Tristana - Extra Chapter
.
.
.
.
.
Sejak
pagi, Myria sudah sibuk mempersiapkan rumah untuk kedatangan anggota
keluarganya. Dibantu asisten rumah tangga, Myria merapihkan meja makan dan
hidangan-hidangan yang akan disajikan untuk makan malam. Hari itu adalah salah
satu hari spesial untuk dirinya karena merupakan hari keliharan anak kembarnya.
Sayangnya hanya ada Adelio dalam perayaan kali ini.
Sudah
tiga tahun Adelio tidak merayakan ulang tahunnya. Ia selalu menolak setiap kali
Myria menawarkan untuk diadakan acara, karena untuk apa lagi? Seseorang yang
seharusnya ikut merayakan ulang tahun itu bersama-sama juga tidak ada. Lalu
kenapa dia harus tetap merayakannya sementara dia sendiri tidak tahu bagaimana
keadaan Aeleasha.
Namun
di tahun ini Adelio setuju untuk merayakan ulang tahunnya. Selain karena tidak
tega dengan Myria, dia juga ingin mengenang bagaimana perayaan ulang tahunnya
dulu ketika Aeleasha masih ada di sampingnya. Ia ingin menggali kembali memori
indah itu walau tidak ada sosok Aeleasha di sampingnya.
Hanya sebuah makan
malam kelurga, dimana om, tante, sepupu dari pihak Myria dan Theo akan datang.
Sejak pagi
hingga petang, Adelio sama sekali tidak meninggalkan kamarnya. Ia berdiam di
sana tanpa peduli dengan kesibukan di luar. Bahkan dia tidak tahu apa saja yang
sudah Myria siapkan untuk acara malam
itu. Yang dirinya tahu hanya keluar saat jam makan tiba, lalu makan apa saja
yang ada di atas meja, dan kembali ke kamar setelah selesai. Ia terlalu sibuk
dengan ponselnya sampai ketukan di pintu mengambil alih atensinya.
“Lio.”
Cashel
memanggilnya dari balik pintu itu.
Adelio akhirnya
bangun untuk membuka pintu. Dia melihat sosok Cashel yang sudah rapih dengan
pakaiannya. Tidak, bukan pakaian formal hanya pakaian santai tetapi cukup rapih
untuk dipakai sehari-hari.
Sementara Cashel
mengamati Adelio dari ujung kepala hingga kaki.
“Lo belum
siap-siap?”
Adelio melengos.
Dia kembali berbaring di atas tempat tidur dan memeluk bantalnya.
“Cuma makan
malem, jadi gak usah buru-buru. Santai aja bang.”
“Tapi itu
keluarga udah dateng, mereka nyariin lo.”
Cashel berjalan
masuk lalu bergabung dengan Adelio di atas kasurnya.
“Yaudah biarin
aja, kan ini acara gua jadi terserah gua mau keluar kapan.”
“Eh itu gak
sopan. Mereka nanyain lo karena ini acara ulang tahun lo.” Tegur Cashel dengan
memukul paha Adelio.
“Gak sopanan
mana sama yang ikut campur urusan keluarga orang. Udah lah bang gak usah
diperpanjang, biki gak mood aja.”
Adelio bangkit
dari kasurnya dan mengambil handuk yang tergantung di dekat pintu kamar mandi.
“Gua mau
siap-siap, kalau lo mau di sini silahkan tapi kalau mau nemuin orang-orang
jangan lupa tutup lagi pintunya.”
Setelah
menatakan itu, Adelio masuk ke dalam kamar mandi. Meninggalkan Cashel yang
tidak akan pernah menyahuti setiap kali Adelio mengungkit hal tentang Aeleasha.
Karena sejujurnya ia juga dibelenggu oleh perasaan bersalah hingga membuat ia
sendiri tidak bisa memafkan dirinya.
Maafin abang
Le.
