia menarik kursi belajar untuk duduk di sana sambil
menghidupkan ponselnya yang sejak malam sengaja ia matikan. Ia menunggu sampai
benda itu dapat ia gunakan. Ketika ia membuka panggilannya, sebuah pesan yang
baru masuk membuat Adelio buru-buru membukanya.
Lele
Lio, aku udah sampe dan baik-baik aja
Enggak usah khawatir
Aku cuma mau ngasih tau itu aja
Jaga kesehatan kamu ya Li, jangan sampe
sakit
See you Adelio, when I see you
Leaaaa
Aku
kangen, padahal baru pisah beberapa hari
Kamu
juga jaga kesehatan, istirahat yang cukup, jangan lupa makan
Jangan
lupa kabarin aku keadaan kamu apa pun itu
Love
you Le
Adelio
mengernyit heran ketika pesan yang ia kirimkan hanya memiliki tanda centang
satu. Aneh, apa ponselnya sengaja dimatikan? Tapi itu bukan Aeleasha, dia
jarang mematikan ponselnya kecuali benda itu kehabisan baterai.
Karena tak ingin
memikirkan hal itu, Adelio memutuskan untuk segera mandi karena ia ingin pergi
keluar. Ia ingin menghirup udara luar dan menenangkan perasaannya. Ternyata
merindukan seseorang itu begitu menyiksa ya. Adelio tidak pernah mengira akan merasakan
perasaan seperti ini sampai Aeleasha pergi.
Setelah
menghabiskan hampir satu jam lamanya, akhirnya Adelio telah siap. Ia mengambil dan
memasukkan ponsel ke dalam saku jaket lalu keluar dari kamar. Langkahnya dibawa
untuk menuruni tangga menuju pintu utama. Dia tidak akan makan di rumah, ia
ingin pergi ke tempat bubur langganannya dengan Aeleasha. Sudah lama ia tidak
pergi ke sana, dan seharusnya dia pergi bersama Aeleasha.
Menghela dengan
kasar, Adelio mencoba untuk menghapus bayang-bayang Aeleasha. Dia tidak ingin
kembarannya ikut gusar karena keirnduan yang ia miliki. Ia tidak ingin
membebani Aeleasha lagi dengan perasaannya yang belum bisa menerima kepergian
sang kembaran.
Namun belum juga
kakinya mendarat pada anak tangga terakhir, jantungnya dibuat berpacu ketika
suara Theo terdengar dengan lantang menyebut nama Aeleasha. Adelio pun langsung
mendekati sang Ayah yang tengah menerima telepon dengan wajah marah.
“Kenapa bisa
enggak ada?”
“…..”
“Saya enggak mau
tau, kalian harus cari anak saya. Kabari saya kalau ada informasi apa pun yang
kalian dapatkan.”
Theo mematikan
sambungan teleponnya. Wajahnya lalu diusap dengan kesar menggunakan tangan yang
tidak menggenggam apa-apa.
“Gimana pah? Lea
adakan?”
Theo menghela
lalu menggeleng lemah.
“Pah, Lea
kemana? Kenapa enggak ada?”
Myria malah
semakin panik. Seharusnya bukan kabar ini yang dirinya dengar, seharusnya kabar
kala Aeleasha telah sampai di apartemen yang mereka sediakan yang dibertahukan
oleh anak buah Theo.
“Tenang mah,
mereka lagi nyari Aeleasha. Kalau dalam 15 menit enggak ada kabar juga, kita ke
maskapainya untuk nanyain daftar penumpang di sana.”
“Ini ada apa
kenapa mamah nangis?” Tanya Cashel yang baru saja bergabung dengan Adelio
begitu mendengar suara ribut Theo.
Theo dan Myria
sama-sama menoleh. Dilihatnya Adelio dan juga Cashel yang berdiri dengan
kebingungan. Karena tidak ingin menutupi apa pun, Theo akhirnya menceritakan
apa yang terjadi.
“Anak buah Papah
bilang kalau Lea enggak ada di bandara. Mereka udah nunggu di pintu kedatangan
tapi Lea enggak muncul.”
Adelio yang
mendengar itu semakin merasa tidak tenang. Ia buru-buru mengeluarkan ponselnya
untuk memeriksa kembali room chat-nya dengan Aeleasha. Benar saja, pesan
yang sejak tadi ia kirimkan masih bertanda sama seperti terakhir kali ia
melihatnya. Buru-buru ia menghubungi nomor ponsel sang kembaran. Namun nada
dering yang ai dengar selalu berakhir degan kotak suara.
“Lea angkat..”
Ujarnya masih dengan menempelkan ponsel ke telinga.
Karena tak
kunjung mendapatkan jawaban, Adelio mematikan panggilannya lalu bergegas pergi.