* *
* *
Semua keluarga
sudah berkumpul di ruang makan, beberapa anggota keluarga yang masih kecil
ditempatkan di ruang tengah dengan dampingan pengasuh mereka. Tidak ada riuh
ramai seperti para anak kecil yang tengah menyatap makanan dengan mainan, di
meja itu para orang dewasa lebih cenderung diam. Suasananya cenderung dingin
karena memang ini kali pertama setelah tiga tahun Theo dan keluarga mengadakan
acara di rumah. Mereka tidak tahu harus berbicara apa terlebih ada Adelio di
sana.
Mereka sadar
jika sudah melakukan kesalahan fatal hingga merenggut kebahagiaan keluarga
Theo. Mereka tidak tahu kenapa mereka bisa sampai setega itu menyalahkan orang
yang tidak salah, terlebih dia masih terlalu muda untuk menanggung beban yang
tidak seharusnya.
“Makasih Bi..”
Ucap Myria ketika makanan terakhir telah diletakkan di atas meja.
Wanita itu mengangguk
lalu pamit untuk kembali ke dapur.
Theo akan
mempersilahkan keluarganya untuk mulai menyantap makanan yang telah disajikan.
Namun Adelio mencegahnya yang membuat seluruh mata menatapnya heran.
“Enggak ada yang
boleh makan sampai tamu spesial yang aku undang dateng.”
“Tamu spesial?
Siapa Li?” Tanya Cashel.
“Tunggu aja,
bentar lagi kalian juga bakal tahu.”
Lalu Adelio
bergegas pergi meninggalkan sanak keluarga yang hanya menatap kepergiannya
dengan bingung. Sebelumnya Adelio melarang siapa pun untuk menempati kursi di
sebelah kanannya, lalu dia juga menunda acara makan karena ada tamu yang
diudang. Siapa tamu itu sampai Adelio memperlakukannya sedemikian istimewa?
Sekita sepuluh
menit berlalu, akhirnya Adelio kembali. Namun dia tidak sendiri, ada sosok lain
yang berjalan di belakangnya. Ketika mereka semakin dekat dan Adelio sengaja
bergeser agar tidak menghalangi sosok itu, rasa heran yang mereka rasakan
langsung berubah jadi perasaan terkejut yang tiada tara.
Di depan mereka
berdiri sosok gadis yang telah pergi selama tiga tahun. Gadis yang mereka
hancurkan mentalnya. Gadis yang mereka abaikan dan tak dipedulikan.
Aeleasha rajasa.
“Lea.”
Myria langsung
menghampiri anak Aeleasha. Menarik tubuh itu ke dalam pelukannya. Menangis di sana
dengan tangan yang melingkar dengan erat.
“Maafin mamah
sayang. Mamah salah sama Lea..”
Myria menciumi
wajah Aeleasha lalu kembali memeluk dengan erat. Menyampaikan seluruh rindu
yang selama ini bercokol dihati.
“Lea udah maafin
mamah.”
Mendengar itu,
Myria semakin terisak. Ia meraung dalam pelukan hangat Aeleasha. Sebelum
kepergian gadis itu, Myria tidak pernah memiliki kesempatan untuk memeluknya.
Saat Aeleasha pergi ia berpikir kapan dirinya bisa memeluk kembali Aeleasha
seerat ini, dan Tuhan mengabulkan keinginannya. Hari ini, dihari lahi putrinya,
dia bisa kembali mendekap sang anak.
“Aeleasha.. anak
papah.”
Theo berdiri
dengan mata yang berkaca. Dia melangkah menghampiri Aeleasha yang sudah
menatapnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung menarik Aeleasha ke dalam
pelukannya. Mencium puncak kepala Aeleasha lama lalu kembali memeluknya tak
kalah erat.
“Maafin papah
yang udah jahat sama Lea. Papah nyesel, sayang.”
Theo menangis.
Dia yang selama ini mencoba untuk menyembunyika kesedihan dan penyesalannya
tidak bisa lagi menutupi semua itu. Dihadapan anak yang disakiti, Theo menangis
meminta maaf. Dia menyesal, sungguh sungguh menyesali perrilakunya.
Aeleasha
menghapus air mata dipipi Theo dengan jarinya. Hal kecil itu membuat Theo malah
semakin menumpahkan tangisnya. Dia mengambil tangan itu lalu menciumnya.