Saat akan pergi, Cashel malah menahan tangannya.
“Lepas bang, gua
mau cari kembaran gua.”
“Lo mau cari
kemana?”
“Kemana aja,
tapi gua mau mastiin ke bandara. Gua enggak akan nunggu sedetik pun kalau soal
Lea.” Ucap Adelio sambil melepaskan tangannya dari Cashel.
“Gua ikut.”
Adelio menoleh
singkat. “Terserah.” Lantas kembali merajut langkahnya yang sempat tertunda.
Mereka pergi
dengan diantar oleh supir. Selama perjalanan, Adelio tidak henti menghubungi
nomor Aeleasha, dia juga terus mengirimkan pesan yang berakhir sama. Adelio
menggeram kecil, ia merasa kecolongan. Ia baru menyadari maksud pesan terakhir
yang dirinya dapat. Ia pikir itu hanya pesan perpisahan sementara, tapi ternyata
Aeleasha mengirimkannya bukan sebagai pesan perpisahan biasa.
Lea, please jangan
buat ketakutan gua jadi kenyataan.
Adelio keluar
dari mobil dan langsung berlari masuk ke dalam. Ia mencari dimana maskapai yang
seharusnya membawa Aeleasha. Ketika irisnya menemukan apa yang ia cari, tanpa
pikir panjang Adelio langsung berlari ke sana tentunya dengan Cahsel di
belakang.
“Permisi.”
Pegawai
perempuan yang berjaga menyambutnya dengan senyum.
“Iya, ada yang
bisa saya bantu.”
“Saya ingin
memastikan penerbangan ke New York, apa ada penumpang bernama Aeleasha Rajasa?”
“Boleh saya tahu
penerbangan kapan dan jam berapa?”
“Kemarin jam 7
pagi.”
“Sebentar saya
cek dulu.”
Kemudian pegawai
itu mulai melakukan pencarian pada perangkat komputernya. Tidak lama, ia
kembali berdiri untuk menyampaikan apa yang sudah ia temukan.
“Untuk
penerbangan menuju New York kemarin pada pukul 7 tidak ada penumpang yang
bernama Aeleasha Rajasa.”
“Mbak, bisa
tolong dicek sekali lagi mungkin diwaktu keberangkatan lainnya” Kini Cashel
yang meminta.
Pegawai itu
mengangguk lalu kembali mencari nama Aeleasha.
“Maaf Mas, untuk
penerbangan kemarin tidak ada satu penumpang pun yang bernama Aeleasha.” Terang
pegawai itu setelah kembali memastikan pencariannya.
Adelio langsung
tertunduk dalam. Dia kecewa, dia merasa bodoh. Kenapa dia tidak mengantar
Aeleasha dan malah menuruti keinginan kembarannya itu?
“Kalau gitu,
makasih Mbak.”
Kedua kakak
beradik itu lalu pergi dari sana. Mereka kembali memasuki mobil dengan perasaan
kecewa dan bingung.
“Gimana Mas?”
Tanya Pak Danar, supir keluarga Rajasa.
“Enggak ada
Pak.”
“Loh kok bisa?
Kemarin saya nganterin Mbak Lea sampe ke dalem kok. Saya yang bawain kopernya
sampe pintu masuk. Saya liat sendiri Mbak Lea jalan masuk ke dalem.” Terang Pak
Danar yang ikut bingung dengan kepergian Aeleasha.
Tidak ada yang
menjawabnya karena Adelio dan Cashel pun juga tidak tahu harus merespon seperti
apa. Mereka masih belum bisa berpikir jernih karena masih tidak mengerti dengan
keadaan yang tengah terjadi.
“Mas ini kita
pulang aja?” Tanya Pak Danar setelah mobil memasuki jalan bebas hambatan.
“Iya Pak-”
“Pak saya mau ke
satu tempat lagi, nanti saya kasih tau jalannya.”
Setelah
mengatakan itu, Pak Danar kembali berkendara mengikuti arahan Adelio. Butuh
waktu hampir satu jam untuk kuda baja itu sampai di depan rumah yang sebenarnya
belum pernah Adelio datangi, tapi menurut teman dekatnya rumah bercat putih itu
adalah rumah Kenzo. Adelio lantas turun dan mendatangi satpam yang berjaga di
depan rumah.
“Permisi Pak,
saya Adelio temen sekelasnya Kenzo. Saya ingin ketemu Kenzo, Pak.”
“Oh Maaf Mas,
Mas Kenzo lagi liburan di rumah eyangnya.”
“Sejak kapan ya
Pak?”
“Udah seminggu
lebih Mas. Katanya sampe liburan selesai, Mas Kenzo mau nemenin Eyang Utinya.”
Adelio lalu
mengangguk dan berpamitan. Ia lantas kembali memasuki mobilnya dengan Cashel
yang menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan.
“Udah Pak, kita
pulang aja.” Ujar Adelio sambil memasangkan sabuk pengaman tanpa mempedulikan
Cashel. Ia menyandarikan kepalanya pada sandaran dengan mata yang terpejam.
“Li, itu rumah
siapa?”
Adelio tidak
menggubrisnya.
“Lio lo denger
gua kan?”
Napasnya dibuang
kasar sebelum bilah bibirnya terbuka.
“Temen gua,
sekaligus temen deket Lea. Udah deh bang, jangan nanya-nanya dulu. Gua lagi gak
mood.”
Lalu ia kembali
memejamkan matanya tanpa peduli pada Cashel yang masih diselimuti kebingungan.
Lo pergi
kemana Le?
Ketika Adelio
dan Cashel sampai, keduanya langsung memasuki rumah mereka. Baru saja masuk,
suara Theo yang menggelegar langsung memenuhi rungu mereka. Cashel langsung
berlari menghampiri sumber suara sementara Adelio berjalan pelan mengikuti di
belakang.
“Gimana sih
kalian, nyari anak kecil aja gak becus.”
Lalu Theo
mematikan sambungan tersebut secara sepihak. Cashel yang melihatnya langsung
menghampiri sang Ayah yang sudah terbungkus emosi, sedangkan Myria sudah
menangis sesenggukan di sofa.
“Gimaan pah? Lea
ketemu?”
Theo menggeleng
lemah. Dia lalu menghampiri Myria dan memeluk istrinya itu erat.
“Maafin aku
ya..” Bisiknya yang hanya membuat Myria semakin terisak.
Cashel lantas
jatuh terduduk disofa. Harapannya pun pupus begitu saja. Ia kira sekembalinya
akan mendengar kabar baik tentang Aeleasha, ternyata sama saja.
“Bang…” Lirih
Myria masih dalam dekapan Theo.
Cashel menatap
sang mamah lalu kepalanya menggeleng lemah.
“Enggak ada
penumpang atas nama Lea mah, bahkan disemua penerbangan menuju New York.”
Myria semakin
menangis. Menyesali keputusan yang sudah dibuatnya.
Sementara Adelio
hanya memperhatikan keluarganya, tentu dengan perasaan sedih yang tak kalah
besar. Mungkin jauh lebih besar dari keluarganya sendiri.
“Ini semua
karena kalian, kalau kalian enggak ngambil keputusan gila ini mungkin kembaran
aku masih ada. Kalian jahat banget!”
“LIO!” Hardik
Cashel. “Lo gak boleh ngomong gitu, mamah lagi sedih. Kita juga enggak mau
kejadian kayak gini terjadi.”
Adelio
mendengus.
“Emang enggak
ada yang mau, tapi seharusnya papah sama mamah tuh udah mikirin aibat terburuk
dari keputusan sepihaknya. Bisa-bisanya ngirim anaknya sendiri pergi tanpa
pendampingan, udah gitu siangnya masih nerima kedatangan orang yang udah
hancurin anaknya lagi.”
“Sekarang terima
aja akibatnya. Rasain gimana ditinggal sama anak perempuan satu-satunya, dengan
gini kalian jadi bisa ngerasain gimana jadi Lea selama aku koma kan?”
Sambungnya masih dengan intonasi sarkas yang membuat orang tua dan juga Cashel
bungkam.
“Jujur aku
khawatir, biar gimana pun aku sama Lea itu satu. Tapi kalau nginget lagi kesakitan
yang Lea rasain, mungkin ini udah yang terbaik. Selamat ya, kalian udah
berhasil buat Lea pergi jauh sampe enggak ada satu pun yang tau dimana dia
sekarang.”
Tanpa
mempedulikan keluarganya, Adelio pergi meninggalkan ruang keluarga menuju kamar
Aeleasha. Dia mengunci dirinya di sana, mencari ketenangan dari kamar yang
pemiliknya tidak diketahui keberadaannya.
Setelah ini,
tentu saja Adelio tidak akan tinggal diam. Dia akan tetap mencari tahu dimana
keberadaan Aeleasha melalui Kenzo. Karena dari sekian banyak orang yang
Aeleasha kenal, Kenzo adalah orang yang paling dekat dengan kembarannya.
Walaupun tidak sampai tahu dimana Aeleasha berada, setidaknya mendengar jika
Aeleasha berada di tempat yang aman sudah lebih dari cukup.
Dimana pun lo
berada, tolong baik-baik aja Le. Gua bakal marah banget kalau lo sampe
kenapa-kenapa.
E . N . D
so this is the last part
thank you for 2022 guys
i hope the best for us in 2023
bye
(p.s. here the visualization from kenzo)
- DF -
Comments
Post a Comment