“Papah sayang
Lea, maafin papah..” Sendunya sambil memberikan ciuman panjang pada tangan
Aeleasha.
Setelah
tangisnya reda, Theo kembali mencium Aeleasha. Kali ini dikening lalu merangkul
anaknya itu.
“Abang enggak
kangen sama aku?” Tanya Aeleasha saat melihat Cashel yang hanya diam
dikursinya.
Mendengar itu,
Cashel langsung berdiri dan menghampiri Aeleasha. Dia sempat berhenti di
hadapan sang adik sebelum merengkuh tubuh itu ke dalam pelukannya.
“Maafin abang
Lea, abang udah ninggalin Lea.”
“Iya bang, Lea
juga udah maafin abang.” Balasnya dengan anggukan kecil.
Sama seperti
Myria dan Theo, Chasel juga tidak bisa menyembunyikan tangisnya. Jujur dia lega
karena melihat Lea baik-baik saja. Namun rasa bersalahnya malah mendominasi
hingga lega itu terkalahkan oleh sesak.
Cashel mencium
puncak kepala Aeleasha sebelum mengurai pelukannya.
“Udahkan, ayo
kita makan. Aku udah laper.”
Adelio mengambil
yangan Aeleasha lalu menuntunnya menuju kursi yang telah ia persiapkan.
Acara makan
makan pun berlanjut. Myria yang sudah penasaran bagaimana Adelio bisa menemukan
Aeleasha akhirnya meminta penjelasan dari anak bungsunya. Adelio akhirnya
menjelaskan bagaimana dia bisa bertemu dan mengajak Aeleasha untuk datang.
Simpel, selama
dua tahun dia terus memohon pada Kenzo karena dia yakin temannya itu tahu
dimana Aeleasha. Dan setelah dua tahun, akhirnya Kenzo mau memberitahu dan
mengajaknya menemui Aeleasha setelah mendapat persetujuan dari kembarannya itu.
Adelio sangat
berterima kasih pada Kenzo dan juga keluarganya. Karena kebaikan mereka,
Aeleasha bisa merasakan kehangatan keluarga yang hilang dari keluarganya
sendiri. Walaupun hanya tinggal berdua dengan eyang uti Kenzo, tapi kembarannya
itu bisa kembali merasakan kasih sayang dan tentunya menyembuhkan luka yang
disebabkan keluarganya sendiri.
“Kenapa baru
sekarang Li?”
“Karena aku baru
siap Mah.”
Aeleasha yang
menjawab.
Lagi-lagi, Myria
menitihkan air matanya. Ia semakin menyadari bahwa perilakunya kepada Aeleasha
begitu buruk sampai membutuhkan waktu lama untuk membuat anak itu baru berani
menemui keluarganya sendiri.
“Maaf Lea..”
Myria mengambil
tangan anaknya lalu digenggam.
“Terus kamu
selama di sana gimana? Sekolah kamu?” Tanya Theo.
“Aku sekolah dan
lulus tepat waktu. Aku juga kuliah. Semuanya aku bayar pake uang hasil usahaku
sendiri.”
“Kamu kerja?”
Aeleasha
mengangguk. “Aku jualan sandwich. Awalnya cuma buat temen-temen kelas
aja kalau mereka minta, tapi salah satu temen aku namanya Clara nyuruh aku buat
rajin bikin PO dan taro di koperasi sekolah. Clara juga bantu aku kalau
orderannya lagi banyak banget. Eyang uti juga dukung aku, eyang yang ngenalin
aku sama tetangga yang punya kebun stroberi dan mangga buat jadi langganan
aku.”
“Emang cukup?”
“Cukup pah,
soalnya juga jual sandwich-nya di depan rumah eyang setiap weekend.
Kalau ada acara di balai kota, aku ikutan buat jualan di sana.”
Sungguh, Theo
merasa sangat bangga dengan apa yang ia dengar. Namun dia juga tidka bisa
memungkiri jika dirinya juga sedih dan merasa gagal sebagai seornag ayah karena
membiarkan anaknya berusaha seorang diri.
“Kamu hebat
banget. Papah bangga sama kamu.”
Theo mengusap
puncak kepala Aeleasha dengan penuh kasih sayang. Matanya pun kembali
berkaca-kaca tanpa dirinya bisa cegah.
“Terus kamu
kuliah ambil jurusan apa?”
“Bisnis kuliner.
Itu juga karena Clara, dia yang nyaranin buat ambil jurusan itu supaya aku
punya basic buat ngembangin usaha aku.”
“Emang kamu
awalnya mau kuliah apa?” Tanya Cashel lagi.
“Tata boga. Aku
mau punya teknik masak yang lebih baik lagi, tapi kata Clara itu bisa aku
lakuin setelah aku ngembangin usaha aku. Soalnya menurut dia, aku perlu belajar
bisnis karena aku ngejalanin usaha sandwich ini sendiri.”
Semua yang
mendengar itu tidak bisa menutupi rasa bangganya terhadap Aeleasha. Ia yang
sudah dihancurkan ternyata bisa kembali berdiri dengan tangguh bahkan dengan
hal-hal baru yang begitu membanggakan.
“Keren kan
kembaran aku? Coba kalau kalian enggak bikin Lea pergi, mungkin kalian bisa
lihat proses Lea langsung, enggak cuma denger kayak gini aja. Iya enggak Om
Haris?” Tegur Adelio yang memang sudah geregetan karena sejak kedatangan
Aeleasha baik Haris atau Gisel sama sekali tidak mengucapkan kata maaf, padahal
jelas-jelas mereka adalah dalang utamanya.
Aeleasha
mencubit paha Adelio dari bawah meja. Dia menatap tajam kembarannya itu yang
hanya dibalas cuek.
“Om sama Tante
Gisel enggak mau ngucapin sepatah dua patah kata gitu? Misalnya maaf?”
“Lio!”
Aeleasha
memepringati tapi bagai tembok, Adelio tidak menggubrisnya.
Haris berdeham.
Sebenarnya sejak tadi dia sudah ingin meminta maaf atas perbuatannya, tapi
tidak ada kesempatan untuknya menyampaikan rasa penyesalan itu. Ketika Adelio
menyindirnya, bukankah itu waktu yang tepat untuk mengakui kesalahannya. Dia
memang jahat, tapi dia juga tidak ingin menjadi penegcut yang tidak berani
mengakui kesalahan. Karena itu Haris memberanikan diri menatap keponakannya
yang ternyata juga tengah memperhatikannya.
“Lea, om minta
maaf ya. Om udah jahat sama Lea. Om nyalahin Lea padahal om enggak tahu kalau
Lea juga menderita. Sekali lagi om minta maaf, terserah Lea mau maafin om atau
enggak karena om tau perbuatan om salah banget.”
Aeleasha tidak
langsung membuka suaranya. Dia menatap Haris lalu beralih menatap Gisel yang
tertunduk sambil menakan jari-jarinya. Ia tahu kalau Gisel juga sedang berusaha
untuk membuka vokalnya, karena itu dia sengaja diam dan menunggu wanita itu.
“Le-Lea..”
Panggil Gisel dengan kepala yang mulai ditegakkan. Ketika ia melihat ke depan,
matanya langsung bertemu dengan mata Aeleasha yang sudah lebih dulu menatapnya.
Gisel menelan
ludahnya susah payah. Ada ketakutan yang mulai meringsek masuk ke dalam hatinya
menemani sesal yang sudah lama bersemayam di sana. Ia takut jika Aeleasha tidak
bisa memberikan maafnya.
“Maaf, tante
udah salah sama Lea. Tante enggak mikir kalau ternyata perbuatan tante nyakitin
Lea. Tante sungguh-sungguh minta maaf sama Lea. Maafin tante ya Lea..” Gisel
memohon dengan setetes air mata yang sudah membuat jejak air mata disalah satu
pipinya.
Seluruh mata
kini menaruh atensinya pada Aeleasha. Mereka menunggu apa yang akan Aeleasha
katakan. Walau dalam hati mereka tahu jika akan sulit bagi Aeleasha memberikan
maaf, tapi bukan berarti mereka mengubur harapan itu sekali pun kecil.
Hingga beberapa
saat yang menyesakkan, Aeleasha akhrinya kembali menatap Haris, Gisel, dan juga
keluarga yang lain bergantian.
“Aku udah maafin
kalian. Tapi…”
Napas yang akan
terembus kembali tertatahan ketika Aeleasha menggantung ucapannya.
“Maaf, untuk
lupa aku enggak bisa dan enggak akan pernah bisa. Semua perbuatan kalian akan
terus aku ingat karena berbekas banget.”
* *
* *
Aeleasha
menghampiri Adelio yang tengah duduk menatap langit di taman belakang. Setelah
acara makan malam selesai, Adelio mengajak Aeleasha untuk menuju kamar gadis
itu dan setelah dia meninggalkan Aeleasha di sana. Katanya sengaja agar
Aeleasha bisa melepas rindu dengan kamarnya.
“Li..”
Adelio menoleh
dan mendapati Aeleasha yang datang dengan sekotak cookies.
“Happy
birthday. Ini kado buat lo.”
Adelio mengambil
kotak itu lalu menatap Aeleasha yang ikut bergabung disampingnya.
“Sorry ya
gua enggak sempet cariin lo kado.” Sesal Aeleasha karena memang dia tidak ada
waktu untuk itu. Dia baru menyelesaikan ujian akhir semester lalu mengerjakan
orderan sandwich-nya. Waktunya habis untuk urusan kuliah dan juga
usahanya yang ia handle seorang diri.
“Serius lo bikin
ini buat gua?”
“Iya lah, emang
siapa lagi yang mau bikin.”
“Le, makasih.”
Adelio langsung
memeluknya erat.
“Kehadiran lo
udah cukup jadi kado buat gua Le.”
Ia melepaskan
pelukannya, lalu mengecup pipi Aeleasha.
“Gua cobain ya?”
Aeleasha
mengangguk, lalu dia beralih menatap langit seperti apa yang Adelio lakukan
tadi.
“Gila Le, ini
enak banget. Makasih ya…” Seru Adelio sambil terus menyuapi cookies itu
ke dalam mulutnya.
Aeleasha
tersenyum. Matanya menatap senang saat melihat Adelio menyukai hadiahnya.
“Eh bentar Le,
tolong pegangin.”
Adelio lalu
berdiri dan berlari ke dalam. Dia meninggalkan Aeleasha yang bingung sambil
memegangi kotak cookies-nya. Namun tidak lama, dia kembali dengan
tersenyum lebar. Hal itu membuat Aeleasha bergidik ngeri. Dia juga menunjukkan
wajah bingung bahkan sampai Adelio kembali duduk disebelahnya.
“Sini cookies-nya..”
Pinta Adelio dengan langsung mengambil kembali kotak itu dari tangan Aeleasha.
“Lea, jujur gua
juga enggak nyiapin kado buat lo. Karena emang enggak kepikiran. Tapi karena lo
buatin gua cookies khusus, jadinya gua..”
Adelio merogoh
saku celananya lalu mengeluarkan dua buah kertas yang sudah ia tulisi sesuatu
di atasnya. Ia memberikan kertas itu kepada Aeleasha.
“Ini kupon khusus
untuk Aeleasha Rajasa. Lo bisa pake kupon itu untuk minta apa pun dari gua.”
“Serius?”
Adelio berdeham
dengan anggukan yakin.
“Kalau gua minta
buat lo untuk terus ada di samping gua, bisa?” Tanya Aeleasha dengan menatap
mata Adelio dalam.
Adelio yang
mendengar itu meraih tangan Aeleasha lalu menggenggamnya dengan erat.
“Tanpa kupon itu, gua akan selalu ada buat lo Le. Gua akan selalu di samping lo, dukung lo, dan lindungin lo. Jadi gak usah takut lagi, karena Adelio Rajasa akan selalu ada buat nemenin Aeleasha Rajasa.”
- DF -
Comments
Post a Comment